Sabtu, 14 Mei 2022

Wisata Riligi Sayyid Abu Bakar bin Hasan Assegaf ayahnya Habib Lumpangi Loksado

  1. Oleh H.Hasan Basri, S.Ag bin H.M.Barsih Assegaf


1.Wisata Riligi

Kegiatan traveling dan tour pada zaman sekarang ini, semakin banyak dan marak dilakukan banyak orang untuk menghilangkan kejenuhan dan kepenatan pekerjaan rutinitas sehari-hari. Sedangkan Travelling sendiri berasal dari suku kata “Travel” yang berarti kegiatan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Selain itu, travelling juga sering disebut dengan melancong atau rekreasi, berwisata liburan mengunjungi objek wisata dan lain sebagainya sebagai kegiatan berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lainnya.

Mengunjungi objek wisata memang menjadi kebanggan tersendiri bagi Pengujung dan menambah wawasan, apalagi dapat menghilangkan kejenuhan dan kepenatan pekerjaan rutinitas sehari-hari. di Hulu Sungai Selatan terdapat beberapa objek wisata menarik dan mempesona, dijamin Anda dan keluarga bahagia menikmatinya. Salah satunya mengunjungi destinasi perbukitan batu Langara dan makam religi Habaib keluarga Assegaf Lumpangi Loksado, yang menawarkan keindahan alam luar biasa bagi siapa pun yang berkunjung mungkin tak ada salahnya menyiapkan rencananya sejak saat ini.

"Islam masuk lewat Perdagangan dan Perkawinan, Sejarah Datu Habib Lumpangi (Sayyid Abu Bakar Assegaf) di Kecamatan Loksado"

Makam Sayyid Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf dan Datung Milah


2. Kerajaan Dayak Maanyan Nan Sarunai

Menurut mitologi suku Maanyan (suku tertua di Kalimanta Selatan), kerajaan pertama di Borneo Selatan adalah Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah Tabalong hingga ke daerah Pasir. Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan tentang masa-masa keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebuah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini dan telah melakukan hubungan dengan pulau Madagaskar. Kerajaan ini mendapat serangan dari Majapahit. Sehingga sebagian rakyatnya menyingkir ke pedalaman (wilayah suku  Lawangan). Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang terletak di kota Amuntai. Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20). Menilik dari angka tahun dimaksud maka Kerajaan Nan Sarunai/Kerajaan Tabalong/Kerajaan Tanjungpuri usianya lebih tua 600 tahun dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur (Sahriansyah 2015).

Menurut pemerhati sejarah Mudjahidin. S (2010) Dari kisah orang dahulu hiduplah sekelompok suku Melayu Tua di pulau Kalimantan yang terdiri dari lima kelompok suku,ke-5 suku itu dipimpin masing-masing lima orang bersaudara, ke-5 suku tersebut sudah mempunyai sistem kepemimpinan bahwa yang muda taat pada yang tua. Kelima bersaudara tersebut bernama :

  1. Abal,
  2. Anyan,
  3. Aban,
  4. Anum,
  5. Aju,

Mereka ini sangat berilmu dan sakti, bijak dan berwibawa. Negeri yang mereka bangun tersebut diberinama Nan Marunai/dikenal kerajaan Nan Sarunai, yang artinya

Marunai = memanggil dengan suara nyaring (keras belagu)

Sarunai = menyaru dengan suara seperti suling.

Dahulu dinegeri ini jika memanggil orang (mengumpulkan orang) dengan berteriak (bahalulung : Banjar) keras suaranya berirama sesuai maksud panggilannya.

Nama Sarunai itu sendiri dimaknai dengan arti “sangat termasyhur”.Penamaan ini bisa jadi mengacu pada kemasyhuran Suku Dayak Maanyan pada masa silam, di mana mereka terkenal sebagai kaum pelaut yang tangguh, bahkan mampu berlayar hingga ke Madagaskar di Afrika.

Dari cerita suku Dayak Tua, bahwa kelima saudara ini titisan dari dewa Batara Babariang Langit, ia kawin dengan. Putri Mahuntup Bulang anak dari Batari Maluja Bulan dan melahirkan laki-laki an.Maanyamai, dan Maanyamai beristri putri Galuh dan istrinya melahirkan anak bernama Andung Prasap. Konon ia sangat sakti. Dan ia membangun Negeri Nan Marunai (Nan Sarunai) kemudian Andung Prasap beristri anak Raja menggaling Langit dan melahirkan kelima saudara tersebut di atas. Dari kelima saudara tersebut inilah cikal bakal suku-suku Dayak dari pulau Borneo  atau Kalimantan Timur, Tengah, Utara dan Selatan. Orang tua mereka menyuruh mereka berpencar mengembara, konon Abal ke daerah Timur, menjadi suku Aba, Anum ke daerah utara melahirkan suku Otdanum, Aju menetap ketengah benua, jadi suku Ngaju, sedangkan Anyan keselataan melahirkan suku Maanyan. Dan mereka tersebut diberi pitua :” Tabu/ dilarang bacakut papadaan apalagi bermusuhan, karena mereka satu daerah satu nyawa, menurut pitua Nenek Moyang mereka mengatakan (pitua) Terkutuk apabila Bakalahi sata manggungan.

Menurut Sejarah tradisi lisan suku Dayak  bahwa Kerajaan Dayak Maanyan yang bernama Kerajaan Nansarunai, pernah berdiri di daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Amuntai. "Nan Sarunai diyakini berada di Amuntai, daerah yang terletak di pertemuan Sungai Negara, Sungai Tabalong, dan Sungai Balangan yang bemuara di Laut Jawa. Daerah itu berjarak sekira 190 kilometer dari Banjarmasin, ibukota Provinsi Kalimantan Selatan sekarang" (Raditya 2018)


3. Ekspedisi militer Kerajaan Majapahit

Sejarah menyebutkan bahwa Kerajaan Dayak Maanyan yang bernama Kerajaan Nan Sarunai, berdiri dan bertahan berabad-abad di Kabupaten Hulu Sungai Utara Amuntai. "Nan Sarunai diyakini berada di Amuntai, terletak di pertemuan Sungai Negara, Sungai Tabalong, dan Sungai Balangan yang bemuara di Laut Jawa. Nan Sarunai adalah kerajaan Dayak yang kuat dan hebat dan rakyatnya makmur. Buktinya dua kali pasukan Majapahit menyerang kerajaan Nan Sarunai tetapi selalu dapat dipatahkan.

Tahun 1309 M Kerajaan Dayak Nansarunai dipimpin raja bernama Raden Japutra Layar yang bertakhta  di Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan saat itu. Kemudian penerus Kerajaan Dayak Nansarunai dipimpin oleh Raden Neno antara 1339-1341.yaitu anak Raden Japutra Layar.

Menurut Sri Naida, pemerhati sejarah mengatakan bahwa "walau Kerajaan Nansarunai itu dianggap lenyap, toh eksistensi Dayak Maanyan itu tetap ada. Terbukti, dengan adanya 7 uria (petinggi Kerajaan Nansarunai) dan 40 patih yang akhirnya membentuk suku-suku yang ada di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah"

Diceritrakan bahwa Kerajaan Majapahit mengirim ekspedisi militer pertama ke wilayah Borneo. Yang mula-mula diserang adalah Kerajaan Nan Sarunai. Sekitar 5.000 pasukan Majapahit datang dengan kapal-kapal laut melewati Sungai Barito yang dipimpin oleh Senopati Arya Manggala. Dengan membawa pasukan yang sangat banyak tersebut, lalu pasukan Kerajaan Nan Sarunai yang gagah berani menyambut kedatangan mereka dengan pasukan yang sudah matang dipersiapkan sebelumnya. Lalu terjadilah peperangan antara dua kerajaan ini.

Setelah dua hari bertempur dimedan laga menghadapi pasukan Nansarunai yang tangguh dan kuat, akhirnya pasukan Majapahit mampu dipukul mundur, bahkan pemimpin pasukan Majapahit ketika itu yaitu Senopati Arya Manggala roboh bersimbah darah dengan lihernya putus akibat terkena sebitan Mandau senjata asli Suku Dayak. Mengetahui pemimpin pasukannya tewas lalu sisa-sisa pasukan Majapahit lari terbirit-birit menuju kapal untuk menyelamatkan diri dan pulang ke tanah Jawa. Kerajaan Majapahit gagal dalam ekspedisi pertama ini, untuk menaklukan Kerajaan Nansarunai (Artikel “Datu Banua Lima, Panglima yang Ditakuti Prajurit Majapahit” diterbitkan SINDOnews.com pada Jum'at, 03 Juli 2015)

Diceritrakan pula bahwa dimasa kerajaan Dayak Nansarunai ini pula menurut Hikayat Datu Banua Lima ada seorang panglima kerajaan berasal dari suku Dayak Alai yang terkenal dengan sebutan Panglima Alai. Bersama lima panglima lainnya yaitu Panglima Tabalong, Panglima Balangan, Panglima Hamandit dan Panglima Tapin sukses menghalau serangan kerajaan Majapahit pada tahun 1356M.

Dilansir dari Artikel “Datu Banua Lima, Panglima yang Ditakuti Prajurit Majapahit” bahwa Pada saat itu, Kerajaan Majapahit sangat berambisi untuk menguasai nusantara termasuk tanah Borneo, Kalimantan. Hal itu terjadi karena Maha Patih Gajah Mada sudah bersumpah untuk menguasai dan menyatukan nusantara. Menurut mata-mata Majapahit ada yang mengatakan bahwa kedua kerajaan di Borneo tersebut adalah rakyatnya sangat makmur karena istananya berlapiskan emas. Mendengar hal itu, Prabu Hayam Wuruk, Raja Majapahit begitu berambisi untuk menguasai kedua buah kerajaan tersebut,

Setelah gagal dalam ekspedisi pertama, Majapahit kembali mengirim ekpedisi militer kedua. Ekspedisi kedua kali ini dipimpin langsung Laksamana Nala yang diikuti isterinya dengan membawa dua kali lipat pasukan dari ekspedisi pertama. Dalam rombongan pasukan besar ini terdapat juga pasukan khusus Majapahit yang terkenal yaitu pasukan Bhayangkara. Pada ekspedisi kedua ini pasukan Majapahit belum berhasil menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai. Laksamana Nala pulang ke tanah Jawa dengan sengaja ia meninggalkan isterinya ditempat musuhnya untuk mengetahui kelemahan musuhnya dengan alasan kapal tidak dapat merapat kepantai karena terjadi musim kemarau saat itu.

Majapahit kembali mengirim ekpedisi militer ketiga pada 1350-1389 M. Ekspedisi ini dipimpin langsung Laksamana Empu Jatmika dan diikuti Laksamana Nala dengan alasan menjemput isterinya. Pada ekspedisi ketiga ini pasukan Majapahit melakukan penyusupan-penyusupan dari dalam yang tidak disadari lawannya, berupa setiap kapal yang datang ke wilayah Kerajaan Nan Sarunai, mereka menyamar sebagai saudagar kaya pedagang yang banyak pelayannya untuk mengetahui kelemahan lawan, penyamaran ini dilakakan dalam waktu yang lama hingga kelemahan lawan ditemukan. Kemudian baru berhasil menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai, bahkan serangan ketiga tersebut Raja Nan Sarunai yang bergelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas yang terkenal konon sakti mandargna tetapi ia gugur dalam peperangan. Peristiwa runtuhnya Kerajaan Nan Sarunai yang oleh orang-orang dayak Maanyan dikenal dengan istilah “Nan Sarunai Usak Jawa”. 

Konon Raja Nan Sarunai terbunuh dengan sebuah tombak sakti miliknya sendiri oleh Laksamana Nala di dalam sebuah sumur tempat persembunyiannya.. Sedangkan Ratu Kerajaan Nan Sarunai yang bergelar Dara Gangsa Tulen dan sebagian keluarganya lari menyelamatkan diri menuju pedalaman dibantu dua orang Punggawanya.

Akibat serangan Kerajaan Majapahit tersebut, maka Kerajaan Nan Sarunai yang dipimpin oleh Raden Anyan yang menyandang gelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas disebut-sebut sebagai raja terakhir Nan Sarunai saat itu telah dihancurkan dan ditaklukan  Maka suku  Dayak Maanyan  tersebut  terdesak dan terpencar atau tercerai berai atau lari ke pedalaman. Sebagian mereka masuk ke pedalaman hulu sungai.

Ada tiga ekspedisi militer dilakoni Kerajaan Majapahit dalam misi menaklukkan Kerajaan Nansarunai.  Hingga, penetrasi atau penyerangan III terjadi pada 1350-1389, di masa Raja IV Majapahit bernama Sri Hayam Wuruk atau Rajasanagara yang berkuasa pada 1350-1389, dengan Maha Patih Gajah Mada (yang wafat pada 1362), terbilang sukses.

Atas perintah Hayam Wuruk, pasukan Majapahit pimpinan Empu Jatmika menyerang Nan Sarunai hingga takluk.  Kemudian, Empu Jatmika membangun kerajaan baru bernama Negara Dipa yang bernaung di bawah kekuasaan Majapahit dan menganut agama Hindu. 


4. Dua orang Punggawa Penyelamat Ratu Dayak Nansaruni

Menurut Ahmad atau Amat yang saya wawancarai, ia asal dayak Bayumbung yang sudah muslim ceritera dari datuk-neneknya bahwa "Saat penyerangan tentara Maja Pahit yang ke-3 ke Kalimantan Selatan tahun 1389M Dara Gangsa Tolen Ratu Raja Dayak Nansarunai juga ikut lari/mengungsi bersama sebagian rakyatnya menyelamatkan diri ke daerah pedalaman dibantu Pengawal setianya (yakni adik kandungnya sendiri) yang bernama Raksajiwa, hingga perjalanan mereka tiba di Paramasan dan bersembunyi di sana. Beliau telah wafat dan bermakam di Pramasan Atas Kecamatan Paramasan dan makamnya masih ada malah diberi lelangit kain kuning oleh Masyarakat Dayak disana".

Menurut Asmaji Kades Paramasan Bawah yang saya wawancarai saat pernikahan sepupunya an. Yusran di Desa Bamban bahwa "Kuburan Dara Gangsa Tolen Ratu Nansarunai terletak di Desa Paramasan Atas dan Kuburannya itu sudah dibina oleh Pemerintah Kab. Banjar."

Menurut Ahmad dan Ceritra datu nenek kami bahwa “Amandit dan saudara sepupunya Kantawan adalah nama dua orang Punggawa Kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang ditugaskan menyelamatkan Dara Gangsa Tolen Ratu Nansarunai dan keluarganya dari kejaran-kejaran tentara Majapahit. Punggawa Amandit membawa mereka lewat tanah kelahirannya hingga perjalanan sampai ke- Desa Peramasan Atas Kab. Banjar. Nah di Desa inilah terdapat sebuah nama bukit /gunung Panginangan Ratu dan makam Ratunya ada disana.”



5.Berdirinya Balai Adat Balai Ulin Lumpangi

Satu setengah abad atau 150 tahun kemudian setelah kekalahan Kerajaan Nansarunai dari suku Dayak Maanyan dari serangan Majapahit, di akhir abad ke-14 sebagian rakyatnya menyingkir dan menyelamatkan diri masuk ke pedalaman-pedalaman hingga akhirnya sebahagian Generasi ke-4 dan ke-5 mereka ada yang sampai berhijerah ke desa Lumpangi. Loksado. 

Nah di Desa Lumpangi inilah sekitar tahun 1552 Masihi atau pertenghan abad ke-16 pernah berdiri sebuah  Balai Adat Dayak yang perabut bangunannya dari kayu Ulin. Kayu Ulin tersebut ditebang dan diolah (ditarah) dengan kapak Baliung atau Balayung. Peralatan lainnya seperti  parang.Bungkul, Mandau untuk mengkayau /perang, Sumpit untuk berburu binatang liar dan Katapel. Kayu-kayu tersebut diambil dan dibawa dari Hulu Banyu Loksado dengan  rakit bambu /lanting. Balai  Adat itu dikenal oleh masyarkat desa Lumpangi dengan nama Balai Ulin.

Menurut ceritra datu nenek kami kalau dihitung dari runtuhnya kerajaan Nan Sarunai bahwa diperkirakan generasi ke-8 dan ke-9 pancaran Suku Dayak Maanyan yang hidup menempati Balai Adatnya "Balai Ulin" Lumpangi Loksado diawal abad ke-18 tersebut. Sekitar tahun 1700 Masihi Balai Adat tersebut dipimpin oleh seorang Kepala Suku Dayak atau Tetuha atau Penghulu Adat bernama Langara, ia punya adik kandung bernama Ulang. Dayak Ulang ini punya anak bernama Bumbuyanin dan Bayumbung,  sedangkan Dayak Langara menurut sumber data punya 3 anak pertama bernama Talib dan kedua bernama Anjah dan ketiga bernama Aluh Milah. tidaklah sampai 1 setengah abad Balai Adat Balai Ulin ini berdiri kemudian balai adat ini ditinggalkan  orang Dayak atau bubar

Menurut Habib Bahriansyah bin Bahur Assegaf yang saya wawancarai di kediamannya sekilas ttg Balai Ulin Lumpangi masa dulu bahwa "Tiang-tiang utama Balai adat pada Balai Ulin itu adalah ulin bulat sebatangan  maksudnya tidak olah atau ditarah".


6. Tradisi Dayak membangun rumah/balai adat

Salah satu yang menjadi tradisi adat Dayak dalam membangun rumah/balai adat bahwa "muka rumah/ balai adat selalu menghadap kearah matahari terbit, tak terkecuali Balai Adat "Balai Ulin" itu mukanya juga mengadap kearah matahari terbit, dan balai itu dihuni oleh 7-10 kepala keluarga. Orang Dayak menjunjung tinggi semangat rasa kebersamaan dan mereka memiliki dapur masing-masing. Balai Adat berbentuk panggung dengan ukuran panjangnya diperkirakan 35-50 meter dan lebar 10-12 meter dan tinggi lantai dari permukaan tanah 2 setengah hingga 3 meter dan 7 anak tangga kecil untuk menolak Hantu kepala terbang. Tangga itu hanya dilewati 1 orang lebar kurang lebih 50cm.


7. Agama atau kepercayaan suku Dayak

Adapun agama atau kepercayaan yang mereka anut saat itu adalah "KAHARINGAN" yakni kepercayaan terhadap kekuatan roh-roh nenek moyang mereka, oleh karenanya dikenal dengan Dayak Kaharingan. Kepercayaan yang mereka anut itu dikenal oleh masyarakat Hulu Sungai Selatan dengan sebutan Balian atau Babalian.

Kaharingan adalah agama asli suku Dayak di Pulau Kalimantan. Agama Kaharingan sudah ada sejak lama di Kalimantan bahkan sebelum agama-agama lainnya memasuki Kalimantan. Saat ini Kaharingan menjadi salah satu agama leluhur di Indonesia yang masih bertahan dan masih dianut oleh sebagian suku Dayak, khususnya di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan (Kaharingan)


8.Balai Ulin pernah Simpan Biji Padi Sebesar Kelapa

Diceritakan bahwa dahulu kala Balai Adat Balai Ulin sewaktu dipimpin oleh seorang Kepala Suku Dayak atau Kepala Balai atau Penghulu Adat yang bernama Langara, mereka pernah memiliki dan menyimpan peninggalan benda prasejarah, berupa tiga buah biji banih seukuran kelapa yang dinamakan “Banih kelapa atau Banih Nyiur”.yang diletakan ditengah-tengah Kindai Banih dirungan tengah Balai.yang dijadikan sebagai “Ajimat pipikat sakti”.menurut kepercayaan orang Dayak bahwa Banih Nyiur itulah yang memanggil ruh-ruh kawannya /membawai nyawa kawannya sehingga Kindai Banih tidak pernah kosong atau habis. Dengan ikhtiar Pemiliknya bahuma yang luas dan hasilnya selalu melimpah. Konon masa itu benda-benda banyak yang berukuran jumbo.

Orang-orang dahulu kalau ingin memasak nasi dari banih kelapa itu,  maka banih itu dipipiki satu persatu dari tangkainya dan ditaruh dalam lasung kayu baru ditumbuk dengan Halu hingga lanik dan ditampi dengan nyiru dahulu baru beras itu dimasak.

Dan dari ketiga buah biji padi tersebut atas permintaan Dayak Ulang kepada kakaknya Langara, bahwa ia dan keluarganya saja yang memeliharanya, maka buah biji Banih itu masing-masing dibawa Dayak Pang Ulang satu biji padi ke desa Ulang, dan dibawa Dayak Bumbuyanin (Pang Yanin) ke kampong Pantai Dusin Hulu Banyu satu biji padi dan juga satu biji padi dibawa Dayak Bayumbung (Pang Yumbung) ke kampong Harantan Hilir Banyu saat Balai Adat bubar.  Namun masyarakat sekarang tetap percaya bahwa beras yang kecil saat ini, dahulunya adalah beras besar tersebut. Walaupun sudah tidak ada lagi bukti – fakta sejarah tersebut sampai saat ini, namun masih banyak masyarakat yang mempercayainya Walaupun benda yang tinggal tiga biji tersebut sudah musnah, akibat musibah banjir dan kebakaran balai Adat.


9. Tradisi suku Dayak Langara Lumpangi yang dilestarikan

Salah satu tradisi adat suku Dayak Langara Lumpangi adalah  Aruh Bawanang atau disebut juga  aruh mahanyari banih adalah salah satu ritual adat yang dilaksanakn oleh suku dayak Langara setiap tahunnya pada saat pasca panen raya padi yang merupakan salah acara ucapan rasa syukur kepada Sang Pencipta Alam Semesta.

Aruh Bawanang adalah sebuah ritual adat yang dilaksanakan oleh suku Dayak Meratus setiap tahunnya di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan. Ritual adat ini digelar sebagai ungkapan rasa syukur atas panen yang melimpah, serta permohonan doa agar mereka selalu diberi rejeki, kesehatan dan kesejahteraan.


10. Habib/ syarif yang pertama kali menetap di Lumpangi

Menurut folklor ceritera datu dan nenek kami bahari bahwa pada awal abad ke-18M yang pertama kali datang berkunjung dan menetap di Lumpangi Loksado dari golongan habib/ syarif adalah (keluarga) Aal-ALSAQQAF آل السقاف (dibaca Assegaf/al Seggaf), yaitu Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim. Gelar kehormatannya "Datu Habib Lumpangi". Baliau menikahi puteri Dayak Tetuha atau Penghulu Adat Balai Ulin Lumpangi Loksado an. Milah
“Yang pertama kali digelari al-saqqaf ialah waliyullah al-Muqaddam al-Tsani al-Imam Abdurahman bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam (Afandi 2008).”


11. Habib Abu Bakar kena hukuman adat

Menurut penuturan Amat atau Ahmad (ia seorang Dayak asal Bayumbung yang sudah Muslim) yang saya wawancarai bahwa "Acara ritual sakral aruh Bawanang atau aruh Ganal Balai Adat adalah dilaksanakan selama 3 hari 3 malam dan Masa Pamali 3 hari 3 malam, nah dimasa Pamali inilah bila seseorang Dagang belum pernah datang berkunjung diacara 3 hari pertama, kemudian ia datang sengaja ataupun tanpa sengaja masuk ke Balai Adat di Masa Pamali, maka Dia akan mendapat Hukuman Adat dan membayar denda"

Kedatangan  Sayyid Abu Bakar bin Hasan Assegaf kali yang kedua kepedalaman Hulu Sungai pada masa Pamali atau Masa Tenang. Ia seorang diri sudah berada diempiran Balai Adat. Disambut oleh Aluh Milah, padahal saat itu acara sacral atau acara inti Aruh Ganal atau Aruh Bawanang sudah selesai dilaksanakan 3 hari 3 malam, kemudian disusul Masa Pamali atau Masa Tenang selama 3 hari 3 malam. Nah di Masa Pamali inilah tidak diperkenankan masyarakat umum atau orang Dagang hadir atau datang ke Balai Adat. Maka keberadaan Sayyid Abu Bakar kala itu datang pada Masa Pamali, oleh karenanya ia mendapat hukuman adat Dayak yakni ia ditahan selama 10 hari 10 malam tidak boleh keluar dari Balai Adat dan dikenakan membayar denda.

Sang puteri Milah terpesona melihat sang peria ganteng idaman hatinya benar-benar hadir didepan matanya kala itu, sehingga ia, tak bosan-bosan memandangnya. Syair lagu menyebutkan : Pesonamu wahai sang kumbang menyilaukan mata hatiku, Pesonamu menggambirakan hati  Pesonamu menyejukkan hati bagi setiap orang yang memandangmu, hanrum wangi baumu, membangkitkan gairah hidupku, tak bosan mataku, tak bosan sungguh, mataku tak akan bosan, untuk memandangmu wahai peria idamanku, rasanya mataku ini enggan sekali berkedip disaat sedang memandangmu, ingin rasanya aku menyuntingmu hidup berdua denganmu, hidup berdua denganmu, akan kujadikan dirimu raja dalam istanaku,tak bosan mataku, tak bosan sungguh, mataku tak akan bosan.

Kedatangan Sayyid Abu Bakar di Desa Lumpangi  pada tahun 1705 Masihi.Ketika Beliau datang ke Desa Lumpangi, menurut salah satu sumber informasi bahwa usia Beliau sekitar 43-45 tahunan kala itu, tetapi pisik dan muka Beliau kelihatan muda seperti usia 25-30 tahun. 


12. Tradisi/adat Dayak memuliakan Tamu

Salah satu tradisi/adat Dayak ketika itu, bagi kaum laki-laki lajang yang nginap diperbolehkan tidur satu kamar (satu kalambu) dengan wanita lajang puteri dari Tetuha Adat. Bila tidak punya anak gadis maka isterinya yang menemani tidur tamunya sebagai bentuk penghormatan terhadap tamu atau sahabat, tak terkecuali dengan Habib, beliau tidur ditemani oleh Aluh Milah sepanjang malam, tetapi pagar ayu puteri Milah tetap terjaga dengan baik. Habib tidak mau mengganggu dan apalagi mempermainkan puteri Milah.

Adat Dayak adalah sangat meghormati dan memulikan tamu, Puteri Milah adalah seorang gadis Dayak yang lemah lembut, ia seorang gadis ramah dan homoris dan sulit untuk dilupakan.

Hal semacam ini dikuatkan oleh ceritera teman saya, dia seorang Serjana dibidang agama Islam. Dia berceritera kepada saya bahwa tamu laki-laki lajang yang nginap di rumah suku Dayak, ia diperbolehkan tidur satu kamar atau satu kelambu dengan wanita lajang anak Dayak sebagai bentuk penghormatan tuan rumah. Tradisi atau Adat Dayak tersebut masih berlaku hingga sekarang tahun 2020 disebagian suku Dayak Kalimantan.

Temannya berceritera bahwa ketika ia berada dipedalaman pulau Kalimantan tahun 2020, bekerja sebagai penebang pohon kayu jenis Meranti dan Ulin. Ia mulai bersahabat baik dan akrab dengan suku Dayak penduduk asli. Sahabatnya mengajaknya menginaf dirumahnya. Di rumah sahabatnya ini ia menginaf, makan, minum dan cuci pakaian. Ketika malam hari ia ingin tidur di salah satu ruangan, ia disuruh sahabat barunya tidur satu kelambu dengan anak perempuannya yang gadis lajang. Kemudian iapun tidur dengannya tetapi ia tidak berani mencumbu rayu, dan juga ia tidak mau merusak pagar ayu dan menggagahi anak perempuan sahabatnya.

Keberadaan pakaian suku dayak yang mereka pakai berupa dedaunan dan kulipak pohon kayu yang menutupi  tubuh dan kemaluan mereka. Kemudian setelah Habib yang bermarga Assegaf datang membawa syari’at Islam, melalui jalur perdagangan dan perkawinan (jualan kain dan perhiasan wanita) secara barter, lalu Habib membaur dengan masyarakat suku  Dayak Langara, di Balai Adat Balai Ulin pada waktu itu.


13. Asal usul keluarga Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf 

Abad ke-18 dihitung dari tahun 1701 - 1800 Masihi. Namanya Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim bin Muhammad bin Umar as-Shufy bin Abdurrahman bin Muhammad bin Aly bin Sayyid Abdurrahman Assegaf bergelar “Al Faqqih al Muqaddam al Tsani.

Abu Bakar adalah nama yang diberikan kedua orang tuanya, tempat ia lahir diperkirakan tahun 1068H/1658M  di Seiyun Hadramaut, Yaman, Yordania. Setelah dewasa ia menikah dengan perempuan shalehah dan punya anak an. Shaleh. Kemudian Abu Bakar ikut berpetualang berdagang dan mencari rempah-rempah bersama ayahnya Sayyid Hasan ke Negeri Asia hingga Asia Tenggara melalui Singapore ke Pelembang terus ke Demak Jawa Tengah di masa Kesultanan Demak diakhir abad ke-17 tahun 1690M. Ia adalah dzuriat Nabi Saw yang ke-30, yang hidup di dua abat ke17-18M.Setelah lama singgah di Semarang, di kota inilah kakeknya Habib Hasyim wafat tepatnya Kelurahan Randusari, Kec. Semarang Selatan, kota Semarang Jawa Tengah. Sayyid Abu Bakar pasih berbahasa Melayu dan Jawa. Kemudian ia menyebarang ke Kesultanan Banjar. Kedatangannya ke Kesultanan Banjar hampir bersamaan Sayyid Abdullah bin Abu Bakar al-Aydrus dan isterinya Siti Aminah orang tua Datu Kelampaiyan.

Menurut  folklor  tutuha kami dan masyarakat sekitarnya sebelumnya bahwa keberadaan Balai Adat Dayak, mereka.yang belum  mendapat hidayah Islam, yang berada dikaki-kaki Pegunungan Meratus itu, adalah sebahagian turunan dan dzuriat  dari Balai Adat Dayak  Balai Ulin Lumpangi, dengan nama sukunya  “Dayak Langgara” pecahan dari suku Dayak Maanyan. Mereka lah yang awal mendiami di tepi sungai Kali Amandit desa Lumpangi,. Kalau kita lihat dan kita amati bahwa sampai sekarang pun keberadaan Balai Adat yang ada dikaki kaki Pegunungan Meratus itu dikenal dengan nama sukunya “Dayak Maratus”, bahwa sebuah Balai Adat dibangun terdiri dari beberapa kamar, sebuah kamar dihuni oleh 1 keluarga dan ditengah-tengahnya dijadikan tempat untuk berunding, musyawarah, acara perkawinan, aruh ganal (batandik), aruh bawanang dan menyambut acara kelahiran anak, mamulai manugal banih dan panen raya, begitu juga keadaan suku Dayak Langara di Balai Ulin Lumpangi tempu  dahulu dan sekitarnya sebelum datangnya Islam.


14. Puteri Milah (Siti Jamilah) jatuh sakit

Menurut versi lain diceriterakan bahwa saat berakhir masa tahanan Sayyid Abu Bakar 10 hari dan 10 malam,mungkin kurang tidur dan sangat lelahnya Diang Milah jatuh sakit secara tiba-tiba, ia tak sadarkan diri/pingsan dalam waktu cukup lama, Diang belum bisa sadar walaupun Tetuha Adat (Penghulu Adat) berusaha keras melakukan BALIAN Basambui untuk menyembuhkan Puterinya diobati secara kebatinan, walaupun ia seorang tokoh adat yang mempunyai  kemampuan mempuni mengobati orang yang sakit, namun dikala itu tidak membawa hasil apa-apa dan membuatnya putus asa. Tak terkecuali Sayyid Abu Bakar bin Hasan Assegaf, seorang tahanan mereka, yang baru datang beberapa hari kewilayah itu. Ia mencoba menawarkan diri kepada mereka untuk mengobatinya sang Puteri. Akhirnya dengan perasaan was-was terlihat pada wajah mereka, namun mereka dengan berat hati mempersilahkannya hingga Puteri sadar dari pingsannya dan sembuh dari sakitnya.

Berkata sebagian orang tua Dayak Lumpangi bahari bahwa “Habib dianggap bersalah sebab merusak jiwa (merusak pikiran) Puteri Milah hingga Puteri jatuh hati yang dalam kepadanya dan jatuh sakit, oleh karenanya Habib harus mengawini Puteri anak Tetuha Balai.”

Peristiwa pengobatan Puteri tersebut  tertuang dalam Artikel "Habib Abu Bakr Assegaf Cerita para wali dan datu' yang diposting Jum'at, 01 Maret 2013M yang saya kutip menyatakan bahwa "Di kampung Lumpangi kala itu masih berupa kehidupan Balai, yaitu "Balai Ulin; dan di sana terdapat tokoh yang disebut penghulu Balai yang terkenal dengan kemampuannya mengobati orang sakit. Ternyata, kemampuan medis habib yang baru datang ke wilayah itu lebih tinggi darinya, sehingga warga Balai sangat terkesima dan akhirnya mau menerima Islam. Bahkan, disebutkan bahwa di antara tokoh habib itu ada yang menikahi puteri penghulu Balai Ulin."

Habib datang di tahun 1117H/ 1705 Masihi ia ditahan beberapa hari di Balai Adat, setelah Habib bebas dari hukuman Adat Dayak, ia mempersunting puteri, ia melamar dan ia mengawini seorang puteri yang anggun dan cantik parasnya anak Tetuha Adat Dayak Langara an.Milah, Nama Putri Tetuha Adat dimaksud yang dzuriat sesudahnya menyebutnya : aluh Jamilah atau Siti Jamilah.

Bekata Tanqir Ghawa kepada anak cucunya bahwa kakeknya ibrahim baucap “Syukur alhamdu lillaah banar kita ine cucuai, jaka kada datang habib membawa Islam dan datung kita ada yang balaki lawan habib lalu ia maislamakan datu nine bubuhan  kita Dayak lumpamgi, jaka kada baislam maka kita rugi banar, kita akan dimasukakan ke dalam Naraka, nauudzu billaahi mindzaalik” Menurut Beliau bahwa “Ucapan yang seperti ine telah diucapan pula oleh datu ninenya bahari sebelumnya."

Berkata sebagian orang tua Ds. Taniran Kubah bahwa “Habib Abu Bakar tapabini (kawin-menikah) dengan perempuan Dayak Lumpangi dan baanak (berketurunan).  saat Beliau berdagang dan berdakhwah di sana. 

Hal senada yang disebutkan lebih awal oleh Artikel "Islam Loksado dan Sayyid Abu Bakr bin Hasan Assegaf" yang diposting 20 Februari 2011 menyebutkan  ”Di kampung Lumpangi kala itu masih berupa kehidupan Balai, yaitu Balai Ulin; dan di sana terdapat tokoh yang disebut penghulu Balai yang terkenal dengan kemampuannya mengobati orang sakit. Ternyata, kemampuan medis habib yang baru datang ke wilayah itu lebih tinggi darinya, sehingga warga Balai sangat terkesima dan akhirnya mau menerima Islam. Bahkan, disebutkan bahwa di antara tokoh habib itu ada yang menikahi puteri penghulu Balai Ulin (Harisuddin 2011).

Begitu juga hal senada yang telah dikutip oleh Saadilah Mursyid dalam artikelnya yang diberi judul "Sejarah Singkat Habib Lumpangi-Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim bin Muhammad Assegaf" dalam pembahasan Pemikiran dan Kiprah Habib Abu Bakar Assegaf yang saya kutip menyatakan bahwa "Di kampung Lumpangi kala itu masih berupa kehidupan Balai, yaitu Balai Ulin; dan di sana terdapat tokoh yang disebut penghulu Balai yang terkenal dengan kemampuannya mengobati orang sakit. Ternyata, kemampuan medis habib yang baru datang ke wilayah itu lebih tinggi darinya, sehingga warga Balai sangat terkesima dan akhirnya mau menerima Islam. Bahkan, disebutkan bahwa di antara tokoh habib itu ada yang menikahi puteri penghulu Balai Ulin" (Mursyid 2017).

Menurut keterangan Abah Ajid asal Malinau umur 58 tahun yang saya wawancarai bahwa "Habib dianggap bersalah karena merusak jiwa Puteri Milah yakni Puteri jatuh hati yang dalam kepadanya. Habib belum bisa membayar denda berupa parang bungkul puting sebanyak dua bilah yang dianggaf  susah dan sulit saat itu untuk mendapatkanya".

Habib tidak bisa membayar denda yang dianggaf  susah dan sulit saat itu untuk mendapatkanya berupa parang bungkul puting (yaitu parang yang belum punya Hulu dan Kumpangnya) sebanyak dua bilah. Maka sebagai jalan terakhir, ia disuruh memilih dari dua pilihan hukuman : Bayar Denda atau  mengawini Puteri Milah.


15. Mediasi Habib dan Basa basi penyerahan Aluh Milah anak Tetuha Adat

Terjadilah  mediasi yakni proses perundingan   tawar menawar antara Habiib Abu Bakar  dengan  Langara sebagai Tetuha Adat. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan.

Ujar Penghulu Adat, Nah..... sekarang Aluh Milah ini, sudah sembuh kembali dari sakitnya, inya aku serahkan lawan ikam (kepadamu), inya cinta banar lawan ikam, inya sayang banar lawan ikam nakkay. kawini inya dan bawa ke rumah ikam agar abah dan mama ikam tahu dan jangan ikam kecewakan inya. Inya ini menjadi milik ikam. Agar abah disini merasa nyaman melihat ikam badua, dan abah marasa tanang dan nyaman mendengar ikam badua.

Ujar abu bakar Kada kaya itu caranya bahay, dikira orang ulun ini nanti membawa lari anak sampian secara sembunyi-sembunyi, bila ulun kawin di Taniran diwadah abah ulun. ulun kada handak nang kaya itu.

Ulun ini handak menikahinya secara agama islam, maka ada lamaran ulun dengan Milah, inya menerima garang atau kada menerima lamaran ulun, namaun inya menerima lamaran ulun maka ada wali nikahnya harus beragama Islam, jadi sampianlah wali nikah aluh Milah ini dan nikah itu dihadiri dan disaksikan  2 orang saksi yang muslim maka Talib dan Anjah sebagai saksinya, ada mahar dan ada ijab dan qabul dari rangkaian peristiwa itu terjadilah perkawinan ulun dengan Milah. Akhirnya tanpa pikir panjang terjadilah kesepakatan bersama, mereka menerima hidayah islam

Catin wanita : “Karena begitu dalam cintanya dengan Habib Abu Bakar, padahal baru saja Sembilan hari sembilan malam ia mengenalnya, tetapi terasa sudah lama mencintainya. Ia bersedia tanpa ragu melepaskan agama yang dianaut nenek moyangnya.

Wali Catin wanita an. Datu Langara “Karena begitu sayang dengan Siti Jamilah anaknya, ia menerima Islam dengan suka rela untuk membahagiakan anak yang sangat dicintainya.”

Saksi-saksi nikah : “Begitu pula dengan kedua saudara laki-lakinya an.Abu Thalib dan Hamzah, sayang dan kasih dengan adik perempuannya. Keduanya rela melepaskan agama yang sedang dianutnya. Berkorban untuk kebahagian adiknya yang kedua bertindak sebagai saksi pernikahan adiknya saat itu.”

Mahar perkawinan : “Sebingkai cincin emas yang telah dipakaikan/dikenakan pada jari manis catin wanita kala  itu.”

Ijab nikah : “Dilakukan oleh walinya sendiri dan diterimakan oleh Habib Abu Bakar As-Segaf, yang sebelumnya didahului pembacaan khotbah nikah oleh Habib saat itu.”Resmilah Siti Jamilah dengan Habib Abu Bakar sebagai suami isteri dimalam Jum’at itu, seisi Balai bergembira, diiringi canda dan tawa menyambut kehadiran keluarga baru dan menyambut kehadiran dangsanak baru. Setelah  Tetuha Adat Suku Dayak dan kedua anak laki-lakinya menjadi seorang muslim maka secara pelan-pelan namun pasti diikuti oleh keluarganya yang lain hingga akhirnya seisi Balai Ulin  dan sekitarnya menjadi muslim.


16. Habib mempersunting dan mengawini Puteri Milah

Habib dianggap bersalah merusak jiwa Puteri Milah yakni Puteri jatuh hati yang dalam kepada Habib. Ia memilih  mengawini Puteri Tetuha Adat sebagai ganti Hukuman Denda karena Habib tidak mampu membayar Denda saat berakhir masa tahanan. Perkawinan itu pun terjadi dengan punya syarat-syarat tersendiri yang harus dipenuhi oleh Habib masa kini dan akan datang.

Perkawinan inilah yang sangat merekatkan hubungan suku  Dayak Langara dengan Habib. Adanya ikatan perkawinan tersebut Islam berkembang dengan cepat. Akhirnya mereka karena merasa berkelurga dengan Habib, merasa badangsanak dengan Habib, mereka tertarik dengan Islam dan menerima Islam dengan sukacita dan juga hasil perkawinan itu membuahkan keturunan/ anak an. "Muhammad". Namun versi lain menyebutkan bahwa anak itu bernama : "Muhammad Djamiluddin" dan dzuriatnya yang bersambung dan nasabnya tercatat dengan baik sampai saat ini.


17. Mendirikan tempat ibadah sedarhana berupa  langgar

Setelah perkawinannya dengan puteri anak Tetuha Adat, maka Habib Abu Bakar bersama penduduk kampung mendirikan sebuah tempat ibadah yang sedarhana berupa  langgar di dibelakang  Rumah  Adat, tempat ibadah itu dipungsikan untuk tempat mengajar dan belajar Islam bagi  keluarga isterinya dan para muallaf yang baru menerima hidayah Islam maupun yang belum menerima Islam. Ditempat  inilah mereka mempelajari Islam siang dan malam. Habib mengajarkan Islam kepada mereka tentang Tauhid dan Tasawuf dan lainnya siang dan malam kepada keluarga isterinya dan masyarakat sekitarnya hingga mereka paham betul tentang Islam. 

Menurut Artikel Sejarah Habib Lumpangi || Pembawa Islam Pertama di Pegunungan Meratus Loksado Hulu Sungai Selatan yang saya kutip menyebutkan bahwa “Sayyid Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf dalam berdakwah tidak sama sekali menggunkan cara kekerasan. Beliau berdakwah dengan cara lemah lembut dan santun yang mana mencerminkan akhlak Rasulullah saw. Menjadikan Islam mudah diterima oleh masyarakat pegunungan Meratus. Kampung Lumpangi pun berkembang pesat, dan setelah berhasil beradaptasi dengan masyarakat sekitar, beliau memulai berdakwah secara lisan di kalangan warga mengenai akhlak dan amaliyah serta ajaran lainnya. Setelah diterima dengan baik oleh warga Lumpangi, mereka pun bersemangat untuk mempelajari agama Islam."


18. Metode dakwah “Bakisah dan Homor dalam Dakwah”

Adapun Dakwahnya secara lisan, selama dalam tahanan di Balai Adat beliau mulai "Bakisah" (berceritera) dalam Bahasa Banjar dibumbui sedikit homor dan berakting ucapan dalam dakwahnya ttg Peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di Timur Tengah. misalnya Bakisah ttg Cinta Rabi'atul Adawiah dengan Hasan al Basri, dan lain-lainnya. Orang-orang penghuni Balai mulai datang, mendekat, duduk menghadap Habib dan mereka mulai senang dan terhibur mendengarkan dengan kisah-kisah dan sedikit homoris dari  Habib hingga larut malam.

Setiap malam jama'ah Pendengar bakisah disertai homor dalam dakwah selalu bertambah, hingga akhirnya ruangan Balai tidak dapat menampung Jama'ah Pendengarnya. Metode dakwak Bakisah yang dibumbui Akting dan Homor dalam Dakwah, Inilah yang menjadi Adalan Dakwah Habib yang dulunya sangat diminati dan disukai tua dan muda oleh masyarakat Hulu Sungai Selatan. Siang dan Malam silih berganti hukuman adat dayak telah berlalu dijalani Habib tanpa dirasakan adanya hukuman hingga hari batas hukumannya  berakhir .

Berdakwah seperti yang dilakukan  Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf ini diteruskan oleh para Da'i tahun 1960 an hingga tahun 2000 an seperti Pendakwak yang kita kenal yang sangat masyhur dan menghibur sekali dengan kata-kata mutiara dan kata-kata filusufi mereka yang mempuni antara lain Bapak Artum Ali (Muhammad Ramli bin Anang Ketutut w.24-07-1982M) Tabudarat, Ibu Mustika Murni (Ds.Mandampa), Bapak Jaib Ds. Bamban, Bapak H.Udin Arjuna Ds.Andang, Bapak Masrawan , Bapak Bahran Jamil, Bapak Hamdani Akbar, Bapak M.Jailani (Mistar Gam) Barabai, Nasrulah Barabai dan pendakwah lainnya. Tetapi sangat disayangkan Berakwah seperti yang dilakukan  Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf ini sekarang mulai ditinggalkan orang.


19. Tradisi Suku Dayak Pegunngan Meratus

Dilansir dari berbagai sumber, bahwa suku Dayak memiliki berbagai tradisi unik, tetapi tradisi ini ditinggalkan oleh Dayak Maratus dan dibatalkan dimasa keberadaan Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf dan anak cucunya kecuaali tradisi Tarian Gantar (batandik),. Beberapa tradisi yang ditinggalkan di antaranya meliputi:

1. Tradisi memuliakan Tamu Nginap

Salah satu tradisi/adat Dayak ketika itu, bagi Tamu Nginap untuk kaum laki-laki lajang diperbolehkan tidur satu kamar/ satu kelambu dengan wanita lajang puteri dari Tetuha Adat. Bila tidak punya anak gadis maka isterinya yang menemani tidur tamunya. (kalua tamunya sudah beristeri maka ia tidur satu kamar dengan isteri sahabatnya) sebagai bentuk penghormatan terhadap tamu atau sahabat, tak terkecuali dengan Habib, beliau tidur ditemani oleh Aluh Milah sepanjang malam, tetapi pagar ayu puteri Milah tetap terjaga dengan baik. Habib tidak mau mengganggu dan apalagi mempermainkan puteri Milah.

  1. 2.       Tradisi Kuping Panjang

Telingaan Aruu adalah tradisi adat Suku Dayak dengan cara memanjangan telinga. Untuk memanjangkan daun telinga, mereka menggunakan anting-anting berbentuk gelang yang terbuat dari tembaga. Anting-anting berukuran besar tersebut dalam bahasa kenyah disebut belaong.

Di Kalimantan Timur, perempuan Dayak memiliki tradisi unik memanjangkan telinga mereka. Keyakinan di balik tradisi ini adalah bahwa telinga yang panjang membuat perempuan terlihat semakin cantik. Selain untuk aspek kecantikan, memanjangkan telinga juga memiliki nilai simbolis dalam menunjukkan status kebangsawanan dan melatih kesabaran.

Proses memanjangkan telinga melibatkan penggunaan logam sebagai pemberat yang ditempatkan di bawah telinga atau digunakan untuk anting-anting. Perempuan Dayak diperbolehkan memanjangkan telinga hingga dada, sementara laki-laki bisa memanjangkan telinga hingga bawah dagu.

  1. 3.       Tradisi Tato

Tato atau rajah adalah simbol kekuatan, hubungan dengan Tuhan, dan perjalanan kehidupan bagi suku Dayak. Tradisi tato ini masih dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan Dayak.

Proses pembuatan tato terkenal karena masih menggunakan peralatan sederhana, di mana orang yang akan ditato akan menggigit kain sebagai pereda sakit, dan tubuhnya akan dipahat menggunakan alat tradisional.

Setiap gambar tato memiliki makna khusus, misalnya tato bunga terong menandakan kedewasaan bagi laki-laki, sementara perempuan mendapatkan tato Tedak Kassa di kaki untuk menandakan kedewasaan mereka.

Dalam konteks sejarah, dikatakan bahwa suku Dayak Iban menggunakan tato ini selama peperangan untuk membedakan antara teman dan musuh.

  1. 4.       Tradisi Tiwah

Kwangkey atau Kuangkay ialah upacara kematian yang dilakukan Suku Dyaka Benuaq yang tingga di pedalaman Kalimantan Timur. Tradisi ini berasal dari kata ke dan angkey, artinya adalah melakukan atau melaksanakan dan bangkai.

Menurut istilah bahasa daerah setempat, Kwangkey mempunyai makna buang bangkai. Maknaya yang ingin disampaikan adalah melepaskan diri dari kedukaan dan mengakhiri masa berkabung

Tiwah adalah upacara pemakaman masyarakat Dayak Ngaju yang melibatkan pembakaran tulang belulang kerabat yang telah meninggal.

Tradisi ini dilakukan sesuai dengan kepercayaan Kaharingan dan dipercaya membantu arwah orang yang meninggal untuk menuju dunia akhirat atau disebut juga dengan nama Lewu Tatau. Selama pelaksanaan Tiwah, keluarga yang ditinggalkan akan menari dan bernyanyi sambil mengelilingi jenazah.

Proses pembakaran tulang belulang jenazah dilakukan secara simbolis, sehingga tidak semua tulang jenazah ikut dibakar dalam upacara Tiwah.

Tradisi suku Dayak ke-4 ialah Tiwah yang upacara pemakaman yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Ngaju. Dalam upacara ini,  mereka akan membakar tulang belulang dari kerabat yang telah meninggal dunia. Menurut kepercayaan Kaharingan, tradisi Dayah Tiwah, dipercaya mampu mengantarkan arwah dari orang yang telah meninggal agar mudah menuju dunia akhirat atau disebut pula dengan nama Lewu Tatau. Ketika melaksanakan tradisi Tiwah, biasanya keluarga yang ditinggalkan akan menari dan bernyanyi sambil mengelilingi jenazah. Proses pembakaran tulang belulang jenazah hanya dilakukan secara simbolis sehingga tidak semua tulang jenazah akan ikut dibakar dalam upacara Tiwah


  1. 5.       Tradisi Ngayau

Tradisi berburu kepala ini, yang pernah ada tetapi sekarang sudah dihentikan, melibatkan pemburuan kepala musuh oleh beberapa rumpun Dayak, seperti Ngaju, Iban, dan Kenyah.

Tradisi ini penuh dendam turun-temurun sebab anak akan memburu keluarga pembunuh ayah mereka dan membawa kepala musuh ke rumah. Ngayau juga menjadi syarat agar pemuda Dayak bisa menikahi gadis yang mereka pilih.

Pemuda Dayak diwajibkan untuk berpartisipasi dalam tradisi berburu kepala sebagai cara untuk membuktikan kemampuannya dalam memuliakan keluarganya dan meraih gelar Bujang Berani.

Larangan terhadap tradisi ini dihasilkan dari musyawarah Tumbang Anoi pada tahun 1874, yang bertujuan menghindari perselisihan di antara suku Dayak.

Ke-5 tradisi tersebut sudah ditinggalkan oleh Dayak Maratus dan dibatalkan dimasa keberadaan Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf dan anak cucunya kecuaali tradisi Tarian Gantar

6. Manajah antang

Tradisi dari suku Dayak selanjutnya ialah manajah antang, tradisi ini merupakan suatu ritual untuk mencari dan memastikan di mana musuh/seteru/lawan berada ketika berperang. Menurut cerita masyarakat Dayak, ritual manajah antang merupakan ritual pemanggilan roh para leluhur dengan burung Antang, di mana burung tersebut dipercaya dan diyakini mampu memberitahukan lokasi musuh/lawan. Selain dipakai ketika berperang, tradisi manajah antang pun dipakai untuk mencari petunjuk-petunjuk lainnya.

 

7. Mantat Tu’Mate

Seperti halnya Tiwah, tradisi mantat tu’mate merupakan tradisi untuk mengantarkan orang yang baru saja meninggal dunia. Namun mantat tu’mate berbeda dengan Tiwah. Sebab, mantat tu’mate dilakukan selama tujuh hari dengan konten acara iring-iringan musik serta tari tradisional. Setelah upacara selama tujuh hari selesai, barulah jenazah kemudian akan dimakamkan

Ket. Referinsi No. 6-7 Artikel Tradisi Suku Dayak & Asal-Usul Suku Dayak

https://www.gramedia.com/best-seller/tradisi-suku-dayak/


  1. 8.       Tari Gantar

Tari Gantar adalah salah satu tarian khas Suku Dyak. Tarian ini adalah tari pergaulan muda-mudi Suku Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung di Kabupaten Kutai Barat.

Tarian Gantar mengekspresika kegembiraan serta keramahan dalam menyambut tamu, baik wisatawan atau tamu kehormatan. Tari ini juga berfungis untuk menyambut pahlawan dari medan perang. Ada tiga jenis tarian Gantar, yakni Gantar Rayat, Gantar Busai, dan Gantar Senak dan Kusa


Sudah menjadi tradisi ummat Islam Hulu Sungai bahwa Makam Kaum Muslimin selalu berdekatan dengan tempat ibadah tak terkecuali Makam Habaib kampung Balai Ulin Lumpangi.

Pembersihan lokasi makam Habib Abu Bakar dan Datung Milah


20. Takut  kehilangan kesaktian-kesaktian yang mereka miliki

Kemudian setelah mereka paham tentang Islam mereka disuruh memilih satu diantara dua Muslim atau Non Muslim? Bukankah Islam tidak memaksakan seseorang untuk mengikutinya? Namun kala itu ada sebagian kecil keluarga Tetuha Adat di Balai Ulin yang belum menerima Islam, yaitu Ulang adiknya dan sebagian keluarganya yang lain an. Bayumbung karena mereka takut  kehilangan kesaktian-kesaktian yang mereka miliki turun temurun. Diantara kesaktian yang mereka miliki adalah “Dapat mengobati orang sakit, Parang Maya, Balah Saribu, Pulasit dan cara Mengobatinya, Pambaci pada Seseorang atau Pambaci Dagangan, Panglaris Dagangan, Sangga, Panglit, Minyak Bintang, Minyak Kuyang, Minyak Buluh Parindu, Minyak Karuang Bulik, Minyak Jalawat Cancang, Minyak Bankui Gila, baisian Rantai Babi, Minyak Landuk-landuk dan Minyak Paluncur Baranak.”

Sebagai bukti sisa dari pengajaran Habib masih ada yang mereka ajarkan kepada regenarasinya adalah : “Pernah datang kepada saya salah satu Orang Dayak, ia mengajarkan cara membuka dagangan agar laris, kemudian dia berpantun, dan pantun itu diakhiri bacaan berkat laailaaha illallaah Muhammadar Rasulullaah. Kata beliau bacaan itu berasal dari nenek moyang mereka dulu.


21. Suka rela keluarga non Muslim menjauhi Habib

Sebagaimana dikatakan bahwa mereka sangat takut kehilangan kesaktian-kesaktian yang mereka miliki turun temurun, pada akhirnya dengan suka rela keluarga ini mulai menjauhi Habib. Pada mulanya mereka membuka lahan pertanian/bahuma di Tamiang Malah Muara Hatip kemudian pindah ke Pantai Dusin Hulu Banyu, sebagian membuka lahan pertanian/bahuma ke Hilir Banyu yakni desa Harantan hingga ke kampung Bayumbung. Nah dari Balai Adat Bayumbung ada yang ke Mariuh/ Malinau, sebagian membuka lahan pertanian/bahuma dari Mariuh ke Batung dan sekitarnya. Kemudian lahan pertanian/bahuma itu setelah penen, anak isteri mereka satu persatu dijemput, tetapi hubungan kekeluargaan tetap terjaga dengan baik.

    Menurut beberapa sumber data bahwa pecahan suku Dayak langara yang meninggalkan Balai Adat Balai Ulin Lumpangi itu hanya dua kelompok kecil   ;

  1. Kelompok pertama an. Ulang dan anaknya Bumbuyanin mereka membuka lahan pertanian atau bahuma pertama menuju ke Tamiang Malah   Muara Hatip, dan mereka agak lama tinggal disini. Kemudian mereka berpindah terus menuju Hulu Banyu Loksado, yakni Pantai Dusin. Setelah lahan ladang panen, anak dan isteri mereka, mereka jemput satu persatu.
  2. Kelompok kedua Anak kemenekan Langara an. Bayumbung bin Ulang dan keluarganya mereka membuka lahan pertanian atau bahuma menuju ke Hilir Banyu yakni Harantan(nama  desa dulu) sekarang desa Panggung. Disini cukup lama mereka tinggal, namun di Harantan ini anak cucu Datu Bayumbung ini banyak yang mendapat hidayah Islam, maka Dayak non Muslim mereka pindah kehilir lagi dekat desa Halunuk, setelah lahan ladang panen, anak dan isteri mereka, mereka jemput satu persatu. Kemudian nama     Tetuha atau Penghulu Adat Bayumbung dijadikan oleh regenarasinya sebagai penghormatan terhadap leluhurnya yaitu nama  balai adat maka disebutlah Balai Adat Bayumbung desa Halunuk.

Buktinya bila mereka Baaruhan, sebagai bentuk mohon do’a dari keluarga dan rasa syukur, mereka selalu mengundang Keluarga atau Dangsanak-dangsanak yang ada di Desa Lumpangi. Mereka sudah menyiapkan panci dan piring dan cangkir yang baru dan juga menyewa juru masak dari orang muslim. Tujuannya untuk menghormati para saudara/dangsanak mereka yang Muslim.


22. Penyebab mereka bubar  /pindah dari Balai Ulin

Menurut kaul yang lain bahwa Keluarga isteri Habib yang belum menerima Islam atau Non Muslim tersebut,  manakala mereka mendapatkan hasil binatang buruan, mereka memasaknya dan memakannya. Tetapi sampah dan tulang belulang binatang buruan itu, tidak dibersihkan dan belum dibuang sehingga bermasalah dan menimbulkan bau yang tak sedap. hingga mengganggu kesehatan muslim yang ada.

Menurut Abah Ati asal orang Lumpangi umur 71 tahun yang saya wawancarai bahwa "penyebab Balai adat  Balai Ulin Lumpangi bubar, mereka saling menyalahkan antara teman-teman sendiri mengapa sampah binatang buruan itu dibiarkan saja dimuka Balai, ia tidak dibersihkan dan dibuang dan berbau taksedap sehingga mengganggu kesehatan"

Sedangkan menurut sumber yang lain bahwa Keluarga isteri Habib yang belum menerima hidayah Islam saat itu, ada yang memperoleh ikan atau iwak sungai, mereka menyiangnya (membersihkan-membuang perut ikan), memasaknya dan memakannya. Tetapi sampah perut ikan dan tulang belulang binatang buruan itu, tidak dibersihkan dan belum dibuang sehingga bermasalah dan menimbulkan bau yang tak sedap.

Sebagai akibat sampah buruan atau sampah perut ikan tidak dibersihkan,  menimbulkan bau yang tak sedap dan mendatangkan lalat-lalat atau baranga hingga ada yang sakit. Kemudian orang yang Muslim yang sama berada di Balai Ulin itu ada yang komen atau Komplin. Kenapa sampah dan tulang belulang binatang buruan itu, tidak dibersihkan dan dibiarkan saja, apakah kalian tidak malu dengan Guru kita? Mendengar ucapan itu hingga mereka merasa malu dengan Habib, dan mereka mulai menjauhinya.


23. Anak-anak Datu Habib Lumpangi Abu Bakar bin Hasan Assegaf

Adapun anak-anak Datu Habib Lumpangi dari isteri pertama dari Seiyun dan isteri terakhir dari suku Dayak antara lain  :

  1. Shalih (ibunya dari Seiyun Hadramaut)
  2. .Muhammad Djamiluddin
  3. Sy. Ummi Badar,
  4. Sy. Amas (Mastora) dan
  5. Ahmad Djalaluddin, anak yang paling  bungsu

Adapun anak laki-laki Datu Habib Lumpangi Abu Bakar bin Hasan Assegaf yang terkomvirmsi saat ini akhir tahun 2023 abad ke-21 Masihi dan silsilah nasabnya tercatat dengan baik antara lain ”

1.    Shalih

2.    Muhammad Djamiluddin

3.    Ahmad Djalaluddin

 

24. Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf menepati janjinya

Mereka beranggapan bahwa apabila masuk Islam maka kesaktian-kesaktian itu hilang  dan dibuang. Inilah salah satu alasan sehingga mereka enggan menerima Islam, mereka menjauhi keluarga Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf dan mengasingkan diri dengan keluarganya  menuju ke Pegunungan Meratus. Lama kelamaan keturunan keluarga yang belum menerima Islam ini menjadi banyak. Terus membesar berkelumpok-kelumpok dan mereka tinggal menempati kaki-kaki  Pegunungan Meratus dan mereka masing-masing kelumpok itu membangun sebuah Balai Adat yang banyak menjamur di kaki-kaki  Pegunungan Meratus. Masing-masing Balai Adat dengan nama suku Dayak Meratus. Balai Adat - Balai Adat ini masih berdiri kukoh hingga pada sekarang ditahun 2022M.

Makam Sayyid Abu Bakar bin Hasan Assegaf dan Daung Milah

Sayyid Abu Bakar ayahnya Habib Lumpangi adalah orang yang sangat setia dan menepati janjinya, ia benar-benar melaksanakan Adat Dayak. ia tidak pernah meninggalkan isterinya. Dan ia tinggal bersama isterinya Siti Jamilah dan anak lelakinya dan anak-anak perempuannya  beserta cucu-cucunya dan keluarga isterinya tinggal di rumah Balai Ulin hingga akhir hayatnya.

Menurut tradisi adat Dayak bahwa "Bila seseorang laki-laki lajang (perantau atau pendatang) menikahi perempuan suku Dayak maka ia harus ikut tinggal di tanah kelahiran isterinya, sebagai bentuk kesetian adat Dayak". Tetapi bila kangen dengan ayah-ibu atau keluarga ia boleh menenguk mereka sendirian atau bersama isterinya, setelah selesai hajatnya ia harus kembali lagi kerumah isterinya. Suaminya hanya memiliki satu isteri maksudya tidak dimadu.


25. Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim bin Muhammad bin Umar as-Shaafy bin Abdurrahman Assegaf wafat thn 1759M/ 1172

Beliau wafat di kampung Balai Ulin Lumpangi hari Jum'at, tanggal 17 Dzul Hijjah 1172H, dipertengahan akhir abad ke-18 Masih. Bertepatan dia wafat 10 Agustus tahun 1759 Masihi. Haulan Beliau terebut dilaksaaanakan oleh Ahlul Bait setiap tanggal 17 Dulhijjah. Dan Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf dimakamkan berdampingan dengan Siti Jamilah isterinya dimakamkan di kampung Balai Ulin Lumpangi. Ia setia menjalani hukum adat Dayak yang ia sepakati, saat ia ingin mengislamkan Tetuha Adat, Puteri dan kedua saudara puteri yakni  Hamzah dan Thalib dan Habib berjanji  tidak akan meninggalkan mereka hingga ajal menjemputnya. Adapun Titik Koordinat makam Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf 2,80928, 115,41767146,7m, 8 derajat

 

daftar  bacaan :

 Artikel “Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar“ IAIN Antasari Press Banjarmasin 2015 di tulis oleh Sahriansyah

Artikel “Sejarah Kerajaan Jejak Panjang Nan Sarunai, Kerajaan Purba di Kalimantan” (tirto.id - Humaniora) Reporter: Iswara N Raditya Penulis: Iswara N Raditya Editor: Ivan Aulia Ahsan.- 9 Jan 2018 07:38 WIB  https://tirto.id/jejak-panjang-nan-sarunai-kerajaan-purba-di-kalimantan-cBfD

Artikel "Aruh Bawanang" Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas  Halaman ini terakhir diubah pada 16 November 2020, pukul 04.31 https://id.wikipedia.org/wiki/Aruh_Bawanang

YouTube "5 Fakta tentang Gadis Suku Dayak  Kalimantan "................................................................................   https://www.youtube.com/watch?v=nRW3xbFUw28

Artikel "Kaharingan  Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas,  https://id.wikipedia.org/wiki/Kaharingan 

Artikel tentang “Suku Dayak”yang di tulis oleh Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Suku Dayak - Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas (diakses pada 19 Oktober 2021).

Kitab Biografi Ulama-ulama Terkemuka Dunia dan Nasional” yang ditulis oleh “Syekh Samsul Afandi The source: hadhramaut.info/indo – 01/5/2008

Artikel “Pulau Dayak (10 juni 2016) Aruh Adat Dayak Meratus Loksado” https://www.facebook.com/pulaudayak2/posts/pfbid021UMKPSiiNvAc5x8UjnMCqwT5vPB5Ypsi5GsRNRNaSbPkPWsQ5sinRyvjhgD15RpXl

Artikel “Daftar makam Ulama  Aulia Habaib HSS”   Rihlah Religi Assa’adah Burdah Community Kandaangan, Dakwah sepanjang hayat Teladan sepanjang jaman   http://daftarziarahhss.blogspot.com/2019/07/ Diposting oleh Al-Hajrain di 05.23, Rabu, 03 Juli 2019

Artikel "Islam Loksado dan Sayyid Abu Bakr bin Hasan Assegaf" oleh Ahmad Harisuddin yang diposting 20 Februari 2011M 

TIGA ekspedisi militer dilancarkan Kerajaan Majapahit dari Tanah Jawa. Pasukan ini pun menggempur Kerajaan Nansarunai yang berada di pedalaman Kalimantan Selatan, hingga akhirnya puak Dayak dan Banjar pun terbentuk. Nansarunai; Kerajaan Dayak Maanyan Yang Merupakan Leluhur Urang Banjar  :

https://jejakrekam.com/2021/03/29/nansarunai-kerajaan-dayak-maanyan-yang-merupakan-leluhur-urang-banjar/    Diposting 29 maret 2021.

Hasil-hasil Wawancara dengan Habaib Fam/Marga Assegaf Desa Lumpangi yang masih hidup sebelum tahun 2021Masihi, kayi Tanqir, kayi Ahmad Baderi. kayi Ahmad Karji dan Ahmad Bayumbung, Muhammad Burhan  bin Ahmad Baderi Assegaf , Kayi Husni bin Karji, Kayi Usman bin Juhri . Dan lain-lainnya

Artikel "Habib Abu Bakr Assegaf - Cerita para wali dan datu' yang diposting Jum'at, 01 Maret 2013M Cerita para wali dan datu/ www.wlidandatu.blogspot.com

Folklor  adalah Ceritera/kisah yang penyebaran dan pewarisannya cenderung dilakukan secara lisan, yaitu disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut.

Artikel Sejarah Habib Lumpangi || Pembawa Islam Pertama di Pegunungan Meratus Loksado Hulu Sungai Selatan

Artikel “Sejarah Ahlul bait (keturunan) Sayyidina Muhammad Saw di Indonesa” dan http://fakhrur94.blogspot.com/2012/04/sejarah-ahlul-baitketurunan-sayyidina.html

Artikel “Riwayat Singkat Habib Lumpangi - Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf” yang ditulis pada 3 Agustus 2017 oleh  Saadillah Mursyid ……………................................................................................………………………….., http://saadillahmursyid.blogspot.com/2017/08/riwayat-singkat-habib-lumpangi-abu.html

Artikel Datu Banua Lima, Panglima yang Ditakuti Prajurit Majapahit (Bagian-1) https://daerah.sindonews.com/berita/1019516/29/datu-banua-lima-panglima-yang-ditakuti-prajurit-majapahit-bagian-1


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A.Historis dan Nasab Dzuriat Datu Habib Lumpangi

  Oleh H.Hasan Basri,S.Ag bin H.M.Barsih Assegaf NASAB AHLU ALBAIT NABI BESAR MUHAMMAD SAW IBN ABDULLAH IBN ABDUL MUTHALIB DARI KELUARGA A...