Oleh H.Hasan Basri bin H. Muhammad Barsih bin Ahmad Baderi Assegaf
1. Balai Adat Balai Ulin pernah Simpan Biji Padi Sebesar Kelapa
Diceritakan
bahwa dahulu kala Balai Adat Balai Ulin sewaktu dipimpin
oleh seorang Kepala Suku Dayak atau Kepala Balai atau Penghulu Adat yang bernama Langara,
mereka pernah
memiliki dan menyimpan peninggalan benda prasejarah, berupa tiga buah biji banih seukuran kelapa
yang dinamakan “Banih
kelapa atau Banih Nyiur”.yang diletakan
ditengah-tengah Kindai Banih dirungan tengah Balai.yang dijadikan sebagai “Ajimat
pipikat sakti”.menurut kepercayaan orang Dayak bahwa Banih Nyiur itulah yang memanggil ruh-ruh kawannya /membawai
nyawa kawannya sehingga Kindai Banih tidak pernah kosong atau habis. Dengan ikhtiar
Pemiliknya bahuma yang luas dan hasilnya selalu melimpah. Konon masa itu benda-benda
banyak yang berukuran jumbo.
Orang-orang
dahulu kalau ingin memasak nasi dari banih kelapa itu, maka banih itu dipipiki satu persatu dari
tangkainya dan ditaruh dalam lasung kayu baru ditumbuk dengan Halu hingga lanik
dan ditampi dengan nyiru dahulu baru beras itu dimasak.
Dan dari ketiga buah biji padi tersebut atas permintaan
Dayak Ulang kepada kakaknya Langara, bahwa ia dan keluarganya saja yang
memeliharanya, maka buah biji Banih itu masing-masing dibawa Dayak Ulang satu biji
padi ke desa Ulang, dan dibawa Dayak Bumbuyanin ke kampong Pantai
Dusin Hulu Banyu satu
biji padi dan
juga satu biji padi dibawa Dayak Bayumbung ke kampong Harantan Hilir
Banyu saat Balai
Adat bubar. Namun masyarakat sekarang tetap percaya bahwa
beras yang kecil saat ini, dahulunya adalah beras besar tersebut. Walaupun
sudah tidak ada lagi bukti – fakta sejarah tersebut sampai saat ini, namun
masih banyak masyarakat yang mempercayainya Walaupun benda yang tinggal tiga
biji tersebut sudah musnah, akibat musibah banjir dan kebakaran balai
Adat.
2. Balai Adat Balai Ulin di Renovasi
Balai Adat Balai Ulin itu berdiri sekitar tahun 1552
Masihi di desa Lumpangi tidaklah sampai 1 setengah abad Balai Adat Balai Ulin
ini berdiri karena adanya pengaruh Islamisasi terhadap kelompok Penghuninya kemudian
balai adat ini ditinggalkan orang atau bubar.
Pada pertengahan abad ke-17 Masihi Balai Adat "Balai
Ulin" Lumpangi Loksado direnovsi total oleh Regenerasi suku Dayak. Sekitar
tahun 1700 Masihi akhir abad ke-17 Balai Adat tersebut dipimpin oleh seorang
Kepala Suku Dayak atau Tetuha atau Penghulu Adat bernama Langara, ia punya adik
kandung bernama Ulang. Dayak Ulang ini punya anak bernama Bumbuyanin dan
Bayumbung, sedangkan Dayak Langara
menurut sumber data punya 3 anak pertama bernama Talib dan kedua bernama Anjah
dan ketiga bernama Aluh Milah.
Tetuha Adat Dayak pertama kampung Pantai Dusin Hulu Banyu
bernama Bumbuyanin, ia mempunyai 3 anak, dua laki-laki dan satu perempuan.
Adapun anak yang pertama bernama Ayuh atau Datu Ayuh atau Sang Dayuhan, anak
yang ke-2. Bambang Swara atau Bambang Basiwara dan anak yang ke-3 adalah
perempuan bernama Umi Salamah (Diang Gunung), dia seorang puteri yang sangat
cantik jelita.
Pada pertengahan abad ke-18 Masihi ketika masa kecilnya
mereka bertiga pernah diutus atau dikirim orang tuanya ke Desa Lumpangi untuk
menuntut Ilmu Islam beserta sepupu-sepupunya an. Habib Abu Bakar as-Tsani bin
Ahmad Assegaf dan anak-anak lainnya kepada Habib Muhammad Djamiluddin bin Abu
bakar Assegaf oleh karenanya mereka ini mengenal Islam dengan baik.
Versi lain menyebutkan, menurut sumber data bahwa
sesudah Balai Adat Balai Ulin bubar maka beberapa tahun kemudian datanglah
Dayak Ulang dan Bumbuyanin ke Lumpangi membawa ketiga anaknya agar diajari
tentang Islam kepada Habib dan menemui kakaknya Muhammad Langara dan mohon agar
Balai Adat Balai Ulin yang tidak berfungsi itu bisa dipindahkan ke kampong Pantai
Dusin Hulu Banyu.
3. Tradisi Dayak dalam membangun rumah/balai adat
Salah satu yang menjadi tradisi adat Dayak dalam
membangun rumah/balai adat bahwa "muka rumah/ balai adat selalu menghadap
kearah matahari terbit, tak terkecuali Balai Adat "Balai Ulin" itu
mukanya juga mengadap kearah matahari terbit, dan balai itu dihuni oleh 7-10
kepala keluarga. Orang Dayak menjunjung tinggi semangat rasa kebersamaan dan
mereka memiliki dapur masing-masing. Balai Adat berbentuk panggung dengan
ukuran panjangnya diperkirakan 35-50 meter dan lebar 10-12 meter dan tinggi
lantai dari permukaan tanah 2 setengah hingga 3 meter dan 7 anak tangga kecil
untuk menolak Hantu kepala terbang. Tangga itu hanya dilewati 1 orang lebar
kurang lebih 50cm.
4. Balai Adat Balai Ulin di pindah ke Pantai Dusin Hulu
Bayu
Diceriterakan orang bahwa di awal pertengahan abad ke-18
Masihi Bumbuyanin bin Ulang memindah rumah Balai Adat Balai Ulin ke
pemukiman baru di kampong Pantai Dusin
Desa Hulu Banyu Kecamatan Loksado. Setelah mereka pindah lokasi pemukiman dari Tamiang Malah Muara Hatip menuju lokasi
baru yakni kampong Pantai Dusin.
Kemudian atas musyawarah dan kesepakatan bersama Balai
Adat Balai Ulin Lumpangi dipindah ke Pantai Dusin Hulu Banyu, tetapi kakaknya
minta agar 1 batang tiang dari bagian muka Balai Adat itu ditinggal atau
dibiarkan tetap berdiri atau tidak dialih atau dipindah. Katanya "Tiang
itu fungsinya dijadikan sebagai Simbol Balai bahwa di Lumpangi pernah berdiri
sebuah Balai Adat Dayak".
Menurut Ahmad atau Amat yang saya wawancarai, ia asal
dayak Bayumbung yang sudah muslim ceritera dari datuk-neneknya bahwa "
Bekas tiang-tiang ulin Balai Adat Balai Ulin itu telah diangkut atau dibawa ke
Pantai Dusin Hulu Banyu"
.
Kerajaan Nan Sarunai adalah pamarintahan bahari nang mancungul dan bakambang di wilayah nang wahini tamasuk dalam daerah administratif Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia, nang pasnya ada di antara wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Tabalong (Nansarunai 2020).
Menurut
Sejarah tradisi lisan suku Dayak bahwa
Kerajaan Dayak Maanyan yang bernama Kerajaan Nansarunai, pernah berdiri di antara daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Amuntai dan Kabupaten Tabalong. Kalimantan
Selatan, tetapi Kerajaan tersebut telah diserbu dan dihancurkan oleh Kerajaan Majapahit tahun 1309 -1389 Masihi. Menurut sumber
bahwa Kerajaan Nansarunai
pada serangan yang ke-3 baru ditaklukan oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1389M. Maka suku Dayak Maanyan tersebut
terdesak dan terpencar atau tercerai berai atau lari ke pedalaman.
Sebagian mereka masuk ke pedalaman hulu sungai hingga salah satunya sampai ke
desa Lumpangi Loksado.
Kerajaan Nan Sarunai disebut berdiri di Kalimantan Selatan sekitar dua abad Sebelum Masehi (SM). Dasarnya adalah pengujian terhadap sampel arang Candi Agung di Amuntai yang menghasilkan tarikh 242 hingga 226 SM. Informasi itu dikutip dari penelitian berjudul Ekskavasi Situs Candi Agung Kabupaten North Upper Coarse, South Kalimantan yang dimuat dalam jurnal Berita Penelitan Arkeologi edisi Februari 1998 (Sarip 2020)
Kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan tersebut yang berlokasi di Kabupaten Hulu Sungai Utara Amuntai. Nansarunai diyakini berada di Amuntai, daerah yang terletak di pertemuan Sungai Negara, Sungai Tabalong, dan Sungai Balangan yang bemuara di Laut Jawa. Akibat serangan Majapahit itu yang terjadi diakhir abad ke-14 Masihi suku Dayak Maanyan tersebut terdesak dan terpencar, sebagian masuk ke pedalaman-pedalaman hulu sungai.
Menurut
mitologi suku Maanyan
(suku tertua di Kalimanta Selatan), kerajaan pertama
di Borneo Selatan adalah Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan
wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah Tabalong hingga ke
daerah Pasir. Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan tentang masa-masa keemasan
Kerajaan Nan Sarunai
sebuah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini
dan telah melakukan hubungan dengan pulau Madagaskar. Kerajaan ini mendapat
serangan dari Majapahit. Sehingga sebagian rakyatnya menyingkir ke pedalaman (Sahriansyah
2015).
Satu setengah abad atau 150 tahun kemudian setelah kekalahan Kerajaan Nansarunai generasi pertama dari suku Dayak Maanyan dari serangan Majapahit, di akhir abad ke-14 hingga akhirnya sebahagian Generasi mereka yakni generasi ke-4 ke-5 dan ke-6 ada yang berhijerah sampai ke desa Lumpangi. Loksado dan mereka membangun sebuah Balai Adat.
Menurut folklor ceritra datu nenek kami kalau dihitung dari runtuhnya kerajaan Nan Sarunai bahwa diperkirakan generasi ke-8, ke-9 dan ke-10 pancaran Suku Dayak Maanyan mereka sudah lama berdomisili di Desa Lumpangi Loksado, mereka membangun kembali Balai Adat yang perabut bangunan utamanya dari kayu Ulin. Kayu Ulin tersebut ditebang dan diolah (ditarah) dengan kapak Baliung atau Balayung. Peralatan lainnya seperti parang.Bungkul, Mandau untuk mengkayau /perang, tumbak dan Sumpit untuk berburu binatang liar. Kayu-kayu tersebut diambil dan dibawa dari Hulu Banyu Loksado dengan rakit bambu /lanting.
Pada pertengahan abad ke-17 Masihi Balai Adat "Balai Ulin" Lumpangi Loksado direhap total oleh Regenerasi suku Dayak. Sekitar tahun 1700 Masihi akhir abad ke-17 Balai Adat tersebut dipimpin oleh seorang Kepala Suku Dayak atau Tetuha atau Penghulu Adat bernama Langara, ia punya adik kandung bernama Ulang. Dayak Ulang ini punya anak bernama Bumbuyanin dan Bayumbung, sedangkan Dayak Langara menurut sumber data punya 3 anak pertama bernama Talib dan kedua bernama Anjah dan ketiga bernama Aluh Milah.
Salah satu yang menjadi tradisi adat Dayak dalam membangun rumah/balai adat bahwa "muka rumah/ balai adat selalu menghadap kearah matahari terbit, tak terkecuali Balai Adat "Balai Ulin" itu mukanya juga mengadap kearah matahari terbit, dan balai itu dihuni oleh 7-10 kepala keluarga. Orang Dayak menjunjung tinggi semangat rasa kebersamaan dan mereka memiliki dapur masing-masing. Balai Adat berbentuk panggung dengan ukuran panjangnya diperkirakan 35-50 meter dan lebar 10-12 meter dan tinggi lantai dari permukaan tanah 2 setengah hingga 3 meter dan 7 anak tangga kecil untuk menolak Hantu kepala terbang. Tangga itu hanya dilewati 1 orang lebar kurang lebih 50cm.
Jadi Balai itu berdiri sekitar tahun 1552 Masihi di Lumpangi, kemudian di pertengahan abad ke-17 Balai Adat Dayak itu dipimpin oleh Kepala Suku Dayak atau Tetuha atau Penghulu Adat bernama Langara, ia punya adik kandung bernama Ulang. Dayak Ulang ini punya anak bernama Bumbuyanin dan Bayumbung, sedangkan Dayak Langara menurut sumber data punya 3 anak pertama bernama Talib dan kedua bernama Anjah dan ketiga bernama Aluh Milah. tidaklah sampai 1 setengah abad Balai Adat Balai Ulin ini berdiri kemudian balai adat ini ditinggalkan orang atau bubar.
Adapun
agama atau kepercayaan yang mereka anut saat itu adalah "KAHARINGAN" yakni
kepercayaan terhadap kekuatan roh-roh nenek moyang mereka, oleh karenanya
dikenal dengan Dayak Kaharingan. Kepercayaan yang mereka anut
itu dikenal oleh masyarakat Hulu Sungai Selatan dengan sebutan Balian atau Babalian.
Mata pencaharian hidup utama Dayak adalah bercocok tanam padi di ladang secara berpindah-pindah. Selain padi mereka juga menanam jenis palawija seperti kacang panjang, waluh putih, karawila, timun, cabai, jagung, pepaya, ubi talas dan ubi kayu.
Selain menanam padi dan jenis palawija mereka juga punya kebun pisang, kemiri, kebun karet, kayu manis, kopi, kebun kelapa, rotan. Hasil kebun itu mereka jual untuk mendapatkan uang. Uang dipergunakan untuk membeli garam, acan terasi, asam tembakau atau rokok. Sedang padi atau beras tidak pernah mereka jual. Padi atau beras hanya untuk keperluan sendiri, terkadang dipergunakan untuk menjamu tamu yang berkunjung jikalau mereka mau memasaknya sendiri.
Aruh Adat Dayak
Maratus Loksado adalah "Aruh
Basambu, aruh bawanang lalaya dan aruh bawanang banih halin merupakan warisan
tradisi suku dayak meratus sebagai tanda adanya suatu ikatan emosional terhadap
alam yang telah memberi kesuburan tanah leluhur mereka sehingga bisa
dimanfaatkan untuk bahuma tugal (berladang). Aruh Adat dayak meratus diiringi
dengan berbagai tarian seperti batindik balian, kanjar dan bangsai yang
dilengkapi dengan properti seperti gelang hiang, serunai, kapur, manyan,
kembang lelehi, dan bermacam-macam sesajin untuk persembahan." (Pulau
Dayak 2016).
Dan salah satu Tradisi adat Dayak Langara Lumpangi Loksado masa lalu adalah Aruh Bawanang dan tradisi adat itu diteruskan juga oleh turunannya yaitu Dayak Maratus di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. "Aruh Bawanang atau yang sering disebut Aruh Ganal adalah salah satu upacara adat masyarakat Dayak Meratus di Loksado kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Digelar setiap tahun saat lepas masa panen tiba, kegiatan ini juga sebagai bentuk wujud rasa syukur terhadap yang maha kuasa dalam kepercayaan penduduk setempat. Bawanang adalah Aruh Adat sebagai bentuk rasa syukur pada penguasaan semesta atas rejeki atau keberhasilan baik itu panen padi, usaha atau keberhasilan-keberhasilan lainnya. Aruh Bawanang disebut juga Palas Payung, yaitu upacara pesta panen sebagai ungkapan rasa syukur kepada Hyang Dewata Langit, yang dilakukan setelah semua padi masuk ke dalam lumbung. Setelah upacara panen ini, padi baru boleh dimasak untuk dimakan. Persiapan Aruh dimulai dengan hari Batarah yaitu sehari sebelum upacara dimulai. Hari Batarah maksudnya adalah hari memulai pekerjaan, mempersiapkan segala sesuatu, membuat perlengkapan upacara, dan menyiapkan sesaji. Pekerjaan itu harus selesai dalam satu hari Kelengkapan Alat Upacara (Koran sulindo 2019)
Menurut ceritra datu nenek kami bahwa pada awal
abad ke-18M yang pertama kali datang berkunjung dan menetap di
Lumpangi Loksado dari
golongan habib/ syarif adalah (keluarga) Aal-ALSAQQAF
آل السقاف (dibaca Assegaf/al Seggaf), yaitu Abu
Bakar bin Hasan bin Hasyim. Abad ke-18
dihitung dari tahun 1701 hingga tahun 1800 Masihi. “Yang pertama kali digelari al-saqqaf ialah
waliyullah al-Muqaddam al-Tsani al-Imam Abdurahman bin Muhammad Maula Dawilah
bin Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam (Afandi 2008).”
Kedatangan Sayyid Abu Bakar bin Hasan Assegaf kali yang
kedua kepedalaman Hulu Sungai pada masa Pamali
atau Masa Tenang. Ia mendapat hukuman adat Dayak yakni ia ditahan
selama 10 hari 10 malam tidak boleh keluar. Kedatangan Sayyid Abu Bakar di Balai
Adat “Balai Ulin Desa Lumpangi” pada awal
abad ke-18 Masihi. Ketika Beliau datang ke Desa Lumpangi, menurut salah satu
sumber informasi bahwa usia Beliau sekitar 43-45 tahunan kala itu, tetapi pisik
dan raut muka Beliau kelihatan muda seperti usia 25-30 tahun.
Menurut penuturan Amat atau Ahmad (ia
seorang Dayak asal Bayumbung yang sudah Muslim) yang saya wawancarai bahwa
"Acara ritual sakral aruh Bawanang atau aruh Ganal Balai Adat adalah
dilaksanakan selama 3 hari 3 malam dan Masa Pamali 3 hari 3 malam, nah dimasa
Pamali inilah bila seseorang Dagang belum pernah datang berkunjung diacara 3
hari pertama, kemudian ia datang sengaja ataupun tanpa sengaja masuk ke Balai
Adat di Masa Pamali, maka Dia akan mendapat Hukuman Adat dan
membayar denda"
Diceriterakan
bahwa saat berakhir masa tahanan Sayyid Abu Bakar 10 hari dan 10 malam, puteri Milah jatuh sakit secara
tiba-tiba, ia tak
sadarkan diri atau pingsan dalam waktu cukup lama, membuat orang seisi Balai
kebingungan, puteri belum bisa sadar walaupun Tetuha Adat
(Penghulu Adat) berusaha keras melakukan BALIAN atau BABALIAN untuk
menyembuhkan Puterinya, walaupun ia seorang tokoh adat yang mempunyai kemampuan mempuni mengobati orang yang sakit,
namun dikala itu tidak membawa hasil apa-apa dan membuatnya putus asa. Tak terkecuali
Sayyid Abu Bakar bin Hasan Assegaf, seorang tahanan mereka, yang baru datang
beberapa hari kewilayah itu. Ia mencoba menawarkan diri kepada mereka untuk
mengobatinya sang Puteri. Akhirnya dengan perasaan was-was terlihat pada wajah
mereka, namun mereka dengan berat hati mempersilahkannya hingga Puteri sadar
dari pingsannya dan sembuh dari sakitnya.
Habib
datang di tahun 1117H/ 1705 Masihi ia ditahan beberapa hari di Balai Adat, setelah
bebas dari tahanan Adat Dayak, ia mengislamkaan Penghulu adat dan ketiga
anaknya kemudian mempersunting puteri, atau ia melamar dan mengawini seorang
puteri yang anggun dan cantik parasnya anak Tetuha Adat Dayak Langara an.Milah,
Nama Putri Tetuha Adat dimaksud yang dzuriat sesudahnya menyebutnya : aluh
Jamilah atau Siti Jamilah.
Berkata
Tanqir Ghawa kepada anak cucunya bahwa “Syukur alhamdu lillaah banar kita ine
cucuai, jaka kada datang habib dan datung kita ada yang balaki lawan habib lalu
ia maislamakan datu nine bubuhan kita
Dayak lumpamgi, maka jaka kada baislam rugi banar, kita akan dimasukakan ke
dalam Naraka, nauudzu billaahi mindzaalik”
Perkawinan inilah yang
sangat merekatkan hubungan suku Dayak
Langara dengan Habib. Adanya ikatan perkawinan tersebut Islam berkembang dengan
cepat. Akhirnya mereka karena merasa berkelurga dengan Habib, merasa
badangsanak dengan Habib, mereka tertarik dengan Islam dan menerima Islam
dengan sukacita dan juga hasil perkawinan itu membuahkan keturunan / anak an.
"Djamiluddin".
Namun versi lain menyebutkan bahwa anak itu bernama : "Muhammad Djamiluddin"
dan dzuriatnya yang bersambung dan nasabnya tercatat dengan baik sampai saat
ini.
Setelah
Balai Adat Balai Ulin bubar awal abad ke-18 tahun 1707M karena banyak penghuni Balai
Ulin yang memeluk Islam, maka Balai Ulin Desa Lumpangi mulai ditinggalkan oleh
Suku Dayak yang belum menerima hidayah Islam, walaupun mereka sudah mengenal
Islam dengan baik hingga bertahun-tahun.
Dikala itu tidaklah semua orang Dayak Tamiang Malah Muara Hatip ikut berpindah ke Pantai Dusin Hulu Banyu, akan tetapi ada sebagian kecil atau beberapa keluarga mereka yang tidak mau ikut. Nah mereka yang bertahan inilah beberapa generasi kemudian Balai Adat yang ada di Tamiang Malah ini dipimpin oleh Tetuha Adat atau Penghulu Adat atau Tutuha Balai.
Menurut Habib Husni bin Mansyur bin Hasan bin Aliadam bin
Abdullatif bin Abu Bakar as-Tsani Assegaf yang pernah ia tanyakan langsung
kepada orang Dayak bahwa "Salah satu Penghulu Adat atau Tetuha Adat yang pernah memimpin Balai Adat Tamiang Malah bernama Pang Ijuh atau Julak Ijuh."
Diceriterakan orang bahwa di awal pertengahan abad ke-18 Masihi Bumbuyanin bin Ulang membangun sebuah Balai Adat di Pantai Dusin Hulu Banyu. Setelah mereka pindah lokasi pemukiman dari Tamiang Malah Muara Hatip menuju lokasi baru yakni Pantai Dusin. Tetuha Adat Dayak pertama bernama Bumbuyanin, ia mempunyai 3 anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Adapun anak yang pertama bernama Ayuh atau Datu Ayuh atau Sang Dayuhan, anak yang ke-2. Bambang Swara atau Bambang Basiwara dan anak yang ke-3 adalah perempuan bernama Umi Salamah (Diang Gunung), dia seorang puteri yang sangat cantik jelita.
Versi lain menyebutkan, menurut sumber data bahwa sesudah Balai Adat Balai Ulin bubar maka beberapa tahun kemudian datanglah Dayak Ulang dan Bumbuyanin ke Lumpangi membawa ketiga anaknya agar diajari tentang Islam kepada Habib dan menemui kakaknya Muhammad Langara dan mohon agar Balai Adat Balai Ulin yang tidak berfungsi itu bisa dipindahkan ke Pantai Dusin Hulu Banyu.
Kemudian atas musyawarah dan kesepakatan bersama Balai Adat Balai Ulin Lumpangi dipindah ke Pantai Dusin Hulu Banyu, tetapi kakaknya minta agar 1 batang tiang dari bagian muka Balai Adat itu ditinggal atau dibiarkan tetap berdiri atau tidak dialih atau dipindah. Katanya "Tiang itu fungsinya dijadikan sebagai Simbol Balai bahwa di Lumpangi pernah berdiri sebuah Balai Adat Dayak".
Menurut Ahmad atau Amat yang saya wawancarai, ia asal dayak Bayumbung yang sudah muslim ceritera dari datuk-neneknya bahwa " Bekas tiang-tiang ulin Balai Adat Balai Ulin itu telah diangkut atau dibawa ke Pantai Dusin Hulu Banyu".
Pada
pertengahan abad ke-18 Masihi ketika masa kecilnya mereka bertiga pernah diutus
atau dikirim orang tuanya ke Desa Lumpangi untuk menuntut Ilmu Islam beserta
sepupu-sepupunya an. Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Assegaf dan anak-anak lainnya kepada Habib Muhammad Djamiluddin bin Abu bakar Assegaf oleh karenanya mereka ini mengenal Islam dengan baik.
Setelah
remaja-dewasa Umi Salamah (Diang Gunung) dinikahi oleh Sayyid Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad. Perkawinan
mereka ini membawa berkah yang banyak diantaranya :
1. Orang-orang
Hulu Banyu menerima hidayah Islam mengikuti Dayak Bambang Basiwara dan Umi Salamah, Rabu, tanggal 12 Sya'ban 1190H/1776M seperti : kampong Datar Mangkung, Lambuk,
Datar Belimbing dan sebagian Kemawakan. Di seberang sungai seperti : kampong
Datar Laga, Majulung, Ni’ih, Tanuhi, Hutap dan Tariban.
2. Umi
Salamah dikaruniai tiga orang anak laki-laki an. Ibrahim, (bergelar Abu Tha'am), Abdullathif (gelar Abu Aly dan 'Aly atau Abdullah (gelar Abu Tayau).
3. Adapun orang-orang Dayak yang belum mau menerima Islam, mereka pindah atau menjauh dari Kaum Mulimin.
Kami belum mendengar tetapi yang lain ada yang tahu ceritera (keterangan) bahwa setelah isterinya (Umi Salamah binti Bumbuyanin) wafat diperkirakan usianya 45 tahun maka Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf ini, Beliau menikah lagi dengan wanita lain sehingga pernikahan itu punya anak atau keturunan yang lain (yang baru), selain tiga keturunan yang telah kami sebutkan yakni Ibrahim, Abdullatif dan "Aly dan keterangan tersebut belum kami gali dan belum kami ketahui kejelasannya. Akan tetapi kami hanya menelusuri artikel yang ditulis Saadilah Mursyid maka diduga kuat bahwa anak tersebut bernama Habib Husin dan Habib Ahmad dan menurut artikel dimaksud dzuriatnya masih ada dan tersebar hingga sa'at ini.
“Diantara nama-nama keturunan beliau yang sampai sekarang masih hidup adalah Habib Aziz (Muara Banta), Habib Yahya (Telaga Bidadari), Habib Yadi (Muara Hatip)” (Saadilah Mursyid 2017)
Sebagian orang ada yang berkata bahwa Tragedy Balai Adat Hulu Banyu pecehan Balai Ulin Lumpangi Loksado terjadinya 7 Rajab 1247H/1831 Masihi. Saat itu usia Abu thair Muhammad bin Habib Abu Tha'am Ibrahim Assegaf kurang lebih 2 tahun. Dengan adanya sebab akibat dan bergesirnya waktu tempu dulu maka Balai Adat Bumbuyanin pindah lokasi / tempat, sekarang Balai Adat tersebut beralamat di desa Kemawakan Kec. Loksado.
Beberapa tahun setelah terjadinya air ba'ah besar itu maka Masjid Jannaul Anwar Desa Lumpangi dipugar kembali atau di Rehap total oleh Habib Abu Thair Muhammad dan Masyarakat sekitarnya dengan kayu Ulin dan atap sirap dan juga atap kubah sirap yang diberi petaka dan aksesoris diatasnya, dengan mendatangkan Tukang dari kota Kandangan.
Menurut
ceritera Habib Basrani Noor bin H.Muhammad Barsih Assegaf (Usia 57 tahun) yang
saya wawancarai bahwa Balai Adat Pertama di Hulu Banyu Loksado terletak di
Pantai Dusin. Pantai ini dihulu kampung Majulung, ia berseberangan dan
dekat kampung Datar Laga dan kampung
Datar Mangkung. Di Pantai Dusin inilah Bumbuyanin sebagai Tetuha Adat membangun
Balai Adat yang terletak ditepi udik tiga muara sungai Amandit.
Menurut Ahmad atau Amat yang saya wawancarai, ia asal dayak Bayumbung yang sudah muslim bahwa "Letak Balai Adat Pantai Dusin itu, kalau kita berada dari kampung Lambuk menuju hulu sungai ke Datar Mangkung terus ke kampung Datar Laga terus ke kampung Uling terus kehulu lagi hingga Pantai Dusin, dan dihulu Pantai Dusin itu sekarang Balai Adat Tanginau".
Selanjutnya
di ceriterakan orang bahwa pada
zaman dahulu, setelah pecah dan bubarnya
Balai Adat di Balai Ulin Lumpangi, kemudian berdiri Balai Adat yang
kedua di kampung Pantai
Dusin Hulu Banyu, balai Adat tersebut
dibangun di tepi sungai,
berdekatan dengan kampung Datar Laga dan
kampung Datar Mangkung. Tetuha Adat
pertama bernama Bumbuyanin,
dia adalah anak sulung Tetuha Adat Ulang. Pada masa cucunya, Balai Adat
ini mengalami tragedy mencekam.
Ketika itu Balai beserta penghuninya
hanyut (larut) di bawa air bah (ba'ah) besar, mungkin 3-5 keluarga
penghuninya tidak dapat menyelamat diri.
Konon bahwa
Penghuni Balai Adat ini memakan
anak orang (dalam bentuk seekor iwak
atau ikan yang aneh). Yang mereka
peroleh dengan menjala (melonta) di sungai. Di ceriterakan
bahwa Penjala ikan “Tidak seperti biasanya, setelah berkali-kali ia melepas
jaring jalanya ke sungai dan menariknya pelan-pelan, tetapi ia tidak merasakan
dan menemukan adanya ikan yang tersangkut dijaring jalanya, kecuali seekor ikan
yang berbentuk aneh (berkepala seperti bayi). Ikan itu dilepas kembali ke
sungai, mereka semakin jauh berjalan menuju hulu sungai. Sehingga menghabiskan
waktu berjam-jam, menjala ikan, tapi tak
seekorpun ikan yang dicari didapat.
Bahasa orang Banjar “Ujar kawannya, amun kaya ini, kita kada kulihan. baik kita
bulikan haja kerumah, dangsanakkai. Ujar nang kawan, hadangi dahulu, aku masih
panasaran, sakali laginah aku menimbai
lonta. Lalu Lonta itu ditimbai ketengah sungai dan ditarik pelan-pelan, ternyata ikan Aneh itu lagi yang terjaring. Ujar nang
kawan jangan dibawa! dangsanakkai iwak itu” tetapi ujar nang tukang lonta,
"Napa kita lauk makan".
Versi
yang lain menyebutkan bahwa mereka penghuni Balai Pantai Dusin ini menangkap
ikan dengan sebuah Tangguk bambu. Kemudian Ikan itu dibawa ke Balai disiangi
dan dimasak dan dimakan bersama-sama.
Tiga hari kemudian
terjadilah angin ribut diiringi hujan lebat
tidak henti-hentinya selama tiga hari tiga malam dan terjadilah air sunami atau banjir besar secara tiba-tiba,
hingga Balai Adat dan Penghuninya hanyut ditimpa air ba'ah yang dahsyat. Selanjutnya
menurut Baliau bahwa diperkirakan keberadaan Balai Adat kampung Pantai Dusin
yang di bangun oleh Bumbuyanin dan diturunkan kepada anak tertuanya Datu Ayuh
atau nama lainnya sang Dayuhan, tidak sampai dari satu abad, Balai Adat dan
penghuninya ini kena musibah, semuanya telah hanyut diterjang banjir besar,
kecuali orang-orang yang selamat adalah orang-orang yang masih tinggal ( badim
dipahumaan).
. Kisah sebelum terjadinya Banjir besar.
Konon di ceriterakan bahwa ada seorang istri Tetuha Balai muda kampong Pantai
Dusin dan menentunya sedang hamil muda (ngidam) secara bersamaan.keduanya sering
muntah-muntah dan pusing-pusing kepala dan tidak mau makan bahkan berhari-hari,
membuat suaminya pusing kepala. Kedua istri yang ngidam ini pingin sekali memakan
iwak hidup yang (dipalan) dimasak dalam seruas batang buluh.
Akhirnya untuk memenuhi hasrat isteri dan menentunya yang
hamil muda, maka suami an.Dusin dan anak lelakinya an.Uling. Dipagi hari yang
cerah mereka pergi ke sungai dengan membawa sebuah jala (lunta) mencari iwak
hidup. Kepergian keduanya diikuti oleh seekor anjing setianya bernama si
“Balang”
Konon bahwa Penghuni Balai Adat ini memakan anak orang (dalam bentuk seekor
iwak sili-sili sebesar buah Bunglay berkepala seperti anak Naga atau
ikan berkepala yang aneh). Yang mereka
peroleh dengan menjala (melonta) di sungai. Di ceriterakan
bahwa Penjala tidak memperoleh ikan “Tidak seperti biasanya, setelah
berkali-kali ia melepas jaring jalanya ke sungai dan menariknya pelan-pelan,
tetapi ia tidak merasakan dan menemukan adanya ikan yang tersangkut dijaring
jalanya, kecuali seekor ikan sili-sili sebesar buah bunglay yang berbentuk aneh
(berkepala seperti anak Naga). Ikan itu dilepas kembali ke sungai, mereka
semakin jauh berjalan menuju hilir
sungai. Sehingga menghabiskan waktu berjam-jam, menjala ikan, tapi tak seekorpun jenis ikan yang dicari
didapat, hingga perut
mereka merasakan lapar. Bahasa orang Banjar “Ujar anaknya, parut ulun
sudah lapar banar, amun kaya ini bahay, kita kada kulihan iwak saikung-ikung. baik kita
bulikan haja ke rumah, bahay. Ujar nang abah, hadangi dahulu nakay, aku masih
panasaran, sakali laginah aku menimbai
lonta. Lalu Lonta itu ditimbai ketengah sungai dan ditarik pelan-pelan,
ternyata ikan Aneh itu lagi yang terjaring.
Ujar nang abah jangan dibawa! nakkai iwak itu” tetapi ujar nang anak,
"Napa bah kita lauk makan hari ini, bini ulun kada mau makan saharian".
Kemudian.
iwak hidup itu dibawa pulang oleh ayahnya, sedangkan Uling singgah dipahumaan dan
sesampainya ke Balai ia disambut istrinya riang gembira. Iwak hidup disiangi,
dipotong-potong dan (dipalan) dimasak dalam seruas batang buluh muda, tak lama
setelah itu tercium dengan bau aromanya yang lezat dan siap dimakan bersama-sama
hingga habis.
Sejurus kemudian datanglah seorang laki-laki tua bungkuk
berpakaian serba putih dan bertongkat, dari arah hilir sungai, ia berjalan tergopuh-gopuh dengan
tongkatnya sedang mencari anaknya yang hilang, dan ia bertanya-tanya kepada
orang-orang yang ditemuinya tetapi jawaban orang selalu tidak kenal dan tidak
pernah melihatnya. Kemudian ia masuk ke teras balai dan bertanya kepada Penghuni Balai Adat Bumbuyanin kala itu yang
berlokasi di pantai dusin. Kakek tua itu menjelaskan kepada mereka bahwa “ia orang tarlaga (tar-laga
artinya rumah naga) dan ciri-ciri anaknya an.Mangkung "Berkepala Naga dan berbadan ikan
sili-sili sebesar buah Bunglay, akibat dari kena kutukannya.
Ia pernah berkata
kepada anaknya" Hai Mangkung anakku, kamu akan selamanya (berbentuk)
menjadi iwak sili-sili berkepala naga terkecuali jika kau besar nanti ditemukan
orang dan kau dimakan oleh dua perempuan sedang hamil muda (ngidam) baru kau
dapat beringkarnasi /menetis/menjelma hidup normal kembali lewat kedua Rahim
perempuan hingga kamu dilahirkan dari perempuan tersebut. Baru kutukan
terhadapmu akan berakhir.
Karena merasa malu dan bersalah dengan orang tua itu mereka
menyembunyiannya terhadap apa mereka perbuat, Kata Penghuni Balai “kami tiada
melihat anak sampian”, kata orang tua itu "Kau bohong, Kalian semua berdusta
"
Disini terjadi perdabatan sengit, yang akhirnya kata
orang tua itu "Iwak yang kalian makan itu adalah anakku, tetapi adakah
lagi sisanya atau tulang-tulangnya ? "Aku mohon aku pinta kembalikan
kepadaku" kata orang tua itu. Kata Penghuni Balai “semuanya kami makan, habis
tiada tertinggal sedikitpun”, padahal tulang-belulangnya masih ada.tetepi
sedang dimakan Kucing, kata orang tua itu, ‘Sebagai gantinya anakmu dan cucumu”
yang masih dalam kandungan itu akan aku bawa ke Negeriku, nanti keduanya setelah
besar akan aku jadikan Pengiran dan Ratu dinegeri kerajaanku " karena
Kalian masih berbohong" tetapi jika benar bahwa kalian tidak berbohong,
maka Tongkatku ini tidak akan bisa mengeluarkan air.
Pak Tua itupun turun dari Balai menuju halaman, ia memajamkan
matanya lalu bibirnya kumat-kamit membaca mantera dan mengangkat tongkatnya
tinggi-tinggi disambut sembaran kilat dan patir menggalagar, lalu orang tua itu
menghunjamkan tongkatnya ke tanah, maka keluarlah mata air yang melimpah disertai
angin dan hujan dengan derasnya selama 3 hari dan tiga malam tidak
henti-hentinya dan orang tua itu merubah bentuk menjadi seekor Naga sebesar
pohon Enau, dan panjang sepanjang pohon kelapa tua, lalu ia merobohkan bangunan
Balai dengan mengikat tiang-tiangnya dengan ekornnya dan menghilang dikedalaman
air. Kemudian terjadilah air ba’ah yang besar, sunami yang besar secara
tiba-tiba, hingga Balai Adat kampung
Pantai Dusin dan Penghuninya hanyut ditelan
air ba'ah yang dahsyat.
Selamatlah Uling dari air ba’ah yang besar. Ketika itu tanaman
padi sudah setinggi dada (banih sudah rangkumkupak) ia pulang dari melonta
bersama Dusin ayahnya, hari menjelang senja Uling dan seekor anjing setianya si
“Balang”singgah menjenguk pahumaannya untuk menghidupi parapian (balaman api)
sambil membakar ubikayu untuk mengganjal perutnya hingga ia tertidur pulas hingga
pagi dipondok humanya. Di hari itu turun hujan sangatlah deras selama 3 hari
dan tiga malam tidak henti-hentinya dan disertai angin kencang, ia lihat air
sungai pun yang melimpah dan membuatnya tidak bisa pulang ke Balai beberapa
hari.
Selanjutnya menurut Baliau bahwa diperkirakan keberadaan
Balai Adat kampung Pantai Dusin yang di bangun oleh Bumbuyanin dan diturunkan
kepada anak tertuanya Datu Ayuh atau nama lainnya sang Dayuhan, tidak sampai
dari satu abad, Balai Adat dan penghuninya ini kena musibah banjir, semuanya
telah hanyut diterjang banjir besar, kecuali orang-orang yang selamat adalah
orang-orang yang masih tinggal ( badim dipahumaan).
Adanya
peristiwa air bah yang besar menghayutkan Balai Adat dan Penghuninya tersebut,
air bah itu telah melewati desa
Lumpangi, kemudian arus sungai membelah dua, terjadilah Erosi. Sebagian erosi
dilakukan oleh air, angin, dalam bentuk gletser adalah sebuah bongkahan atau
endapan tanah yang besar dan tebal yang terbentuk di atas permukaan tanah.
Selain itu, erosi juga dipengaruhi oleh letak astronomis.
Maka
menjadi keuntungan bagi masyarakat Desa lumpangi. Sebab disaat itu desa Lumpangi ini sudah berdiri
sebuah Mesjid tua bernama Jannatul Anwar.
Dulu masjid ini dibangun ditepi sungai
Amandit, kemudian akibat air bah yang
besar (ba’ah/banjir), maka sungai kali Amandit pindah mendekati bukit batu
Langara, dan arus sungai dekat pasar dan arus sungai di bawah Masjid menjadi
pantai. Yaitu sebuah bongkahan atau endapan tanah yang besar dan tebal yang
terbentuk di atas permukaan tanah. Sehingga
arus sungai sekarang ini jauh dari Masjid. Sedangkan bukti
sungai itu pindah sendiri bahwa bukti masih ada. Dan terlihat jurang
tanah bekas dinding sungai dibelakang/samping WC Masjid tersebut. Ini adalah
salah satu karamah masjid yang dibangun mula-mula oleh Datu Habib Lumpangi dan anak
cucunya ,bersama masyarakat di sekitarnya
Sedangkan
dimuka kampung Balai Ulin tersebut arus sungai telah membelah dua, hingga timbul murung (pulau)
ditengah-tengah sungai tersebut. Sekarang ini, kalau kita menyebaragi kali
Amandit lewat jembatan menuju Kubah Datu Lumpangi, dan kita berdiri di
tengah-tengah jembatan itu memandang kehilir sungai. Maka kita akan melihat
sungai itu membalah dua dan dihilir murung (pulau), sungai itu menyatu kembali. Arus sungai
belahan kiri lebih deras dari pada arus sungai belahan kanan. Pada ilir sungai
belahan kanan, pada kanannya ini timbul pantai.
Menurut sumber data yang kami dapatkan bahwa ".Sebagai akibat banjir besar tersebut sisa satu batang tiang bekas Balai Adat itu untuk simbol bahwa di Lumpangi pernah berdiri sebuah Balai Adat Dayak, tiang itu condong dan bergesir hingga rebah ke dasar sungai, dari belahan sungai yang baru terbentuk akibat kuatnya terjangan banjir "..
Fostur tanah tempat berdirinya Balai Adat "Balai Ulin Lumpangi" dan sekelilingnya menjadi rendah atau talabuh atau tanahnya terkikis sebagai akibat air bah itu. Kemudian dimasa Habib Abu Bakar as-Tsani masih hidup, dan cucunya Abu Thair Muhammad dan Tanqir Ghawa buyutnya bahwa "1 batang tiang Balai Adat yang terandam didasar sungai itu diangkat dan dijadikan tiang utama atau tiang suku Guru masjid dan diletakkan ditengah-tengah sebagai Simbol atau penyangga atau pananggak kubah saat renovasi pembangunan masjid"Jannatul Anwar" Desa Lumpangi.
Sebagian ada yang berkata menurut Datu-Nenek kami bahari bahwa "Warna air ba'ah itu putih seperti susu kehitam-hitaman dan sangat kalat rasanya, seperti bercampur belirang atau bau batu bara sehingga mata iwak-iwak atau ikan -ikan kabur, maka banyak ikan-ikan yang naik ke tepi sungai untuk menyelamatkan diri dan akhirnya mati terkapar, akibat matanya tidak dapat melihat lagi dalam air karena pengaruh kalatnya air ba'ah itu. Hal ini sangat menggembirakan dan menguntungkan masyarakat Lumpangi mereka panen ikan sa'at itu".
Balai Adat Bayumbung Desa Halunuk pecaan Balai Adat "Balai Ulin Lumpangi" Loksado
Menurut beberapa sumber data bahwa pecahan suku Dayak langara yang meninggalkan Balai Adat Balai Ulin Lumpangi itu hanya dua kelompok kecil ;
- Kelompok pertama an. Ulang dan anaknya Bumbuyanin mereka membuka lahan pertanian atau bahuma pertama menuju ke Tamiang Malah Muara Hatip, dan mereka agak lama tinggal disini. Kemudian mereka berpindah lokasi pemukiman baru terus menuju Hulu Banyu Loksado, yakni Pantai Dusin. Setelah lahan ladang panen, anak dan isteri mereka, mereka jemput satu persatu.
- Kelompok kedua Anak kemenekan Langara an. Bayumbung bin Ulang dan keluarganya mereka membuka lahan pertanian atau bahuma menuju ke Hilir Banyu yakni Harantan. Disini cukup lama mereka tinggal, namun di Harantan ini anak cucu Datu Bayumbung ini banyak yang berislam, maka Dayak non Muslim mereka pindah kehilir lagi dekat desa Halunuk, setelah lahan ladang panen, anak dan isteri mereka, mereka jemput satu persatu. Kemudian nama Tetuha atau Penghulu Adat Bayumbung dijadikan oleh regenarasinya sebagai penghormatan terhadap leluhurnya yaitu nama balai adat maka disebutlah Balai Adat Bayumbung desa Halunuk.
Menurut Koran Banjar - Busana dalam artikel Balai Adat Meratus Tertua Ini Simpan Biji Beras Sebesar Kelapa
Menurut seorang tetua adat, Umberi, (kakek yang saat ini tinggal di Desa Harakit, Kecamatan Piani, Kabupaten Tapin itu) usia Balai Bayumbung sudah ratusan tahun. Ia berujar, balai Bayumbung merupakan salah satu balai tertua di Loksado
Sebelum
masyarakat Meratus menyebar berpindah-pindah ke berbagai penjuru Meratus, di
balai tersebutlah awal mula tempat tinggal masyarakat.
“Semua
sudah lupa sudah berapa ratus tepatnya, tetapi yang saya ingat sudah sekitar 7
kali berganti pengulu (kepala adat) di sini,” ungkapnya, jabatan pengulu
berakhir saat orang tersebut tak mampu lagi atau meninggal dunia.
Menghitung
usia orang dahulu yang panjang, diperkirakan 20-80 tahun sekali baru berganti
pengulu. Usia Umberi pun saat ini juga diungkapkannya, juga sudah 144 tahun.
Bangunan
Balai Bayumbung tidak seperti sekarang, dikatakannya balai Bayumbung sudah
dilakukan renovasi lebih dari 5 kali, karena rusak maupun hancur. Bahkan pernah
sekali hancur total, saat ditimpa musibah kebakaran.
Balai
Bayumbung dahulu memiliki peninggalan benda prasejarah, sebuah biji padi
seukuran kelapa yang dinamakan Banih kelapa. Namun, benda yang tinggal satu
biji tersebut sudah musnah, akibat musibah kebakaran balai.
Konon, zaman dahulu kala benda-benda banyak berukuran jumbo. Masyarakat percaya beras yang kecil saat ini, dahulunya adalah beras besar tersebut. Kendati sudah tidak ada lagi bukti sejarah tersebut, sampai saat ini seluruh penjuru HSS banyak yang mempercayainya (Hidayat, 2019)
8. Tanah Bekas lokasi bangunan Balai Ulin menjadi
badan sungai
Adanya peristiwa air ba’ah yang besar menghayutkan Balai
Adat dan Penghuninya tersebut, air bah itu
telah melewati desa Lumpangi, kemudian arus air sungai membelah dua, yakni
: Tanah bekas lokasi bangunan Balai Ulin dulu berubah menjadi badan sungai baru
pada bagian kiri dan lebih deras airnya dari badan sungai lama pada bagian
kanan, hingga timbul murung (pulau) ditengah-tengah belahan sungai tersebut.
Sekarang ini, kalau kita menyebaragi kali Amandit lewat jembatan gantung menuju
Kubah Datu Lumpangi, dan kalau kita berdiri di tengah-tengah jembatan itu
memandang kehilir sungai. Maka kita akan melihat sungai itu membalah dua dan
dihilir murung (pulau), air sungai itu
menyatu kembali
9.Warna air ba'ah itu putih seperti susu
kehitam-hitaman
Sebagian ada yang berkata menurut Datu-Nenek kami bahari
bahwa "Warna air ba'ah itu putih seperti susu kehitam-hitaman dan sangat
kalat rasanya, seperti bercampur
belirang atau bau batu bara sehingga mata iwak-iwak atau ikan -ikan kabur, maka
banyak ikan-ikan yang naik ke tepi sungai untuk menyelamatkan diri dan akhirnya
mati terkapar, akibat matanya tidak dapat melihat lagi dalam air karena
pengaruh kalatnya air ba'ah itu. Hal ini sangat menggembirakan dan
menguntungkan masyarakat Lumpangi mereka panen ikan sa'at itu".
10. Halaman Masjid dan sekitarnya menjadi
Pantai
Akibat terjadinya Erosi. Fostur tanah tempat berdirinya
Balai Adat "Balai Ulin Lumpangi" dan sekelilingnya menjadi rendah
atau talabuh atau tanahnya terkikis sebagai akibat air ba’ah itu.
Sebagian erosi
dilakukan oleh air, angin, dalam bentuk gletser adalah sebuah bongkahan atau
endapan tanah yang besar dan tebal yang terbentuk di atas permukaan tanah.
Selain itu, erosi juga dipengaruhi oleh letak astronomis.
Maka menjadi keuntungan bagi masyarakat Desa
lumpangi. Sebab disaat itu desa Lumpangi
ini sudah lama berdiri sebuah Mesjid tua bernama Jannatul Anwar. Dulu masjid
ini dibangun ditepi sungai Amandit,
kemudian akibat air ba’ah yang besar
(ba’ah/banjir), maka sungai kali Amandit pindah mendekati bukit batu Langara,
dan arus sungai dekat pasar dan sebagai akibat erosi tanah, arus sungai di
bawah-halaman Masjid menjadi pantai. Yaitu sebuah bongkahan atau endapan tanah
yang besar dan tebal yang terbentuk di atas permukaan tanah. Sehingga arus sungai sekarang ini jauh dari
Masjid. Sedangkan bukti sungai itu pindah sendiri bahwa bukti masih
ada. Dan terlihat jurang tanah bekas dinding sungai dibelakang/samping WC
Masjid tersebut. Ini adalah salah satu karamah masjid yang dibangun mula-mula
oleh Datu Habib Lumpangi dan anak cucunya ,bersama masyarakat di sekitarnya
9. Merehab Masjid Jannatul Anwar Desa
Lumpangi
Sebelum terjadinya banjir besar Masjid Jannatul Anwar
Desa Lumpangi sudah beberapa kali diperbaiki oleh Masyarakat sekitarnya. Tetapi
beberapa tahun setelah terjadinya air ba'ah besar itu maka Masjid Jannatul
Anwar Desa Lumpangi dipugar kembali atau di Rehap total dan dibangun kembali oleh
Habib Abu Thair dan Masyarakat sekitarnya dengan Arsitik yang bagus.
Menurut ceritera penuturan Habib
Bahriansyah Assegaf.yang saya temui dirumahnya bahwa “Aksisoris petaka kubah
atau manara kubah Masjid Jannatul Anwar
Lumpangi dari terbuat almanium hitam berbentuk buah-buah teruntai dan lantainya
dari tihal yang didatangkan atau dibeli oleh Habib Tanqir Ghawa dari Surabaya.”
Adapun tiang-tiang Masjid, atap dan dinding menggunakan
kayu ulin yang sudah modern, ada seni pahatan dan ukirannya khususnya pada
lis-lis dinding atap juga atap kubah sirap yang diberi petaka dan aksesoris
diatas kubahnya dan lis-lis kubah, jendela kaca dan aksesoris didalamnya (bawah
kubah) berupa lampu-lampu lilin digantung dengan rantai besi. Proses renovasi
itu dengan mendatangkan Tukang-tukang seni pahat dari kota Kandangan dan masjid
tersebut selesai direnovasi bangunannya diawal abad ke-20 Masihi sekitar tahun
1902 Masihi.
Menurut sumber data bahwa ada beberapa tokoh orang
Lumpangi yang berperan aktif ikut andil membangun merihab total Masjid Jannatul
Anwar Lumpangi kala itu antara lain : Habib Abu Thair sebagai ketua rehap
pembangunan masjid, H.Ahmad sebagai sekretaris, dan H.Mastur sebagai bendahara,
Habib Tanqir Ghawa, anggota, H. Bustani (menjabat Penghulu dan pengembangan
dakwah) merangkap anggota, Kayi Sarman anggota
dan tokoh masyarakat lainnya sebagai anggota
Menurut sumber
data yang kami dapatkan bahwa ".Sebagai akibat banjir besar
tersebut sisa satu batang tiang bekas Balai Adat itu untuk simbol bahwa di Lumpangi pernah
berdiri sebuah Balai Adat Dayak, tiang itu condong dan bergesir hingga rebah ke dasar sungai, dari belahan
sungai yang baru terbentuk akibat kuatnya terjangan banjir "..
Berkata Habib H.Hasan Basri Assegaf “Andaikata Muhammad
Langara (mantan Tetuha Adat Dayak) ia lupa berniat/ ia tidak berkeinginan menjadikan tiang Masjid Lumpangi dari sisa satu batang
tiang bekas Balai Adat tersebut sebagai
simbol, maka dapat dipastikan bahwa “satu batang tiang itu pastilah hanyut
ditelan air ba’ah yang ganas itu.”
Kemudian dimasa Habib Abu Bakar as-Tsani masih hidup,
dan cucunya Abu Thair dan Tanqir Ghawa buyutnya bahwa "1 batang tiang
Balai Adat yang terandam didasar sungai itu diangkat dan dijadikan tiang utama
atau tiang suku Guru masjid dan diletakkan ditengah-tengah sebagai Simbol atau
penyangga atau pananggak kubah saat renovasi pembangunan masjid"Jannatul
Anwar" Desa Lumpangi.
daftar bacaan
Artikel "Kerajaan Nan Sarunai" Tumatan Wikipidia Banjar, kindai pangatahuan,Laman ngini pahabisan diubah wayah 8 Pibuari 2020, pukul 12.59...... https://bjn.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Nan_Sarunai
Artikel "Mempersoalkan Klaim Kerajaan Nan Sarunai Lebih Tua daripada Kerajaan Kutai" Ditulis Selasa, 16 Juni 2020 oleh: .Muhammad Sarip .................... ............... https://kaltimkece.id/historia/mempersoalkan-klaim-kerajaan-nan-sarunai-lebih-tua-daripada-kerajaan-kutai
Artikel tentang “Suku Dayak”yang di tulis oleh Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Suku Dayak - Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas (diakses pada 19 Oktober 2021).
Artikel tentang “Sejarah Kalimantan Selatan” dari Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas
https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kalimantan_Selatan diakses 20-10-2021
:07.45 wita.
Artikel “Pulau Dayak (10 juni 2016) Aruh Adat Dayak Meratus Loksado” https://www.facebook.com/pulaudayak2/posts/pfbid021UMKPSiiNvAc5x8UjnMCqwT5vPB5Ypsi5GsRNRNaSbPkPWsQ5sinRyvjhgD15RpXl
Folklor adalah Ceritera/kisah yang penyebaran dan pewarisannya cenderung dilakukan secara lisan, yaitu disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari datu-datu dan nenek-nenek kami.
Artikel “Aruh Bawanang dan Suku Dayak Meratus” 27 Oktober 2021 | 15:00 diterbitka Koran sulindo untuk kesatuan dan bangsa https://koransulindo.com/aruh-bawanang-dan-suku-dayak-meratus/
Kitab Biografi Ulama-ulama Terkemuka Dunia dan Nasional” yang ditulis oleh “Syekh Samsul Afandi The source: hadhramaut.info/indo – 01/5/2008
Hasil-hasil Wawancara dengan Habaib Fam/Marga Assegaf Desa
Lumpangi yang masih hidup ditahun 2021Masihi, dan Ahmad Bayumbung misalnya
Habib Muhammad Burhan atau Muhammad Burhanuddin bin Ahmad Baderi Assegaf ,
Baseraninor, Ahmad/Amat Bayumbung . Dan lain-lainnya
Folklor adalah Ceritera/kisah yang penyebaran dan pewarisannya cenderung dilakukan secara lisan, yaitu disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari Masyarakat Suku Dayak.
sumber ;Balai Adat Meratus Tertua Ini Simpan Biji Beras Sebesar Kelapa, https://koranbanjar.net/balai-adat-meratus-tertua-ini-simpan-biji-beras-sebesar-kelapa/ Koran Banjar - Busana, oleh Muhammad Hidayat, Loksado September 29, 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar