- Oleh H.Hasan Basri, S.Ag bin H.M.Barsih Assegaf
1.Wisata Riligi
Kegiatan traveling dan tour pada
zaman sekarang ini, semakin banyak dan marak dilakukan banyak orang untuk menghilangkan
kejenuhan dan kepenatan pekerjaan rutinitas sehari-hari. Sedangkan Travelling
sendiri berasal dari suku kata “Travel” yang berarti kegiatan berpindah dari satu
tempat ke tempat yang lain. Selain itu, travelling juga sering disebut dengan
melancong atau rekreasi, berwisata liburan mengunjungi objek wisata dan lain
sebagainya sebagai kegiatan berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lainnya.
Mengunjungi objek wisata memang
menjadi kebanggan tersendiri bagi Pengujung dan menambah wawasan, apalagi dapat
menghilangkan kejenuhan dan kepenatan pekerjaan rutinitas sehari-hari. di Hulu
Sungai Selatan terdapat beberapa objek wisata menarik dan mempesona, dijamin
Anda dan keluarga bahagia menikmatinya. Salah satunya mengunjungi destinasi
perbukitan batu Langara dan makam religi Habaib keluarga Assegaf Lumpangi
Loksado, yang menawarkan keindahan alam luar biasa bagi siapa pun yang
berkunjung mungkin tak ada salahnya menyiapkan rencananya sejak saat ini.
"Islam masuk lewat Perdagangan dan Perkawinan, Sejarah Datu Habib Lumpangi (Sayyid Abu Bakar Assegaf) di Kecamatan Loksado"
2. Kerajaan Dayak Maanyan Nan Sarunai
Menurut mitologi suku Maanyan (suku tertua di Kalimanta Selatan), kerajaan pertama di Borneo Selatan adalah Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah Tabalong hingga ke daerah Pasir. Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan tentang masa-masa keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebuah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini dan telah melakukan hubungan dengan pulau Madagaskar. Kerajaan ini mendapat serangan dari Majapahit. Sehingga sebagian rakyatnya menyingkir ke pedalaman (wilayah suku Lawangan). Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang terletak di kota Amuntai. Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20). Menilik dari angka tahun dimaksud maka Kerajaan Nan Sarunai/Kerajaan Tabalong/Kerajaan Tanjungpuri usianya lebih tua 600 tahun dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur (Sahriansyah 2015).
Menurut pemerhati sejarah Mudjahidin. S (2010) Dari kisah orang dahulu hiduplah sekelompok suku Melayu Tua di pulau Kalimantan yang terdiri dari lima kelompok suku,ke-5 suku itu dipimpin masing-masing lima orang bersaudara, ke-5 suku tersebut sudah mempunyai sistem kepemimpinan bahwa yang muda taat pada yang tua. Kelima bersaudara tersebut bernama :
- Abal,
- Anyan,
- Aban,
- Anum,
- Aju,
Mereka ini sangat berilmu dan
sakti, bijak dan berwibawa. Negeri yang mereka bangun tersebut diberinama Nan
Marunai/dikenal kerajaan Nan Sarunai, yang artinya
Marunai = memanggil dengan suara
nyaring (keras belagu)
Sarunai = menyaru dengan suara
seperti suling.
Dahulu dinegeri ini jika memanggil
orang (mengumpulkan orang) dengan berteriak (bahalulung : Banjar) keras
suaranya berirama sesuai maksud panggilannya.
Nama Sarunai itu sendiri dimaknai
dengan arti “sangat termasyhur”.Penamaan ini bisa jadi mengacu pada kemasyhuran
Suku Dayak Maanyan pada masa silam, di mana mereka terkenal sebagai kaum pelaut
yang tangguh, bahkan mampu berlayar hingga ke Madagaskar di Afrika.
Dari cerita suku Dayak Tua, bahwa
kelima saudara ini titisan dari dewa Batara Babariang Langit, ia kawin dengan.
Putri Mahuntup Bulang anak dari Batari Maluja Bulan dan melahirkan laki-laki
an.Maanyamai, dan Maanyamai beristri putri Galuh dan istrinya melahirkan anak
bernama Andung Prasap. Konon ia sangat sakti. Dan ia membangun Negeri Nan
Marunai (Nan Sarunai) kemudian Andung Prasap beristri anak Raja menggaling
Langit dan melahirkan kelima saudara tersebut di atas. Dari kelima saudara
tersebut inilah cikal bakal suku-suku Dayak dari pulau Borneo atau Kalimantan Timur, Tengah, Utara dan
Selatan. Orang tua mereka menyuruh mereka berpencar mengembara, konon Abal ke
daerah Timur, menjadi suku Aba, Anum ke daerah utara melahirkan suku Otdanum,
Aju menetap ketengah benua, jadi suku Ngaju, sedangkan Anyan keselataan
melahirkan suku Maanyan. Dan mereka tersebut diberi pitua :” Tabu/ dilarang
bacakut papadaan apalagi bermusuhan, karena mereka satu daerah satu nyawa,
menurut pitua Nenek Moyang mereka mengatakan (pitua) Terkutuk apabila Bakalahi
sata manggungan.
Menurut Sejarah tradisi lisan suku Dayak bahwa Kerajaan Dayak Maanyan yang bernama Kerajaan Nansarunai, pernah berdiri di daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Amuntai. "Nan Sarunai diyakini berada di Amuntai, daerah yang terletak di pertemuan Sungai Negara, Sungai Tabalong, dan Sungai Balangan yang bemuara di Laut Jawa. Daerah itu berjarak sekira 190 kilometer dari Banjarmasin, ibukota Provinsi Kalimantan Selatan sekarang" (Raditya 2018)
3. Ekspedisi militer Kerajaan Majapahit
Sejarah menyebutkan bahwa Kerajaan
Dayak Maanyan yang bernama Kerajaan Nan Sarunai, berdiri dan bertahan
berabad-abad di Kabupaten Hulu Sungai Utara Amuntai. "Nan Sarunai diyakini
berada di Amuntai, terletak di pertemuan Sungai Negara, Sungai Tabalong, dan
Sungai Balangan yang bemuara di Laut Jawa. Nan Sarunai adalah kerajaan Dayak
yang kuat dan hebat dan rakyatnya makmur. Buktinya dua kali pasukan Majapahit
menyerang kerajaan Nan Sarunai tetapi selalu dapat dipatahkan.
Tahun 1309 M Kerajaan Dayak Nansarunai
dipimpin raja bernama Raden Japutra Layar yang bertakhta di Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan saat
itu. Kemudian penerus Kerajaan Dayak Nansarunai dipimpin oleh Raden Neno antara
1339-1341.yaitu anak Raden Japutra Layar.
Menurut Sri Naida, pemerhati
sejarah mengatakan bahwa "walau Kerajaan Nansarunai itu dianggap lenyap,
toh eksistensi Dayak Maanyan itu tetap ada. Terbukti, dengan adanya 7 uria
(petinggi Kerajaan Nansarunai) dan 40 patih yang akhirnya membentuk suku-suku
yang ada di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah"
Diceritrakan
bahwa Kerajaan Majapahit mengirim ekspedisi militer pertama ke wilayah Borneo.
Yang mula-mula diserang adalah Kerajaan Nan Sarunai. Sekitar 5.000 pasukan
Majapahit datang dengan kapal-kapal laut melewati Sungai Barito yang dipimpin
oleh Senopati Arya Manggala. Dengan membawa pasukan yang sangat banyak
tersebut, lalu pasukan Kerajaan Nan Sarunai yang gagah berani menyambut
kedatangan mereka dengan pasukan yang sudah matang dipersiapkan sebelumnya.
Lalu terjadilah peperangan antara dua kerajaan ini.
Setelah
dua hari bertempur dimedan laga menghadapi pasukan Nansarunai yang tangguh dan
kuat, akhirnya pasukan Majapahit mampu dipukul mundur, bahkan pemimpin pasukan
Majapahit ketika itu yaitu Senopati Arya Manggala roboh bersimbah darah dengan
lihernya putus akibat terkena sebitan Mandau senjata asli Suku Dayak.
Mengetahui pemimpin pasukannya tewas lalu sisa-sisa pasukan Majapahit lari
terbirit-birit menuju kapal untuk menyelamatkan diri dan pulang ke tanah Jawa. Kerajaan
Majapahit gagal dalam ekspedisi pertama ini, untuk menaklukan Kerajaan
Nansarunai (Artikel “Datu Banua Lima,
Panglima yang Ditakuti Prajurit Majapahit” diterbitkan SINDOnews.com pada
Jum'at, 03 Juli 2015)
Diceritrakan pula bahwa dimasa kerajaan Dayak Nansarunai ini pula menurut Hikayat Datu Banua Lima ada seorang panglima kerajaan berasal dari suku Dayak Alai yang terkenal dengan sebutan Panglima Alai. Bersama lima panglima lainnya yaitu Panglima Tabalong, Panglima Balangan, Panglima Hamandit dan Panglima Tapin sukses menghalau serangan kerajaan Majapahit pada tahun 1356M.
Dilansir dari Artikel “Datu Banua Lima, Panglima
yang Ditakuti Prajurit Majapahit” bahwa Pada saat itu, Kerajaan Majapahit
sangat berambisi untuk menguasai nusantara termasuk tanah Borneo, Kalimantan.
Hal itu terjadi karena Maha Patih Gajah Mada sudah bersumpah untuk menguasai dan
menyatukan nusantara. Menurut mata-mata Majapahit ada yang mengatakan bahwa
kedua kerajaan di Borneo tersebut adalah rakyatnya sangat makmur karena
istananya berlapiskan emas. Mendengar hal itu, Prabu Hayam Wuruk, Raja
Majapahit begitu berambisi untuk menguasai kedua buah kerajaan tersebut,
Setelah gagal dalam ekspedisi pertama, Majapahit
kembali mengirim ekpedisi militer kedua. Ekspedisi kedua kali ini dipimpin
langsung Laksamana Nala yang diikuti isterinya dengan membawa dua kali lipat
pasukan dari ekspedisi pertama. Dalam rombongan pasukan besar ini terdapat juga
pasukan khusus Majapahit yang terkenal yaitu pasukan Bhayangkara. Pada
ekspedisi kedua ini pasukan Majapahit belum berhasil menaklukkan Kerajaan Nan
Sarunai. Laksamana Nala pulang ke tanah Jawa dengan sengaja ia meninggalkan isterinya
ditempat musuhnya untuk mengetahui kelemahan musuhnya dengan alasan kapal tidak
dapat merapat kepantai karena terjadi musim kemarau saat itu.
Majapahit kembali mengirim ekpedisi militer ketiga pada 1350-1389 M. Ekspedisi ini dipimpin langsung Laksamana Empu Jatmika dan diikuti Laksamana Nala dengan alasan menjemput isterinya. Pada ekspedisi ketiga ini pasukan Majapahit melakukan penyusupan-penyusupan dari dalam yang tidak disadari lawannya, berupa setiap kapal yang datang ke wilayah Kerajaan Nan Sarunai, mereka menyamar sebagai saudagar kaya pedagang yang banyak pelayannya untuk mengetahui kelemahan lawan, penyamaran ini dilakakan dalam waktu yang lama hingga kelemahan lawan ditemukan. Kemudian baru berhasil menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai, bahkan serangan ketiga tersebut Raja Nan Sarunai yang bergelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas yang terkenal konon sakti mandargna tetapi ia gugur dalam peperangan. Peristiwa runtuhnya Kerajaan Nan Sarunai yang oleh orang-orang dayak Maanyan dikenal dengan istilah “Nan Sarunai Usak Jawa”.
Konon Raja Nan Sarunai terbunuh dengan sebuah tombak sakti miliknya sendiri oleh Laksamana Nala di dalam sebuah sumur tempat persembunyiannya.. Sedangkan Ratu Kerajaan Nan Sarunai yang bergelar Dara Gangsa Tulen dan sebagian keluarganya lari menyelamatkan diri menuju pedalaman dibantu dua orang Punggawanya.
Akibat serangan Kerajaan Majapahit
tersebut, maka Kerajaan Nan Sarunai yang dipimpin oleh Raden Anyan yang
menyandang gelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas disebut-sebut
sebagai raja terakhir Nan Sarunai saat itu telah dihancurkan dan
ditaklukan Maka suku Dayak Maanyan
tersebut terdesak dan terpencar
atau tercerai berai atau lari ke pedalaman. Sebagian mereka masuk ke pedalaman
hulu sungai.
Ada tiga ekspedisi militer dilakoni Kerajaan Majapahit dalam misi menaklukkan Kerajaan Nansarunai. Hingga, penetrasi atau penyerangan III terjadi pada 1350-1389, di masa Raja IV Majapahit bernama Sri Hayam Wuruk atau Rajasanagara yang berkuasa pada 1350-1389, dengan Maha Patih Gajah Mada (yang wafat pada 1362), terbilang sukses.
Atas perintah Hayam Wuruk, pasukan Majapahit pimpinan Empu Jatmika menyerang Nan Sarunai hingga takluk. Kemudian, Empu Jatmika membangun kerajaan baru bernama Negara Dipa yang bernaung di bawah kekuasaan Majapahit dan menganut agama Hindu.
4. Dua orang Punggawa Penyelamat
Ratu Dayak Nansaruni
Menurut Ahmad atau Amat yang saya
wawancarai, ia asal dayak Bayumbung yang sudah muslim ceritera dari
datuk-neneknya bahwa "Saat penyerangan tentara Maja Pahit yang ke-3 ke
Kalimantan Selatan tahun 1389M Dara Gangsa Tolen Ratu Raja Dayak Nansarunai juga ikut
lari/mengungsi bersama sebagian rakyatnya menyelamatkan diri ke daerah
pedalaman dibantu Pengawal setianya (yakni adik kandungnya sendiri) yang bernama Raksajiwa, hingga perjalanan
mereka tiba di Paramasan dan bersembunyi di sana. Beliau telah wafat dan
bermakam di Pramasan Atas Kecamatan Paramasan dan makamnya masih ada malah
diberi lelangit kain kuning oleh Masyarakat Dayak disana".
Menurut Asmaji Kades Paramasan
Bawah yang saya wawancarai saat pernikahan sepupunya an. Yusran di Desa Bamban
bahwa "Kuburan Dara Gangsa Tolen Ratu Nansarunai terletak di Desa Paramasan Atas dan
Kuburannya itu sudah dibina oleh Pemerintah Kab. Banjar."
Menurut Ahmad dan Ceritra datu nenek
kami bahwa “Amandit dan saudara sepupunya Kantawan adalah nama dua orang Punggawa
Kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang ditugaskan menyelamatkan Dara Gangsa Tolen Ratu
Nansarunai dan keluarganya dari kejaran-kejaran tentara Majapahit. Punggawa
Amandit membawa mereka lewat tanah kelahirannya hingga perjalanan sampai ke-
Desa Peramasan Atas Kab. Banjar. Nah di Desa inilah terdapat sebuah nama bukit
/gunung Panginangan Ratu dan makam Ratunya ada disana.”
5.Berdirinya Balai Adat Balai Ulin Lumpangi
Satu setengah abad atau 150 tahun kemudian setelah kekalahan Kerajaan Nansarunai dari suku Dayak Maanyan dari serangan Majapahit, di akhir abad ke-14 sebagian rakyatnya menyingkir dan menyelamatkan diri masuk ke pedalaman-pedalaman hingga akhirnya sebahagian Generasi ke-4 dan ke-5 mereka ada yang sampai berhijerah ke desa Lumpangi. Loksado.
Nah di Desa Lumpangi inilah sekitar tahun 1552 Masihi atau pertenghan abad ke-16 pernah berdiri sebuah Balai Adat Dayak yang perabut bangunannya dari kayu Ulin. Kayu Ulin tersebut ditebang dan diolah (ditarah) dengan kapak Baliung atau Balayung. Peralatan lainnya seperti parang.Bungkul, Mandau untuk mengkayau /perang, Sumpit untuk berburu binatang liar dan Katapel. Kayu-kayu tersebut diambil dan dibawa dari Hulu Banyu Loksado dengan rakit bambu /lanting. Balai Adat itu dikenal oleh masyarkat desa Lumpangi dengan nama Balai Ulin.
Menurut ceritra datu nenek kami kalau dihitung dari runtuhnya kerajaan Nan Sarunai bahwa diperkirakan generasi ke-8 dan ke-9 pancaran Suku Dayak Maanyan yang hidup menempati Balai Adatnya "Balai Ulin" Lumpangi Loksado diawal abad ke-18 tersebut. Sekitar tahun 1700 Masihi Balai Adat tersebut dipimpin oleh seorang Kepala Suku Dayak atau Tetuha atau Penghulu Adat bernama Langara, ia punya adik kandung bernama Ulang. Dayak Ulang ini punya anak bernama Bumbuyanin dan Bayumbung, sedangkan Dayak Langara menurut sumber data punya 3 anak pertama bernama Talib dan kedua bernama Anjah dan ketiga bernama Aluh Milah. tidaklah sampai 1 setengah abad Balai Adat Balai Ulin ini berdiri kemudian balai adat ini ditinggalkan orang Dayak atau bubar
Menurut Habib Bahriansyah bin Bahur Assegaf yang saya wawancarai di kediamannya sekilas ttg Balai Ulin Lumpangi masa dulu bahwa "Tiang-tiang utama Balai adat pada Balai Ulin itu adalah ulin bulat sebatangan maksudnya tidak olah atau ditarah".
6. Tradisi
Dayak membangun rumah/balai adat
Salah satu
yang menjadi tradisi adat Dayak dalam membangun rumah/balai adat bahwa
"muka rumah/ balai adat selalu menghadap kearah matahari terbit, tak
terkecuali Balai Adat "Balai Ulin" itu mukanya juga mengadap kearah
matahari terbit, dan balai itu dihuni oleh 7-10 kepala keluarga. Orang Dayak
menjunjung tinggi semangat rasa kebersamaan dan mereka memiliki dapur
masing-masing. Balai Adat berbentuk panggung dengan ukuran panjangnya
diperkirakan 35-50 meter dan lebar 10-12 meter dan tinggi lantai dari permukaan
tanah 2 setengah hingga 3 meter dan 7 anak tangga kecil untuk menolak Hantu
kepala terbang. Tangga itu hanya dilewati 1 orang lebar kurang lebih 50cm.
7. Agama atau kepercayaan suku
Dayak
Adapun agama atau kepercayaan yang mereka anut saat itu adalah "KAHARINGAN" yakni kepercayaan terhadap kekuatan roh-roh nenek moyang mereka, oleh karenanya dikenal dengan Dayak Kaharingan. Kepercayaan yang mereka anut itu dikenal oleh masyarakat Hulu Sungai Selatan dengan sebutan Balian atau Babalian.
Kaharingan adalah agama
asli suku Dayak di Pulau Kalimantan. Agama Kaharingan sudah ada sejak lama di
Kalimantan bahkan sebelum agama-agama lainnya memasuki Kalimantan. Saat ini
Kaharingan menjadi salah satu agama leluhur di Indonesia yang masih bertahan dan
masih dianut oleh sebagian suku Dayak, khususnya di Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Selatan (Kaharingan)
8.Balai Ulin pernah Simpan Biji Padi Sebesar Kelapa
Diceritakan
bahwa dahulu kala Balai Adat Balai Ulin sewaktu dipimpin
oleh seorang Kepala Suku Dayak atau Kepala Balai atau Penghulu Adat yang bernama Langara,
mereka pernah
memiliki dan menyimpan peninggalan benda prasejarah, berupa tiga buah biji banih seukuran kelapa
yang dinamakan “Banih
kelapa atau Banih Nyiur”.yang diletakan
ditengah-tengah Kindai Banih dirungan tengah Balai.yang dijadikan sebagai
“Ajimat pipikat sakti”.menurut kepercayaan orang Dayak bahwa Banih Nyiur itulah yang
memanggil ruh-ruh kawannya /membawai nyawa kawannya sehingga Kindai Banih tidak
pernah kosong atau habis. Dengan ikhtiar Pemiliknya bahuma yang luas dan
hasilnya selalu melimpah. Konon masa itu benda-benda banyak yang berukuran
jumbo.
Orang-orang
dahulu kalau ingin memasak nasi dari banih kelapa itu, maka banih itu dipipiki satu persatu dari
tangkainya dan ditaruh dalam lasung kayu baru ditumbuk dengan Halu hingga lanik
dan ditampi dengan nyiru dahulu baru beras itu dimasak.
Dan dari ketiga buah biji padi tersebut atas permintaan
Dayak Ulang kepada kakaknya Langara, bahwa ia dan keluarganya saja yang
memeliharanya, maka buah biji Banih itu masing-masing dibawa Dayak Pang Ulang
satu biji padi ke desa Ulang, dan dibawa Dayak Bumbuyanin (Pang Yanin) ke kampong
Pantai Dusin Hulu Banyu satu
biji padi dan
juga satu biji padi dibawa Dayak Bayumbung (Pang Yumbung) ke
kampong Harantan Hilir
Banyu saat Balai
Adat bubar. Namun masyarakat sekarang tetap percaya bahwa
beras yang kecil saat ini, dahulunya adalah beras besar tersebut. Walaupun
sudah tidak ada lagi bukti – fakta sejarah tersebut sampai saat ini, namun
masih banyak masyarakat yang mempercayainya Walaupun benda yang tinggal tiga
biji tersebut sudah musnah, akibat musibah banjir dan kebakaran balai
Adat.
9. Tradisi suku Dayak Langara
Lumpangi yang dilestarikan
Salah satu tradisi adat suku Dayak Langara Lumpangi adalah Aruh Bawanang atau disebut juga aruh mahanyari banih adalah salah satu ritual adat yang dilaksanakn oleh suku dayak Langara setiap tahunnya pada saat pasca panen raya padi yang merupakan salah acara ucapan rasa syukur kepada Sang Pencipta Alam Semesta.
Aruh Bawanang adalah sebuah ritual adat yang dilaksanakan oleh suku Dayak Meratus setiap tahunnya di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan. Ritual adat ini digelar sebagai ungkapan rasa syukur atas panen yang melimpah, serta permohonan doa agar mereka selalu diberi rejeki, kesehatan dan kesejahteraan.
10. Habib/ syarif yang pertama kali
menetap di Lumpangi
11. Habib Abu Bakar kena hukuman adat
Menurut penuturan Amat atau Ahmad (ia seorang Dayak asal Bayumbung yang sudah Muslim) yang saya wawancarai bahwa "Acara ritual sakral aruh Bawanang atau aruh Ganal Balai Adat adalah dilaksanakan selama 3 hari 3 malam dan Masa Pamali 3 hari 3 malam, nah dimasa Pamali inilah bila seseorang Dagang belum pernah datang berkunjung diacara 3 hari pertama, kemudian ia datang sengaja ataupun tanpa sengaja masuk ke Balai Adat di Masa Pamali, maka Dia akan mendapat Hukuman Adat dan membayar denda"
Kedatangan Sayyid Abu Bakar bin Hasan Assegaf kali yang kedua kepedalaman Hulu Sungai pada masa Pamali atau Masa Tenang. Ia seorang diri sudah berada diempiran Balai Adat. Disambut oleh Aluh Milah, padahal saat itu acara sacral atau acara inti Aruh Ganal atau Aruh Bawanang sudah selesai dilaksanakan 3 hari 3 malam, kemudian disusul Masa Pamali atau Masa Tenang selama 3 hari 3 malam. Nah di Masa Pamali inilah tidak diperkenankan masyarakat umum atau orang Dagang hadir atau datang ke Balai Adat. Maka keberadaan Sayyid Abu Bakar kala itu datang pada Masa Pamali, oleh karenanya ia mendapat hukuman adat Dayak yakni ia ditahan selama 10 hari 10 malam tidak boleh keluar dari Balai Adat dan dikenakan membayar denda.
Sang puteri Milah terpesona melihat sang peria ganteng idaman hatinya benar-benar hadir didepan matanya kala itu, sehingga ia, tak bosan-bosan memandangnya. Syair lagu menyebutkan : Pesonamu wahai sang kumbang menyilaukan mata hatiku, Pesonamu menggambirakan hati Pesonamu menyejukkan hati bagi setiap orang yang memandangmu, hanrum wangi baumu, membangkitkan gairah hidupku, tak bosan mataku, tak bosan sungguh, mataku tak akan bosan, untuk memandangmu wahai peria idamanku, rasanya mataku ini enggan sekali berkedip disaat sedang memandangmu, ingin rasanya aku menyuntingmu hidup berdua denganmu, hidup berdua denganmu, akan kujadikan dirimu raja dalam istanaku,tak bosan mataku, tak bosan sungguh, mataku tak akan bosan.
Kedatangan Sayyid Abu Bakar di Desa Lumpangi pada tahun 1705 Masihi.Ketika Beliau datang ke Desa Lumpangi, menurut salah satu sumber informasi bahwa usia Beliau sekitar 43-45 tahunan kala itu, tetapi pisik dan muka Beliau kelihatan muda seperti usia 25-30 tahun.
12. Tradisi/adat Dayak memuliakan
Tamu
Salah satu tradisi/adat Dayak
ketika itu, bagi kaum laki-laki lajang yang nginap diperbolehkan tidur satu
kamar (satu kalambu) dengan wanita lajang puteri dari Tetuha Adat. Bila tidak
punya anak gadis maka isterinya yang menemani tidur tamunya sebagai bentuk
penghormatan terhadap tamu atau sahabat, tak terkecuali dengan Habib, beliau
tidur ditemani oleh Aluh Milah sepanjang malam, tetapi pagar ayu puteri Milah
tetap terjaga dengan baik. Habib tidak mau mengganggu dan apalagi mempermainkan
puteri Milah.
Adat Dayak adalah sangat meghormati dan memulikan tamu, Puteri Milah adalah seorang gadis Dayak yang lemah lembut, ia seorang gadis ramah dan homoris dan sulit untuk dilupakan.
Hal semacam ini dikuatkan oleh
ceritera teman saya, dia seorang Serjana dibidang agama Islam. Dia berceritera
kepada saya bahwa tamu laki-laki lajang yang nginap di rumah suku Dayak, ia
diperbolehkan tidur satu kamar atau satu kelambu dengan wanita lajang anak
Dayak sebagai bentuk penghormatan tuan rumah. Tradisi atau Adat Dayak tersebut
masih berlaku hingga sekarang tahun 2020 disebagian suku Dayak Kalimantan.
Temannya berceritera bahwa ketika
ia berada dipedalaman pulau Kalimantan tahun 2020, bekerja sebagai penebang
pohon kayu jenis Meranti dan Ulin. Ia mulai bersahabat baik dan akrab dengan
suku Dayak penduduk asli. Sahabatnya mengajaknya menginaf dirumahnya. Di rumah
sahabatnya ini ia menginaf, makan, minum dan cuci pakaian. Ketika malam hari ia
ingin tidur di salah satu ruangan, ia disuruh sahabat barunya tidur satu
kelambu dengan anak perempuannya yang gadis lajang. Kemudian iapun tidur
dengannya tetapi ia tidak berani mencumbu rayu, dan juga ia tidak mau merusak
pagar ayu dan menggagahi anak perempuan sahabatnya.
Keberadaan pakaian suku dayak yang
mereka pakai berupa dedaunan dan kulipak pohon kayu yang menutupi tubuh dan kemaluan mereka. Kemudian setelah
Habib yang bermarga Assegaf datang membawa syari’at Islam, melalui jalur
perdagangan dan perkawinan (jualan kain dan perhiasan wanita) secara barter,
lalu Habib membaur dengan masyarakat suku
Dayak Langara, di Balai Adat Balai Ulin pada waktu itu.
13. Asal usul keluarga Habib Abu
Bakar bin Hasan Assegaf
Abad ke-18 dihitung dari tahun 1701 - 1800 Masihi. Namanya
Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim bin Muhammad bin Umar as-Shufy bin
Abdurrahman bin Muhammad bin Aly bin Sayyid Abdurrahman Assegaf bergelar “Al
Faqqih al Muqaddam al Tsani.
Abu
Bakar adalah nama yang diberikan kedua orang tuanya, tempat ia lahir diperkirakan tahun 1068H/1658M di Seiyun Hadramaut, Yaman, Yordania. Setelah dewasa ia menikah dengan perempuan shalehah dan punya anak an. Shaleh. Kemudian Abu Bakar ikut berpetualang berdagang dan mencari rempah-rempah bersama ayahnya Sayyid Hasan ke Negeri Asia hingga Asia Tenggara melalui Singapore ke Pelembang terus ke Demak Jawa Tengah di masa Kesultanan Demak diakhir abad ke-17 tahun 1690M. Ia adalah dzuriat
Nabi Saw yang ke-30, yang hidup di dua abat ke17-18M.Setelah lama singgah di Semarang, di kota inilah kakeknya Habib Hasyim wafat tepatnya Kelurahan Randusari, Kec. Semarang Selatan, kota Semarang Jawa Tengah. Sayyid Abu Bakar pasih berbahasa Melayu dan Jawa. Kemudian ia menyebarang ke Kesultanan Banjar. Kedatangannya ke Kesultanan
Banjar hampir bersamaan Sayyid Abdullah bin Abu Bakar al-Aydrus dan isterinya
Siti Aminah orang tua Datu Kelampaiyan.
Menurut folklor tutuha kami dan masyarakat sekitarnya sebelumnya bahwa keberadaan Balai Adat Dayak, mereka.yang belum mendapat hidayah Islam, yang berada dikaki-kaki Pegunungan Meratus itu, adalah sebahagian turunan dan dzuriat dari Balai Adat Dayak Balai Ulin Lumpangi, dengan nama sukunya “Dayak Langgara” pecahan dari suku Dayak Maanyan. Mereka lah yang awal mendiami di tepi sungai Kali Amandit desa Lumpangi,. Kalau kita lihat dan kita amati bahwa sampai sekarang pun keberadaan Balai Adat yang ada dikaki kaki Pegunungan Meratus itu dikenal dengan nama sukunya “Dayak Maratus”, bahwa sebuah Balai Adat dibangun terdiri dari beberapa kamar, sebuah kamar dihuni oleh 1 keluarga dan ditengah-tengahnya dijadikan tempat untuk berunding, musyawarah, acara perkawinan, aruh ganal (batandik), aruh bawanang dan menyambut acara kelahiran anak, mamulai manugal banih dan panen raya, begitu juga keadaan suku Dayak Langara di Balai Ulin Lumpangi tempu dahulu dan sekitarnya sebelum datangnya Islam.
14. Puteri Milah (Siti Jamilah) jatuh
sakit
Menurut versi lain diceriterakan bahwa saat berakhir masa tahanan Sayyid Abu Bakar 10 hari dan 10 malam,mungkin kurang tidur dan sangat lelahnya Diang Milah jatuh sakit secara tiba-tiba, ia tak sadarkan diri/pingsan dalam waktu cukup lama, Diang belum bisa sadar walaupun Tetuha Adat (Penghulu Adat) berusaha keras melakukan BALIAN Basambui untuk menyembuhkan Puterinya diobati secara kebatinan, walaupun ia seorang tokoh adat yang mempunyai kemampuan mempuni mengobati orang yang sakit, namun dikala itu tidak membawa hasil apa-apa dan membuatnya putus asa. Tak terkecuali Sayyid Abu Bakar bin Hasan Assegaf, seorang tahanan mereka, yang baru datang beberapa hari kewilayah itu. Ia mencoba menawarkan diri kepada mereka untuk mengobatinya sang Puteri. Akhirnya dengan perasaan was-was terlihat pada wajah mereka, namun mereka dengan berat hati mempersilahkannya hingga Puteri sadar dari pingsannya dan sembuh dari sakitnya.
Berkata sebagian orang tua Dayak Lumpangi bahari bahwa “Habib dianggap bersalah sebab merusak jiwa (merusak pikiran) Puteri Milah hingga Puteri jatuh hati yang dalam kepadanya dan jatuh sakit, oleh karenanya Habib harus mengawini Puteri anak Tetuha Balai.”
Peristiwa pengobatan Puteri tersebut tertuang dalam Artikel "Habib Abu Bakr Assegaf - Cerita para wali dan datu' yang diposting Jum'at, 01 Maret 2013M yang saya kutip menyatakan bahwa "Di kampung Lumpangi kala itu masih berupa kehidupan Balai, yaitu "Balai Ulin; dan di sana terdapat tokoh yang disebut penghulu Balai yang terkenal dengan kemampuannya mengobati orang sakit. Ternyata, kemampuan medis habib yang baru datang ke wilayah itu lebih tinggi darinya, sehingga warga Balai sangat terkesima dan akhirnya mau menerima Islam. Bahkan, disebutkan bahwa di antara tokoh habib itu ada yang menikahi puteri penghulu Balai Ulin."
Habib datang di tahun 1117H/ 1705 Masihi ia ditahan beberapa hari di Balai Adat, setelah Habib bebas dari hukuman Adat Dayak, ia mempersunting puteri, ia melamar dan ia mengawini seorang puteri yang anggun dan cantik parasnya anak Tetuha Adat Dayak Langara an.Milah, Nama Putri Tetuha Adat dimaksud yang dzuriat sesudahnya menyebutnya : aluh Jamilah atau Siti Jamilah.
Bekata Tanqir Ghawa kepada anak cucunya bahwa kakeknya ibrahim baucap “Syukur alhamdu lillaah banar kita ine cucuai, jaka kada datang habib membawa Islam dan datung kita ada yang balaki lawan habib lalu ia maislamakan datu nine bubuhan kita Dayak lumpamgi, jaka kada baislam maka kita rugi banar, kita akan dimasukakan ke dalam Naraka, nauudzu billaahi mindzaalik” Menurut Beliau bahwa “Ucapan yang seperti ine telah diucapan pula oleh datu ninenya bahari sebelumnya."
Berkata sebagian orang tua Ds. Taniran Kubah bahwa “Habib Abu Bakar tapabini (kawin-menikah) dengan perempuan Dayak Lumpangi dan baanak (berketurunan). saat Beliau berdagang dan berdakhwah di sana.
Hal senada yang disebutkan lebih awal oleh Artikel "Islam Loksado dan Sayyid Abu Bakr bin Hasan Assegaf" yang diposting 20 Februari 2011 menyebutkan ”Di kampung Lumpangi kala itu masih berupa kehidupan Balai, yaitu Balai Ulin; dan di sana terdapat tokoh yang disebut penghulu Balai yang terkenal dengan kemampuannya mengobati orang sakit. Ternyata, kemampuan medis habib yang baru datang ke wilayah itu lebih tinggi darinya, sehingga warga Balai sangat terkesima dan akhirnya mau menerima Islam. Bahkan, disebutkan bahwa di antara tokoh habib itu ada yang menikahi puteri penghulu Balai Ulin (Harisuddin 2011).
Begitu juga hal senada yang telah dikutip oleh Saadilah Mursyid dalam artikelnya yang diberi judul "Sejarah Singkat Habib Lumpangi-Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim bin Muhammad Assegaf" dalam pembahasan Pemikiran dan Kiprah Habib Abu Bakar Assegaf yang saya kutip menyatakan bahwa "Di kampung Lumpangi kala itu masih berupa kehidupan Balai, yaitu Balai Ulin; dan di sana terdapat tokoh yang disebut penghulu Balai yang terkenal dengan kemampuannya mengobati orang sakit. Ternyata, kemampuan medis habib yang baru datang ke wilayah itu lebih tinggi darinya, sehingga warga Balai sangat terkesima dan akhirnya mau menerima Islam. Bahkan, disebutkan bahwa di antara tokoh habib itu ada yang menikahi puteri penghulu Balai Ulin" (Mursyid 2017).
Menurut keterangan Abah Ajid asal Malinau umur 58 tahun yang saya wawancarai bahwa "Habib dianggap bersalah karena merusak jiwa Puteri Milah yakni Puteri jatuh hati yang dalam kepadanya. Habib belum bisa membayar denda berupa parang bungkul puting sebanyak dua bilah yang dianggaf susah dan sulit saat itu untuk mendapatkanya".
Habib tidak bisa membayar denda yang dianggaf susah dan sulit saat itu untuk mendapatkanya berupa parang bungkul puting (yaitu parang yang belum punya Hulu dan Kumpangnya) sebanyak dua bilah. Maka sebagai jalan terakhir, ia disuruh memilih dari dua pilihan hukuman : Bayar Denda atau mengawini Puteri Milah.
15. Mediasi Habib dan Basa basi
penyerahan Aluh Milah anak Tetuha Adat
Terjadilah mediasi yakni proses
perundingan tawar menawar antara Habiib
Abu Bakar dengan Langara sebagai Tetuha Adat. Mediasi adalah
proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak
dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan.
Ujar Penghulu Adat, Nah..... sekarang Aluh Milah ini, sudah sembuh
kembali dari sakitnya, inya aku serahkan lawan ikam (kepadamu), inya cinta
banar lawan ikam, inya sayang banar lawan ikam nakkay. kawini inya dan bawa ke
rumah ikam agar abah dan mama ikam tahu dan jangan ikam kecewakan inya. Inya
ini menjadi milik ikam. Agar abah disini merasa nyaman melihat ikam badua, dan
abah marasa tanang dan nyaman mendengar ikam badua.
Ujar abu bakar Kada kaya itu caranya bahay, dikira orang ulun ini
nanti membawa lari anak sampian secara sembunyi-sembunyi, bila ulun kawin di
Taniran diwadah abah ulun. ulun kada handak nang kaya itu.
Ulun ini handak menikahinya secara agama islam, maka ada lamaran ulun dengan Milah, inya menerima garang atau kada
menerima lamaran ulun, namaun inya menerima lamaran
ulun maka ada wali nikahnya harus beragama Islam, jadi sampianlah
wali nikah aluh Milah ini dan nikah itu dihadiri dan disaksikan 2 orang saksi
yang muslim maka
Talib dan Anjah sebagai saksinya, ada mahar
dan ada ijab dan qabul dari rangkaian peristiwa
itu terjadilah perkawinan ulun dengan Milah. Akhirnya tanpa pikir panjang terjadilah kesepakatan bersama,
mereka menerima hidayah islam
Catin wanita : “Karena begitu dalam cintanya dengan Habib Abu
Bakar, padahal baru saja Sembilan hari sembilan malam ia mengenalnya, tetapi
terasa sudah lama mencintainya. Ia bersedia tanpa ragu melepaskan agama yang
dianaut nenek moyangnya.
Wali Catin wanita an. Datu Langara “Karena begitu sayang dengan
Siti Jamilah anaknya, ia menerima Islam dengan suka rela untuk membahagiakan
anak yang sangat dicintainya.”
Saksi-saksi nikah : “Begitu pula dengan kedua saudara laki-lakinya
an.Abu Thalib dan Hamzah, sayang dan kasih dengan adik perempuannya. Keduanya
rela melepaskan agama yang sedang dianutnya. Berkorban untuk kebahagian adiknya
yang kedua bertindak sebagai saksi pernikahan adiknya saat itu.”
Mahar perkawinan : “Sebingkai cincin emas yang telah
dipakaikan/dikenakan pada jari manis catin wanita kala itu.”
Ijab nikah : “Dilakukan oleh walinya sendiri dan diterimakan oleh
Habib Abu Bakar As-Segaf, yang sebelumnya didahului pembacaan khotbah nikah
oleh Habib saat itu.”Resmilah Siti Jamilah dengan Habib Abu Bakar sebagai suami
isteri dimalam Jum’at itu, seisi Balai bergembira, diiringi canda dan tawa
menyambut kehadiran keluarga baru dan menyambut kehadiran dangsanak baru.
Setelah Tetuha Adat Suku Dayak dan kedua
anak laki-lakinya menjadi seorang muslim maka secara pelan-pelan namun pasti
diikuti oleh keluarganya yang lain hingga akhirnya seisi Balai Ulin dan sekitarnya menjadi muslim.
16. Habib mempersunting dan
mengawini Puteri Milah
Habib dianggap bersalah merusak jiwa Puteri Milah yakni Puteri jatuh hati yang dalam kepada Habib. Ia memilih mengawini Puteri Tetuha Adat sebagai ganti Hukuman Denda karena Habib tidak mampu membayar Denda saat berakhir masa tahanan. Perkawinan itu pun terjadi dengan punya syarat-syarat tersendiri yang harus dipenuhi oleh Habib masa kini dan akan datang.
Perkawinan
inilah yang sangat merekatkan hubungan suku
Dayak Langara dengan Habib. Adanya ikatan perkawinan tersebut Islam
berkembang dengan cepat. Akhirnya mereka karena merasa berkelurga dengan Habib,
merasa badangsanak dengan Habib, mereka tertarik dengan Islam dan menerima
Islam dengan sukacita dan juga hasil perkawinan itu membuahkan keturunan/ anak an. "Muhammad". Namun versi lain menyebutkan bahwa anak itu bernama : "Muhammad Djamiluddin" dan
dzuriatnya yang bersambung dan nasabnya tercatat dengan baik sampai saat ini.
17. Mendirikan tempat ibadah
sedarhana berupa langgar
Setelah perkawinannya dengan puteri anak Tetuha Adat, maka Habib Abu Bakar bersama penduduk kampung mendirikan sebuah tempat ibadah yang sedarhana berupa langgar di dibelakang Rumah Adat, tempat ibadah itu dipungsikan untuk tempat mengajar dan belajar Islam bagi keluarga isterinya dan para muallaf yang baru menerima hidayah Islam maupun yang belum menerima Islam. Ditempat inilah mereka mempelajari Islam siang dan malam. Habib mengajarkan Islam kepada mereka tentang Tauhid dan Tasawuf dan lainnya siang dan malam kepada keluarga isterinya dan masyarakat sekitarnya hingga mereka paham betul tentang Islam.
Menurut Artikel Sejarah Habib Lumpangi || Pembawa Islam Pertama di Pegunungan Meratus Loksado Hulu Sungai Selatan yang saya kutip menyebutkan bahwa “Sayyid Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf dalam berdakwah tidak sama sekali menggunkan cara kekerasan. Beliau berdakwah dengan cara lemah lembut dan santun yang mana mencerminkan akhlak Rasulullah saw. Menjadikan Islam mudah diterima oleh masyarakat pegunungan Meratus. Kampung Lumpangi pun berkembang pesat, dan setelah berhasil beradaptasi dengan masyarakat sekitar, beliau memulai berdakwah secara lisan di kalangan warga mengenai akhlak dan amaliyah serta ajaran lainnya. Setelah diterima dengan baik oleh warga Lumpangi, mereka pun bersemangat untuk mempelajari agama Islam."
18. Metode dakwah “Bakisah dan Homor
dalam Dakwah”
Adapun Dakwahnya secara lisan, selama dalam tahanan di Balai Adat beliau mulai "Bakisah" (berceritera) dalam Bahasa Banjar dibumbui sedikit homor dan berakting ucapan dalam dakwahnya ttg Peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di Timur Tengah. misalnya Bakisah ttg Cinta Rabi'atul Adawiah dengan Hasan al Basri, dan lain-lainnya. Orang-orang penghuni Balai mulai datang, mendekat, duduk menghadap Habib dan mereka mulai senang dan terhibur mendengarkan dengan kisah-kisah dan sedikit homoris dari Habib hingga larut malam.
Setiap malam jama'ah Pendengar bakisah disertai homor dalam dakwah selalu bertambah, hingga akhirnya ruangan Balai tidak dapat menampung Jama'ah Pendengarnya. Metode dakwak Bakisah yang dibumbui Akting dan Homor dalam Dakwah, Inilah yang menjadi Adalan Dakwah Habib yang dulunya sangat diminati dan disukai tua dan muda oleh masyarakat Hulu Sungai Selatan. Siang dan Malam silih berganti hukuman adat dayak telah berlalu dijalani Habib tanpa dirasakan adanya hukuman hingga hari batas hukumannya berakhir .
Berdakwah seperti yang dilakukan Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf ini diteruskan oleh para Da'i tahun 1960 an hingga tahun 2000 an seperti Pendakwak yang kita kenal yang sangat masyhur dan menghibur sekali dengan kata-kata mutiara dan kata-kata filusufi mereka yang mempuni antara lain Bapak Artum Ali (Muhammad Ramli bin Anang Ketutut w.24-07-1982M) Tabudarat, Ibu Mustika Murni (Ds.Mandampa), Bapak Jaib Ds. Bamban, Bapak H.Udin Arjuna Ds.Andang, Bapak Masrawan , Bapak Bahran Jamil, Bapak Hamdani Akbar, Bapak M.Jailani (Mistar Gam) Barabai, Nasrulah Barabai dan pendakwah lainnya. Tetapi sangat disayangkan Berakwah seperti yang dilakukan Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf ini sekarang mulai ditinggalkan orang.
19. Tradisi Suku Dayak Pegunngan Meratus
Dilansir dari berbagai sumber, bahwa suku Dayak memiliki berbagai tradisi unik, tetapi tradisi ini ditinggalkan oleh Dayak Maratus dan dibatalkan dimasa keberadaan Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf dan anak cucunya kecuaali tradisi Tarian Gantar (batandik),. Beberapa tradisi yang ditinggalkan di antaranya meliputi:
1. Tradisi memuliakan Tamu Nginap
Salah satu tradisi/adat Dayak
ketika itu, bagi Tamu Nginap untuk kaum laki-laki lajang diperbolehkan
tidur satu kamar/ satu kelambu dengan wanita lajang puteri dari Tetuha Adat.
Bila tidak punya anak gadis maka isterinya yang menemani tidur tamunya. (kalua
tamunya sudah beristeri maka ia tidur satu kamar dengan isteri sahabatnya) sebagai
bentuk penghormatan terhadap tamu atau sahabat, tak terkecuali dengan Habib,
beliau tidur ditemani oleh Aluh Milah sepanjang malam, tetapi pagar ayu puteri
Milah tetap terjaga dengan baik. Habib tidak mau mengganggu dan apalagi
mempermainkan puteri Milah.
- 2. Tradisi Kuping Panjang
Telingaan Aruu adalah tradisi adat
Suku Dayak dengan cara memanjangan telinga. Untuk memanjangkan daun telinga,
mereka menggunakan anting-anting berbentuk gelang yang terbuat dari tembaga.
Anting-anting berukuran besar tersebut dalam bahasa kenyah disebut belaong.
Di Kalimantan Timur, perempuan
Dayak memiliki tradisi unik memanjangkan telinga mereka. Keyakinan di balik
tradisi ini adalah bahwa telinga yang panjang membuat perempuan terlihat
semakin cantik. Selain untuk aspek kecantikan, memanjangkan telinga juga
memiliki nilai simbolis dalam menunjukkan status kebangsawanan dan melatih
kesabaran.
Proses memanjangkan telinga
melibatkan penggunaan logam sebagai pemberat yang ditempatkan di bawah telinga
atau digunakan untuk anting-anting. Perempuan Dayak diperbolehkan memanjangkan
telinga hingga dada, sementara laki-laki bisa memanjangkan telinga hingga bawah
dagu.
- 3. Tradisi Tato
Tato atau rajah adalah simbol
kekuatan, hubungan dengan Tuhan, dan perjalanan kehidupan bagi suku Dayak.
Tradisi tato ini masih dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan Dayak.
Proses pembuatan tato terkenal
karena masih menggunakan peralatan sederhana, di mana orang yang akan ditato
akan menggigit kain sebagai pereda sakit, dan tubuhnya akan dipahat menggunakan
alat tradisional.
Setiap gambar tato memiliki makna
khusus, misalnya tato bunga terong menandakan kedewasaan bagi laki-laki,
sementara perempuan mendapatkan tato Tedak Kassa di kaki untuk menandakan
kedewasaan mereka.
Dalam konteks sejarah, dikatakan
bahwa suku Dayak Iban menggunakan tato ini selama peperangan untuk membedakan
antara teman dan musuh.
- 4. Tradisi Tiwah
Kwangkey atau Kuangkay ialah
upacara kematian yang dilakukan Suku Dyaka Benuaq yang tingga di pedalaman Kalimantan
Timur. Tradisi ini berasal dari kata ke dan angkey, artinya adalah melakukan
atau melaksanakan dan bangkai.
Menurut istilah bahasa daerah
setempat, Kwangkey mempunyai makna buang bangkai. Maknaya yang ingin
disampaikan adalah melepaskan diri dari kedukaan dan mengakhiri masa berkabung
Tiwah adalah upacara pemakaman
masyarakat Dayak Ngaju yang melibatkan pembakaran tulang belulang kerabat yang
telah meninggal.
Tradisi ini dilakukan sesuai dengan
kepercayaan Kaharingan dan dipercaya membantu arwah orang yang meninggal untuk
menuju dunia akhirat atau disebut juga dengan nama Lewu Tatau. Selama
pelaksanaan Tiwah, keluarga yang ditinggalkan akan menari dan bernyanyi sambil
mengelilingi jenazah.
Proses pembakaran tulang belulang
jenazah dilakukan secara simbolis, sehingga tidak semua tulang jenazah ikut
dibakar dalam upacara Tiwah.
Tradisi suku Dayak ke-4 ialah
Tiwah yang upacara pemakaman yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Ngaju. Dalam
upacara ini, mereka akan membakar tulang
belulang dari kerabat yang telah meninggal dunia. Menurut kepercayaan
Kaharingan, tradisi Dayah Tiwah, dipercaya mampu mengantarkan arwah dari orang
yang telah meninggal agar mudah menuju dunia akhirat atau disebut pula dengan
nama Lewu Tatau. Ketika melaksanakan tradisi Tiwah, biasanya keluarga yang
ditinggalkan akan menari dan bernyanyi sambil mengelilingi jenazah. Proses
pembakaran tulang belulang jenazah hanya dilakukan secara simbolis sehingga
tidak semua tulang jenazah akan ikut dibakar dalam upacara Tiwah
- 5. Tradisi Ngayau
Tradisi berburu kepala ini, yang
pernah ada tetapi sekarang sudah dihentikan, melibatkan pemburuan kepala musuh
oleh beberapa rumpun Dayak, seperti Ngaju, Iban, dan Kenyah.
Tradisi ini penuh dendam
turun-temurun sebab anak akan memburu keluarga pembunuh ayah mereka dan membawa
kepala musuh ke rumah. Ngayau juga menjadi syarat agar pemuda Dayak bisa
menikahi gadis yang mereka pilih.
Pemuda Dayak diwajibkan untuk
berpartisipasi dalam tradisi berburu kepala sebagai cara untuk membuktikan kemampuannya
dalam memuliakan keluarganya dan meraih gelar Bujang Berani.
Larangan terhadap tradisi ini
dihasilkan dari musyawarah Tumbang Anoi pada tahun 1874, yang bertujuan
menghindari perselisihan di antara suku Dayak.
Ke-5 tradisi tersebut sudah
ditinggalkan oleh Dayak Maratus dan dibatalkan dimasa keberadaan Habib Abu
Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf dan anak cucunya kecuaali tradisi Tarian Gantar
6. Manajah antang
Tradisi dari suku Dayak selanjutnya ialah manajah
antang, tradisi ini merupakan suatu ritual untuk mencari dan memastikan di mana
musuh/seteru/lawan berada ketika berperang. Menurut cerita masyarakat Dayak,
ritual manajah antang merupakan ritual pemanggilan roh para leluhur dengan
burung Antang, di mana burung tersebut dipercaya dan diyakini mampu
memberitahukan lokasi musuh/lawan. Selain dipakai ketika berperang, tradisi
manajah antang pun dipakai untuk mencari petunjuk-petunjuk lainnya.
7. Mantat Tu’Mate
Seperti halnya Tiwah, tradisi mantat tu’mate merupakan
tradisi untuk mengantarkan orang yang baru saja meninggal dunia. Namun mantat
tu’mate berbeda dengan Tiwah. Sebab, mantat tu’mate dilakukan selama tujuh hari
dengan konten acara iring-iringan musik serta tari tradisional. Setelah upacara
selama tujuh hari selesai, barulah jenazah kemudian akan dimakamkan
Ket. Referinsi No. 6-7 Artikel Tradisi Suku Dayak &
Asal-Usul Suku Dayak
https://www.gramedia.com/best-seller/tradisi-suku-dayak/
- 8. Tari Gantar
Tari Gantar adalah salah satu
tarian khas Suku Dyak. Tarian ini adalah tari pergaulan muda-mudi Suku Dayak
Benuaq dan Dayak Tunjung di Kabupaten Kutai Barat.
Tarian Gantar mengekspresika
kegembiraan serta keramahan dalam menyambut tamu, baik wisatawan atau tamu
kehormatan. Tari ini juga berfungis untuk menyambut pahlawan dari medan perang.
Ada tiga jenis tarian Gantar, yakni Gantar Rayat, Gantar Busai, dan Gantar
Senak dan Kusa
Sudah menjadi tradisi ummat Islam Hulu Sungai bahwa Makam Kaum Muslimin selalu berdekatan dengan tempat ibadah tak terkecuali Makam Habaib kampung Balai Ulin Lumpangi.
20. Takut kehilangan kesaktian-kesaktian yang mereka
miliki
Kemudian setelah mereka paham tentang Islam mereka disuruh memilih satu diantara dua Muslim atau Non Muslim? Bukankah Islam tidak memaksakan seseorang untuk mengikutinya? Namun kala itu ada sebagian kecil keluarga Tetuha Adat di Balai Ulin yang belum menerima Islam, yaitu Ulang adiknya dan sebagian keluarganya yang lain an. Bayumbung karena mereka takut kehilangan kesaktian-kesaktian yang mereka miliki turun temurun. Diantara kesaktian yang mereka miliki adalah “Dapat mengobati orang sakit, Parang Maya, Balah Saribu, Pulasit dan cara Mengobatinya, Pambaci pada Seseorang atau Pambaci Dagangan, Panglaris Dagangan, Sangga, Panglit, Minyak Bintang, Minyak Kuyang, Minyak Buluh Parindu, Minyak Karuang Bulik, Minyak Jalawat Cancang, Minyak Bankui Gila, baisian Rantai Babi, Minyak Landuk-landuk dan Minyak Paluncur Baranak.”
Sebagai bukti sisa dari pengajaran Habib masih ada yang mereka ajarkan kepada regenarasinya adalah : “Pernah datang kepada saya salah satu Orang Dayak, ia mengajarkan cara membuka dagangan agar laris, kemudian dia berpantun, dan pantun itu diakhiri bacaan berkat laailaaha illallaah Muhammadar Rasulullaah. Kata beliau bacaan itu berasal dari nenek moyang mereka dulu.
21. Suka rela keluarga non Muslim
menjauhi Habib
Sebagaimana dikatakan bahwa mereka sangat takut kehilangan kesaktian-kesaktian yang mereka miliki turun temurun, pada akhirnya dengan suka rela keluarga ini mulai menjauhi Habib. Pada mulanya mereka membuka lahan pertanian/bahuma di Tamiang Malah Muara Hatip kemudian pindah ke Pantai Dusin Hulu Banyu, sebagian membuka lahan pertanian/bahuma ke Hilir Banyu yakni desa Harantan hingga ke kampung Bayumbung. Nah dari Balai Adat Bayumbung ada yang ke Mariuh/ Malinau, sebagian membuka lahan pertanian/bahuma dari Mariuh ke Batung dan sekitarnya. Kemudian lahan pertanian/bahuma itu setelah penen, anak isteri mereka satu persatu dijemput, tetapi hubungan kekeluargaan tetap terjaga dengan baik.
Menurut beberapa sumber data bahwa pecahan suku Dayak langara yang meninggalkan Balai Adat Balai Ulin Lumpangi itu hanya dua kelompok kecil ;
- Kelompok pertama an. Ulang dan anaknya Bumbuyanin mereka membuka lahan pertanian atau bahuma pertama menuju ke Tamiang Malah Muara Hatip, dan mereka agak lama tinggal disini. Kemudian mereka berpindah terus menuju Hulu Banyu Loksado, yakni Pantai Dusin. Setelah lahan ladang panen, anak dan isteri mereka, mereka jemput satu persatu.
- Kelompok kedua Anak kemenekan Langara an. Bayumbung bin Ulang dan keluarganya mereka membuka lahan pertanian atau bahuma menuju ke Hilir Banyu yakni Harantan(nama desa dulu) sekarang desa Panggung. Disini cukup lama mereka tinggal, namun di Harantan ini anak cucu Datu Bayumbung ini banyak yang mendapat hidayah Islam, maka Dayak non Muslim mereka pindah kehilir lagi dekat desa Halunuk, setelah lahan ladang panen, anak dan isteri mereka, mereka jemput satu persatu. Kemudian nama Tetuha atau Penghulu Adat Bayumbung dijadikan oleh regenarasinya sebagai penghormatan terhadap leluhurnya yaitu nama balai adat maka disebutlah Balai Adat Bayumbung desa Halunuk.
Buktinya
bila mereka Baaruhan, sebagai bentuk mohon do’a dari keluarga dan rasa syukur,
mereka selalu mengundang Keluarga atau Dangsanak-dangsanak yang ada di Desa
Lumpangi. Mereka sudah menyiapkan panci dan piring dan cangkir yang baru dan
juga menyewa juru masak dari orang muslim. Tujuannya untuk menghormati para
saudara/dangsanak mereka yang Muslim.
22. Penyebab mereka bubar /pindah dari Balai Ulin
Menurut
kaul yang lain bahwa Keluarga isteri Habib yang belum menerima Islam atau Non
Muslim tersebut, manakala mereka
mendapatkan hasil binatang buruan, mereka memasaknya dan memakannya. Tetapi
sampah dan tulang belulang binatang buruan itu, tidak dibersihkan dan belum dibuang
sehingga bermasalah dan menimbulkan bau yang tak sedap. hingga mengganggu kesehatan muslim yang ada.
Menurut Abah Ati asal orang Lumpangi umur 71 tahun yang saya wawancarai bahwa "penyebab Balai adat Balai Ulin Lumpangi bubar, mereka saling menyalahkan antara teman-teman sendiri mengapa sampah binatang buruan itu dibiarkan saja dimuka Balai, ia tidak dibersihkan dan dibuang dan berbau taksedap sehingga mengganggu kesehatan"
Sedangkan
menurut sumber yang lain bahwa Keluarga isteri Habib yang belum menerima
hidayah Islam saat itu, ada yang memperoleh ikan atau iwak sungai, mereka
menyiangnya (membersihkan-membuang perut ikan), memasaknya dan memakannya.
Tetapi sampah perut ikan dan tulang belulang binatang buruan itu, tidak
dibersihkan dan belum dibuang sehingga bermasalah dan menimbulkan bau yang tak
sedap.
Sebagai
akibat sampah buruan atau sampah perut ikan tidak dibersihkan, menimbulkan bau yang tak sedap dan
mendatangkan lalat-lalat atau baranga hingga ada yang sakit. Kemudian orang
yang Muslim yang sama berada di Balai Ulin itu ada yang komen atau Komplin.
Kenapa sampah dan tulang belulang binatang buruan itu, tidak dibersihkan dan
dibiarkan saja, apakah kalian tidak malu dengan Guru kita? Mendengar ucapan itu
hingga mereka merasa malu dengan Habib, dan mereka mulai menjauhinya.
23. Anak-anak
Datu Habib Lumpangi Abu Bakar bin Hasan Assegaf
Adapun
anak-anak Datu Habib Lumpangi dari isteri pertama dari Seiyun dan isteri
terakhir dari suku Dayak antara lain :
- Shalih (ibunya dari Seiyun Hadramaut)
- .Muhammad Djamiluddin
- Sy. Ummi Badar,
- Sy. Amas (Mastora) dan
- Ahmad Djalaluddin, anak yang paling bungsu
Adapun
anak laki-laki Datu Habib Lumpangi Abu Bakar bin Hasan Assegaf yang
terkomvirmsi saat ini akhir tahun 2023 abad ke-21 Masihi dan silsilah nasabnya
tercatat dengan baik antara lain ”
1.
Shalih
2.
Muhammad Djamiluddin
3.
Ahmad Djalaluddin
24. Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf menepati
janjinya
Mereka
beranggapan bahwa apabila masuk Islam maka kesaktian-kesaktian itu hilang dan dibuang. Inilah salah satu alasan sehingga
mereka enggan menerima Islam, mereka menjauhi keluarga Habib Abu Bakar bin
Hasan Assegaf dan mengasingkan diri dengan keluarganya menuju ke Pegunungan Meratus. Lama kelamaan
keturunan keluarga yang belum menerima Islam ini menjadi banyak. Terus membesar
berkelumpok-kelumpok dan mereka tinggal menempati kaki-kaki Pegunungan Meratus dan mereka masing-masing
kelumpok itu membangun sebuah Balai Adat yang banyak menjamur di kaki-kaki Pegunungan Meratus. Masing-masing Balai Adat
dengan nama suku Dayak Meratus. Balai Adat - Balai Adat ini masih berdiri kukoh
hingga pada sekarang ditahun 2022M.
Sayyid Abu Bakar ayahnya Habib Lumpangi adalah orang yang sangat setia dan menepati janjinya, ia
benar-benar melaksanakan Adat Dayak. ia tidak pernah meninggalkan isterinya.
Dan ia tinggal bersama isterinya Siti Jamilah dan anak lelakinya dan anak-anak
perempuannya beserta cucu-cucunya dan
keluarga isterinya tinggal di rumah Balai Ulin hingga akhir hayatnya.
Menurut
tradisi adat Dayak bahwa "Bila seseorang laki-laki lajang (perantau atau
pendatang) menikahi perempuan suku Dayak maka ia harus ikut tinggal di tanah
kelahiran isterinya, sebagai bentuk kesetian adat Dayak". Tetapi bila
kangen dengan ayah-ibu atau keluarga ia boleh menenguk mereka sendirian atau
bersama isterinya, setelah selesai hajatnya ia harus kembali lagi kerumah
isterinya. Suaminya hanya memiliki satu isteri maksudya tidak dimadu.
25. Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim bin Muhammad bin Umar as-Shaafy bin Abdurrahman Assegaf wafat thn 1759M/ 1172
Beliau wafat di kampung Balai Ulin Lumpangi hari Jum'at, tanggal 17 Dzul Hijjah 1172H, dipertengahan akhir abad ke-18 Masih. Bertepatan dia wafat 10 Agustus tahun 1759 Masihi. Haulan Beliau terebut dilaksaaanakan oleh Ahlul Bait setiap tanggal 17 Dulhijjah. Dan Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf dimakamkan berdampingan dengan Siti Jamilah isterinya dimakamkan di kampung Balai Ulin Lumpangi. Ia setia menjalani hukum adat Dayak yang ia sepakati, saat ia ingin mengislamkan Tetuha Adat, Puteri dan kedua saudara puteri yakni Hamzah dan Thalib dan Habib berjanji tidak akan meninggalkan mereka hingga ajal menjemputnya. Adapun Titik Koordinat makam Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf 2,80928, 115,41767, 146,7m, 8 derajat
daftar bacaan :
Artikel “Sejarah
Kesultanan dan Budaya Banjar“ IAIN Antasari Press Banjarmasin 2015 di tulis oleh
Sahriansyah
Artikel “Sejarah Kerajaan Jejak Panjang Nan Sarunai, Kerajaan Purba di Kalimantan” (tirto.id - Humaniora) Reporter: Iswara N Raditya Penulis: Iswara N Raditya Editor: Ivan Aulia Ahsan.- 9 Jan 2018 07:38 WIB https://tirto.id/jejak-panjang-nan-sarunai-kerajaan-purba-di-kalimantan-cBfD
Artikel "Aruh Bawanang" Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Halaman ini terakhir diubah pada 16 November 2020, pukul 04.31 https://id.wikipedia.org/wiki/Aruh_Bawanang
YouTube "5 Fakta tentang Gadis Suku Dayak Kalimantan "................................................................................ https://www.youtube.com/watch?v=nRW3xbFUw28
Artikel "Kaharingan Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, https://id.wikipedia.org/wiki/Kaharingan
Artikel tentang “Suku Dayak”yang di tulis oleh Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Suku Dayak - Wikipedia Bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas (diakses pada 19 Oktober 2021).
Kitab Biografi Ulama-ulama Terkemuka Dunia dan Nasional” yang ditulis oleh “Syekh Samsul Afandi The source: hadhramaut.info/indo – 01/5/2008
Artikel “Pulau Dayak (10 juni 2016) Aruh Adat Dayak Meratus Loksado” https://www.facebook.com/pulaudayak2/posts/pfbid021UMKPSiiNvAc5x8UjnMCqwT5vPB5Ypsi5GsRNRNaSbPkPWsQ5sinRyvjhgD15RpXl
Artikel “Daftar makam Ulama Aulia Habaib HSS” Rihlah Religi Assa’adah Burdah Community Kandaangan, Dakwah sepanjang hayat Teladan sepanjang jaman http://daftarziarahhss.blogspot.com/2019/07/ Diposting oleh Al-Hajrain di 05.23, Rabu, 03 Juli 2019
Artikel "Islam Loksado dan Sayyid Abu Bakr bin Hasan
Assegaf" oleh Ahmad Harisuddin yang diposting 20 Februari 2011M
TIGA ekspedisi militer dilancarkan Kerajaan Majapahit
dari Tanah Jawa. Pasukan ini pun menggempur Kerajaan Nansarunai yang berada di
pedalaman Kalimantan Selatan, hingga akhirnya puak Dayak dan Banjar pun
terbentuk. Nansarunai; Kerajaan Dayak Maanyan Yang Merupakan Leluhur Urang
Banjar :
https://jejakrekam.com/2021/03/29/nansarunai-kerajaan-dayak-maanyan-yang-merupakan-leluhur-urang-banjar/ Diposting 29 maret 2021.
Hasil-hasil Wawancara dengan Habaib Fam/Marga Assegaf Desa Lumpangi yang masih hidup sebelum tahun 2021Masihi, kayi Tanqir, kayi Ahmad Baderi. kayi Ahmad Karji dan Ahmad Bayumbung, Muhammad Burhan bin Ahmad Baderi Assegaf , Kayi Husni bin Karji, Kayi Usman bin Juhri . Dan lain-lainnya
Artikel "Habib Abu Bakr Assegaf - Cerita para wali dan datu' yang diposting Jum'at, 01 Maret 2013M Cerita para wali dan datu/ www.wlidandatu.blogspot.com
Folklor
adalah Ceritera/kisah yang penyebaran dan pewarisannya cenderung
dilakukan secara lisan, yaitu disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke
mulut.
Artikel Sejarah Habib Lumpangi || Pembawa Islam Pertama di Pegunungan Meratus Loksado Hulu Sungai Selatan
Artikel
“Sejarah Ahlul bait (keturunan) Sayyidina Muhammad Saw di Indonesa” dan http://fakhrur94.blogspot.com/2012/04/sejarah-ahlul-baitketurunan-sayyidina.html
Artikel “Riwayat Singkat Habib Lumpangi - Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf” yang ditulis pada 3 Agustus 2017 oleh Saadillah Mursyid ……………................................................................................………………………….., http://saadillahmursyid.blogspot.com/2017/08/riwayat-singkat-habib-lumpangi-abu.html
Artikel Datu Banua Lima, Panglima yang Ditakuti Prajurit Majapahit (Bagian-1) https://daerah.sindonews.com/berita/1019516/29/datu-banua-lima-panglima-yang-ditakuti-prajurit-majapahit-bagian-1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar