Sabtu, 14 Mei 2022

Sejarah Balai Adat Hulu Banyu pecahan Balai Ulin Lumpangi Loksado.

 Oleh H.Hasan Basri bin H. Muhammad Barsih bin Ahmad Baderi Assegaf




1. Balai Adat Balai Ulin pernah Simpan Biji Padi Sebesar Kelapa

Diceritakan bahwa dahulu kala Balai Adat Balai Ulin sewaktu dipimpin oleh seorang Kepala Suku Dayak atau Kepala Balai atau Penghulu Adat yang bernama Langara, mereka pernah memiliki dan menyimpan peninggalan benda prasejarah, berupa tiga buah biji banih seukuran kelapa yang dinamakan “Banih kelapa atau Banih Nyiur”.yang diletakan ditengah-tengah Kindai Banih dirungan tengah Balai.yang dijadikan sebagai “Ajimat pipikat sakti”.menurut kepercayaan orang Dayak bahwa Banih Nyiur itulah yang memanggil ruh-ruh kawannya /membawai nyawa kawannya sehingga Kindai Banih tidak pernah kosong atau habis. Dengan ikhtiar Pemiliknya bahuma yang luas dan hasilnya selalu melimpah. Konon masa itu benda-benda banyak yang berukuran jumbo.

Orang-orang dahulu kalau ingin memasak nasi dari banih kelapa itu,  maka banih itu dipipiki satu persatu dari tangkainya dan ditaruh dalam lasung kayu baru ditumbuk dengan Halu hingga lanik dan ditampi dengan nyiru dahulu baru beras itu dimasak.

Dan dari ketiga buah biji padi tersebut atas permintaan Dayak Ulang kepada kakaknya Langara, bahwa ia dan keluarganya saja yang memeliharanya, maka buah biji Banih itu masing-masing dibawa Dayak Ulang satu biji padi ke desa Ulang, dan dibawa Dayak Bumbuyanin ke kampong Pantai Dusin Hulu Banyu satu biji padi dan juga satu biji padi dibawa Dayak Bayumbung ke kampong Harantan Hilir Banyu saat Balai Adat bubar.  Namun masyarakat sekarang tetap percaya bahwa beras yang kecil saat ini, dahulunya adalah beras besar tersebut. Walaupun sudah tidak ada lagi bukti – fakta sejarah tersebut sampai saat ini, namun masih banyak masyarakat yang mempercayainya Walaupun benda yang tinggal tiga biji tersebut sudah musnah, akibat musibah banjir dan kebakaran balai Adat.

 

2. Balai Adat Balai Ulin di Renovasi

Balai Adat Balai Ulin itu berdiri sekitar tahun 1552 Masihi di desa Lumpangi tidaklah sampai 1 setengah abad Balai Adat Balai Ulin ini berdiri karena adanya pengaruh Islamisasi terhadap kelompok Penghuninya kemudian balai adat ini ditinggalkan  orang  atau bubar.

Pada pertengahan abad ke-17 Masihi Balai Adat "Balai Ulin" Lumpangi Loksado direnovsi total oleh Regenerasi suku Dayak. Sekitar tahun 1700 Masihi akhir abad ke-17 Balai Adat tersebut dipimpin oleh seorang Kepala Suku Dayak atau Tetuha atau Penghulu Adat bernama Langara, ia punya adik kandung bernama Ulang. Dayak Ulang ini punya anak bernama Bumbuyanin dan Bayumbung,  sedangkan Dayak Langara menurut sumber data punya 3 anak pertama bernama Talib dan kedua bernama Anjah dan ketiga bernama Aluh Milah.

Tetuha Adat Dayak pertama kampung Pantai Dusin Hulu Banyu bernama Bumbuyanin, ia mempunyai 3 anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Adapun anak yang pertama bernama Ayuh atau Datu Ayuh atau Sang Dayuhan, anak yang ke-2. Bambang Swara atau Bambang Basiwara dan anak yang ke-3 adalah perempuan bernama Umi Salamah (Diang Gunung), dia seorang puteri yang sangat cantik jelita.

Pada pertengahan abad ke-18 Masihi ketika masa kecilnya mereka bertiga pernah diutus atau dikirim orang tuanya ke Desa Lumpangi untuk menuntut Ilmu Islam beserta sepupu-sepupunya an. Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Assegaf dan anak-anak lainnya kepada Habib Muhammad Djamiluddin bin Abu bakar Assegaf oleh karenanya mereka ini mengenal Islam dengan baik.

Versi lain menyebutkan, menurut sumber data bahwa sesudah Balai Adat Balai Ulin bubar maka beberapa tahun kemudian datanglah Dayak Ulang dan Bumbuyanin ke Lumpangi membawa ketiga anaknya agar diajari tentang Islam kepada Habib dan menemui kakaknya Muhammad Langara dan mohon agar Balai Adat Balai Ulin yang tidak berfungsi itu bisa dipindahkan ke kampong Pantai Dusin Hulu Banyu.

 

3. Tradisi Dayak dalam membangun rumah/balai adat

Salah satu yang menjadi tradisi adat Dayak dalam membangun rumah/balai adat bahwa "muka rumah/ balai adat selalu menghadap kearah matahari terbit, tak terkecuali Balai Adat "Balai Ulin" itu mukanya juga mengadap kearah matahari terbit, dan balai itu dihuni oleh 7-10 kepala keluarga. Orang Dayak menjunjung tinggi semangat rasa kebersamaan dan mereka memiliki dapur masing-masing. Balai Adat berbentuk panggung dengan ukuran panjangnya diperkirakan 35-50 meter dan lebar 10-12 meter dan tinggi lantai dari permukaan tanah 2 setengah hingga 3 meter dan 7 anak tangga kecil untuk menolak Hantu kepala terbang. Tangga itu hanya dilewati 1 orang lebar kurang lebih 50cm.

 

4. Balai Adat Balai Ulin di pindah ke Pantai Dusin Hulu Bayu

Diceriterakan orang bahwa di awal pertengahan abad ke-18 Masihi Bumbuyanin bin Ulang memindah rumah Balai Adat Balai Ulin ke pemukiman  baru di kampong Pantai Dusin Desa Hulu Banyu Kecamatan Loksado. Setelah mereka pindah lokasi pemukiman  dari Tamiang Malah Muara Hatip menuju lokasi baru yakni kampong Pantai Dusin.

Kemudian atas musyawarah dan kesepakatan bersama Balai Adat Balai Ulin Lumpangi dipindah ke Pantai Dusin Hulu Banyu, tetapi kakaknya minta agar 1 batang tiang dari bagian muka Balai Adat itu ditinggal atau dibiarkan tetap berdiri atau tidak dialih atau dipindah. Katanya "Tiang itu fungsinya dijadikan sebagai Simbol Balai bahwa di Lumpangi pernah berdiri sebuah Balai Adat Dayak".

Menurut Ahmad atau Amat yang saya wawancarai, ia asal dayak Bayumbung yang sudah muslim ceritera dari datuk-neneknya bahwa " Bekas tiang-tiang ulin Balai Adat Balai Ulin itu telah diangkut atau dibawa ke Pantai Dusin Hulu Banyu"


. Historis Tragedy Balai Adat Hulu Banyu pecahan Balai Ulin Lumpangi Loksado.

   Kerajaan Nan Sarunai adalah pamarintahan bahari nang mancungul dan bakambang di wilayah nang wahini tamasuk dalam daerah administratif Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia, nang pasnya ada di antara wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Tabalong (Nansarunai 2020).

Menurut Sejarah tradisi lisan suku Dayak  bahwa Kerajaan Dayak Maanyan yang bernama Kerajaan Nansarunai, pernah berdiri di antara daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Amuntai dan Kabupaten Tabalong. Kalimantan Selatan, tetapi Kerajaan tersebut telah diserbu dan dihancurkan oleh Kerajaan Majapahit tahun 1309 -1389 Masihi. Menurut sumber bahwa Kerajaan Nansarunai pada serangan yang ke-3 baru ditaklukan oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1389M. Maka suku  Dayak Maanyan  tersebut  terdesak dan terpencar atau tercerai berai atau lari ke pedalaman. Sebagian mereka masuk ke pedalaman hulu sungai hingga salah  satunya sampai   ke  desa Lumpangi Loksado.

Kerajaan Nan Sarunai disebut berdiri di Kalimantan Selatan sekitar dua abad Sebelum Masehi (SM). Dasarnya adalah pengujian terhadap sampel arang Candi Agung di Amuntai yang menghasilkan tarikh 242 hingga 226 SM. Informasi itu dikutip dari penelitian berjudul Ekskavasi Situs Candi Agung Kabupaten North Upper Coarse, South Kalimantan yang dimuat dalam jurnal Berita Penelitan Arkeologi edisi Februari 1998 (Sarip 2020)

Kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan tersebut yang berlokasi di Kabupaten Hulu Sungai Utara Amuntai. Nansarunai diyakini berada di Amuntai, daerah yang terletak di pertemuan Sungai Negara, Sungai Tabalong, dan Sungai Balangan yang bemuara di Laut Jawa. Akibat serangan Majapahit  itu yang terjadi diakhir abad ke-14 Masihi suku Dayak Maanyan tersebut terdesak dan terpencar, sebagian masuk ke pedalaman-pedalaman hulu sungai.

Menurut mitologi suku Maanyan (suku tertua di Kalimanta Selatan), kerajaan pertama di Borneo Selatan adalah Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah Tabalong hingga ke daerah Pasir. Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan tentang masa-masa keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebuah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini dan telah melakukan hubungan dengan pulau Madagaskar. Kerajaan ini mendapat serangan dari Majapahit. Sehingga sebagian rakyatnya menyingkir ke pedalaman (Sahriansyah 2015).

Satu setengah abad atau 150 tahun kemudian setelah kekalahan Kerajaan Nansarunai generasi pertama dari suku Dayak Maanyan dari serangan Majapahit, di akhir abad ke-14 hingga akhirnya sebahagian Generasi mereka yakni generasi ke-4 ke-5 dan ke-6 ada yang berhijerah sampai ke desa Lumpangi. Loksado dan mereka membangun sebuah Balai Adat.

Menurut folklor ceritra datu nenek kami kalau dihitung dari runtuhnya kerajaan Nan Sarunai bahwa diperkirakan generasi ke-8, ke-9 dan ke-10 pancaran Suku Dayak Maanyan mereka sudah lama berdomisili  di Desa Lumpangi Loksado, mereka membangun kembali Balai Adat yang perabut bangunan utamanya dari kayu Ulin. Kayu Ulin tersebut ditebang dan diolah (ditarah) dengan kapak Baliung atau Balayung. Peralatan lainnya seperti parang.Bungkul, Mandau untuk mengkayau /perang, tumbak dan Sumpit untuk berburu binatang liar. Kayu-kayu tersebut diambil dan dibawa dari Hulu Banyu Loksado dengan  rakit bambu /lanting.

Pada pertengahan abad ke-17 Masihi Balai Adat "Balai Ulin" Lumpangi Loksado direhap total oleh Regenerasi suku Dayak. Sekitar tahun 1700 Masihi akhir abad ke-17 Balai Adat tersebut dipimpin oleh seorang Kepala Suku Dayak atau Tetuha atau Penghulu Adat bernama Langara, ia punya adik kandung bernama Ulang. Dayak Ulang ini punya anak bernama Bumbuyanin dan Bayumbung,  sedangkan Dayak Langara menurut sumber data punya 3 anak pertama bernama Talib dan kedua bernama Anjah dan ketiga bernama Aluh Milah.

Salah satu yang menjadi tradisi adat Dayak dalam membangun rumah/balai adat bahwa "muka rumah/ balai adat selalu menghadap kearah matahari terbit, tak terkecuali Balai Adat "Balai Ulin" itu mukanya juga mengadap kearah matahari terbit, dan balai itu dihuni oleh 7-10 kepala keluarga. Orang Dayak menjunjung tinggi semangat rasa kebersamaan dan mereka memiliki dapur masing-masing. Balai Adat berbentuk panggung dengan ukuran panjangnya diperkirakan 35-50 meter dan lebar 10-12 meter dan tinggi lantai dari permukaan tanah 2 setengah hingga 3 meter dan 7 anak tangga kecil untuk menolak Hantu kepala terbang. Tangga itu hanya dilewati 1 orang lebar kurang lebih 50cm. 

Jadi Balai itu berdiri sekitar tahun 1552 Masihi di Lumpangi, kemudian di pertengahan abad ke-17 Balai Adat Dayak itu dipimpin oleh Kepala Suku Dayak atau Tetuha atau Penghulu Adat bernama Langara, ia punya adik kandung bernama Ulang. Dayak Ulang ini punya anak bernama Bumbuyanin dan Bayumbung,  sedangkan Dayak Langara menurut sumber data punya 3 anak pertama bernama Talib dan kedua bernama Anjah dan ketiga bernama Aluh Milah. tidaklah sampai 1 setengah abad Balai Adat Balai Ulin ini berdiri kemudian balai adat ini ditinggalkan  orang  atau bubar.

Adapun agama atau kepercayaan yang mereka anut saat itu adalah "KAHARINGAN" yakni kepercayaan terhadap kekuatan roh-roh nenek moyang mereka, oleh karenanya dikenal dengan Dayak Kaharingan. Kepercayaan yang mereka anut itu dikenal oleh masyarakat Hulu Sungai Selatan dengan sebutan Balian atau Babalian.

Mata pencaharian hidup utama Dayak adalah bercocok tanam padi di ladang secara berpindah-pindah. Selain padi mereka juga menanam jenis palawija seperti kacang panjang, waluh putih, karawila, timun, cabai, jagung, pepaya, ubi talas dan ubi kayu.

Selain menanam padi dan jenis palawija mereka juga punya kebun pisang, kemiri, kebun karet, kayu manis, kopi, kebun kelapa, rotan. Hasil kebun itu mereka jual untuk mendapatkan uang. Uang dipergunakan untuk membeli garam, acan terasi, asam tembakau atau rokok. Sedang padi atau beras tidak pernah mereka jual. Padi atau beras hanya untuk keperluan sendiri, terkadang dipergunakan untuk menjamu tamu yang berkunjung jikalau mereka mau memasaknya sendiri.

Aruh Adat Dayak Maratus  Loksado adalah "Aruh Basambu, aruh bawanang lalaya dan aruh bawanang banih halin merupakan warisan tradisi suku dayak meratus sebagai tanda adanya suatu ikatan emosional terhadap alam yang telah memberi kesuburan tanah leluhur mereka sehingga bisa dimanfaatkan untuk bahuma tugal (berladang). Aruh Adat dayak meratus diiringi dengan berbagai tarian seperti batindik balian, kanjar dan bangsai yang dilengkapi dengan properti seperti gelang hiang, serunai, kapur, manyan, kembang lelehi, dan bermacam-macam sesajin untuk persembahan." (Pulau Dayak 2016).


Dan salah satu Tradisi adat Dayak Langara Lumpangi Loksado masa lalu adalah Aruh  Bawanang dan tradisi adat itu diteruskan juga oleh turunannya yaitu Dayak Maratus di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. "Aruh  Bawanang atau yang sering disebut Aruh Ganal adalah salah satu upacara adat masyarakat Dayak Meratus di Loksado kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Digelar setiap tahun saat lepas masa panen tiba, kegiatan ini juga sebagai bentuk wujud rasa syukur terhadap yang maha kuasa dalam kepercayaan penduduk setempat. Bawanang adalah Aruh Adat sebagai bentuk rasa syukur pada penguasaan semesta atas rejeki atau keberhasilan baik itu panen padi, usaha atau keberhasilan-keberhasilan lainnya. Aruh Bawanang disebut juga Palas Payung, yaitu upacara pesta panen sebagai ungkapan rasa syukur kepada Hyang Dewata Langit, yang dilakukan setelah semua padi masuk ke dalam lumbung. Setelah upacara panen ini, padi baru boleh dimasak untuk dimakan. Persiapan Aruh dimulai dengan hari Batarah yaitu sehari sebelum upacara dimulai. Hari Batarah maksudnya adalah hari memulai pekerjaan, mempersiapkan segala sesuatu, membuat perlengkapan upacara, dan menyiapkan sesaji. Pekerjaan itu harus selesai dalam satu hari Kelengkapan Alat Upacara (Koran sulindo 2019)

Menurut ceritra datu nenek kami bahwa pada awal abad ke-18M yang pertama kali datang berkunjung dan menetap di Lumpangi Loksado dari golongan habib/ syarif adalah (keluarga) Aal-ALSAQQAF آل السقاف (dibaca Assegaf/al Seggaf), yaitu Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim. Abad ke-18 dihitung dari tahun 1701 hingga tahun 1800 Masihi.  “Yang pertama kali digelari al-saqqaf ialah waliyullah al-Muqaddam al-Tsani al-Imam Abdurahman bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam (Afandi 2008).” 

Kedatangan  Sayyid Abu Bakar bin Hasan Assegaf kali yang kedua kepedalaman Hulu Sungai pada masa Pamali atau Masa Tenang. Ia mendapat hukuman adat Dayak yakni ia ditahan selama 10 hari 10 malam tidak boleh keluar. Kedatangan Sayyid Abu Bakar di Balai Adat “Balai Ulin Desa Lumpangi”  pada awal abad ke-18 Masihi. Ketika Beliau datang ke Desa Lumpangi, menurut salah satu sumber informasi bahwa usia Beliau sekitar 43-45 tahunan kala itu, tetapi pisik dan raut muka Beliau kelihatan muda seperti usia 25-30 tahun.

Menurut penuturan Amat atau Ahmad (ia seorang Dayak asal Bayumbung yang sudah Muslim) yang saya wawancarai bahwa "Acara ritual sakral aruh Bawanang atau aruh Ganal Balai Adat adalah dilaksanakan selama 3 hari 3 malam dan Masa Pamali 3 hari 3 malam, nah dimasa Pamali inilah bila seseorang Dagang belum pernah datang berkunjung diacara 3 hari pertama, kemudian ia datang sengaja ataupun tanpa sengaja masuk ke Balai Adat di Masa Pamali, maka Dia akan mendapat Hukuman Adat dan membayar denda"

Diceriterakan bahwa saat berakhir masa tahanan Sayyid Abu Bakar 10 hari dan 10 malam, puteri Milah jatuh sakit secara tiba-tiba, ia tak sadarkan diri atau pingsan dalam waktu cukup lama, membuat orang seisi Balai kebingungan,  puteri belum bisa sadar walaupun Tetuha Adat (Penghulu Adat) berusaha keras melakukan BALIAN atau BABALIAN untuk menyembuhkan Puterinya, walaupun ia seorang tokoh adat yang mempunyai  kemampuan mempuni mengobati orang yang sakit, namun dikala itu tidak membawa hasil apa-apa dan membuatnya putus asa. Tak terkecuali Sayyid Abu Bakar bin Hasan Assegaf, seorang tahanan mereka, yang baru datang beberapa hari kewilayah itu. Ia mencoba menawarkan diri kepada mereka untuk mengobatinya sang Puteri. Akhirnya dengan perasaan was-was terlihat pada wajah mereka, namun mereka dengan berat hati mempersilahkannya hingga Puteri sadar dari pingsannya dan sembuh dari sakitnya.

Habib datang di tahun 1117H/ 1705 Masihi ia ditahan beberapa hari di Balai Adat, setelah bebas dari tahanan Adat Dayak, ia mengislamkaan Penghulu adat dan ketiga anaknya kemudian mempersunting puteri, atau ia melamar dan mengawini seorang puteri yang anggun dan cantik parasnya anak Tetuha Adat Dayak Langara an.Milah, Nama Putri Tetuha Adat dimaksud yang dzuriat sesudahnya menyebutnya : aluh Jamilah atau Siti Jamilah.

Berkata Tanqir Ghawa kepada anak cucunya bahwa “Syukur alhamdu lillaah banar kita ine cucuai, jaka kada datang habib dan datung kita ada yang balaki lawan habib lalu ia maislamakan datu nine bubuhan  kita Dayak lumpamgi, maka jaka kada baislam rugi banar, kita akan dimasukakan ke dalam Naraka, nauudzu billaahi mindzaalik”

Perkawinan inilah yang sangat merekatkan hubungan suku  Dayak Langara dengan Habib. Adanya ikatan perkawinan tersebut Islam berkembang dengan cepat. Akhirnya mereka karena merasa berkelurga dengan Habib, merasa badangsanak dengan Habib, mereka tertarik dengan Islam dan menerima Islam dengan sukacita dan juga hasil perkawinan itu membuahkan keturunan / anak an. "Djamiluddin". Namun versi lain menyebutkan bahwa anak itu bernama : "Muhammad Djamiluddin" dan dzuriatnya yang bersambung dan nasabnya tercatat dengan baik sampai saat ini.

Setelah Balai Adat Balai Ulin bubar awal abad ke-18 tahun 1707M karena banyak penghuni Balai Ulin yang memeluk Islam, maka Balai Ulin Desa Lumpangi mulai ditinggalkan oleh Suku Dayak yang belum menerima hidayah Islam, walaupun mereka sudah mengenal Islam dengan baik hingga bertahun-tahun.

Dikala itu tidaklah semua orang Dayak Tamiang Malah Muara Hatip ikut berpindah ke Pantai Dusin Hulu Banyu, akan tetapi ada sebagian kecil atau beberapa keluarga mereka yang tidak mau ikut. Nah mereka yang bertahan inilah beberapa generasi kemudian Balai Adat yang ada di Tamiang Malah ini dipimpin oleh Tetuha Adat atau Penghulu Adat atau Tutuha Balai.

Menurut Habib Husni bin Mansyur bin Hasan bin Aliadam bin Abdullatif bin Abu Bakar as-Tsani Assegaf yang pernah ia tanyakan langsung kepada orang Dayak bahwa "Salah satu Penghulu Adat atau Tetuha Adat yang pernah memimpin Balai Adat Tamiang Malah bernama Pang Ijuh atau Julak Ijuh."

Diceriterakan orang bahwa di awal pertengahan abad ke-18 Masihi Bumbuyanin bin Ulang membangun sebuah Balai Adat di Pantai Dusin Hulu Banyu. Setelah mereka pindah lokasi pemukiman  dari Tamiang Malah Muara Hatip menuju lokasi baru yakni Pantai DusinTetuha Adat Dayak pertama bernama Bumbuyanin, ia mempunyai 3 anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Adapun anak yang pertama bernama Ayuh atau Datu Ayuh atau Sang Dayuhan, anak yang ke-2. Bambang Swara atau Bambang Basiwara dan anak yang ke-3 adalah perempuan bernama Umi Salamah (Diang Gunung), dia seorang puteri yang sangat cantik jelita.

Versi lain menyebutkan, menurut sumber data bahwa sesudah Balai Adat Balai Ulin bubar maka beberapa tahun kemudian datanglah Dayak Ulang dan Bumbuyanin ke Lumpangi membawa ketiga anaknya agar diajari tentang Islam kepada Habib dan menemui kakaknya Muhammad Langara dan mohon agar Balai Adat Balai Ulin yang tidak berfungsi itu bisa dipindahkan ke Pantai Dusin Hulu Banyu.

Kemudian atas musyawarah dan kesepakatan bersama Balai Adat Balai Ulin Lumpangi dipindah ke Pantai Dusin Hulu Banyu, tetapi kakaknya minta agar 1 batang tiang dari bagian muka Balai Adat itu ditinggal atau dibiarkan tetap berdiri atau tidak dialih atau dipindah. Katanya "Tiang itu fungsinya dijadikan sebagai Simbol Balai bahwa di Lumpangi pernah berdiri sebuah Balai Adat Dayak".

Menurut Ahmad atau Amat yang saya wawancarai, ia asal dayak Bayumbung yang sudah muslim ceritera dari datuk-neneknya bahwa " Bekas tiang-tiang ulin Balai Adat Balai Ulin itu telah diangkut atau dibawa ke Pantai Dusin Hulu Banyu".

Pada pertengahan abad ke-18 Masihi ketika masa kecilnya mereka bertiga pernah diutus atau dikirim orang tuanya ke Desa Lumpangi untuk menuntut Ilmu Islam beserta sepupu-sepupunya an. Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Assegaf dan anak-anak lainnya kepada Habib Muhammad Djamiluddin bin Abu bakar Assegaf oleh karenanya mereka ini mengenal Islam dengan baik.

Setelah remaja-dewasa Umi Salamah (Diang Gunung) dinikahi oleh Sayyid Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad. Perkawinan mereka ini membawa berkah yang banyak diantaranya :

1. Orang-orang Hulu Banyu menerima hidayah Islam mengikuti Dayak Bambang Basiwara dan Umi Salamah, Rabu, tanggal 12 Sya'ban 1190H/1776M seperti : kampong Datar Mangkung, Lambuk, Datar Belimbing dan sebagian Kemawakan. Di seberang sungai seperti : kampong Datar Laga, Majulung, Ni’ih, Tanuhi, Hutap dan Tariban.

2. Umi Salamah dikaruniai tiga orang anak laki-laki an. Ibrahim, (bergelar Abu Tha'am), Abdullathif (gelar Abu Aly dan 'Aly atau Abdullah (gelar Abu Tayau).

3. Adapun orang-orang Dayak yang belum mau menerima Islam, mereka pindah atau menjauh dari Kaum Mulimin.

Kami belum mendengar tetapi yang lain ada yang tahu ceritera (keterangan) bahwa setelah isterinya (Umi Salamah binti Bumbuyanin) wafat diperkirakan usianya 45 tahun maka Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf ini, Beliau menikah lagi dengan wanita lain sehingga pernikahan itu punya anak atau keturunan yang lain (yang baru), selain tiga keturunan yang telah kami sebutkan yakni Ibrahim, Abdullatif dan "Aly dan keterangan tersebut belum kami gali dan belum kami ketahui kejelasannya. Akan tetapi kami hanya menelusuri artikel yang ditulis Saadilah Mursyid maka diduga kuat bahwa anak tersebut bernama Habib Husin dan Habib Ahmad dan menurut artikel dimaksud dzuriatnya masih ada dan tersebar hingga sa'at ini.

“Diantara nama-nama keturunan beliau yang sampai sekarang masih hidup adalah Habib Aziz (Muara Banta), Habib Yahya (Telaga Bidadari), Habib Yadi (Muara Hatip)” (Saadilah Mursyid 2017)

Sebagian orang ada yang berkata bahwa Tragedy Balai Adat Hulu Banyu pecehan Balai Ulin Lumpangi Loksado terjadinya 7 Rajab 1247H/1831 Masihi. Saat itu usia Abu thair Muhammad bin Habib Abu Tha'am Ibrahim Assegaf kurang lebih 2 tahunDengan adanya sebab akibat dan bergesirnya waktu  tempu dulu maka Balai Adat Bumbuyanin pindah lokasi / tempat, sekarang Balai Adat tersebut beralamat di desa Kemawakan Kec. Loksado.

Beberapa tahun setelah terjadinya air ba'ah besar itu maka Masjid Jannaul Anwar Desa Lumpangi dipugar kembali atau di Rehap total oleh Habib Abu Thair Muhammad dan Masyarakat sekitarnya dengan kayu Ulin dan atap sirap dan juga atap kubah sirap yang diberi petaka dan aksesoris diatasnya, dengan mendatangkan Tukang dari kota Kandangan.

Menurut ceritera Habib Basrani Noor bin H.Muhammad Barsih Assegaf (Usia 57 tahun) yang saya wawancarai bahwa Balai Adat Pertama di Hulu Banyu Loksado terletak di Pantai Dusin. Pantai ini dihulu kampung Majulung, ia berseberangan dan dekat  kampung Datar Laga dan kampung Datar Mangkung. Di Pantai Dusin inilah Bumbuyanin sebagai Tetuha Adat membangun Balai Adat yang terletak ditepi udik tiga muara sungai Amandit.

Menurut Ahmad atau Amat yang saya wawancarai, ia asal dayak Bayumbung yang sudah muslim bahwa "Letak Balai Adat Pantai Dusin itu, kalau kita berada dari kampung Lambuk menuju hulu sungai ke Datar Mangkung terus ke kampung Datar Laga terus ke kampung Uling terus kehulu lagi hingga Pantai Dusin, dan dihulu Pantai Dusin itu sekarang Balai Adat Tanginau".

Selanjutnya di ceriterakan  orang  bahwa pada  zaman dahulu, setelah pecah dan bubarnya  Balai Adat di Balai Ulin Lumpangi, kemudian berdiri Balai  Adat yang  kedua  di kampung Pantai Dusin  Hulu Banyu, balai Adat  tersebut  dibangun  di tepi sungai, berdekatan dengan kampung  Datar Laga dan kampung Datar Mangkung. Tetuha  Adat pertama  bernama  Bumbuyanin,  dia  adalah anak sulung  Tetuha Adat  Ulang. Pada masa cucunya, Balai Adat  ini  mengalami tragedy mencekam. Ketika itu Balai beserta  penghuninya hanyut (larut) di bawa  air  bah (ba'ah) besar, mungkin 3-5 keluarga penghuninya  tidak dapat  menyelamat diri.

Konon  bahwa  Penghuni Balai Adat ini  memakan anak orang (dalam bentuk  seekor  iwak  atau ikan yang aneh). Yang mereka  peroleh  dengan  menjala (melonta) di sungai. Di ceriterakan bahwa Penjala ikan “Tidak seperti biasanya, setelah berkali-kali ia melepas jaring jalanya ke sungai dan menariknya pelan-pelan, tetapi ia tidak merasakan dan menemukan adanya ikan yang tersangkut dijaring jalanya, kecuali seekor ikan yang berbentuk aneh (berkepala seperti bayi). Ikan itu dilepas kembali ke sungai, mereka semakin jauh berjalan menuju hulu sungai. Sehingga menghabiskan waktu berjam-jam, menjala ikan,  tapi tak seekorpun  ikan yang dicari didapat. Bahasa orang Banjar “Ujar kawannya, amun kaya ini, kita kada kulihan. baik kita bulikan haja kerumah, dangsanakkai. Ujar nang kawan, hadangi dahulu, aku masih panasaran, sakali  laginah aku menimbai lonta. Lalu Lonta itu ditimbai ketengah sungai dan ditarik pelan-pelan, ternyata  ikan Aneh itu lagi yang terjaring. Ujar nang kawan jangan dibawa! dangsanakkai iwak itu” tetapi ujar nang tukang lonta, "Napa kita lauk makan".

Versi yang lain menyebutkan bahwa mereka penghuni Balai Pantai Dusin ini menangkap ikan dengan sebuah Tangguk bambu. Kemudian Ikan itu dibawa ke Balai disiangi dan dimasak dan dimakan bersama-sama.  Tiga hari kemudian  terjadilah  angin ribut diiringi  hujan lebat  tidak henti-hentinya selama tiga hari tiga malam dan terjadilah air  sunami atau banjir besar secara tiba-tiba, hingga  Balai Adat dan Penghuninya  hanyut ditimpa air ba'ah yang dahsyat. Selanjutnya menurut Baliau bahwa diperkirakan keberadaan Balai Adat kampung Pantai Dusin yang di bangun oleh Bumbuyanin dan diturunkan kepada anak tertuanya Datu Ayuh atau nama lainnya sang Dayuhan, tidak sampai dari satu abad, Balai Adat dan penghuninya ini kena musibah, semuanya telah hanyut diterjang banjir besar, kecuali orang-orang yang selamat adalah orang-orang yang masih tinggal ( badim dipahumaan).

. Kisah sebelum terjadinya Banjir besar.

Konon di ceriterakan bahwa  ada seorang istri Tetuha Balai muda kampong Pantai Dusin dan menentunya sedang hamil muda (ngidam) secara bersamaan.keduanya sering muntah-muntah dan pusing-pusing kepala dan tidak mau makan bahkan berhari-hari, membuat suaminya pusing kepala. Kedua istri yang ngidam ini pingin sekali memakan iwak hidup yang (dipalan) dimasak dalam seruas batang buluh.

Akhirnya untuk memenuhi hasrat isteri dan menentunya yang hamil muda, maka suami an.Dusin dan anak lelakinya an.Uling. Dipagi hari yang cerah mereka pergi ke sungai dengan membawa sebuah jala (lunta) mencari iwak hidup. Kepergian keduanya diikuti oleh seekor anjing setianya bernama si “Balang”

Konon  bahwa  Penghuni Balai Adat ini  memakan anak orang (dalam bentuk  seekor  iwak sili-sili sebesar buah Bunglay berkepala seperti anak Naga atau ikan berkepala yang aneh). Yang mereka  peroleh  dengan  menjala (melonta) di sungai. Di ceriterakan bahwa Penjala tidak memperoleh ikan “Tidak seperti biasanya, setelah berkali-kali ia melepas jaring jalanya ke sungai dan menariknya pelan-pelan, tetapi ia tidak merasakan dan menemukan adanya ikan yang tersangkut dijaring jalanya, kecuali seekor ikan sili-sili sebesar buah bunglay yang berbentuk aneh (berkepala seperti anak Naga). Ikan itu dilepas kembali ke sungai, mereka semakin jauh berjalan menuju hilir sungai. Sehingga menghabiskan waktu berjam-jam, menjala ikan,  tapi tak seekorpun jenis ikan yang dicari didapat, hingga perut mereka merasakan lapar. Bahasa orang Banjar “Ujar anaknya, parut ulun sudah lapar banar, amun kaya ini bahay, kita kada kulihan iwak saikung-ikung. baik kita bulikan haja ke rumah, bahay. Ujar nang abah, hadangi dahulu nakay, aku masih panasaran, sakali  laginah aku menimbai lonta. Lalu Lonta itu ditimbai ketengah sungai dan ditarik pelan-pelan, ternyata  ikan Aneh itu lagi yang terjaring. Ujar nang abah jangan dibawa! nakkai iwak itu” tetapi ujar nang anak, "Napa bah kita lauk makan hari ini, bini ulun kada mau makan saharian".

Kemudian. iwak hidup itu dibawa pulang oleh ayahnya, sedangkan Uling singgah dipahumaan dan sesampainya ke Balai ia disambut istrinya riang gembira. Iwak hidup disiangi, dipotong-potong dan (dipalan) dimasak dalam seruas batang buluh muda, tak lama setelah itu tercium dengan bau aromanya yang lezat dan siap dimakan bersama-sama hingga habis. 

Sejurus kemudian datanglah seorang laki-laki tua bungkuk berpakaian serba putih dan bertongkat, dari arah hilir sungai, ia berjalan tergopuh-gopuh dengan tongkatnya sedang mencari anaknya yang hilang, dan ia bertanya-tanya kepada orang-orang yang ditemuinya tetapi jawaban orang selalu tidak kenal dan tidak pernah melihatnya. Kemudian ia masuk ke teras balai dan bertanya kepada Penghuni Balai Adat Bumbuyanin kala itu yang berlokasi di pantai dusin. Kakek tua itu menjelaskan kepada mereka bahwa “ia orang tarlaga (tar-laga artinya rumah naga) dan ciri-ciri anaknya an.Mangkung "Berkepala Naga dan berbadan ikan sili-sili sebesar buah Bunglay, akibat dari kena kutukannya.

Ia pernah berkata kepada anaknya" Hai Mangkung anakku, kamu akan selamanya (berbentuk) menjadi iwak sili-sili berkepala naga terkecuali jika kau besar nanti ditemukan orang dan kau dimakan oleh dua perempuan sedang hamil muda (ngidam) baru kau dapat beringkarnasi /menetis/menjelma hidup normal kembali lewat kedua Rahim perempuan hingga kamu dilahirkan dari perempuan tersebut. Baru kutukan terhadapmu akan berakhir.

Karena merasa malu dan bersalah dengan orang tua itu mereka menyembunyiannya terhadap apa mereka perbuat, Kata Penghuni Balai “kami tiada melihat anak sampian”, kata orang tua itu "Kau bohong, Kalian semua berdusta "

Disini terjadi perdabatan sengit, yang akhirnya kata orang tua itu "Iwak yang kalian makan itu adalah anakku, tetapi adakah lagi sisanya atau tulang-tulangnya ? "Aku mohon aku pinta kembalikan kepadaku" kata orang tua itu. Kata Penghuni Balai “semuanya kami makan, habis tiada tertinggal sedikitpun”, padahal tulang-belulangnya masih ada.tetepi sedang dimakan Kucing, kata orang tua itu, ‘Sebagai gantinya anakmu dan cucumu” yang masih dalam kandungan itu akan aku bawa ke Negeriku, nanti keduanya setelah besar akan aku jadikan Pengiran dan Ratu dinegeri kerajaanku " karena Kalian masih berbohong" tetapi jika benar bahwa kalian tidak berbohong, maka Tongkatku ini tidak akan bisa mengeluarkan air.

Pak Tua itupun turun dari Balai menuju halaman, ia memajamkan matanya lalu bibirnya kumat-kamit membaca mantera dan mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi disambut sembaran kilat dan patir menggalagar, lalu orang tua itu menghunjamkan tongkatnya ke tanah, maka keluarlah mata air yang melimpah disertai angin dan hujan dengan derasnya selama 3 hari dan tiga malam tidak henti-hentinya dan orang tua itu merubah bentuk menjadi seekor Naga sebesar pohon Enau, dan panjang sepanjang pohon kelapa tua, lalu ia merobohkan bangunan Balai dengan mengikat tiang-tiangnya dengan ekornnya dan menghilang dikedalaman air. Kemudian terjadilah air ba’ah yang besar, sunami yang besar secara tiba-tiba, hingga  Balai Adat kampung Pantai Dusin dan Penghuninya  hanyut ditelan air ba'ah yang dahsyat.

Selamatlah Uling dari air ba’ah yang besar. Ketika itu tanaman padi sudah setinggi dada (banih sudah rangkumkupak) ia pulang dari melonta bersama Dusin ayahnya, hari menjelang senja Uling dan seekor anjing setianya si “Balang”singgah menjenguk pahumaannya untuk menghidupi parapian (balaman api) sambil membakar ubikayu untuk mengganjal perutnya hingga ia tertidur pulas hingga pagi dipondok humanya. Di hari itu turun hujan sangatlah deras selama 3 hari dan tiga malam tidak henti-hentinya dan disertai angin kencang, ia lihat air sungai pun yang melimpah dan membuatnya tidak bisa pulang ke Balai beberapa hari.

Selanjutnya menurut Baliau bahwa diperkirakan keberadaan Balai Adat kampung Pantai Dusin yang di bangun oleh Bumbuyanin dan diturunkan kepada anak tertuanya Datu Ayuh atau nama lainnya sang Dayuhan, tidak sampai dari satu abad, Balai Adat dan penghuninya ini kena musibah banjir, semuanya telah hanyut diterjang banjir besar, kecuali orang-orang yang selamat adalah orang-orang yang masih tinggal ( badim dipahumaan).

 

Adanya peristiwa air bah yang besar menghayutkan Balai Adat dan Penghuninya tersebut, air bah itu  telah melewati desa Lumpangi, kemudian arus sungai membelah dua, terjadilah Erosi. Sebagian erosi dilakukan oleh air, angin, dalam bentuk gletser adalah sebuah bongkahan atau endapan tanah yang besar dan tebal yang terbentuk di atas permukaan tanah. Selain itu, erosi juga dipengaruhi oleh letak astronomis.

Maka menjadi keuntungan bagi masyarakat Desa lumpangi.  Sebab disaat itu desa Lumpangi ini sudah berdiri sebuah Mesjid tua bernama Jannatul Anwar. Dulu masjid ini dibangun  ditepi sungai Amandit, kemudian akibat  air bah yang besar (ba’ah/banjir), maka sungai kali Amandit pindah mendekati bukit batu Langara, dan arus sungai dekat pasar dan arus sungai di bawah Masjid menjadi pantai. Yaitu sebuah bongkahan atau endapan tanah yang besar dan tebal yang terbentuk di atas permukaan tanah.  Sehingga arus sungai sekarang ini jauh dari Masjid. Sedangkan  bukti  sungai itu pindah sendiri bahwa bukti masih ada. Dan terlihat jurang tanah bekas dinding sungai dibelakang/samping WC Masjid tersebut. Ini adalah salah satu karamah masjid yang dibangun mula-mula oleh Datu Habib Lumpangi dan anak cucunya ,bersama masyarakat di sekitarnya

Sedangkan dimuka kampung Balai Ulin tersebut arus sungai telah  membelah dua, hingga timbul murung (pulau) ditengah-tengah sungai tersebut. Sekarang ini, kalau kita menyebaragi kali Amandit lewat jembatan menuju Kubah Datu Lumpangi, dan kita berdiri di tengah-tengah jembatan itu memandang kehilir sungai. Maka kita akan melihat sungai itu membalah dua dan dihilir murung (pulau),  sungai itu menyatu kembali. Arus sungai belahan kiri lebih deras dari pada arus sungai belahan kanan. Pada ilir sungai belahan kanan, pada kanannya ini timbul pantai.

Menurut sumber  data yang kami dapatkan bahwa ".Sebagai akibat banjir besar tersebut sisa satu batang tiang bekas Balai Adat  itu untuk simbol bahwa di Lumpangi pernah berdiri sebuah Balai Adat Dayak, tiang itu condong dan bergesir  hingga rebah ke dasar sungai, dari belahan sungai yang baru terbentuk akibat kuatnya terjangan banjir "..

Fostur tanah tempat berdirinya Balai Adat "Balai Ulin Lumpangi" dan sekelilingnya menjadi rendah atau talabuh atau tanahnya terkikis sebagai akibat air bah itu. Kemudian dimasa Habib Abu Bakar as-Tsani masih hidup, dan cucunya Abu Thair Muhammad dan Tanqir Ghawa buyutnya bahwa "1 batang tiang Balai Adat yang terandam didasar sungai itu diangkat dan dijadikan tiang utama atau tiang suku Guru masjid dan diletakkan ditengah-tengah sebagai Simbol atau penyangga atau pananggak kubah saat renovasi pembangunan masjid"Jannatul Anwar" Desa Lumpangi.

Sebagian ada yang berkata menurut Datu-Nenek kami bahari bahwa "Warna air ba'ah itu putih seperti susu kehitam-hitaman dan sangat kalat  rasanya, seperti bercampur belirang atau bau batu bara sehingga mata iwak-iwak atau ikan -ikan kabur, maka banyak ikan-ikan yang naik ke tepi sungai untuk menyelamatkan diri dan akhirnya mati terkapar, akibat matanya tidak dapat melihat lagi dalam air karena pengaruh kalatnya air ba'ah itu. Hal ini sangat menggembirakan dan menguntungkan masyarakat Lumpangi mereka panen ikan sa'at itu".

Balai Adat Bayumbung Desa Halunuk pecaan Balai Adat "Balai Ulin Lumpangi" Loksado

Menurut beberapa sumber data bahwa pecahan suku Dayak langara yang meninggalkan Balai Adat Balai Ulin Lumpangi itu hanya dua kelompok kecil   ;

  1. Kelompok pertama an. Ulang dan anaknya Bumbuyanin mereka membuka lahan pertanian atau bahuma pertama menuju ke Tamiang Malah Muara Hatip, dan mereka agak lama tinggal disini. Kemudian mereka berpindah lokasi pemukiman baru terus menuju Hulu Banyu Loksado, yakni Pantai Dusin. Setelah lahan ladang panen, anak dan isteri mereka, mereka jemput satu persatu.
  2. Kelompok kedua Anak kemenekan Langara an. Bayumbung bin Ulang dan keluarganya mereka membuka lahan pertanian atau bahuma menuju ke Hilir Banyu yakni Harantan. Disini cukup lama mereka tinggal, namun di Harantan ini anak cucu Datu Bayumbung ini banyak yang berislam, maka Dayak non Muslim mereka pindah kehilir lagi dekat desa Halunuk, setelah lahan ladang panen, anak dan isteri mereka, mereka jemput satu persatu. Kemudian nama  Tetuha atau Penghulu Adat Bayumbung dijadikan oleh regenarasinya sebagai penghormatan terhadap leluhurnya yaitu nama  balai adat maka disebutlah Balai Adat Bayumbung desa Halunuk.

Menurut Koran Banjar - Busana dalam artikel Balai Adat Meratus Tertua Ini Simpan Biji Beras Sebesar Kelapa

Menurut seorang tetua adat, Umberi, (kakek yang saat ini tinggal di Desa Harakit, Kecamatan Piani, Kabupaten Tapin itu) usia Balai Bayumbung sudah ratusan tahun. Ia berujar, balai Bayumbung merupakan salah satu balai tertua di Loksado

Sebelum masyarakat Meratus menyebar berpindah-pindah ke berbagai penjuru Meratus, di balai tersebutlah awal mula tempat tinggal masyarakat.

“Semua sudah lupa sudah berapa ratus tepatnya, tetapi yang saya ingat sudah sekitar 7 kali berganti pengulu (kepala adat) di sini,” ungkapnya, jabatan pengulu berakhir saat orang tersebut tak mampu lagi atau meninggal dunia.

Menghitung usia orang dahulu yang panjang, diperkirakan 20-80 tahun sekali baru berganti pengulu. Usia Umberi pun saat ini juga diungkapkannya, juga sudah 144 tahun.

Bangunan Balai Bayumbung tidak seperti sekarang, dikatakannya balai Bayumbung sudah dilakukan renovasi lebih dari 5 kali, karena rusak maupun hancur. Bahkan pernah sekali hancur total, saat ditimpa musibah kebakaran.

Balai Bayumbung dahulu memiliki peninggalan benda prasejarah, sebuah biji padi seukuran kelapa yang dinamakan Banih kelapa. Namun, benda yang tinggal satu biji tersebut sudah musnah, akibat musibah kebakaran balai.

Konon, zaman dahulu kala benda-benda banyak berukuran jumbo. Masyarakat percaya beras yang kecil saat ini, dahulunya adalah beras besar tersebut. Kendati sudah tidak ada lagi bukti sejarah tersebut, sampai saat ini seluruh penjuru HSS banyak yang mempercayainya (Hidayat, 2019)

8. Tanah Bekas lokasi bangunan Balai Ulin menjadi badan sungai

Adanya peristiwa air ba’ah yang besar menghayutkan Balai Adat dan Penghuninya tersebut, air bah itu  telah melewati desa Lumpangi, kemudian arus air sungai membelah dua, yakni : Tanah bekas lokasi bangunan Balai Ulin dulu berubah menjadi badan sungai baru pada bagian kiri dan lebih deras airnya dari badan sungai lama pada bagian kanan, hingga timbul murung (pulau) ditengah-tengah belahan sungai tersebut. Sekarang ini, kalau kita menyebaragi kali Amandit lewat jembatan gantung menuju Kubah Datu Lumpangi, dan kalau kita berdiri di tengah-tengah jembatan itu memandang kehilir sungai. Maka kita akan melihat sungai itu membalah dua dan dihilir murung (pulau),  air sungai itu menyatu kembali

9.Warna air ba'ah itu putih seperti susu kehitam-hitaman

Sebagian ada yang berkata menurut Datu-Nenek kami bahari bahwa "Warna air ba'ah itu putih seperti susu kehitam-hitaman dan sangat kalat  rasanya, seperti bercampur belirang atau bau batu bara sehingga mata iwak-iwak atau ikan -ikan kabur, maka banyak ikan-ikan yang naik ke tepi sungai untuk menyelamatkan diri dan akhirnya mati terkapar, akibat matanya tidak dapat melihat lagi dalam air karena pengaruh kalatnya air ba'ah itu. Hal ini sangat menggembirakan dan menguntungkan masyarakat Lumpangi mereka panen ikan sa'at itu".

 

10. Halaman Masjid dan sekitarnya menjadi Pantai

Akibat terjadinya Erosi. Fostur tanah tempat berdirinya Balai Adat "Balai Ulin Lumpangi" dan sekelilingnya menjadi rendah atau talabuh atau tanahnya terkikis sebagai akibat air ba’ah itu.

 Sebagian erosi dilakukan oleh air, angin, dalam bentuk gletser adalah sebuah bongkahan atau endapan tanah yang besar dan tebal yang terbentuk di atas permukaan tanah. Selain itu, erosi juga dipengaruhi oleh letak astronomis.

Maka menjadi keuntungan bagi masyarakat Desa lumpangi.  Sebab disaat itu desa Lumpangi ini sudah lama berdiri sebuah Mesjid tua bernama Jannatul Anwar. Dulu masjid ini dibangun  ditepi sungai Amandit, kemudian akibat  air ba’ah yang besar (ba’ah/banjir), maka sungai kali Amandit pindah mendekati bukit batu Langara, dan arus sungai dekat pasar dan sebagai akibat erosi tanah, arus sungai di bawah-halaman Masjid menjadi pantai. Yaitu sebuah bongkahan atau endapan tanah yang besar dan tebal yang terbentuk di atas permukaan tanah.  Sehingga arus sungai sekarang ini jauh dari Masjid. Sedangkan  bukti  sungai itu pindah sendiri bahwa bukti masih ada. Dan terlihat jurang tanah bekas dinding sungai dibelakang/samping WC Masjid tersebut. Ini adalah salah satu karamah masjid yang dibangun mula-mula oleh Datu Habib Lumpangi dan anak cucunya ,bersama masyarakat di sekitarnya

 

9. Merehab Masjid Jannatul Anwar Desa Lumpangi

Sebelum terjadinya banjir besar Masjid Jannatul Anwar Desa Lumpangi sudah beberapa kali diperbaiki oleh Masyarakat sekitarnya. Tetapi beberapa tahun setelah terjadinya air ba'ah besar itu maka Masjid Jannatul Anwar Desa Lumpangi dipugar kembali atau di Rehap total dan dibangun kembali oleh Habib Abu Thair dan Masyarakat sekitarnya dengan Arsitik yang bagus.

Menurut ceritera penuturan Habib Bahriansyah Assegaf.yang saya temui dirumahnya bahwa “Aksisoris petaka kubah atau manara kubah Masjid  Jannatul Anwar Lumpangi dari terbuat almanium hitam berbentuk buah-buah teruntai dan lantainya dari tihal yang didatangkan atau dibeli oleh Habib Tanqir Ghawa dari Surabaya.”

Adapun tiang-tiang Masjid, atap dan dinding menggunakan kayu ulin yang sudah modern, ada seni pahatan dan ukirannya khususnya pada lis-lis dinding atap juga atap kubah sirap yang diberi petaka dan aksesoris diatas kubahnya dan lis-lis kubah, jendela kaca dan aksesoris didalamnya (bawah kubah) berupa lampu-lampu lilin digantung dengan rantai besi. Proses renovasi itu dengan mendatangkan Tukang-tukang seni pahat dari kota Kandangan dan masjid tersebut selesai direnovasi bangunannya diawal abad ke-20 Masihi sekitar tahun 1902 Masihi.

Menurut sumber data bahwa ada beberapa tokoh orang Lumpangi yang berperan aktif ikut andil membangun merihab total Masjid Jannatul Anwar Lumpangi kala itu antara lain : Habib Abu Thair sebagai ketua rehap pembangunan masjid, H.Ahmad sebagai sekretaris, dan H.Mastur sebagai bendahara, Habib Tanqir Ghawa, anggota, H. Bustani (menjabat Penghulu dan pengembangan dakwah) merangkap anggota, Kayi Sarman anggota  dan tokoh masyarakat lainnya sebagai anggota

Menurut sumber  data yang kami dapatkan bahwa ".Sebagai akibat banjir besar tersebut sisa satu batang tiang bekas Balai Adat  itu untuk simbol bahwa di Lumpangi pernah berdiri sebuah Balai Adat Dayak, tiang itu condong dan bergesir  hingga rebah ke dasar sungai, dari belahan sungai yang baru terbentuk akibat kuatnya terjangan banjir "..

Berkata Habib H.Hasan Basri Assegaf “Andaikata Muhammad Langara (mantan Tetuha Adat Dayak) ia lupa berniat/ ia tidak berkeinginan menjadikan  tiang Masjid Lumpangi dari sisa satu batang tiang bekas Balai Adat  tersebut sebagai simbol, maka dapat dipastikan bahwa “satu batang tiang itu pastilah hanyut ditelan air ba’ah yang ganas itu.”

Kemudian dimasa Habib Abu Bakar as-Tsani masih hidup, dan cucunya Abu Thair dan Tanqir Ghawa buyutnya bahwa "1 batang tiang Balai Adat yang terandam didasar sungai itu diangkat dan dijadikan tiang utama atau tiang suku Guru masjid dan diletakkan ditengah-tengah sebagai Simbol atau penyangga atau pananggak kubah saat renovasi pembangunan masjid"Jannatul Anwar" Desa Lumpangi.

daftar bacaan

Artikel "Kerajaan Nan Sarunai" Tumatan Wikipidia Banjar, kindai pangatahuan,Laman ngini pahabisan diubah wayah 8 Pibuari 2020, pukul 12.59...... https://bjn.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Nan_Sarunai

Artikel "Mempersoalkan Klaim Kerajaan Nan Sarunai Lebih Tua daripada Kerajaan Kutai" Ditulis Selasa, 16 Juni 2020 oleh: .Muhammad Sarip .................... ............... https://kaltimkece.id/historia/mempersoalkan-klaim-kerajaan-nan-sarunai-lebih-tua-daripada-kerajaan-kutai

Artikel tentang “Suku Dayak”yang di tulis oleh Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Suku Dayak - Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas (diakses pada 19 Oktober 2021).

Artikel tentang “Sejarah Kalimantan Selatan” dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kalimantan_Selatan diakses 20-10-2021 :07.45 wita.

 Artikel “Pulau Dayak (10 juni 2016) Aruh Adat Dayak Meratus Loksado” https://www.facebook.com/pulaudayak2/posts/pfbid021UMKPSiiNvAc5x8UjnMCqwT5vPB5Ypsi5GsRNRNaSbPkPWsQ5sinRyvjhgD15RpXl

Folklor  adalah Ceritera/kisah yang penyebaran dan pewarisannya cenderung dilakukan secara lisan, yaitu disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari datu-datu dan nenek-nenek kami.

Artikel “Aruh Bawanang dan Suku Dayak Meratus” 27 Oktober 2021 | 15:00 diterbitka Koran sulindo untuk kesatuan dan bangsa   https://koransulindo.com/aruh-bawanang-dan-suku-dayak-meratus/

Kitab Biografi Ulama-ulama Terkemuka Dunia dan Nasional” yang ditulis oleh “Syekh Samsul Afandi The source: hadhramaut.info/indo – 01/5/2008

Hasil-hasil Wawancara dengan Habaib Fam/Marga Assegaf Desa Lumpangi yang masih hidup ditahun 2021Masihi, dan Ahmad Bayumbung misalnya Habib Muhammad Burhan atau Muhammad Burhanuddin bin Ahmad Baderi Assegaf , Baseraninor, Ahmad/Amat Bayumbung . Dan lain-lainnya

Folklor  adalah Ceritera/kisah yang penyebaran dan pewarisannya cenderung dilakukan secara lisan, yaitu disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari Masyarakat Suku Dayak.

sumber ;Balai Adat Meratus Tertua Ini Simpan Biji Beras Sebesar Kelapa, https://koranbanjar.net/balai-adat-meratus-tertua-ini-simpan-biji-beras-sebesar-kelapa/         Koran Banjar - Busana, oleh Muhammad Hidayat, Loksado September 29, 2019






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A.Historis dan Nasab Dzuriat Datu Habib Lumpangi

  Oleh H.Hasan Basri,S.Ag bin H.M.Barsih Assegaf NASAB AHLU ALBAIT NABI BESAR MUHAMMAD SAW IBN ABDULLAH IBN ABDUL MUTHALIB DARI KELUARGA A...