I. Sekilas Sejarah Kerajaan Dayak Maanyan "Nansarunai" Kalimantan Selatan
Di daerah
selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi
lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan
Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang
diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 Masihi. Kejadian tersebut
mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah
pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada
saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para
pedagang Melayu sekitar tahun 1520M (Suku Dayak).
Kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan tersebut yang berlokasi di Kabupaten Hulu Sungai Utara Amuntai. Nansarunai diyakini berada di Amuntai, daerah yang terletak di pertemuan Sungai Negara, Sungai Tabalong, dan Sungai Balangan yang bemuara di Laut Jawa. Akibat serangan Majapahit itu yang terjadi diakhir abad ke-14 Masihi suku Dayak Maanyan tersebut terdesak dan terpencar, sebagian masuk ke pedalaman-pedalaman hulu sungai.
Menurut Sejarah tradisi lisan suku Dayak bahwa Kerajaan Dayak Maanyan yang bernama Kerajaan Nan Sarunai, pernah berdiri di daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Amuntai. "Nan Sarunai diyakini berada di Amuntai, daerah yang terletak di pertemuan Sungai Negara, Sungai Tabalong, dan Sungai Balangan yang bemuara di Laut Jawa. Daerah itu berjarak sekira 190 kilometer dari Banjarmasin, ibukota Provinsi Kalimantan Selatan sekarang" (Raditya 2018)
II. Sekilas Sejarah berdirinya Balai Adat "Balai Ulin Lumpangi" Kecamatan Loksado
Kurang lebih 150 tahun atau satu setengah abad kemudian setelah kekalahan mereka dari serangan Majapahit di akhir abad ke-14 tahun 1389M sebagian rakyatnya ada yang menyingkir menyelamatkan diri masuk ke pedalaman-pedalaman hingga akhirnya sebahagian Generasi ke-4, ke-5 dan ke-6 mereka ada yang sampai berhijerah ke desa Lumpangi. Loksado. Nah di Desa Lumpangi inilah pernah berdiri diperkirakan tahun 1552 pertengahan abad ke-16 sebuah Balai Adat di tepi kali sungai Amandit.
Menurut Ahmad dan Ceritra datu nenek kami
bahwa “Amandit dan saudara sepupunya Kantawan adalah nama dua orang Punggawa Kerajaan Nansarunai dari Dayak
Maanyan yang ditugaskan menyelamatkan Dara Gangsa Tulen Ratu Nansarunai dan keluarganya dari kejaran-kejaran
tentara Majapahit. Punggawa Amandit membawa mereka lewat tanah kelahirannya hingga perjalanan sampai ke-
Desa Peramasan Atas Kab. Banjar. Nah di Desa inilah terdapat sebuah nama bukit
/gunung Panginangan Ratu dan makam Ratunya ada disana.”.
Menurut folklor ceritra datu nenek kami kalau dihitung dari runtuhnya kerajaan Nan Sarunai bahwa diperkirakan generasi ke-8, ke-9 dan ke-10 pancaran Suku Dayak Maanyan mereka sudah lama berdomisili di Desa Lumpangi Loksado, mereka membangun kembali Balai Adat yang perabut bangunan utamanya dari kayu Ulin. Kayu Ulin tersebut ditebang dan diolah (ditarah) dengan kapak Baliung atau Balayung. Peralatan lainnya seperti parang.Bungkul, Mandau untuk mengkayau /perang, tumbak dan Sumpit untuk berburu binatang liar. Kayu-kayu tersebut diambil dan dibawa dari Hulu Banyu Loksado dengan rakit bambu /lanting. Balai Adat itu dikenal oleh masyarkat desa Lumpangi dengan nama rumah adat "Balai Ulin".
Pada pertengahan abad ke-17 Masihi Balai Adat "Balai Ulin" Lumpangi Loksado direhap total oleh Regenerasi suku Dayak. Sekitar tahun 1700 Masihi akhir abad ke-17 Balai Adat tersebut dipimpin oleh seorang Kepala Suku Dayak atau Tetuha atau Penghulu Adat bernama Langara, ia punya adik kandung bernama Ulang. Dayak Ulang ini punya anak bernama Bumbuyanin dan Bayumbung, sedangkan Dayak Langara menurut sumber data punya 3 anak pertama bernama Talib dan kedua bernama Anjah dan ketiga bernama Aluh Milah.
Dari tahun 1552 - 1705 M yaitu sekitar 150 tahun atau satu setengah abad usia keberadaan Balai Adat "Balai Ulin" Lumpangi dapat bertahan. Kemudian seiring waktu setelah Penghuni Balai Adat "Balai Ulin" banyak yang menerima hidayah Islam lewat Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf, Balai Adat Balai Ulin bubar awal abad ke-18 tahun 1722M maka Balai Ulin Desa Lumpangi mulai ditinggalkan oleh Suku Dayak yang belum menerima hidayah Islam, walaupun mereka sudah mengenal Islam dengan baik hingga bertahun-tahun. Kemudian Balai Adat tersebut dipindah dicabut-diangkut atau dibawa ke Pantai Dusin Hulu Banyu Loksado oleh Dayak Bumbuyanin bin Ulang ketika awal membuat permukiman dayak disana.
Adapun agama atau kepercayaan orang Dayak
Lumpangi yang
mereka anut saat itu adalah
"KAHARINGAN"
yakni kepercayaan terhadap kekuatan roh-roh nenek moyang mereka, oleh karenanya
dikenal dengan Dayak Kaharingan. Kepercayaan yang mereka anut
itu dikenal oleh masyarakat Hulu Sungai Selatan dengan sebutan Balian atau Babalian.
"Kaharingan dan suku
Dayak di Kalimantan adalah satu kesatuan yang tak dipisahkan. Menurut orang
Dayak, agama Kaharingan telah ada sejak awal penciptaan. Sejak Ranying Hatalla
Langit (Tuhan Yang Maha Esa) menciptakan alam semesta. Bagi mereka,
Kaharingan sudah ada beribu-ribu tahun sebelum masuknya Hindu, Budha, Islam dan
Kristen. Istilah Kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah
danum kaharingan (air kehidupan), maksudnya agama suku atau kepercayaan yang
hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat Dayak di
Kalimantan"(Eko 2014)
III. Rakam Jejak Perjalanan Habib Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Aly bin Abdurrahman Assegaf ke Nusantara (ia berkunjung ke Bandarmasih)
Menurut Sejarah Perkembangan Islam di Timur Jauh, terjemah
Dzija Shahab, Almaktab-AlDaimi bahwa “Orang Arab dikenal sebagai orang yang suka berpetualang menjelajahi sepanjang lautan sebelum dan sesudah berkembangnya Islam, kedatangan orang Arab di Indonesia makin jelas setelah agama
Islam lahir (abad VII M). Pada masa ini mereka sedang mengemban dua tugas yaitu
berniaga dan menyiarkan agama Islam. Jauh sebelum Belanda datang pertama kali ke Nusantara tahun (1596) Masihi, sudah ada orang Arab yang datang dari
Hadramaut ke
Jawa
termasuk ke Jakarta" (Sejarahahlulbait 2014)
Sejak awal abad ke-16M tersebut yakni mulai 24 September 1526M, Kerajaan Banjar berubah menjadi Kesultanan Banjar, Agama resmi kerajaan yang dulunya Agama Hindu berubah menjadi Agama Islam. Pengeran Samudera setelah masuk Islam menjadi atau bergelar Pengeran Suriansyah. Nama kotanya yang dulunya Bandarmasih menjadi Banjarmasin sekarang.
Sepuluh tahun kemudian di abad yang sama adalah Awal Perjalanan panjang Habib Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Aly Assegaf ke Nusantara masa Kesultanan Banjar dimasa pemerintahan Islam sultan Suriansyah, Menurut sumber data bahwa “Habib asal Hadramaut yang datang pertama kali berkunjung ke Bandarmasih tujuannya berdagang “Permadani, Hambal dan Sajadah” dan mencari rempah-rempah diperkirakan awal abad ke-16M yakni tahun 1536 Masihi, ia adalah orang tua Umar Ash-Shufy yakni “Habib Abdurrahman” bin Muhammad bin ‘Aly bin Abdurrahman Assegaf. Beliau sempat nginap di Sungai Mesa Bandarmasih dan ia tidak lama menetap di kota ini kemudian balik lagi ke Kesultanan Demak. Beliau berasal dari Seiyun Hadramaut (juga ditransliterasikan sebagai Saywun, Sayoun atau Say'un;
Beliau Datuknya dari (Datu Habib Lumpangi) adalah salah satu
dzuriat keturunan Syekh dan Imam Sayyid Abdurrahman bin Habib Muhammad Maula
Dawilah berasal dari Hadramaut Yaman, ia singgah menetap atau berdomisili yang
lama di Kesultanan Demak Jawa Tengah sehingga beliau bersikaf dengan adat Jawa,
lembut dan sopan dan juga sangat pasih berbahasa Malayu Indonesia. Fam/marga
beliau As-Saqqaf, akan tetapi orang-orang Arab menyubutkan kata as-Saqqaf
sulit/tidak bisa, maka disebutkan dengan lisan Arab adalah as-Seggaf. Orang
Indonesia menulisnya "Assegaf".
IV. Keluarga/ Aal-ALSAQQAF dari golongan habaib yang pertama kali datang dan menetap di Lumpangi Loksado
Menurut Sejarah
Perkembangan Islam di Timur Jauh, terjemah Dzija Shahab, Almaktab-AlDaimi bahwa
“Orang Arab dikenal sebagai orang yang suka berpetualang menjelajahi sepanjang
lautan sebelum dan sesudah berkembangnya Islam, kedatangan orang Arab di Indonesia
makin jelas setelah agama Islam lahir (abad VII M). Pada masa ini mereka sedang
mengemban dua tugas yaitu berniaga dan menyiarkan agama Islam. Jauh sebelum
Belanda datang pertama kali ke Nusantara tahun (1596) Masihi, sudah ada orang
Arab yang datang dari Hadramaut ke Jawa termasuk ke Jakarta" (Sejarahahlulbait 2014)
Sebelumnya ayahandanya Habib Umar Ash-Shufy bernama Habib Abdurrahman bin Muhammad Assegaf telah melakukan perjalanan panjang ke Nusantara di abad ke-16 tahun 1536 M. awal abad kerajaan Islam Banjar berdiri dengan Raja Pengiran Suriansyah, dan ketika berkunjung ke Bandarmasih, Beliau singgah beberapa wakku di Kampung Sungai Mesa. Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Aly Assegaf tersebut hidup antara pertengahan akhir abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-16 Masihi.
Menurut Artikel “Menelusuri Silsilah Suci Bani Alawi Sadah Aal Ba Alawy Aal Muhammad” ditulis oleh Al Habib Aidarus Almashoor bahwa Habib Aly bin Sayyid Abdurrahman Assegaf wafat 840H/1437M di Tarim Hadramaut. Beliau mempunyai 3 orang anak laki-laki an.
- Abdurrahman (keturunannya terputus)
- Ahmad
- Muhammad
Kemudian Muhammad mempunyai 2 orang anak/ keturunan an.
- Abdullah dan keturunannya di Mukalla Yaman
- Abdurrahman
Kemudian Abdurrahman mempunyai keturunan atau anak laki-laki atas nama :
- Aly dan Beliau ini kakeknya Keluarga As- Saqraan di Tarim dan Zili
- Umar ash-Shafy atau Umar ash-Shufy
Lalu Umar ash-Shafy atau Umar ash-Shufy tersebut Beliau punya anak /keturunan atas nama : Muhammad dan Toha. Lalu Keluarga Muhammad bin Umar ash Shafy Assegaf tersebut tersebar sekarang di Tarim, India, Siak, Kalimantan dan Jawa. Sedangkan menurut silsilah nasabnya bahwa "Muhammad bin Umar as-shufy Assegaf" punya anak an. Hasyim. Hasyim punya anak an. Hasan dan Idrus. Hasan punya anak Abu Bakar dan Abu Bakar punya 4-5 isteri dan punya 9 anak laki-laki,,
Menurut kitab biografi "Ulama Terkemuka Dunia dan Nasional" yang ditulis oleh Syamsul Afandi bahwa Aal AL-SHAFI AL-SAQQAF. Mereka adalah keturunan waliyullah Umar al-Shafi bin Abdurahman al-Mualim bin Muhammad bin Ali bin Abdurahman al-Saqqaf.
Pemberian gelar al-Shofi karena beliau mempunyai kejernihan hati dan pikiran, kebersihan perasaan, kelembutan tabiat. Waliyullah Umar al-Shafi wafat di kota Tarim
Pada awal
abad ke-18M yang pertama kali datang berkunjung dan menetap di Lumpangi Loksado dari golongan habib/ syarif adalah (keluarga) Aal-ALSAQQAF
آل السقاف (dibaca Assegaf/al Seggaf), yaitu Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim. “Yang pertama kali digelari al-saqqaf ialah
waliyullah al-Muqaddam al-Tsani al-Imam Abdurahman bin Muhammad Maula Dawilah
bin Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam (Afandi 2008).”
Menurut ceritra Datu-datu kami bahwa Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf sudah datang, dan berada di Lumpangi jauh sebelum Belanda datang ke Kesultanan Banjar. Islam masuk ke Taniran lewat Sayyid Hasan terus ke Lumpangi Loksado dibawa Sayyid Abu Bakar bin Hasan Assegaf masa Kesultanan Banjar, diakhir abad ke-17 Masihi yaitu masa Raja Banjar yang ke-10 Sultan Tahmidullah I tahun 1700-1717 Masihi. Tetapi Habib Abu Bakar Assegaf melakukan dakwah berada di Balai Ulin sezaman dengan masa pemerintahan Sultan Tahmidullah I hingga pertengan abad 18 M. Masa pemerintahan Sultan Tamjidillah I yang berlokasi kota di Martapura (nama dulu "Kayu Tangi") Belanda belum menjajah Kesultanan Banjar yakni tahun 1734-1759M.
V. Rakam Jejak Perjalanan Habib Hasyim bin Muhammad Assegaf dan Keluarganya
dari Seiyun Hadramaut Yordania ke Nusantara
Sejarah menyebutkan bahwa “Salah satu keturunan Nabi Muhammad Saw
yakni Habib Hasyim bersama keluarganya dilaporkan melalui perjalanan panjang
mereka bertolak
dari Seiyun
Hadramaut menuju ke pelabuhan Turki terus menuju Asia Tenggara lewat Singapora menuju ke pelabuhan Palembang terus
menuju ke pelabuhan Gresik hingga tiba di Kesultanan Demak Jawa Tengah
Islam mengalami puncak keemasan atau kejayaan di Nusantara di masa
Kesultanan Demak di Jawa Tengah. Habib Hasyim bersama keluarganya datang ke
Nusantara dan menetap lama di Kel. Randusari, Kec. Semarang Selatan, Kota
Semarang Prov. Jawa Tengah.
Adapun Habib Hasyim bin Muhammad Assegaf diperkirakan hidup abad ke-17 Masihi. Abad ke-17 dihitung dari tahun 1601-1700 Masihi. Ia dengan kedua anaknya dan cucunya Habib Abu Bakar mereka datang dari Seiyun Hadramaut, Negeri Yaman atau Yordania.
Kalau
kita analisa antara Habib Idrus dan Abu Bakar keponakanya maka lebih tua Habib
Abu Bakar, salah satu alasannya ketika mereka hijerah ke Nusantara, Abu Bakar
sudah punya isteri dan anak an.Shalih sedangkan Idrus menikah dan punya anak
an.Aly ketika ia berada di Sungai Mesa Bardarmasih dan Keluarga Habib Hasyim
ini, mereka berkhidmad dan menetap tinggal di kota Semarang ini dimasa
Kesultanan Demak.
Penulis belum menemukan
keterangan Habaib lain atau Artikel-artikel yang ditulis ttg pernikahan Habib di kota ini, masa
ia menetap di Kesultanan Demak di Jawa
Tengah, Tetapi secara
normal tidak menutup
kemungkinan Habib
Abu Bakar bin Hasan Assegaf menikah
lagi dengan wanita salihah di kota itu, sebab dikatakan bahwa ia cukup lama tinggal menetap bersama kakeknya
Habib Hasyim di Kel.
Randusri Kec. Semarang Selatan di sekitar abad ke-17 Masihi.
Habib Alwi bin Abdillah bin Shalih
adalah Buyut pertama dari Habib Abu
Bakar bin Hasan Asseggaf Lumpangi yang menyusul dan mengikuti jejaknya ke
Nusantara untuk meneruskan - menyempaikan Misi Dakwah Islam dari pendahulunya.
Salah satu pendatang Hadramaut yang disebut-sebut pernah bermukim
di wilayah ini adalah Habib Alwi
bin Abdillah
Assegaf (wafat pertengahan tahun 1800-an) (Artikel Kajian al Kahfi)
Menurut Artikel Sejarah Ahlul Bait (Keturunan) Sayyidina Muhammad
Saw di Indonesia menyebutkan bahwa “Seorang dari keluarga Assegaf bernama Alwi
(w.1842M) bin
Abdillah bin Saleh bin Abubakar dilaporkan melalui perjalanan panjang dari
Hadramaut-Turki-Palembang-Gresik sebelum menyinggahi Banjarmasin dan sempat
bermukim di Kampung
Sungai Mesa. Alwi kemudian
menetap di Martapura (Kampung Melayu) dan mendapat hadiah tanah dari Sultan
Adam di daerah Karang Putih. Kelak ia dan anak cucunya bermakam di tanah
pemberian sultan tersebut (makam Karang Putih Jl Menteri Empat Martapura) ”( Artikel
Fakhrul 04-2012M)
Dan hingga akhirnya Habib Hasyim bin Muhammad bin Umar as-Shufy dengan kedua anaknya Habib Hasan dan Idrus Assegaf berada di Kelurahan Randusari, di kota ini mereka mempelajari sungguh-sungguh Bahasa setempat hingga mereka paham dan pandai berbahasa loghat Malayu dan loghat Bahasa Jawa. Tujuan utamanya disamping berdagang dan untuk mempermudah menyampai Misi Dakwah Islam dari moyang mereka. Habib Hasyim dan Idrus anaknya ini keduanya wafat di kota ini Habib Hasyim wafat diperkirakan tahun 1666M/ 1077H, dan sekarang keduanya bermakam berlokasi Kelurahan Randusari, Kec. Semarang Selatan, Kota Semarang Jawa Tengah. Habib Hasyim ia adalah orang tuanya Habib Hasan, dan Habib Hasan yang wafat diperkirakan tahun 1720M dan makamnya berkubah di Taniran, Kec. Angkinang Kab. Hulu Sungai Selatan, Prov. Kalimantan Selatan.
Habib Hasan bersama keluarganya dan adiknya Habib Idrus berhijerah dari Randusari Semarang dan tiba di Bandarmasih dan mereka menetap lama dipelabuhan kapal Kampung Sungai Mesa Bandarmasih
Sejak awal abad ke-16M tersebut yakni mulai 24 September 1526M, Kerajaan Banjar berubah menjadi Kesultanan Banjar, Agama resmi kerajaan yang dulunya Hindu berubah menjadi Agama Islan. Pengeran Samudera setelah masuk Islam menjadi atau bergelar Pengeran Suriansyah. Nama kotanya yang dulunya Bandarmasih menjadi Banjarmasin sekarang.
Ada yang mengatakan bahwa Islam mulai masuk ke Kalimantan Selatan abad ke 15M sampai abad ke 18M. Pada Abad ke-17M sampai ke-18M adalah masa puncaknya perkembangan agama Islam di Kalimantan Selatan dan masa keemasan Kerajaan Banjar. Adapun puncak keemasan Kerajaan Banjar dan perkembangan Islam ditandai datangnya syekh-syekh / Habaib ke Banjar
Setelah Kerajaan Banjar memperoleh kemenangan melawan Kerajaan Daha. Inilah salah satu alasan Kesultanan Demak mengirim dan mengutus Para Habaib dan Syekh-syekh Islam secara resmi datang ke Kesultanan Banjar, dan diakhir abad ke-17 Masihi yaitu masa Raja Banjar yang ke-10 Sultan Tahmidullah I tahun 1700-1717 Masihi, diantaranya Sayyid Abdullah bin Abu Bakar al-Aydrus dengan isterinya Siti Aminah menuju Desa Lok Gabang Martapura (mereka orang tua Datu Kelampayan). Sedangkan Habib Hasan dan anak kandungnya Habib Abu Bakar Assegaf menetap di kampung Sungai Mesa Bandarmasih
Sungai Mesa merupakan sebuah kampung tua di Kota Banjarmasin (Bandarmasih dahulu). Kampung ini dibangun oleh seorang tokoh yang dikenal dengan nama Kiai Mesa Jaladri. Tidak diketahui persis, kapan Kiai Mesa membangun wilayah ini, yang jelas sejak itu Kampung Sungai Mesa menjadi wilayah tempat tinggal yang strategis. Letaknya yang persis di tepi sungai Martapura, membuat daerah ini menjadi semacam pelabuhan kecil tempat menaik-turunkan barang dagangan dari perahu. Di seberang Sungai Mesa adalah Jalan Pasar Lama Laut yang sekarang menjadi pusat perkantoran pemerintah Provinsi Kalsel” (Artikel Kajian al Kahfi)
Habib Hasan bersama keluarganya menetap di kampung pelabuhan Sungai Mesa Bandarmasih tak menutup kemungkinan Habib Abu Bakar bin Hasan menikah lagi dengan wanita salihah dan punya satu atau dua isteri dan punya satu atau dua anak khususnya di kampung pelabuhan Sungai Mesa tersebut, Orang-orang Banjar menyebut kampung tersebut dengan sebutan "Kampung Arab". Kemudian isteri dan anakya, ia tinggalkan berniaga, sebelum ia sampai ke Desa Lumpangi. tetapi Penulis belum menemukan orang yang ngaku dzuriatnya berdasarka silsilah nasabnya.
Setelah lama menetap di Bandarmasih Habib Hasan bersama keluarganya berhijerah dari kampung pelabuhan Sungai Mesa Bandarmasih diperkirakan dipertengahan akhir abad ke-17 Masihi mereka mudik menyisir tepi sungai Barito dengan perahu jukung, membawa dagangannya berupa kain sarung dan imitasi perhiasan wanita, setiap ada tumpukan rumah penduduk di tepi sungai yang mereka lalui mereka singgahi, menawarkan dagangan yang mereka bawa. berhari-hari bahkan berminggu-minggu mereka mengayuh jukung, bahkan berbulan-bulan mereka meliwati kampung-kampung, melewati Desa-desa dan kota-kota pelabuhan kapal. Seperti kota pelabuhan Sungai Pinang Nagara mereka singgahi.
VI. Habib Hasan bersama keluarganya dan adiknya Habib Idrus berhijerah dari Randusari Semarang dan tiba di Bandarmasih dan mereka menetap lama dipelabuhan kapal Kampung Sungai Mesa Bandarmasih
Sejak awal abad
ke-16M tersebut
yakni mulai 24 September 1526M, Kerajaan Banjar
berubah menjadi Kesultanan
Banjar, Agama resmi
kerajaan yang dulunya Hindu berubah menjadi
Agama Islam. Pengeran
Samudera setelah
masuk Islam menjadi atau bergelar Pengeran Suriansyah.
Nama kotanya yang dulunya Bandarmasih
menjadi Banjarmasin
sekarang.
Ada yang mengatakan bahwa Islam mulai masuk ke Kalimantan Selatan abad ke 15M sampai abad ke 18M. Pada Abad ke-17M sampai ke-18M adalah masa puncaknya perkembangan agama Islam di Kalimantan Selatan dan masa keemasan Kerajaan Banjar. Adapun puncak keemasan Kerajaan Banjar dan perkembangan Islam ditandai datangnya syekh-syekh / Habaib ke Banjar.
Setelah Kerajaan Banjar memperoleh kemenangan melawan Kerajaan Daha. Inilah salah satu alasan Kesultanan Demak mengirim dan mengutus Para Habaib dan Syekh-syekh Islam secara resmi datang ke Kesultanan Banjar, dan diakhir abad ke-17 Masihi yaitu masa Raja Banjar yang ke-10 Sultan Tahmidullah I tahun 1700-1717 Masihi, diantaranya Sayyid Abdullah bin Abu Bakar al-Aydrus dengan isterinya Siti Aminah menuju Desa Lok Gabang Martapura (mereka orang tua Datu Kelampayan). Sedangkan Habib Hasan dan anak kandungnya Habib Abu Bakar Assegaf menetap di kampung Sungai Mesa Bandarmasih.
Sungai Mesa merupakan sebuah kampung tua di Kota Banjarmasin (Bandarmasih dahulu). Kampung ini dibangun oleh seorang tokoh yang dikenal dengan nama Kiai Mesa Jaladri. Tidak diketahui persis, kapan Kiai Mesa membangun wilayah ini, yang jelas sejak itu Kampung Sungai Mesa menjadi wilayah tempat tinggal yang strategis. Letaknya yang persis di tepi sungai Martapura, membuat daerah ini menjadi semacam pelabuhan kecil tempat menaik-turunkan barang dagangan dari perahu (kapa)l. Di seberang Sungai Mesa adalah Jalan Pasar Lama Laut yang sekarang menjadi pusat perkantoran pemerintah Provinsi Kalsel” (Artikel Kajian al Kahfi)
Habib Hasan bersama keluarganya menetap di kampung pelabuhan Sungai Mesa Bandarmasih tak menutup kemungkinan Habib Abu Bakar bin Hasan menikah lagi dengan wanita salihah dan punya satu atau dua isteri dan punya satu atau dua anak khususnya di kampung pelabuhan Sungai Mesa tersebut, Orang-orang Banjar menyebut kampung tersebut dengan sebutan "Kampung Arab". Kemudian isteri dan anakya, ia tinggalkan berniaga, sebelum ia sampai ke Desa Lumpangi. tetapi Penulis belum menemukan orang yang ngaku dzuriatnya berdasarka silsilah nasabnya.
Habib ini tinggal di Bandarmasih berada dilingkungan orang yang sudah Agamis, profisi berniaga dagang kain dan perhiasan wanita. Untuk menghidupi keluarganya sehar-hari ia berniaga menawarkan dan menjual dagangannya kesekitar penduduk yang berada ditepi sungai Barito. Tetapi di daerah kota ini tujuan utamanya misi berdakwahnya belum tersampaikan.
Penulis belum dapatkan keterangan yang jelas ttg pernikahan Habib sebelum kedatangan Buyut pertamanya Habib Alwi bin Abdillah bin Shalih ke Nusantara sekitar abad ke-19 Masihi. Tetapi sebelum itu tidak menutup kemungkinan Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf menikah lagi dengan wanita salihah di kampung Sungai Mesa. Sebab keberadaannya cukup lama tinggal menetap di Kampung Sungai Mesa Bandarmasih di sekitar akhir abad ke-17 Masihi.
Abad
ke-17 dihitung dari
tahun 1601 sd. tahun 1700. Sedangkan Abad ke-18 dihitung dari tahun 1701 sd. tahun 1800. Jadi Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf diperkirakan lahir antara tahun 1725-1740 Masihi atau Ahmad
diperkirakan lahir di paruh kedua pertengahan tahun 1800-an.
Menurut salah satu
Artikel yang pernah saya baca mengindikasikan Habib Abu
Bakar bin Hasan Assegaf memang menikah dan punya anak, dan keturunannya tersebut bahwa “Orang Pemukim
lama (tua) yang tinggal di Sungai Mesa Bandarmasih dari golongan sayyid-habib yang ber- Marga-Fam Assegaf adalah Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf, dialah (Abdurrahman) keturunan (anak) Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf.
Menurut Artikel Kajian
al Kahfi bahwa “Pemukim
dari golongan sayyid yang terhitung orang lama (tua) di Sungai Mesa adalah
Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf. Ahmad diperkirakan lahir di paruh kedua
pertengahan tahun 1800-an. Ahmad
memiliki saudara bernama Umar,
Muhdor dan Muhammad. “Pekerjaan
Habib Ahmad berdagang kayu ulin, juga membawa tajau, belanga berdagang dengan
urang Dayak,” cerita Syarifah Nikmah.
Setelah lama menetap di Bandarmasih Habib Hasan bersama keluarganya berhijerah dari kampung pelabuhan Sungai Mesa Bandarmasih diperkirakan dipertengahan akhir abad ke-17 Masihi mereka mudik menyisir tepi sungai Barito dengan perahu jukung, membawa dagangannya berupa kain sarung dan imitasi perhiasan wanita, setiap ada tumpukan rumah penduduk di tepi sungai yang mereka lalui mereka singgahi, menawarkan dagangan yang mereka bawa. berhari-hari bahkan berminggu-minggu mereka mengayuh jukung, bahkan berbulan-bulan mereka meliwati kampung-kampung, melewati Desa-desa dan kota-kota pelabuhan kapal. Seperti kota pelabuhan Sungai Pinang Nagara mereka singgahi.
VII. Rakam
Jejak Habib Hasan bersama keluarganya
berhijerah ke Nagara dan menetap dipelabuhan kapal desa Sungai Pinang
Nagara
Habib Abu Bakar berhijerah & berdagang dengan membawa Misi Dakwah Islam dari pelabuhan kapal Sugai Mesa Bandarmasih Kalsel, tetapi ia tidak membawa dan mengikut sertakan anak dan isteri dalam hal mencari rezki berdagang di pelabuhan kapal desa Sungai Pinang Nagara dan sekitarnya.
Menurut ceritra datuk-neni kami bahari dan kisah orang-orang tua yang saya temui bahwa "Habib Abu Bakar bersama orang tuanya berhijerah & berdagang dengan membawa Misi Dakwah Islam dari pelabuhan kapal Sugai Mesa Bandarmasih Kalsel, mereka berlabuh dengan Perahu/jukung yang sangat sedarhana, ia mulai menyisir tepi aliran Sungai Barito menuju aliran sungai Marabahan (penduduk aslinya suku Dayak Bakumpai) mereka singgah beberapa hari, terus dari sini mereka menuju aliran sungai Margasari (Kab. Tapin) hingga sampai di pelabuhan Margasari (kota Candi Laras-agma Hindu) ini mereka singgah /menetap dan berdakwah beberapa bulan akhirnya dari Margasari ini mereka berlabuh lagi hingga tiba di pelabuhan kapal Sungai Pinang Nagara.
Tetapi
Habib Abu Bakar tidak membawa dan tidak mengikut sertakan anak dan isteri dalam hal mencari rezki berdagang di
pelabuhan kapal desa Sungai Pinang Nagara, Margasari dan sekitarnya.
Diperkirakan dipertengahan akhir abad ke-17 Masihi antara tahun 1680-an sd. 1700-an ini, Habib Hasan bersama keluarganya sudah menetap Nagara. Seperti kota pelabuhan kapal desa Sungai Pinang Nagara. Tepatnya mereka singgahi.di pelabuhan kapal desa Sungai Pinang dekat pasar Nagara sekarang. Habib Abu Bakar bersama ayahnya Habib Hasan pergi berdagang dan membawa misi dakwah Islam meninggalan anak dan isteri berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan tidak pulang kerumah. Tetapi. mereka juga menetap lama di pelabuhan kapal desa Sungai Pinang ini. Sehingga Habib Abu Bakar bin Hasan bahwa ia menikah lagi dengan wanita shalihah yang ada di desa Sungai Pinang Nagara saat itu, dan dari pernikahannya ini ia punya anak satu atau dua orang laki-laki yang tersebar ditempat-tempat yang pernah disinggahinya dan salah satu keturunannya yang terkonvirmasi di kota ini an. Abdul Hamid”. Dan salah satu cucunya bernama Saqqaf (ditulis-dibaca Seggaf) yakni Alhabib Seggaf bin Abdul Hamid bin Abu Bakar Assegaf (Kramat Assegaf Sungai Pinang) Alamat; Samping Kantor Desa Sungai Pinang-Nagara, KM.37. Kecamatan Daha Selatan.Kab.Hulu Sungai Selatan Prov.Kalsel.
Diawal bulan Juni 2025 ada orang dari kota Palangkaraya minta konvirmasi ttg nasab keluarga Habib Abu Bakar Lumpangi, ia ingin mendaftarkan nasabnya ke Rabithah. Kalau nasabnya seprti ini, dan jumlah nasab antara 38-39 orang ke anaknya masih memenuhi syarat tahun ini :
Sebab menurut penelitian Pakar Nasab menyebutkan bahwa “ marga tertua atau fam tertua dari puluhan marga/fam Dzuriat Nabi Muhammad Saw yang ada di Indonesia ialah al saqqaf (Assegaf). Lalu Assegaf ini tinggi, Keturunan Nabi yang ada di Indonesia ini umumnya adalah generasi ke-38 atau ke-39 tahun 2022".bahkan kalau dilihat nasab Dzuriat Datu Habib Lumpangi di Kalimantan Selatan sampai generasi ke-40 dan generasi ke-41 di tahun yang sama.
Adapun silsilah Nasabnya menurut Habib H. Abdullah bin H,Hubbul Wathan Assegaf sebagai berikut :
- H.Abdullah
- bin H.Hubbul Wathan
- bin H.Muhammad
- bin M.Arsyad
- bin Jafri
- bin Abdul Hamid
- bin Abdurrahman Assegaf Ketapang Kec. Bakarangan Rantau
- bin Abdul Hamid (orang tua Habib Segaf Desa Sungai Pinang Nagara)
- bin Sayyid Abu Bakar (سَيِّدِ أَبُوْبَكَرْ) w.1759M.
- bin Hasan w.1720M
- bin Hasyim w.1666M/1077H
- bin Muhammad
- bin Umar ash-Shofi
- bin Abdurrahman
- bin Muhammad
- bin Ali w.840H
- bin Sayyidina Syekh Al-Imam Al-Qutb Abdurrahman Assygaf (1338-1416M)
- bin Syekh Muhammad (Maula Ad-Dawilah wafat 665 H))
- bin Syekh Ali (Shahibud Dark) w. Rabu 17 Rajab 709H /1289M
- bin Sayyidina Al-Imam Alwi Al-Ghuyur (w.669 H)
- bin Sayyidina Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad (574-653H(1232M)
- bin Sayyidina Ali Walidul Faqih
- bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath (w. 556H/1161M)
- bin Sayyidina Ali (Al-Imam Kholi Qasam w.527 H/1133 M)
- bin Sayyidina Alwi (w.512H)
- bin Sayyidina Al-Imam Muhammad (Shahib As-Shouma’ah w.446H)
- bin Sayyidina Al-Imam Alwi Alawiyyin (Shahib Saml)
- bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah (Shahibul Aradh w.383H)
- bin Sayyidina Al-Imam Al-Muhajir Ahmad (820-924M)
- bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi (w.270H)
- bin Sayyidina Al-Imam Muhammad An-Naqib
- bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraidhi (765-818M)
- bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq (702-765M)
- bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir (676-732M)
- bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin (658-713M)
- bin Al-Imam As-Syahid Syabab Ahlil Jannah Sayyidina Al-Husein (626-680M)
- bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah Az-Zahra ( w.11H)
- binti Rasulullah Muhammad SAW ibni Abdullah ( 570-632M)
Habib Hasan bersama keluarganya hijerah lagi dari Pelabuhan Sungai Pinang kota Nagara diperkirakan diakhir abad ke-17 Masihi, Setelah lama mukim di Nagara mereka mudik menyisir tepi sungai melewati sungai desa Garis singgah, di desa Bangkau singgah, melewati desa Tawar singgah, di desa Sungai Kupang singgah kemudian menyisir sungai kecil menuju Sungai buntut Taniran, hingga tiba tepatnya di Rt.01 Desa Taniran. Kala itu arus tranportasi yang digunakan masyarakat melalui jalan laut dan sungai.
Menurut Artikel
Banjarmasinpost.co.id, Kandangan, Artikel ini telah tayang di
BanjarmasinPost.co.id dengan judul
KalselPedia - Datu Taniran dan Sejarah Penyebaran Islam di Banua Anam, Minggu, 17 Maret
2019 11:12, Dia telah mengutif dari berbagai sumber, bahwa "Sebelum Datu Taniran, masyarakat kampung Taniran sudah dididik oleh Sayyid Hasan bin Hasyim Assegaf, yaitu ayahnya
Sayyid Abu Bakar yang dikenal sebagai (kakeknya) Habib Lumpangi di Kecamatan
Loksado, HSS."
Selanjutnya Artkel itu menyebutkan bahwa "Sayyid Hasan berdomisili di kampung Taniran sekitar pergantian abad ke-18 dan 19 Masihi, bersamaan dengan datangnya Sayyid Abdullah bin Abu Bakar al-Aydrus beserta isterinya ke Martapura”.
Pendapat atau perkiraan pergantian abad ke-18 dan ke-19 Masihi pada Artikel tersebut diatas
adalah lemah atau belum mendekati kebenaran. Namun
Perkiraan yang benar, yang mendekati kebenaran
adalah sekitar pergantian
abad ke-17 dan abad 18 Masihi, Habib Hasan bersama
keluarganya lebih awal datangnya dari Sayyid Abdullah bin Abu Bakar al-Aydrus
beserta isterinya ke Lok Gabang Martapura.
Selanjutnya Artkel itu menyebutkan bahwa "Sayyid Hasan berdomisili di kampung Taniran sekitar pergantian abad ke-18 dan 19 Masihi, bersamaan dengan datangnya Sayyid Abdullah bin Abu Bakar al-Aydrus beserta isterinya ke Martapura”.
Pendapat atau perkiraan pergantian abad ke-18 dan ke-19 Masihi pada Artikel tersebut diatas adalah lemah atau belum mendekati kebenaran. Namun Perkiraan yang benar, yang mendekati kebenaran adalah sekitar pergantian abad ke-17 dan abad 18 Masihi, Habib Hasan bersama keluarganya lebih awal datangnya dari Sayyid Abdullah bin Abu Bakar al-Aydrus beserta isterinya ke Lok Gabang Martapura.
X. Habib Hasan bin Hasyim Assegaf Berpusara Di Desa Taniran RT.02 Kec. Angkinang
Menurut sumber data yang saya terima bahwa dan diceriterakan orang pula bahwa Habib Hasan adalah orang yang diberi Allah Swt umur panjang, usianya lebih kurang 93 tahun. Habib Hasan sudah usia sepuh tetapi kuat dan sehat, saat datang pertama kali di Taniran, Usia Habib Hasan waktu wafat kurang lebih sekitar 93 tahun. Habib Hasan keberadaannya di desa Taniran Kecamatan Angkinang sekitar dari 1700-1720 Masihi. Beliau wafat pada hari Selasa, 19 Sya'ban 1132H/1720 Masihi. Beliau barmakam atau berpusara di Desa Taniran Kubah RT. 02 / RW. 01,Kec. Angkinang, yakni sekitar 600 meter dari jalan besar atau jalan induk. Atau 500 meter dari makam Syaikh Muhammad Thaib (Datu Taniran). Pusara Beliau berseberangan dengan langgar Beliau langgar“Darul Miftahul Jannah”. Kubah beliau dikunjungi banyak orang
- Habib Tanqr Gawa
- bin Muhammad (gelar Abuthair)
- bin Ibrahim (gelar Abu Tha'am)
- bin Abu Bakar as-Tsani
- bin Ahmad Suhuf
- bin Muhammad Djamiluddin (Habib Lumpangi)
- bin Abu Bakar (Datu Habib Lumpangi)
- bin Hasan Assegaf.
1. Sayyid Abu Bakar saudagar Kain Sarung dan Perhiasan Imitasi Wanita berdagang ke Pedalaman
Hulu Sungai
Kemudian untuk tugas dan lokasi misi dakwah Islam ke pelusuk pedalaman hulu sungai/ hulu banyu diserahkan pada anak muda yakni Sayyid Abu Bakar bin Hasan Assegaf.
Menurut ceritera Datuk-nenek kami bahari bahwa akibat musim Kemarau panjang melanda penduduk Hulu Sungai Selatan hingga masyarakat pegunungan khususnya sangat membutuhkan makanan pokok berupa : beras, iwak, uyah-asam dan bahan lainnya untuk dikosumsi. Hal ini membuat Para Pedagang Desa Kayu Abang, Bamban dan desa lainnya datang ke desa-desa dan masuk ke kampung-kampung lewat pasar Mu’uy Barabai berdagang menjual barang-barang yang dibutuhkan masyarakat setempat. Setelah musim Kemarau panjang beberapa bulan berlalu, hingga tanaman-tanaman padi diladang-ladang petani yang berada ditepi-tepi jalan yang dilintasi mereka terlihat mulai mengurai keluar, mungkin satu bulan kedepan musim panen tiba.
Nah dari keadaan tersebut musim panen tiba bahwa pada mulanya Sayyid Abu Bakar ikut bersama rombongan Pedagang dari Desa Kayu Abang pergi berdagang ke Pedalaman Hulu Sungai hingga akhirnya sambil membawa dagangannya sampai ia ke pelusuk suku Dayak Langara Desa Lumpangi yang belum pernah tersentuh Islam pada awal abad ke-18. Melalui Syekh Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim bin Muhammad bin Umar as-Shufy bin Abdurrahman bin Muhammad Assegaf yang meng-islam-kan suku Dayak Langara dengan nama Rumah Adatnya “Balai Ulin”. Menurut mitologi bahwa suku dayak Langara adalah bagian/ pencaran dari suku dayak Maanyan, ia (dayak Maanyan) suku dayak tertua yang hidup dan ada di Kalimantan Selatan.
Habib Abu Bakar saudagar Kain Sarung dan Perhiasan
Wanita (perhiasan imitasi) berdagang ke Pedalaman Hulu Sungai sambil membawa Misi Dakwah. Selanjutnya
diceritrakan oleh Datuk-nenek kami bahari bahwa pada awal mulanya Habib
datang membawa dagangannya kepadalaman
Hulu Sungai di Balai Ulin Lumpangi, dagangan Habib diserbu oleh Para wanita tua-muda
suku Dayak. Mereka sangat
tertarik dan tergoda dengan gaya dan bahasa yang santun, dan raut muka habib yang ceria, homoris dan murah senyum, pandai merayu
para pembelinya sehingga membuat
mereka tanpa rasa malu, bergerumbul mengelilingi jualan Habib
yang bertempat di tengah-tengah ruangan Balai kala itu, mereka melihat dan mereka mencoba mengenakan cincin dijari
tangan, mencoba mengenakan aguk/kalung
yang tergantung disela-sela dada
atau tergantung didahi mereka, mereka mencoba mengenakan gelang dipegelangan tangan mereka dan bunil
dan juga mereka mencoba menggunakan sisir/ surui gafit ke kepala, wanita tua tertarik dengan
sarung/tapih. . Dikala
itulah puteri Milah
mulai berkenalan
pada pertemuan pertama
dengan Habib hingga cahaya Matahari condung ke Barat waktu sore tiba dan
Habib tak mungkin balik-pulang ke Taniran
di waktu sore hari karena akan menemui malam dan iapun nginap pertama kali ditempat itu. Gadis itu sangat senang menjumpai dan menemani Habib diruangan Balai Adat saat itu.
Salah satu tradisi unik, budaya Dayak /adat Dayak Pegunungan Meratus ketika itu, bagi Tamu Nginap untuk kaum laki-laki lajang tidak diperbolehkan tidur sendiri kecuali ia tidur satu kamar/ satu kelambu bersama dengan puteri dari Tetuha Adat.
Bila tidak punya anak gadis maka isterinya yang menemani
tidur tamunya. sebagai bentuk penghormatan terhadap tamu atau sahabat,
tak terkecuali
dengan Habib, beliau tidur ditemani oleh puteri
Milah, saat Habib
datang jualan pertama kali dan nginap (bamalam) di Balai Adat
Balai Ulin. Adat Dayak adalah suku yang
sangat meghormati
dan memuliakan
tamu,
Puteri Milah adalah seorang gadis berwajah ayu rupawan,
gadis remaja yang anggun, cantik parasnya, berwajah keibuan, rambut hitam, ikal berderai hingga punggungnya. Ia berdada bidang, bermata tajam, tinggi-sedang,
ia lemah lembut, ia seorang gadis berkulit saumatang bersih, ia
ramah dan homoris
dan sulit untuk dilupakan. tetapi
berpakaian setengah telanjang. Pakaiannya terbuat dari anyaman dadaunan, anyaman kulipak kayu dan kulit-kulit
binatang yang disamak, pantas saja pakaiannya hanya menutupi dada dan kemaluannya sesuai keadaan waktu itu.
Disinilah Habib mulai mengenal dengan adat istiadat suku Dayak Maratus Awal dan mengenal Tetuha Adat bernama “Langara”, begitu pula mengenal dengan baik puteri remajanya yang cantik jelita memikat hati bagi para lelaki muda yang memandangnya. Hingga sekarangpun hampir dipastikan bahwa setiap Balai Adat yang Ganal selalu ada muncul satu wanita muda tercantik di suku itu yang setiap Pemuda selalu terpikat olehnya. Salah satu tradisi Adat budaya Dayak mengawinkan anak usia muda antara usianya 9 tahun sd. 17 tahun.
2. Sayyid Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf di Tawan-ditahan oleh Suku Dayak
Salah satu Tradisi adat Dayak adalah Aruh Bawanang atau disebut juga aruh mahanyari banih adalah salah satu ritual adat yang dilaksanakn oleh suku dayak meratus setiap tahunnya pada saat pasca panen padi yang merupakan salah satu cara berterima kasih atau bentuk ucapan rasa syukur kepada Sang Pencipta Alam Semesta.
Dan tradisi adat itu
diteruskan juga oleh turunannya yaitu Dayak Maratus di Kabupaten Hulu Sungai
Selatan. "Aruh Bawanang atau yang sering
disebut Aruh Ganal adalah
salah satu upacara adat masyarakat Dayak Meratus di Loksado kabupaten Hulu
Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Digelar setiap tahun saat lepas masa panen
tiba, kegiatan ini juga sebagai bentuk wujud rasa syukur terhadap yang maha
kuasa dalam kepercayaan penduduk setempat. Bawanang adalah
Aruh Adat sebagai bentuk rasa syukur pada penguasaan semesta atas rejeki atau
keberhasilan baik itu panen padi, usaha atau keberhasilan-keberhasilan lainnya.
Aruh Bawanang disebut
juga Palas Payung, yaitu upacara pesta panen sebagai
ungkapan rasa syukur kepada Hyang Dewata Langit,
yang dilakukan setelah semua padi masuk ke
dalam lumbung. Setelah upacara
panen ini, padi baru boleh dimasak untuk dimakan. Persiapan
Aruh dimulai dengan hari Batarah yaitu sehari sebelum upacara
dimulai. Hari Batarah maksudnya adalah hari memulai pekerjaan, mempersiapkan
segala sesuatu, membuat perlengkapan upacara, dan menyiapkan sesaji. Pekerjaan
itu harus selesai dalam satu hari Kelengkapan Alat Upacara (Koran sulindo 2019)
Menurut penuturan Amat atau Ahmad (ia seorang Dayak asal desa Bayumbung yang sudah Muslim) yang saya wawancarai beberapa kali bahwa "Acara ritual sakral aruh Bawanang atau aruh Ganal Balai Adat kalau dihitung ada 7 hari, yakni pertama hari Batarah. kemudian aruh Bawanang atau aruh Ganal dilaksanakan selama 3 hari 3 malam dan Masa Pamali 3 hari 3 malam, nah dimasa Pamali inilah bila seseorang Dagang atau seseorang diluar Sukunya belum pernah datang berkunjung diacara 3 hari pertama Acara ritual sacral selain hari Batarah, kemudian ia datang sengaja ataupun tanpa sengaja masuk ke Balai Adat di Masa Pamali, maka Dia akan mendapat Hukuman Adat dan membayar denda" Kedatangan Sayyid Abu Bakar bin Hasan Assegaf kali yang kedua kepedalaman Hulu Banyu - Sungai pada masa Pamali atau Masa Tenang.
Sang puteri Milah terpesona melihat sang peria ganteng idaman hatinya benar-benar hadir didepan matanya kala itu, sehingga ia, tak bosan-bosan memandangnya. Syair lagu menyebutkan : Pesonamu wahai sang kumbang menyilaukan mata hatiku, Pesonamu menggambirakan hati bagi setiap orang yang memandangnya, harum wangi baumu, membangkitkan gairah hidupku, tak bosan mataku, tak bosan sungguh, mataku tak akan bosan, untuk memandangmu wahai peria idamanku, rasanya mataku ini enggan sekali berkedip disaat sedang memandangmu, ingin rasanya aku menyuntingmu hidup berdua denganmu, hidup berdua denganmu, akan kujadikan dirimu raja dalam istanaku, tak bosan mataku, tak bosan sungguh, mataku tak akan bosan,
Ketika Beliau datang ke Desa Lumpangi, menurut salah satu sumber informasi bahwa usia Beliau sekitar 43-45 tahunan kala itu, tetapi pisik dan muka Beliau kelihatan muda seperti usia 25-30 tahun. padahal Beliau sudah beberapa kali menikah dan punya anak, sebelum ia datang ke Lumpangi dan punya Buyut yang bernama Habib Alwi (w.1842M) bin Abdillah bin Shaleh bin Abu Bakar bin Hasan dari isteri pertamanya.
padahal saat itu acara sacral inti
Aruh Ganal atau Aruh Bawanang sudah selesai dilaksanakan selama 3 hari dan 3
malam. Kemudian disusul masa Pamali atau masa tenang selama 3 hari dan 3 malam.
Pada masa Pamali atau masa tenang itulah, tidak diperkenankan masyarakat umum/orang
dagang hadir atau datang ke Balai Adat. Bila ia belum pernah datang ke Balai Adat ditiga hari pertama, maka bila mereka datang akan dikenakan
hukuman adat dan membayar denda.
Andai Habib datang dihari pertama atau hari kedua atau hari ketiga diacara sacral Aruh Ganal kemudian ia pulang dan datang lagi dihari Pamali maka ia tidak mendapat hukuman adat dan denda. Habib tidak pernah datang di tiga hari pertama diacara sacral Aruh Ganal tetapi ia datang di hari Pamali. Oleh karenanya ia kena hukuman adat Dayak Langara, ia ditahan di Balai Adat "Balai Ulin" beberapa hari dan malam.
Menurut ceritera Habib Bahriansyah bin
Bahur yang saya temui dikediamaya bahwa Habib Abu Bakar ditahan selama 10 hari dan 10 malam di balai Adat Balai Ulin Lumpangi dan dikenakan bayar denda.
Selama dalam tahanan Adat ia ditemani, dibantu dan dilayani oleh Puteri Milah dengan senang hati, temannya Puteri bersua,, dan teman bercumbu dengan sang pujaan hati dengan riang gambira dikala siang dan malam. Semua penghuni Balai Adat tahu bahwa puteri Milah anak Tetuha Adat mereka, telah jatuh hati yang dalam, ia sangat menyukai pamuda yang ganteng dan tampan ini..
Diceriterakan orang bahwa saat berakhir masa tahanan Habib Abu Bakar selama 10 hari dan 10 malam, Puteri Milah jatuh sakit secara tiba-tiba, ia tak sadarkan diri, ia pingsan dalam waktu cukup lama, Puteri belum bisa sadar walaupun Tetuha Adat (Penghulu Adat) ayahnya sendiri berusaha keras mengobatinya dengan melakukan BALIAN BASAMBUI untuk menyembuhkan Puteri kesayangannya, Balian Basambui maksudnya Sang Puteri diobati secara kebatinan oleh orang Dayak, tetapi walaupun ia adalah seorang tokoh adat yang mempunyai kemampuan mempuni mengobati orang yang sakit, namun dikala itu pengobatannya tidak membawakan hasil apa-apa dan bahkan membuatnya dan penghuni Balai frustasi dan putus asa..
Menurut Folklor ceritra Datu-datu dan nenek kami bahwa “Melihat keadaan yang sangat memprahatinkn tersebut Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf, ia seorang tahanan mereka, yang baru datang beberapa hari kewilayah itu. Ia mencoba menawarkan diri kepada mereka untuk mengobatinya sang Puteri. Akhirnya dengan perasaan was-was terlihat pada wajah mereka, namun mereka dengan berat hati akhirnya mempersilahkannya hingga Puteri sadar seketika dari pingsannya dan sembuh dari sakitnya..
Hal senada yang disebutkan lebih awal oleh Artikel "Islam Loksado dan Sayyid Abu Bakar bin Hasan Assegaf" yang diposting 20 Februari 2011 yang saya kutip menyebutkan ”Di kampung Lumpangi kala itu masih berupa kehidupan Balai, yaitu Balai Ulin; dan di sana terdapat tokoh yang disebut penghulu Balai yang terkenal dengan kemampuannya mengobati orang sakit. Ternyata, kemampuan medis habib yang baru datang ke wilayah itu lebih tinggi darinya, sehingga warga Balai sangat terkesima dan akhirnya mau menerima Islam. Bahkan, disebutkan bahwa di antara tokoh habib itu ada yang menikahi puteri penghulu Balai Ulin (Harisuddin 2011)
Habib mengawini Puteri Milah anak Penghulu /Tetuha Balai Adat sebagai ganti Hukuman Denda. Menurut Habib Baseraninoor yang saya wawancarai dikediamannya di Desa Malinau Loksado bahwa "Habib tidak mampu membayar Denda berupa Parang Bungkul Puting (yakni parang yang belum punya Hulu dan kumpangnya) sebanyak 2 bilah saat berakhir masa tahanan adat ". Perkawinan itu pun terjadi dengan punya syarat-syarat tersendiri yang harus dipenuhi oleh Habib masa kini dan akan datang.
Berkata sebagian para orang tua Ds. Taniran Kubah yang saya wawancarai bahwa “Habib Abu Bakar tapabini (kawin-menikah) dengan perempuan Dayak Lumpangi dan baanak (berketurunan) saat Beliau berdagang dan berdakhwah di sana.
Menurut ceritra Datu-datu kami bahwa berkata sebagian orang tua bahari dari Dayak Lumpangi bahwa “Habib dianggap bersalah sebab merusak jiwa (meracuni pikiran) Puteri Milah hingga Puteri jatuh hati yang dalam kepadanya dan jatuh sakit, oleh karenanya Habib harus mengawini Puteri anak Tetuha Balai, sebagai bentuk rasa tanggungjawabnya.
Berdakwah semacam ini dlakukan ketika ia tinggal dalam Balai Adat “Balaii Ulin” saat itu dengan materi khusus ttg penanaman “Aqidah Islam/tauhid” ia lakuni menerapkan hukum secara berangsur-angsur hingga usia anak pertamanya 7 tahun kemudian ia dan isterinya memisahkan diri atau pindah dari Balai Adat atau membuat rumah sendiri yang tak jauh dari Balai Adat.
4. Sayyid Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf mempersunting Putri Milah
Disebutkan orang bahwa keadaan fisik Datu Habib Lumpangi yakni Habib Abu Bakar bin Hasan adalah seorang saudagar muda berperawakan tinggi besar, dada bidang, berkulit putih kemerahan, sedikit homoris, berwajah arab, ceria, tampan (gentang) punya jabis dan kumis tipis dan juga berjanggut tipis kala beliau datang ke Lumpangi
Habib Abu Bakar Assegaf mempersunting-melamar dan mengawini Puteri yang anggun mempesona dan cantik parasnya, berwajah keibuan anak Tetuha/Penghulu Adat an.Milah. Perkawinan terjadi setelah ia bebas dari hukuman Adat Dayak Langara.
Berkata
Tanqir Ghawa kepada anak cucunya bahwa “Syukur alhamdu lillaah banar kita ine cucuai, jaka kada datang
habib membawa Islam dan nine kita bahari ada nang balaki lawan Habib lalu ia maislamakan datu nine bubuhan kita Dayak lumpamgi, maka jaka kada baislam kita rugi banar, kita akan dimasukakan
ke dalam api Naraka, nauudzu billaahi mindzaalik”
"Langara” adalah nama seorang Kepala Suku Dayak atau Tetuha/Penghulu Adat Dayak pertama yang mendiami ditengah-tengah antara ditepi sungai kali Amandit dan kaki Bukit Batu desa Lumpangi dan adik kandungnya bernama Ulang. Dengan nama Rumah Adatnya “BALAI ULIN”. Kemudian masyarakat setempat mengabadikan nama Kepala Suku atau Tetuha Adat Dayak tersebut pada bukit batu, maka disebutlah oleh masyarakat sesudahnya dengan nama “BUKIT BATU LANGARA”
Melalui perkawinan inilah yang
sangat merekatkan
hubungan suku Dayak
Langara dengan Habib.
Adanya ikatan perkawinan tersebut Islam berkembang dengan cepat. Akhirnya mereka karena merasa
berkelurga dengan Habib, merasa badangsanak dengan Habib, mereka tertarik dengan Islam dan
menerima Islam dengan sukacita dan juga hasil perkawinan itu membuahkan keturunan
salah satunya an. Habib
Muhammad Djamiluddin (Habib Lumpangi) dan dzuriatnya yang bersambung dan nasabnya tercatat
dengan baik sampai saat ini. Setelah dewasa ia dikawinkan dengan sepupunya.
Nasab berasal dari bahasa Arab al-nasb yang berartinya menghububungkan kekerabatan, keturunan atau menyebutkan keturunan. Bila al-nasb dibentuk menjadi kalimat tanaasub artinya ikatan, hubungan, kesamaan atau kesetaraan. Nasab dalam hukum Islam memiliki kualitas yang sangat penting karena dengan adanya nasab secara filosofi antara anggota keluarga yang memiliki keterkaitan dan keterikatan yang sangat kuat dan menjadi pondasi utama untuk terbentuknya suatu kelompok manusia yang kokoh, setiap anggota kelompok terkait dan terkait dengan anggota yang lainnya, seolah-olah membentuk jaringan laba-laba dalam kehidupan bersama dalam bermasyarakat dan bernegara (Astuti 2021).
Menurut catatan Sejarah Tahun 1747 Masihi Belanda menduduki Banjarmasin. Kemudian tahun 1761–1801 adalah masa pemerintahan Sultan Tahmidullah II/Sunan Nata Alam. Dan tahun 1762 Saudara Sultan Nata yang bernama Pangeran Prabujaya dilantik sebagai mangkubumi oleh Dewan Mahkota Kesultanan Banjar (Kesultanan Banjar).
5. Karomah Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf.
Salah satu Karomah terbesar Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf adalah ia dapat menyembuhkan Puteri Milah yang sakit
keras dengan seketika dan berislamnya satu keluarga kepala suku Dayak Lumpangi
setelah peristiwa penyembuhan Puteri Milah
Diceriterakan bahwa saat berakhir masa tahanan Habib Abu
Bakar selama 10 hari dan 10 malam, Puteri Milah (Siti Jamilah) jatuh sakit,
mungkin ia kurang tidur dan sangat lelah menemani dan melayani tamu
istimewanya. Diang Milah jatuh sakit secara tiba-tiba, ia tak sadarkan diri, ia
pingsan dalam waktu cukup lama, Diang belum bisa sadar walaupun Tetuha Adat
(Penghulu Adat) ayahnya sendiri berusaha keras mengobatinya dengan melakukan Balian Basambui untuk menyembuhkan
Puteri kesayangannya. Balian Basambui maksudnya Puteri diobati secara kebatinan
orang Dayak, walaupun ia seorang tokoh adat yang mempunyai kemampuan mempuni dalam hal mengobati orang
yang sakit, namun dikala itu pengobatannya tidak membawa hasil apa-apa dan
bahkan membuatnya dan penghuni Balai prostasi dan putus asa.
Menurut Folklor ceritra Datu-datu dan nenek kami bahwa “Melihat keadaan tersebut Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf, ia seorang tahanan mereka, yang baru saja datang beberapa hari kewilayah itu. Ia mencoba menawarkan diri kepada mereka untuk mengobatinya sang Puteri. Akhirnya dengan perasaan was-was terlihat pada wajah mereka, namun mereka dengan berat hati akhirnya mempersilahkannya. Habib meminta Secawan air putih, kemudian pada air itu ia bacakan do’a hidzip dan shalawat dan juga ada yang ia bisikkan pada telinga sang puteri, kemudian air tersebut Habib semburkan melalui mulutnya kearah kepala & tubuh pasennya hingga seketika itu Puteri sadar dari pingsannya dan sembuh dari sakitnya.”
Beliau (Habib) melihat dengan kacamata kesufiannya dan juga merasakan ada kesedihan yang dalam yang dirasakan dan menimpa pada Puteri Milah. Puteri sangat kuatir tidak berjumpa lagi dengan Sang pujaan hatinya. Inilah yang membuat hatinya khawatir dan membawanya frustasi dan juga stres. memikirkan kalau, kalau Habib Sang Pujaan hatinya pulang tidak kembali lagi kepadanya.
Mengetahui hal keadan ini, setelah Puteri sembuh dari sakitnya.” segeranya Habib melamar dan menikahi gadis yang pernah melayaninya dan menemaninya siang dan malam, sewaktu menjalani hukuman adat. Habib menjelaskan lamaran dan perkawinan bisa terjadi dengannya bila Puteri Milah, Langara (wali nikah), dan 2 orang saudaranya yaitu Talib dan Anjah (2 orang saksinya) merima hidayah Islam. Akhirnya dengan adanya sedikit perjanjian dengan Habib, mereka menerima Islam dengan suka cita
6. Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf wafat
Sayyid Abu Bakar ayahnya Habib
Lumpangi adalah orang yang sangat setia dan menepati janjinya, ia benar-benar
melaksanakan Adat Dayak. ia tidak pernah meninggalkan isterinya. Dan Beliau
tinggal bersama isterinya Siti Jamilah dan anak-anaknya beserta cucu-cucunya dan keluarga isterinya di
rumah kampung Balai Ulin Desa Lumpangi hingga akhir hayatnya.
Menurut tradisi adat Dayak bahwa "Bila seseorang laki-laki lajang (perantau atau pendatang) menikahi perempuan suku Dayak maka ia harus ikut tinggal di tanah kelahiran isterinya, sebagai bentuk kesetian adat Dayak". Tetapi bila kangen dengan ayah-ibu atau sanak keluarga ia boleh menenguk mereka sendirian atau bersama isterinya, setelah selesai hajatnya ia harus kembali lagi kerumah isterinya. Suaminya hanya memiliki satu isteri maksudya tidak dimadu.
Beliau wafat di kampung Balai Ulin
Lumpangi hari Jum'at, tanggal 17 Dzul Hijjah 1172H, dipertengahan akhir abad
ke-18 Masih. Bertepatan dengan 10 Agustus tahun 1759 Masihi. Dan makam Beliau
berdampingan dengan makam isterinya Siti Jamilah binti Muhammad Langara dan Haulan
Beliau terebut dilaksanakan oleh Ahlul Bait setiap tanggal 17 Dulhijjah. Dan i Beliau
dimakamkan di kampung Balai Ulin Lumpangi.
XIII. Rakam Jejak Habib Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar bin Hasan Assegaf membatalkan
beberapa Tradisi
Suku Dayak Maratus
yang dianggaf merugikan
Sukunya.
1. Habib Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar bin Hasan Assegaf dilahirkan.
Perkawinan inilah yang sangat merekatkan hubungan suku Dayak Langara
dengan Habib.
Adanya ikatan tersebut Islam
berkembang
dengan cepat.
Di tambah lagi adanya hubungan darah
dengan lahirnya Muhammad Djamiluddin cucu pertama Tetuha Adat. Akhirnya mereka karena merasa berkelurga
dengan Habib, merasa
badangsanak
dengan Habib,
mereka tertarik dengan Islam dan menerima Islam dengan sukacita dan juga hasil
perkawinan itu membuahkan keturunan dan dzuriatnya yang bersambung dan nasabnya tercatat dengan baik sampai saat ini.
Menurut Folklor ceritra Datuk-datuk dan nenek kami bahari bahwa "Djamiluddin" adalah Putera pertama dari Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim bin Muhammad bin
Umar as-Shufy dengan isterinya Siti Jamilah
binti Muhammad Lanagara. Namun versi lain menyebutkan bahwa anak itu bernama :
"Muhammad
Djamiluddin"
Ia lahir dimasa pemerintahan
raja banjar Sultan
Suria Alam alias Sultan Tahmidullah 1 bin Sultan
Tahirullah bin al-Maliku'llah adalah Raja Banjar yang memerintah tahun
1700-1717 Masihi. Ia dilahirkan
di Lumpangi, hari Senin,
13 Syawwal 1118H /1707Masihi dan
dibesarkan di Desa
Lumpangi, ia
lahir ditengah-tengah keluarga yang baru menemukan hidayah Islam. Ia adalah
orang yang shalih,
ia memperoleh
pengajaran agama Islam langsung
dari orang tuanya dan kedua Kakeknya M. Langara dan Sayyid Hasan ketika ia
berada di Desa Taniran dan juga paman Ayahnya Habib Idrus.
Kelahirannya “Djamiluddin" sangat
dinantikan
dan ditubggu oleh keluarga muslim dan keluarga Dayak. Ketika ia hadir
sanak keluarganya sangat bersukaria dengan menghadirkan jamuan hidangan dari seekor payau /menjangan. Ketiika ia berumur 7 tahun ayah dan ibunya memisahkan diri
atau pindah dari Balai Adat. Membuat rumah sendiri tak jauh dari Balai Adat. Ketika ia
berumur 14-15 tahun
Balai Adat mulai
bubar.
02. Nasab Habib Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar bin Hasan Assegaf.
الْحَبِيْب مًحَمَّدْ جَميْلً الدِّيْن بِنْ اَبًوْ بَكْرٍ بِنْ حَسَنٍ بِنْ هَاشِمٍ بِنْ مًحَمَّد بِنْ عًمَرَ الصُّوْفِيِّ [عُمَرُ الصَّافِيّ] بِنْ عَبْدُ الرَّحْمن بِنْ مُحَمَّد بِنْ عَلِيٍّ بِنْ اَلْاِمَامً عَبْدُ الرَّحْمن اى وَلِيُّ الله الْفَقِّيْه الْمًقّدَّم الثانيّ السَّقَّافُ بِنْ سَيِّدِنَا مًحَمَّد مَوْلَى اَلدَّوِيْلَةِ بِنْ سَيِّدِنَا عَلِيٌّ صَاحِبُ الدَّرْكِ بِنْ سَيِّدِنَا عَلْوِىْ الْغُيُوْرْ بِنْ سَيِّدِنَا الْفَقِّيْه الْمًقّدَّم مًحَمَّد بِنْ سَيِّدِنَا علي الوالد االفقيه بن سَيِّدِنَا الامام مًحَمّدْ صاحب مرباط بن سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ علي خالع قسم بن سيدنا عَلْوِيْ با عَلَوِيٌّ بِنْ سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ مًحَمّدْ الصَّاحِبُ الصُّمْعَةُ بِنْ سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ عَلْوِيُ الْمُبْتَكِرُعَلَوِيّيْن بِنْ سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ عَبْدُاللهِ [عُبَيْدُالله الصَّاحِبُ الْعَرْضِيُّ] بنْ سَيِّدُنَا الْاِمَامُ أَحْمَدُ الْاَبَحُ الْمُهَاجِرُ بِنْ سَيِّدُنَا الْاِمَامُ عِيْسَى الرُّوْمِيُّ بِنْ سَيِّدُنَا الْاِمَامُ مًحَمّدٌ النَّاقِبُ بنْ سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ عَلِيُّ الْعُرَيْضِيُّ بِنْ سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ جعفر الصادق بن سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ مًحَمّدْ الباقر بِنْ سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ عَلِيُّ زَينُ الـعـابدين بن سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ الْحُسَيْنُ بنْ السَّيِّدِةُ فَاطِمَةُ الزَّهْرَاءُ بِنْتُ مًحَمّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنْ عَبْدُ الله،
3. Habib Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar bin Hasan Assegaf Menerima Pengajaran Agama.
"Djamiluddin" Ia adalah anak sangat cerdas atau orang yang shalih, sangat berbakti kepada kedua rang tuanya dan ia memperoleh pengajaran agama Islam langsung dari orang tuanya dan kedua Kakeknya M. Langara dan Sayyid Hasan ketika ia berada di Desa Taniran dan juga paman Ayahnya Habib Idrus.
Ditahun usia muda menjelang remajanya Balai Adat "Balai Ulin" bubar tahun 1722M karena banyak dipihak keluarga ibunya yang menerima hidayah islam/ memeluk Islam, maka Balai Ulin Desa Lumpangi mulai ditinggalkan oleh para keluarganya yang belum menerima hidayah Islam, walaupun mereka sudah mengenal Islam dengan baik hingga bertahun-tahun.
Menurut folklor ceritera datu
dan nenek kami bahwa “berkata
sebahagian orang-orang Lumpangi masa itu bahwa
“Tidak ada Orang yang memilki keilmuan yang paling dalam dan luas tentang Islam kecuali
dimiliki
oleh Muhammad
Djamiluddin
bin Abu Bakar Assegaf".Ia
memperoleh pengajaran dan bimbingan (suluk, riiyadhah) ilmu Islam langsung
dari ayahnya, kakeknya dan pamannya.
Berkata Muhammad Bahrudin bin Marsal (
Beliau keturunan Syarifah asal Amawang) bahwa "Habib Djamaluddin adalah orang yang paling berprngaruh,
ia orang yang paling
alim dan ia orang yang paling berpengetahuan agama diantara semua penghuni pusara/ makam di Kampung Balai Ulin ini, Ia
memperoleh pengajaran langsung dari ayahnya, kakeknya dan pamannya. hal ini
kalau bisa disembunyikan."
Menurut sumber data bahwa sesudah Balai Adat "Balai Ulin" itu bubar maka beberapa tahun kemudian datanglah Dayak Ulang dan Dayak Bumbuyanin ke Lumpangi membawa ketiga anaknya agar diajari tentang Islam kepada Habib dan menemui kakaknya Muhammad Langara dan mohon agar Balai Adat Balai Ulin yang tidak berfungsi itu bisa dipindahkan ke Pantai Dusin Hulu Banyu.
Kemudian atas musyawarah dan kesepakatan bersama Balai Adat Balai Ulin Lumpangi dipindah ke Pantai Dusin Hulu Banyu, tetapi kakaknya minta agar 1 batang tiang dari bagian muka Balai Adat itu ditinggal atau dibiarkan tetap berdiri atau tidak dialih atau dipindah. Katanya "Tiang itu fungsinya dijadikan sebagai Simbol bahwa di Lumpangi pernah berdiri sebuah Balai Adat Dayak".
Menurut Ahmad atau Amat yang saya wawancarai, ia asal dayak Bayumbung yang sudah muslim ceritera dari datuk-neneknya bahwa " Bekas tiang-tiang ulin Balai Adat Balai Ulin itu telah diangkut atau dibawa ke Pantai Dusin Hulu Banyu".
Beberapa"sumber data menyebutkan bahwas salah satunya dari Datu nenek kami bahwa : "Semua ilmu Habib Abu
Bakar ayahnya, ilmu Habib Hasan kakeknya, ilmu Habib Idrus paman ayahnya dan ilmu Muhamamad
Langara kakeknya telah tertuang
dan tercurah pada
Habib Muhammad Djamaluddin (Habib
Lumpangi), Berkata ( Beliau keturunan Syarifah asal Amawang) Muhammad Bahrudin
bin Marsal salah seorang berilmu yang ikut berziarah ke makam Habaib Lumpangi bahwa "Habib Djamaluddin
adalah orang yang paling alim atau orang yang paling berpengetahuan diantara semua penghuni makam di Kampung Balai Ulin ini,
hal ini kalau bisa disembunyikan saja halnya."
04. Tetuha Adat Dayak Pang Ayuh bin Bumbuyaninin bin Ulang asal mula penguasa Pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan
Berkata Muhammad Bahrudin
bin Marsal ( Beliau keturunan Syarifah asal Amawang) bahwa "Habib Djamaluddin adalah orang yang paling berprngaruh, ia orang
yang paling alim dan ia orang yang paling berpengetahuan agama
diantara semua penghuni makam di Kampung Balai Ulin ini, Ia memperoleh
pengajaran langsung dari ayahnya, kakeknya dan pamannya. hal ini kalau bisa
disembunyikan."
Menurut folklor ceritera datu dan nenek kami bahwa berkata sebahagian orang Lumpangi masa itu bahwa “Tiada ada Orang yang memilki keilmuan yang paling dalam dan luas tentang Islam kecuali dimiliki oleh Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar Assegaf".Ia memperoleh pengajaran dan bimbingan (suluk, riiyadhah) ilmu Islam langsung dari ayahnya, kakeknya dan pamannya
Bumbuyanin
adalah nama Tetuha Adat Dayak yang mempunyai 3 anak, dua laki-laki dan satu
perempuan yakni Pang Ayuh, Bambang Basiwara dan Diang Gunung.
Menurut folklor ceritera datu dan nenek kami bahari bahwa “Dimasa kecilnya mereka bertiga pernah diutus atau dikirim orang tuanya ke Desa Lumpangi untuk menuntut Ilmu Islam kepada Habib Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar Assegaf, hingga masa mereka menuntut ilmu Islam bertahun-tahun, oleh karenanya mereka sangat mengenal Islam dengan baik dan mereka bisa baca Al Qur’an dan pandai baca tulis Arab Malayu”.. Dan juga Dimasa pendidikan (menuntut ilmu Islam) inilah Habib Abu Bakar ast-Tsani bin Ahmad Suhuf mulai mengenal dan menyukai Umi Salamah (Diang Gunung) sepupunya sendiri.
Adapun anak Bumbuyanin yang pertama bernama Ayuh atau Datu Ayuh atau Dayuhan
atau Pang Ayuh, digambarkan orang
bahwa dia seorang lelaki yang berfisik kuat, gemar berkelahi atau berperang
tetapi kurang cerdas, mudah/gampang marah, sulit menerima hal-hal yang positif,
tetapi ia berhati baik dan dari dia menurunkan suku dayak Gunung
Meratus yang ada
sekarang ini.
Sedangkan anak yang ke-2. Bambang Swara atau Bambang Basiwara. digambarkan
orang bahwa dia berfisik agak lemah tetapi sangat homoris, punya otak berlian
dan cerdas dan menerima hal-hal yang positif. Ketiga anak sudah mengenal Islam
dengan baik tetapi Datu Ayuh belum berani berislam. Sebab takut kehilangan
kesaktian-kesaktin yang dia miliki turun-temurun.
Dan yang ke-3 adalah perempuan bernama Umi Salamah (Diang Gunung), dia
seorang puteri yang sangat cantik yang dinikahi oleh Habib Abu Bakar ast-Tsani
bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamaluddin bin Habib Abu Bakar Assegaf pada
pertengahan abad ke-18 Masihi. Melalui perkawinan ini Bambang Basiwara sebagai
wali dari adik perempuannya. Bambang Basiwara ini ia menjadi seorang muslim dan dia menurunkan
suku Banjar.
Versi lain ada yang punya berpendapat bahwa ceritera
ketiga anak ini dikenal oleh sebagian masyarakat Dayak Maratus yang pertama
bernama Ayuh atau Datu Ayuh atau Pang Ayuh, dia seorang lelaki yang berfisik
kuat, gemar berkelahi atau berperang tetapi kurang cerdas, sulit menerima
hal-hal yang positif, sosok ini di sebut
Dayuhan. Yang ke-2. Bambang Swara atau Bambang Basiwara. dia berfisik
agak lemah tetapi punya otak berlian dan cerdas dan menerima hal-hal yang
positif dan sangat homoris, sosok ini dikenal dengan nama "Paluy"
sedangkan yang ke-3 adalah perempuan bernama Diang Gunung, dia seorang puteri
yang sangat cantik rupawan, sosok ini disebut "Intingan".
05. Perkawinan Siti Sarah binti Abu
Thalib dengan
Habib Muhammad
Djamiluddin
bin Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim bin Muhammad bin Umar as-Shaafy bin
Abdurrahman Assegaf
Akhirnya Abu Thalib beserta
isterinya dan Datu Muhammad Langara ayahnya membuat rumah baru dan pindah rumah
ke kampung Batu Tangah. Kemudian Abu
Thalib dikampung itu dikeruniai
anak perempuan an. Siti Sarah. Nantinya untuk
menambah kuatnya tali/hubungan darah/ kekeluargaan atau tali persaudaraan Habib
Abu Bakar Assegaf mengawinkan
Habib Muhammad
Djamiluddin
(Habib Lumpangi) anaknya setelah remaja dengan Siti Sarah binti Abu Thalib bin Datu Muhammad
Langara, ia seorang perempuan dari kampung Batu Tangah.
Setelah Muhammad Jamaluddin tumbuh
remaja hingga dewasa,
Ia juga termasuk orang berpengaruh di Lumpangi setelah ayahnya. Dan ia berada
di desa yang sangat terisolasi dari keramaian kota, ia tinggal diudik sungai
Kali Amandit yang sangat jauh, kalau berpergian masa itu selalu jalan kaki.
Isterinya Siti Sarah
seorang muslimah yang shalehah keturunan asli Dayak Balai Ulin Lumpangi, begitu
juga kedua orang tua muslim. Siti Sarah binti Abu Thalib bin Muhammad
Langara, ia seorang perempuan dari kampung Batu Tangah Desa Lumpangi. Perkawinan sepupu
tersebut membuahkan
keturunan anak laki-laki, ia lahir
di Lumpangi,
Jum'at, 10 Jumadil Awwal 1155H/1742M.an.
Habib Ahmad
Suhuf yang
panggilan sehari-harinya Habib Ahmad.
Adapun adik kandung Muhammad
Djamiluddin antara lain : Sy. Ummi Badar, Sy. Amas (Mastora) dan yang paling bungsu bernama
Ahmad Djalaluddin, ia dilahirkan 10 Sya’ban 1149H/1736M di Desa
Lumpangi bersamaan tahun dengan kelahiran Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin
yakni Ahad,10 Jumadil Awal 1149H/1736M dan kedua anak ini (Mamarina dan
Kemanakan) tumbuh dan dibesarkan dilingkungan orang-orang muslim yang
taat Agama islam di Desa Lumpangi, silsilah nasabnya tercatat dengan baik.
06. KAROMAH HABIB LUMPANGI YANG BERLAKU HINGGA SAAT INI
Salah seorang Serjana Agama abad ke-21 Masihi keturunan Dayak Lumpangi Habib H.Hasan Baseri,S.Ag bin H.Muhammad Barsih bin Ahmad Baderi Assegaf Berkata bahwa "Andaikata Habib Djamiluddin bukan keturunan Dayak Lumpangi, walaupun ia adalah orang yang paling berprngaruh, ia orang yang paling alim dan juga ia orang yang paling berpengetahuan agama diantara semua penghuni Kampung Balai Ulin Lumpangi saat itu, hampir dipastikan ia tidak akan membatalkan beberapa tradisi suku Dayak yang berlaku di dalam Keluarganya. Akan tetapi karena beberapa tradisi suku Dayak di Keluarganya menyangkut untung dan rugi yakni dianggap merugikan sukunya maka ia membatalkan dan menghapusnya”.
Oleh karenanya Salah satu Karomah Habib Muhammaad Jamiluddin bin Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf beserta anaknya yang terbesar adalah "Beliau dapat Membatalkan tradisi Suku Dayak Pegunungan Meratus dan mereka menerimanya dengan suka rela, tradisi dimaksud yakni "Tradisi Memuliakan Tamu Nginap, Tradisi Kuping Panjang, Tradisi Tato, Tradisi Tiwah, Tradisi Ngayau, dan Mantat Tu’Mate dan dapat mempersaudarakan orang-orang muslim dengan orang-orang Dayak".,
07. Ada beberapa Tradisi Suku Dayak Pegunungan Meratus dibatalkan oleh Habib Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar bin Hasan Assegaf
Dilansir dari berbagai sumber, bahwa suku Dayak memiliki berbagai tradisi unik, tetapi tradisi ini ditinggalkan oleh Dayak Maratus dan dibatalkan dimasa keberadaan Habib Muhammaad Jamiluddin bin Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf dan anak cucunya kecuaali tradisi Tarian Gantar (batandik),. Beberapa tradisi yang ditinggalkan di antaranya meliputi:
1. Tradisi Memuliakan Tamu Nginap
Salah satu tradisi/adat Dayak ketika itu, bagi Tamu yang Nginap untuk kaum laki-laki lajang diperbolehkan tidur satu kamar/ satu kelambu dengan wanita lajang puteri dari Tetuha Adat. Bila tidak punya anak gadis maka isterinya yang menemani tidur tamunya. (kalua tamunya sudah beristeri maka ia tidur satu kamar dengan isteri sahabatnya) sebagai bentuk penghormatan terhadap tamu atau sahabat, tak terkecuali dengan Habib, beliau tidur ditemani oleh Aluh Milah sepanjang malam, tetapi pagar ayu puteri Milah tetap terjaga dengan baik. Habib tidak mau mengganggu dan apalagi mempermainkan puteri Milah.
Adat Dayak adalah sangat meghormati dan memulikan tamu, Puteri Milah adalah seorang gadis Dayak yang lemah lembut, ia seorang gadis ramah dan homoris dan sulit untuk dilupakan.
Hal semacam ini dikuatkan oleh ceritera teman saya, dia seorang Serjana dibidang agama Islam. Dia berceritera kepada saya bahwa tamu laki-laki lajang yang nginap di rumah suku Dayak, ia diperbolehkan tidur satu kamar atau satu kelambu dengan wanita lajang anak Dayak sebagai bentuk penghormatan tuan rumah. Tradisi atau Adat Dayak tersebut masih berlaku hingga sekarang tahun 2020 disebagian suku Dayak Kalimantan.
Temannya berceritera bahwa ketika ia berada dipedalaman pulau Kalimantan tahun 2020, bekerja sebagai penebang pohon kayu jenis Meranti dan Ulin. Ia mulai bersahabat baik dan akrab dengan suku Dayak penduduk asli. Sahabatnya mengajaknya menginaf dirumahnya. Di rumah sahabatnya ini ia menginaf, makan, minum dan cuci pakaian. Ketika malam hari ia ingin tidur di salah satu ruangan, ia disuruh sahabat barunya tidur satu kelambu dengan anak perempuannya yang gadis lajang. Kemudian iapun tidur dengannya tetapi ia tidak berani mencumbu rayu, dan juga ia tidak mau merusak pagar ayu dan menggagahi anak perempuan sahabatnya.
Tradisi ini ditinggalkan oleh Dayak Maratus dan dibatalkan dimasa keberadaan Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf dan anak cucunya.
2. Tradisi Kuping Panjang
Telingaan Aruu adalah tradisi adat Suku Dayak dengan cara memanjangan telinga. Untuk memanjangkan daun telinga, mereka menggunakan anting-anting berbentuk gelang yang terbuat dari tembaga. Anting-anting berukuran besar tersebut dalam bahasa kenyah disebut belaong.h
Di Kalimantan Timur, perempuan Dayak memiliki tradisi unik memanjangkan telinga mereka. Keyakinan di balik tradisi ini adalah bahwa telinga yang panjang membuat perempuan terlihat semakin cantik.
Selain untuk aspek kecantikan, memanjangkan telinga juga memiliki nilai simbolis dalam menunjukkan status kebangsawanan dan melatih kesabaran.
Proses memanjangkan telinga melibatkan penggunaan logam sebagai pemberat yang ditempatkan di bawah telinga atau digunakan untuk anting-anting.
Perempuan Dayak diperbolehkan memanjangkan telinga hingga dada, sementara laki-laki bisa memanjangkan telinga hingga bawah dagu.
Tradisi ini juga ditinggalkan oleh Dayak Maratus dan dibatalkan dimasa keberadaan Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf dan anak cucunya.
3. Tradisi Tato
Tato atau rajah adalah simbol kekuatan, hubungan dengan Tuhan, dan perjalanan kehidupan bagi suku Dayak. Tradisi tato ini masih dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan Dayak.
Proses pembuatan tato terkenal karena masih menggunakan peralatan sederhana, di mana orang yang akan ditato akan menggigit kain sebagai pereda sakit, dan tubuhnya akan dipahat menggunakan alat tradisional.
Setiap gambar tato memiliki makna khusus, misalnya tato bunga terong menandakan kedewasaan bagi laki-laki, sementara perempuan mendapatkan tato Tedak Kassa di kaki untuk menandakan kedewasaan mereka.
Dalam konteks sejarah, dikatakan bahwa suku Dayak Iban menggunakan tato ini selama peperangan untuk membedakan antara teman dan musuh.
Tradisi ini ditinggalkan oleh Dayak Maratus dan dibatalkan dimasa keberadaan Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf dan anak cucunya.
4. Tradisi Tiwah
Kwangkey atau Kuangkay ialah upacara kematian yang dilakukan Suku Dayak Benuaq yang tinggal di pedalaman Kalimantan Timur. Tradisi ini berasal dari kata ke dan angkey, artinya adalah melakukan atau melaksanakan dan membuang bangkai.
Menurut istilah bahasa daerah setempat, Kwangkey mempunyai makna buang bangkai. Maknay yang ingin disampaikan adalah melepaskan diri dari kedukaan dan mengakhiri masa berkabung
Tiwah adalah upacara pemakaman masyarakat Dayak Ngaju yang melibatkan pembakaran tulang belulang kerabat yang telah meninggal.
Tradisi ini dilakukan sesuai dengan kepercayaan Kaharingan dan dipercaya membantu arwah orang yang meninggal untuk menuju dunia akhirat atau disebut juga dengan nama Lewu Tatau.
Selama pelaksanaan Tiwah, keluarga yang ditinggalkan akan menari dan bernyanyi sambil mengelilingi jenazah.
Proses pembakaran tulang belulang jenazah dilakukan secara simbolis, sehingga tidak semua tulang jenazah ikut dibakar dalam upacara Tiwah.
Tradisi suku Dayak ke-4 ialah Tiwah yang upacara pemakaman yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Ngaju. Dalam upacara ini, mereka akan membakar tulang belulang dari kerabat yang telah meninggal dunia. Menurut kepercayaan Kaharingan, tradisi Dayah Tiwah, dipercaya mampu mengantarkan arwah dari orang yang telah meninggal agar mudah menuju dunia akhirat atau disebut pula dengan nama Lewu Tatau. Ketika melaksanakan tradisi Tiwah, biasanya keluarga yang ditinggalkan akan menari dan bernyanyi sambil mengelilingi jenazah. Proses pembakaran tulang belulang jenazah hanya dilakukan secara simbolis sehingga tidak semua tulang jenazah akan ikut dibakar dalam upacara Tiwah.
Tradisi Penguburan
Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan:
1. penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat
2. penguburan di dalam peti batu (dolme
3. penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni:
1. dikubur dalam tanah
2. diletakkan di pohon besar
3. dikremasi dalam upacara tiwah
Prosesi penguburan sekunder
1. Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
2. jambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
3. Marabia
4. Mambatur (Dayak Maanyan)
Tradisi ini juga ditinggalkan oleh Dayak Maratus dan dibatalkan dimasa keberadaan Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf dan anak cucunya. Terkecuali pengubur mayat dalam tanah
5. Tradisi Ngayau
Tradisi berburu kepala ini, yang pernah ada tetapi sekarang sudah dihentikan, melibatkan pemburuan kepala musuh oleh beberapa rumpun Dayak, seperti Ngaju, Iban, dan Kenyah.
Tradisi ini penuh dendam turun-temurun sebab anak akan memburu keluarga pembunuh ayah mereka dan membawa kepala musuh ke rumah. Ngayau juga menjadi syarat agar pemuda Dayak bisa menikahi gadis yang mereka pilih.
Pemuda Dayak diwajibkan untuk berpartisipasi dalam tradisi berburu kepala sebagai cara untuk membuktikan kemampuannya dalam memuliakan keluarganya dan meraih gelar Bujang Berani.
Larangan terhadap tradisi ini dihasilkan dari musyawarah Tumbang Anoi pada tahun 1874, yang bertujuan menghindari perselisihan di antara suku Dayak.
Ke-5 tradisi tersebut sudah ditinggalkan oleh Dayak Maratus dan dibatalkan dimasa keberadaan Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf dan anak cucunya kecuaali tradisi Tarian Gantar
6. Manajah antang
Tradisi dari suku Dayak selanjutnya ialah manjah antang, tradisi ini merupakan suatu ritual untuk mencari di mana musuh berada ketika berperang. Menurut cerita masyarakat Dayak, ritual manajah antang merupakan ritual pemanggilan roh leluhur dengan burung Antang, di mana burung tersebut dipercaya mampu memberitahukan lokasi musuh. Selain dipakai ketika berperang, tradisi manajah antang pun dipakai untuk mencari petunjuk-petunjuk lainnya.
7. Mantat Tu’Mate
Seperti halnya Tiwah, tradisi mantat tu’mate merupakan tradisi untuk mengantarkan orang yang baru saja meninggal dunia. Namun mantat tu’mate berbeda dengan Tiwah. Sebab, mantat tu’mate dilakukan selama tujuh hari dengan konten acara iring-iringan musik serta tari tradisional. Setelah upacara selama tujuh hari selesai, barulah jenazah kemudian akan dimakamkan.
Ket. Referinsi No. 6-7 Artikel Tradisi Suku Dayak & Asal-Usul Suku Dayak
08. Tanggapan Pembatalan Habib Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf terhadap Tradisi Adat.
Salah seorang Serjana Agama abad
ke-21 Masihi
keturunan Dayak Lumpangi Habib H.Hasan Baseri,S.Ag bin
H.Muhammad Barsih bin Ahmad Baderi Assegaf Berkata bahwa "Andaikata Habib Djamiluddin bukan keturunan Dayak Lumpangi, walaupun ia
adalah orang
yang paling berprngaruh, ia orang
yang paling alim dan juga ia
orang yang paling berpengetahuan agama diantara semua penghuni Kampung Balai
Ulin Lumpangi saat itu, hampir dipastikan ia tidak akan membatalkan beberapa tradisi
suku Dayak yang berlaku di dalam Keluarganya. Akan
tetapi karena beberapa tradisi suku Dayak di Keluarganya menyangkut untung dan
rugi yakni dianggap
merugikan sukunya maka ia membatalkan dan menghapusnya”. Adapun Tradisi dimasud adalah -Tradisi
Memuliakan Tamu Nginap, -Tradisi Kuping Panjang, -Tradisi Tato atau rajah
adalah simbol kekuatan, -Tradisi Tiwah atau Kuangkay ialah upacara kematian, -Tradisi
Penguburan Mayat tidak dalam tanah, -Tradisi Ngayau berburu kepala musuh. Dan -Manajah
antang, tradisi ini suatu ritual mencari di mana musuh berada ketika berperang
8. Tari Gantar
Tari Gantar adalah salah satu tarian khas Suku Dyak. Tarian ini adalah tari pergaulan muda-mudi Suku Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung di Kabupaten Kutai Barat.
Tarian Gantar mengekspresika kegembiraan serta keramahan dalam menyambut tamu, baik wisatawan atau tamu kehormatan. Tari ini juga berfungis untuk menyambut pahlawan dari medan perang. Ada tiga jenis tarian Gantar, yakni Gantar Rayat, Gantar Busai, dan Gantar Senak dan Kusa
09. Makam/ pusara Habib Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf dengan
Siti Sarah isterinya
Menurut Folklor ceritra Datu-datu dan nenek kami bahwa “Habib Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar bin Hasan Assegaf diperkirakan wafat Jum'at, 10 Syawal 1195H atau 1781 Masihi”. Ia di makamkan berdampingan dengan makam Siti Sarah isterinya, dengan usia Habib sekitar 64 tahun dan ia berpusara di kampung Balai Ulin Lumpangi Kec. Loksado. Adapun Titik Koordinat makam/ pusara Habib Muhammad Djamiluddin dengan Siti Sarah isterinya yakni lat 2,80908,long 115,41756, 143,5m, 281 derajat.
Berkata Habib Baseraninor bin H. Muhammad Barsih Assegaf “Waktu dahulu diareal Makam Habaib kampong Balai Ulin itu tumbuh sebatang pohon kembang kenanga yang besar. Pohon Kenanga itu tidak putus-putusnya terus-menerus berbunga (berkembang) sehingga Areal Pusara selalu bau harum. Tetapi tidaklah sembarang orang bisa mengambil kembang kenanga yang jatuh dari pohonnya diareal makam Habaib Lumpangi itu kecuali ada ikatan dzuriatnya sebab bila tidak ada ikatan dzuriatnya maka orang yang mengambilnya bunga kenanga itu, badannya kena sakit panas selama 3 hari 3 malam.
10. Anak-anak Datu Habib Lumpangi
Abu Bakar bin Hasan Assegaf
Adapun anak-anak Datu Habib Lumpangi
antara lain :
- Shalih (ibunya dari Seiyun Hadramaut)
- Abdurrahman Sungai Mesa Bandarmasih
- Abdul Hamid Sungai Pinang Nagara
- Muhammad Djamiluddin
- Sy. Ummi Badar,
- Sy. Amas (Mastora) dan
- Ahmad Djalaluddin, anak yang paling bungsu.
- Shalih (Seiyun Hadramaut)
- Abdurrahman (Sungai Mesa Bandarmasih)
- Abdul Hamid (Sungai Pinang Nagara)
- Muhammad Djamiluddin (Dayak Lumpangi)
- Ahmad Djalaluddin (Dayak Lumpangi)
Adapun anak laki-laki Datu Habib Lumpangi Abu Bakar bin Hasan Assegaf yang terkomvirmsi saat ini Juni tahun 2025 abad ke-21 Masihi dan silsilah nasabnya tercatat dengan baik antara lain ”
- Shalih
- Abdurrahman
- Abdul Hamid dan ia punya anak an.Saqqaf (dibaca Segaf - Nagara).
- Muhammad Djamiluddin
- Ahmad Djalaluddin
11. Saudara
kandung Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar Assegaf
Adapun adik kandung Muhammad Djamiluddin antara lain : Sy. Ummi Badar, Sy. Amas (Mastora) dan yang paling bungsu bernama Ahmad Djalaluddin, ia dilahirkan 10 Sya’ban 1149H/1736M di Desa Lumpangi bersamaan tahun dengan kelahiran Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin yakni Ahad,10 Jumadil Awal 1149H/1736M di Desa Lumpangi, dan kedua anak ini tumbuh dan dibesarkan dilingkungan orang-orang muslim yang taat Agama islam di Desa Lumpangi, silsilah nasabnya tercatat dengan baik.
Menurut
catatan Habib Ahmad Ilham bin Janggi Ali Assegaf bahwa “Ahmad Djalaluddin salah
satu anak laki-laki Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf.” Hal ini
dapat dilihat catatan silsilah nasabnya yakni Ahmad Ilham bin Janggi Ali bin
Jambran bin Jama’in bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Husain bin Ahmad
Djalaluddin bin Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim bin Muhammad Assegaf……..
`12. Balai Adat Balai Ulin yang besar kosong ditinggalkan Penghuninya dan dipindah ke Pantai Dusin Hulu Banyu
Setelah Balai Adat Desa Lumpangi yakni "Balai Ulin" bubar dimasa sayyid Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim bin Muhammad bin Umar as-Shufy Assegaf dan saat anaknya “Muhammad Djamiluddin” atau “Habib Lumpangi” masih kecil karena banyak penghuninya memeluk Islam, maka Balai Adat di Desa Lumpangi ini ditinggalkan oleh orang-orang Dayak yang tidak menerima Islam hingga berpuluh-puluh tahun. Ada yang menuju ke Hilir Banyu ke desa Harantan an. Bayumbung, kemudian dari Balai Adat Bayumbung, mereka menyebar, ada yang pindah ke Mariuh (Malinau) hingga ke Batung dan sekitarnya.
Mereka ada yang menuju ke Hulu Banyu yakni ke kampung Tamiang Malah Muara Hatip setelah beberapa tahun bermukim disini. Maka mereka hijerah dari Tamiang Malah Muara Hatip menuju Hulu Banyu kemudian mereka memindahkan dan mengangkut Balai Adat "Balai Ulin" yang berlokasi di Lumpangi ke Pantai Dusin Hulu Banyu Loksado.. Maka kala itu berdirilah sebuah Balai Adat di Pantai Dusin pindahan dari Balai Adat "Balai Ulin".
Tidaklah kala itu semua orang Dayak Tamiang Malah Muara Hatip ikut berpindah ke Pantai Dusin Hulu Banyu, akan tetapi ada sebagian kecil atau beberapa keluarga mereka yang bertahan. Nah mereka yang bertahan inilah beberapa generasi kemudian Balai Adat yang ada di Tamiang Malah ini dipimpin oleh Tetuha Adat atau Penghulu Adat atau Tutuha Balai. Menurut Habib Husni bin Mansyur bin Hasan bin Aliadam bin Abdullatif bin Abu Bakar as-Tsani Assegaf yang pernah ia tanyakan langsung kepada orang Dayak bahwa "Salah satu Penghulu Adat atau Tetuha Adat Tamiang Malah bernama Pang Ijuh atau Julak Ijuh."
Masing-masing keluraga tersebut berpindah secara
bertahap, mula-mula mereka dari laki-lakinya membuka lahan bercucuk tanam,
bertani ladang yang dekat dengan Balai Ulin, kemudian setelah ladang panen
mereka menjemput satu persatu anak dan isterinya. Tahun demi tahun mereka
berladang berpindah-pindah hingga jauh dengan Desa Lumpangi tetapi hubungan
kekeluargaan tetap terjaga dengan baik. Padahal semua keluarga awal ini sudah
mengenal Islam dengan baik.
Menurut Folklor ceritera Datu-datu kami bahwa Perkawinan sepupu tersebut (Habib Muhammad Djamiluddin yang dipanggil sehari-hari "Muhammad" atau "Djamiluddin" atau "Habib Lumpangi" ia menikah dengan Siti Sarah binti Abu Thalib) menurunkan nasab anak laki-laki yang bernama Habib Ahmad Suhuf, yang dipanggil sehari-hari "Habib Ahmad".
Setelah dewasa anak ini dikawinkan dengan Diang Siti Aminah. Pernikahan ini membuahkan keturunan /nasab anak laki-laki. Anak laki-laki an. Habib Abu Bakar. Habib Abu Bakar bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin (Habib Lumpangi) bin Abu Bakar Assegaf yang panggilan sehari-harinya Habib Abu Bakar ast-Tsani. Setelah remaja - hingga dewasa ia dikawinkan dengan Umi Salamah (Diang Gunung) sepupunya desa Hulu Banyu (asal Dayak kampung Pantai Dusin).
Umi Salamah (Diang Gunung) beserta kedua saudara laki-lakinya pernah diutus oleh orang tuanya ke Desa Lumpangi untuk belajar ilmu Islam dimasa kecilnya kepada Habib Muhammad Djamiluddin, walaupun pada akhirnya salah satu dari mereka tidak menerima Islam. Dimasa pendidikan inilah Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf Assegaf mengenal sepupunya an.Umi Salamah (Diang Gunung) asal Dayak kampung Pantai Dusin di Hulu Banyu Kecamatan Loksado.
Rakam Jejak Habib Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf
IHabib Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin Assegaf, ia adalah seorang yang aliim sesudah ayahnya dan seorang yang shaleh, dan ia seorang yang ta’at yang memelihara iman dan islam, ia amat kenal dengan Tuhannya, ia seorang yang bertanggungjawab kepada keluarganya dan ia selalu berusaha menjalankan syari’at yang diperintahkan Tuhannya secara ketat selama hidupnya, seperti shalat, puasa, zakat dan amaliah-amaliah dzahir dan bathin lainya.
01.
Kelahiran Habib
Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin bin
Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim bin Muhammad bin Umar as-Shaafy bin Abdurrahman
Assegaf.
Menurut Folklor ceritra Datu-datu dan nenek kami menyebutkan bahwa Habib Ahmad Suhuf dilahirkan Ahad,10 Jumadil Awal 1149H/1736M di Desa Lumpangi, dan ia tumbuh dan dibesarkan dilingkungan orang-orang muslim yang taat Agama islam di Desa Lumpangi, ia berada di desa yang sangat terisolasi dari keramaian kota Kandangan, berada diudik sungai Kali Amandit yang jauh, kalau berpergian masa itu selalu jalan kaki. Isterinya Diang Galuh Aminah bin Abdullah bin Hamzah, ia adalah buyut Datu Muhammad Langara.
Sayyid Ahmad Suhuf adalah nama panjangnya, sedangkan Ahmad adalah nama panggilannya sehari-hari. Kedua orang tuanya memberinya nama Ahmad Suhuf. Nama ayahnya adalah Muhammad Djamiluddin (Habib Lumpangi) dan ibunya bernama Siti Sarah binti Abu Thalib bin Muhammad Langara. Ahmad adalah keturunan ke-3 atau cucu tersayang Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf. Kakek dan kedua orang tuanya menaruh harapan besar kepadanya.
02.
Habib Ahmad Suhuf bin Muhammad
Djamiluddin bin Abu Bakar Assegaf Mendapatkan Pengajaran Ilmu Agama
Dimasa
kecinya Habib Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar Assegaf berada di bawah asuhan
orang tuanya di Desa Lumpangi, ia ingin mengembara, ke Negeri orang, kata orang tuanya bahwa “Kalau kau ingin merantau, kau
harus banyak basango ilmu, supaya kembalinya kau selamat,” maka
iapun telah membekali dirinya dengan giat belajar dan bertanya tentang
ilmu-ilmu agama kepada orang tuanya, kepada kakeknya dan pamannya dan juga
kepada orang lain tentang ilmu akhlak, ilmu tauhid dan ilmu hakekat.
Habib
Ahmad Suhuf Mendapatkan
Pengajaran Ilmu Agama langsung dari : -Muhammad Djamiluddin &
Siti Raudah ayah-ibunya, -Abu Bakar kakeknya –Ahmad Jaluddin pamannya. Oleh
karenanya Dia pandai baca Al-Qur’an dan baca tulis arab Malayu.
03.
Silsilah Nasab
Habib Ahmad Suhuf bin Muhammad
Djamiluddin bin Abu Bakar bin Hasan
Assegaf
الْحَبِيْب اَحْمَدْ صُحُف بِنْ مًحَمَّدْ جَميْلً الدِّيْن بِنْ اَبًوْ بَكْرٍ
بِنْ حَسَنٍ بِنْ هَاشِمٍ بِنْ مًحَمَّد بِنْ عًمَرَ الصُّوْفِيِّ [عُمَرُ الصَّافِيّ]
بِنْ عَبْدُ الرَّحْمن بِنْ مُحَمَّد بِنْ عَلِيٍّ بِنْ اَلْاِمَامً عَبْدُ الرَّحْمن
اى وَلِيُّ الله الْفَقِّيْه الْمًقّدَّم الثانيّ السَّقَّافُ بِنْ سَيِّدِنَا مًحَمَّد
مَوْلَى اَلدَّوِيْلَةِ بِنْ سَيِّدِنَا عَلِيٌّ صَاحِبُ الدَّرْكِ بِنْ سَيِّدِنَا
عَلْوِىْ الْغُيُوْرْ بِنْ سَيِّدِنَا الْفَقِّيْه الْمًقّدَّم مًحَمَّد بِنْ سَيِّدِنَا
علي الوالد االفقيه بن سَيِّدِنَا الامام مًحَمّدْ صاحب مرباط بن سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ
علي خالع قسم بن سيدنا عَلْوِيْ با عَلَوِيٌّ
بِنْ سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ مًحَمّدْ الصَّاحِبُ الصُّمْعَةُ بِنْ سَيِّدُنَا
اَلْاِمَامُ عَلْوِيُ الْمُبْتَكِرُعَلَوِيّيْن بِنْ سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ عَبْدُاللهِ
[عُبَيْدُالله الصَّاحِبُ الْعَرْضِيُّ] بنْ سَيِّدُنَا الْاِمَامُ أَحْمَدُ الْاَبَحُ
الْمُهَاجِرُ بِنْ سَيِّدُنَا الْاِمَامُ عِيْسَى الرُّوْمِيُّ بِنْ سَيِّدُنَا الْاِمَامُ
مًحَمّدٌ النَّاقِبُ بنْ سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ عَلِيُّ الْعُرَيْضِيُّ بِنْ سَيِّدُنَا
اَلْاِمَامُ جعفر الصادق بن سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ مًحَمّدْ الباقر بِنْ سَيِّدُنَا
اَلْاِمَامُ عَلِيُّ زَينُ الـعـابدين بن سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ الْحُسَيْنُ بنْ السَّيِّدِةُ
فَاطِمَةُ الزَّهْرَاءُ بِنْتُ مًحَمّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنْ عَبْدُ
الله
04.
Habib Ahmad Suhuf bin Muhammad
Djamiluddin bin Abu Bakar bin Hasan
Assegaf Menikah
dengan Siti Aminah
Menurut
sumber data bahwa Habib Ahmad Suhuf yang panggilan sehari-harinya Habib Ahmad telah menikah
masa remaja (usia muda) - hingga dewasa, tetapi tidak punya keturunan, maka untuk medapatkan anak keturunan
ia dikawinkan pula dengan Diang Galuh Aminah. Galuh Aminah adalah
salah satu keturunan buyut Muhammad Langara.
Menurut
Folklor ceritra Datu-datu dan nenek kami menyebutkan bahwa di bawah usia 24
tahun Sayyid Ahmad Suhuf sudah menikah dan bekeluarga dan
juga bertahun-tahun masa perkawinannya pasangan suami –isteri ini belum
juga punya keturunan. Karena tidak punya anak, kemudian ia menikah lagi di
usianya 40 tahunan dengan sepupunya
Galuh Siti Aminah
cucu Hamzah, asal desa Muara Lumpangi, Senin, 10 Muharam 1190H atau 1776M.
Kemudian hasil perkawinan tersebut lahirlah seorang anak laki-aki yang diberi
nama Sayyid Abu Bakar.
kemudian untuk membedakan nama anak ini dengan nama Kakeknya
maka diujung namanya ditambah kalimat 'as-Tsani artinya yang
''kedua' maka namanya menjadi Sayyid Abu Bakar as-Tsani
05. Habib Ahmad Suhuf bersama Djamiluddin Assegaf Ayahnya Membatalkan beberapa Tradisi Suku Dayak Pegunungan Meratus.
Menurut
ceritera Datu-datu kami bahwa Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf kakeknya Habib
Ahmad Suhuf sudah datang, ia berada di Lumpangi tahun 1705M jauh sebelum
Belanda datang ke Kesultanan Banjar. Saat itu usia Habib Abu Bakar antara 40-45
tahunan, ia berniaga berjualan kain sarung dan perhiasan wanita, sambil
melakukan dakwah di Balai Ulin Lumpangi, Keberadaannya di desa tersebut semasa
dengan pemerintahan Sultan Tahmidullah, Raja Banjar ke-10 tahun 1700-1717 Masihi hingga Sultan
Tamjidillah I Raja Banjar ke-13 yang berpusat pemerintahan di
Martapura Kalsel Tahun 1734-1759M,
Kala itu Belanda belum menjajah Kesultanan Banjar.
Menurut
catatan Sejaarah Tahun 1747M,
Belanda menduduki Banjarmasin. Kemudian
tahun 1761–1801, masa pemerintahan Sultan Tahmidullah II/Sunan Nata Alam. 1762,
Saudara Sultan Nata yang bernama Pangeran Prabujaya dilantik sebagai mangkubumi
oleh Dewan Mahkota Kesultanan Banjar (Kesultanan Banjar).
Menurut dari berbagai sumber atau data, bahwa suku Dayak memiliki berbagai unik, seperti : Tradisi memuliakan Tamu Nginap, - Tradisi Kuping Panjang, -Tradisi Tato /rajah adalah simbol kekuatan, - Tradisi Tiwah atau Kuangkay ialah upacara kematian/pembunuhan, - Tradisi Ngayau atau berburu kepala musuh, - Tradisi tempat Penguburan, - Tradisi Manajah antang, tetapi tradisi tersebut ditinggalkan oleh Dayak Pegunungan Maratus dan tradisi itu dibatalkan dimasa keberadaan Habib Lumpangi yaitu Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf dan anak cucunya kecuaali tradisi Tarian Gantar (batandik),
06. Wafatnya Habib Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim bin Muhammad bin Umar as-Shaafy bin Abdurrahman Assegaf
Menurut Folklor ceritra Datu-datu dan nenek kami menyebutkan bahwa “Habib Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin Assegaf atau dipanggil sehari-harinya "Ahmad" Ia wafat Ahad,13 Jumadil Awal 1211H/ 1796M di usia 60 tahun dan dimakamkan berdampingan dengan isterinya Diang Galuh Siti Aminah di kampung Balai Ulin Desa Lumpangi Loksado.
Makam Habib Ahmad Suhuf bin M.Jamiluddin dan Galuh Aminah
Habib dimakamkan berdampingan dengan isterinya Diang Galuh Siti Aminah di kampung Balai Ulin Desa Lumpangi Loksado
Adapun Titik Koordinat, pusara makam Habib Ahmad Suhuf dan Galuh Siti Aminah isterinya adalah lat 2,80926, long 115,41769, 144,7m, 134 derajat
Rakam Jejak Sayyid Abu Bakar ats-Tsani bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar Assegaf
01. Lahirnya Sayyid Abu Bakar ats-Tsani bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar Assegaf
Menurut Folklor ceritra Datu-datu dan nenek kami menyebutkan bahwa Habib Abu Bakar ast-Tsani adalah anak pertama dari pasangan suami isteri Habib bin Ahmad Suhuf Assegaf dengan Diang Galuh Aminah, asal desa Muara Lumpangi, pasangan suami isteri ini menikah Senin, 10 Muharam 1190H atau 1776M. Kemudian Abu Bakar ast-Tsani lahir hari Rabu, 15 Dzulhijjah 1191H/ 1778 Masihi di Lumpangi. Dan Abu Bakar ast-Tsani adalah keturunan ke-3 atau cucu tersayang Habib Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar (Habib Lumpangi) Ia adalah buyut dari Habib Abu Bakar Bin Hasan bin Hasyim bin Muhammad bin Umar ash-Shaafy Assegaf.
Sedangkan nama Abu Bakar adalah nama pemberian dari kedua orang tuanya. Dan ia menjadi nama panggilannya sehari-hari, as-Tsani artinya yang kedua, yang disisipkan dibelakang namanya. Hal ini diberikan adalah sebagai nama pembeda dengan Datuknya Sayyid Abu Bakar. Oleh karenanya ia juga berwajah-serupa dan postur tubuhnya dan prilakunya persis sama dengan Datuknya Sayyid Abu Bakar Assegaf. Maka orang-orang sekelilingnya dan sahabatnya menyebutnyai "Abu Bakar as-Tsani" yakni " Abu Bakar yang kedua".
02. Sayyid Abu Bakar ats-Tsani bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin Assegaf Menerima Ilmu Agama
Sayyid Abu Bakar ast-Tsani adalah seorang anak cerdas dan shalih yang membanggakan orang tuanya, ia memperoleh pengajaran ttg Islam langsung dari ayah-ibunya dan kakeknya dan juga dari Paman-pamannya.
Menurut Folklor ceritra Datu-datu dan nenek kami menyebutkan bahwa Sayyid Abu Bakar ast-Tsani Assegaf mendapatkan pengajaran Agama langsung dari : - Diang Galuh Aminah ibunya, - Ahmad Suhuf ayahnya, - Muhammad Djamiluddin dan Ahmad Jalaluddin kakeknya. Dan guru-guru agama disekitarnya. Sejak kecil iapun telah membekali dirinya dengan giat belajar ilmu-ilmu agama kepada orang yang lebih tua dari nya, juga kepada orang lain tentang ilmu fiqih, ilmu akhlak, ilmu tauhid dan ilmu hakekat. Oleh karenanya ia pandai baca Al-Qur’an dan baca tulis arab Malayu.
Menurut sumber data bahwa sesudah Balai Adat Balai Ulin bubar maka beberapa tahun kemudian datanglah Dayak Ulang dan Bumbuyanin dan Bayumbung kedua anaknya ke Lumpangi. Bumbuyanin membawa ketiga anaknya an. Pang Ayuh, Bambang Basiwara dan Diang Gunung (Umi Salamah). Usia Bambang lebih tua dari Abu Bakar as-Tsani dan usia Umi Salamah lebih muda 2 tahun darinya. Keduanya ayah dan kakeknya minta kepada Habib agar ketiga anaknya diajari tentang Islam. Mereka nanti akan tinggal di kampung Balai Ulin beberapa tahun mempelajari ilmu Islam. Saat itu Dayak Ulang dan Bumbuyanin menemui kakaknya Muhammad Langara dan keduanya memohon agar Balai Adat Balai Ulin yang tidak berfungsi itu bisa dipindahkan ke Pantai Dusin Hulu Banyu dan disetujui.
03. Silsilah Nasab Sayyid Abu Bakar ats-Tsani bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar Assegaf
الْحَبِيْب اَبُوْ بَكْرٍ الثَّاني بِنْ اَحْمَدْ صُحُف بِنْ مًحَمَّدْ جَميْلً الدِّيْن بِنْ اَبًوْ بَكْرٍ بِنْ حَسَنٍ بِنْ هَاشِمٍ بِنْ مًحَمَّد بِنْ عًمَرَ الصُّوْفِيِّ [عُمَرُ الصَّافِيّ] بِنْ عَبْدُ الرَّحْمن بِنْ مُحَمَّد بِنْ عَلِيٍّ بِنْ اَلْاِمَامً عَبْدُ الرَّحْمن اى وَلِيُّ الله الْفَقِّيْه الْمًقّدَّم الثانيّ السَّقَّافُ بِنْ سَيِّدِنَا مًحَمَّد مَوْلَى اَلدَّوِيْلَةِ بِنْ سَيِّدِنَا عَلِيٌّ صَاحِبُ الدَّرْكِ بِنْ سَيِّدِنَا عَلْوِىْ الْغُيُوْرْ بِنْ سَيِّدِنَا الْفَقِّيْه الْمًقّدَّم مًحَمَّد بِنْ سَيِّدِنَا علي الوالد االفقيه بن سَيِّدِنَا الامام مًحَمّدْ صاحب مرباط بن سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ علي خالع قسم بن سيدنا عَلْوِيْ با عَلَوِيٌّ بِنْ سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ مًحَمّدْ الصَّاحِبُ الصُّمْعَةُ بِنْ سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ عَلْوِيُ الْمُبْتَكِرُعَلَوِيّيْن بِنْ سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ عَبْدُاللهِ [عُبَيْدُالله الصَّاحِبُ الْعَرْضِيُّ] بنْ سَيِّدُنَا الْاِمَامُ أَحْمَدُ الْاَبَحُ الْمُهَاجِرُ بِنْ سَيِّدُنَا الْاِمَامُ عِيْسَى الرُّوْمِيُّ بِنْ سَيِّدُنَا الْاِمَامُ مًحَمّدٌ النَّاقِبُ بنْ سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ عَلِيُّ الْعُرَيْضِيُّ بِنْ سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ جعفر الصادق بن سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ مًحَمّدْ الباقر بِنْ سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ عَلِيُّ زَينُ الـعـابدين بن سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ الْحُسَيْنُ بنْ السَّيِّدِةُ فَاطِمَةُ الزَّهْرَاءُ بِنْتُ مًحَمّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنْ عَبْدُ الله
04. Perkawinan Habib Abu Bakar ats-Tsani bin Ahmad Suhuf Assegaf dengan Umi Salamah (Diang Gunung).
Disebutkan orang bahwa keadaan fisik Datu Habib Lumpangi yakni Habib Abu Bakar bin Hasan adalah seorang saudagar muda berperawakan tinggi besar, dada bidang, berkulit putih kemerahan, berwajah arab tampan (gentang) punya jabis dan kumis tipis dan juga berjanggut tipis kala beliau datang ke Lumpangi.
Menurut beberapa informasi yang saya dapat bahwa salah seorang turunan ke-3/buyut Habib Abu Bakar bin Hasan yang bernama Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf Assegaf dikala mudanya, ia berwajah tampan dan gentang punya jabis dan kumis tipis dan juga berjanggut tipis, wajahnya mirip sekali dengan Datuknya Sayyid Abu Bakar.bin Hasan Assegaf. Baik Postur bentuk tubuhnya maupun tingkah lakunya persis seperti Datuknya. Maka oleh karenanya orang-orang sekellingnya memanggil namanya yakni "Abu Bakar as-Tsani".
KAROMAH HABIB ABU BAKAR AS-TSANI BIN AHMAD SUHUF ASSEGAF
Salah satu karomah terbesar Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf Assegaf adalah melalui perkawinannya dengan Umi Salamah (Diang Gunung) binti Dayak Bumbuyanin bin Dayak Ulang maka berIslamlah Orang-orang Hulu Banyu Kec. Loksado di akhir abad ke-18 Masihi.
Malalui
perkawinan Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad dengan Umi Salamah dengan Wali
nikahnya kakaknya sendiri yakni Bambang Basiwara. Perkawinan ini terjadi Ahad,
tanggal 12 Sya'ban 1210 H / 1796 Masihi diakhir pertengaan abad ke-18 Masihi
dahulunya maka dengan Islamnya kedua kakak beradik tersebut telah diikuti oleh
orang-orang suku dayak daerah Hulu Banyu Loksado, sebahagian mereka juga
mendapat hidayah Islam. , seperti
- kampung Tar Laga.
- kampung Majulung,
- kampung Ni'ih
- kampung Tanuhi,
- Kampung Tamiyng Malah (Muara Hatip)
- Kampung Hutap
- Kampung Tariban.
- Kampung Tar Mangkung,
- kampung Lambuk
- kampung Tar Belimbing
- dan kampung sebahagian Kemawakan menjadi Muslim.
Menurut ceritera Habib Muhammad Jamberi, dan yang dikuatkan ceritera Habib Muhammad Burhanuddin ar-Rabbani bin Ahmad Baderi Assegaf yang saya temui berkali-kali dan saya wawancarai di kediamannya Desa Tabihi tentang asal sebahagian orang-orang Hulu Banyu menerima hidayah Islam. Dan beliau berceritera ceritera dari sepupunya Habib Muhammad Djamberi bin Ahmad Darani bin Abdul Hamid bin Habib Aliadam Assegaf dan tercatat nasabnya dengan rinci bahwa “tertulis Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf adalah cucu Habib Muhammad Djamiluddin (Habib Lumpangi) bin Abu Bakar (Datu Habib Lumpangi) bin Hasan Assegaf kawin dengan Umi Salamah (nama asal dayak : Diang Gunung) binti Bumbuyanin bin Ulang. orang dari Hulu Banyu kampung Pantai Dusin yang mau menerima Islam (puteri ini adalah sepupu Habib sendiri). Hasil perkawinan ini menurunkan nasab, tiga anak laki-laki” an.
- Ibrahim
(gelar Abu Tha'am),
- Abdul Lathif
(gelar Abu 'Aly)
- 'Aly dan versi lain nama Beliau "Abdullah" (gelar Abu Tayau).
Habib Abu Bakar ast-Tsani , Beliau wafat dengan usianya yang panjang lanjut
Habib Abu Bakar as-Tsani lahir hari Rabu, tgl. 15 Dzulhijjah 1191H/ 1778 Masihi di Lumpangi, Beliau wafat dengan usianya 1 abad bahkan lebih, tetapi ada yang menyebutkan bahwa Beliau wafat yakni Jum'at, 14 Januari 1875M atau bertepatan 17 Dzulhijjah 1292H. Sumber lain juga ada yang menyebutkan bahwa Beliau diberi Allah Swt umur panjang dan ia sudah punya buyut an. Habib Tanqir Ghawa bahkan ada menyeutkan Beliau sudah punya pipit (intah) saat hidupnya, Beliau menutup mata meninggalkan anak cucunya Kamis 27 Maret tahun 1902M/1319H dengan usia Beliau 124 tahun Masihi ketika wafat. Beliau dimakamkan kampung Balai Ulin Lumpangi Loksado.Haulan Beliau tersebut dilaksaaanakan oleh Ahlul Bait setiap tanggal 17 Dulhijjah.
Adapun Abu Tha'am Ibrahim menikah dengan Diang Tangang (Siti Rahmah), ia seorang perempuan janda yang sudah beranak, asal kampung Tangang Bamban Kec. Angkinang. Pernikanan Habib dengan Diang Tangang tersebut menurunkan nasab / anak laki-laki tunggal an. Muhammad w.1942 (bergelar kehormatannya "Abu Thair atau Ambutheir).
Kemudian Abuthair Muhammad menikah dengan Siti Siadah asal orang Candi Agung Amuntai, ia berprofisi dayang pemayungan Permaisuri Raja Kuripan Amuntai.Ia berhenti bekerja di masa mudanya karena ia dipersunting dan dikawini oleh Sayyid Abu Thair Muhammad tahun 1860 M. dan punya anak laki-laki tunggal an Tanqir Ghawa, hidup (1862-1985M),
Konon ketika usia Tanqirr Ghawa. 18 tahun, orang tuanya telah mengkawinkannya dengan seorang perempuan muda asal desa Amawang yang bukan kemauannyam kemudiaan ayahnya meninggalkannya pergi merantau ke Pulau Laut (Kotabaru) cukup lama, tampa kabar berita yang pada akhirnya ayah-ibunya bercerai. Ibunya Siti Siadah/Tiadah menikah pada kali keduanya beberapa tahun kemudian ia cerai lagi. Kemudian Siti Siadah menikah lagi dengan orang yang lebih muda darinya, beberapa tahun kemudian ia punya dua anak laki-laki dan perempuan an. Juhri dan Fatmah.
- Oleh karenanya Selisih tahun kelahirannya 5-7 tahun lebih tua Nanang Karji bin Tanqir Ghawa antara dengan Kayi Juhri dan Fatmah adik seibunya Tanqir Ghawa
- Muhammad Barsih Cucu Sayyid Tanqir Ghawa selisih usia tahun kelahiran tidak jauh beda dengan anak-anak Kayi Juhri dan Neng Fatmah.
Setelah dewasa Tanqir Ghawa atau dimasa mudanya ia telah dijodohkan orang tuanya dan ia menikah dengan seorang perempuan pilihan orang tuanya dan punya anak kemudian ia meninggalkannya menyusul (mencari) ayahnya, ia merantau ke Pulau Laut. ia mengembara ke sulawisi hingga sampai ke Sumatera, ia punya 4-5 isteri selama dalam pengembaraannya tetapi tidak punya anak.
Menurut ceritera Kayi Sepuh Lumpangi konon diceriterakan bahwa ketika Datung Tiadah, mandangar anaknya Sayyid Tanqir Ghawa saat merantau di Kampung orang, ia berkalahi dan berbuat masalah di negeri orang, maka Datung Tiadah datang menjemput (maambili) anaknya Sayyid Tanqir ke Pulau Laut (Batulicin). Kata orang bahwa Ibu Sayyid Tanqir Gawa, ia hanya balarut mengayuh jukung yang sangat sedarhana, konon ia bisa dengan mudah dan cepat sampai ke sana, dengan bantuan sahabatnya para tentara Buaya. Beliau orang sakti atau harat, ia bisa barjalan di atas permukaan air (banyu.)
Dan diakhir abad ke-19 Sayyid Tanqir Ghawa bin Muhammad bin Ibrahim bin Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar Asseaf (ia) pulang kampung dan menikah dengan Siti Khadijah seorang janda muda ditinggal mati suami yang sudah punya anak an. Karjah.
Menurut keterangan Habib Bahriansyah (Utuh undul,72 thn) bin Bahur Assegaf yang saya wawancarai saat aqiqah buyut pertamanya dikediamannya, bahwa ia dari keterangan ayahnya & kisah neneknya bahwa Kayi Tanqir Ghawa dimasa mudanya dijodohkan orang tuanya sebelum ia pergi mengembara ke Pulau Laut, (sekarang Kab Kotabaru) ia telah menikahi seorang perempuan dan punya anak. Kayi Karji adalah anak kandung Kayi Tanqir Ghawa dengan isteri pertamanya orang Amawang, dan isterinya tersebut bekeluarga dekat dengan Siti Nurah (adik kandung Atha’illah) isteri Ahmad Darani bin Abdul Hamid bin Aliadam Assegaf
Menurut keterangan Habib Muhammad Ibnu Mubarak bin Hasan Basri Assegaf bahwa ia dari keterangan Drs.Habib Tajuddinnor,MM bin Ahmad Baderi Assegaf paman ayahnya yang ia wawancarai dikediamannya di Barabai bahwa Kayi Karji adalah anak kandung Kayi Tanqir Ghawa dari isteri pertamanya.
Menurut keterangan Habib Burhannor, ia dari ucapan Ahmad Baderi ayahnya bahwa Kayi Karji dan Karjah bukan saudara kandung kami (.Bahar,Badariah,Maswati dan Salmiati) tetapi ia saudara seketirian kami. Menurut keterangan Habib Burhannor, ia dari ucapan Ahmad Baderi ayahnya bahwa 12 tahun lebih Kayi Tanqir hidup berumah tangga dengan mamanya Kayi Karji tetapi belum punya keturunan kemudian disebutkan bahwa sekitar tahun 1900-1909 ia menikah lagi dengan perempuan janda yang ditinggal mati suaminya hingga lahirlah anak pertama yang diberinama “Ahmad Baderi”. Beda usia Karji deengan Baderi sebanyak 13 tahun.
Menurut ibu saya Hj. Masitah binti Salamat (umur 83 thn), yang saya wawancarai dirumah Beliau di jalan Alfalah Kandangan mengatakan, ia dari ucapan Umbuy Uja isteri terakhir Kayi Karji bahwa Kayi Tanqir ayah tiri Karji
Menurut Habib Muhammad Burhannor bin Ahmad Baderi Assegaf yang saya wawancarai dikediamannya, bahwa mereka anak-anak Kayi Karji antara lain (Husni) dan cucu-cucunya mengakui dan meyakini bahwa ayah mereka adalah keturunan/ anak Kayi Tanqir Ghawa bin Muhammad bin Ibrahim bin Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar Asseaf.
Adapun Ahmad Karji adalah anak pertama dari Tanqir Ghawa bin
Muhammad bin Ibrahim bin Abu Bakar bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin bin
Abu Bakar Asseaf, setelah dewasa ia menikah Maimunah punya anak :
- Husni (Utuh Gunung)
- Ahmad
- Unan
- Misran (Imis) bin Maisyarah isteri kedua setelah isteri pertama wafat.
Kemudian Habib Ahmad Karji (Julak Nanang Karji) bin Tanqir Ghawa Assegaf setelah isterinya wafat, ia menikah lagi dengan Maisyarah perempuan asal Desa Tilahan Kec. Hantakan Barabai punya anak tunggal bernama Misran (Imis). Sedangkan Habib Husni bin Ahmad Karji bin Tanqir Ghawa Assegaf menikah dan punya anak : Habib H.Bastami dan Sy. Nur Aida. Adapun Habib H.Bastami bin Husni bin Ahmad Karji bin Tanqir Ghawa Assegaf menurunkan anak bernama Toni Jemain dan Beny
Versi lain juga menyebutkan bahwa sekitar tahun 1909 ia menikah dengan perempuan janda yang ditinggal mati suaminya janda itu bernama Siti Khadijah asal orang Kandangan Hulu yang berdomisili di Lumpangi karena takut dengan kesewenangan Penjajah Belanda dan hasil perkawinan dengan janda punya anak tersebut dan kemudian ia punya keturunan 6 anak an.
- Habib Ahmad Baderi (1918-1993M)
- Habib Bahar
- Sy Badariah
- Habib Bahur
- Sy Maswati /Taluh
- Sy Salmiati
Setelah dewasa Ahmad Baderi (usia 18 Tahun) awal tahun 1936 ia menikah dengan Masmurah binti H. Bustani orang Kandangan Hulu 2, dan punya anak tunggal an. H.Muhammad Barsih hidup sekitar tahun 1937-1978M,
Perkawinan ayah-ibunya tidak lama bertahan /bercerai/ bubar. Kemudian ayahnya menempuh pendidikan kejenjang lebih tinggi keluar daerah, setelah pulang dari pelatihan di Jawa Ahmad Baderi bekerja di instansi Pemerintahan ditempatkan di Kec. Padang Batung, kemudian ia dimutasi ke Nagara Kab. HSS. Tahun 1953 ia menikah lagi dengan perempuan an.Maslianoor w.1997M asal Nagara Tumbukan Bayu dan punya anak 7 orang yakni :
- Habib Muhammad Burhan Noor (l.13 Juli 1955M)
- Sy Rumaynoor
- Habib Drs.H.Tajuddin Noor,MM
- Habib Syahruddin Noor L.1963
- Sy Nurlianti (Nunur)
- Sy Nor Jatunnisa
- Nur Izzati Rahmi, S.H.I (Untung)
Kemudian tahun 1960 Masihi H. Muhammad Barsih bin Ahmad Baderi bin Tanqir Ghawa Assegaf menikah dengan Hj. Masitah asal orang Kayu Abang Kec. Angkinang punya anak 9 orang an. :
- Basuni (wafat saat kecil)
- Basrani Noor
- H. Hasan Basri, S. Ag
- M.Nurdin Effendi w.10 Sya'ban 1433H
- Taniah wafat Jum'at, 8 Dzulhijjah 1443M
- Maimunah (wafat saat kecil)
- Nursinah, S.Pd wafat.4-3-2014M/ Selasa, 3 Jumadil awal 1435H
- Dzukifli Lubis
- M.Ariatim/Aryanurhadi,S.Pd
Adapun anak Hj. Masitah binti Salamat yang kedua dari 9 orang bersaudara bernama Basrani Noor bin H.Muhammad Barsih bin Ahmad Baderi Assegaf. Ia menikah dengan Ainah binti Kasran asal orang Malinau dan punya anak 4 orang, 2 laki-laki dan 2 perempuan an.
- Farida Hayati dan
- Syahril Majid,
- Ali Marzuki,
- Eva.
Adapun Syahril
Majid bin Basrani Noor bin H.Muhammad Barsih bin Ahmad Baderi
Assegaf menikah dengan Diana
binti Ayau asal orang Lumpangi dan punya anak 1
orang laki-laki an. Ajril.
Sedangakan adiknya Ali
Marzuki menikah dengan Saidah Hasanah asal orang Simpur dan punya anak 1 orang laki-laki an.Muhammad Angga Saputra.(sehari-hari dipnggil "Muhammad").
Kemudian salah satu dari ke-9 orang anak itu, anak yang ke-3 bernama H.Hasan Basri bin H.Muhammad Barsih bin Ahmad Baderi Assegaf. Pada tanggal 3 Maret tahun 1991 ia menikah dengan Hj. Masliana binti H.Yusuf bin H.Syukur asal kota Raden Amuntai dan punya anak 3 orang laki-laki an.
- Muhammad Ibnu Mubarak, S.Pd
- Ibnu Salam M.Pd dan
- Muhammad Ibni Athaillah, ST
Adapun Muhammad Ibnu Mubarak bin H.Hasan Basri bin H.Muhammad Barsih bin Ahmad Baderi Assegaf, ia mondok Pesantrin Ibnu Mas'ut Putra Kandangan selama 6 tahun. Kemudian kuliah di UNLM Banjarmasin. Tahun 2019 menikah dengan Lina Hafizah binti Hamberan asal Desa Pamintangan Kab. Hulu Sungai Utara Amuntai dan punya dua anak bernama "Ahmad Fadhil Mubarak Assegaf" dan Sayyid Ahmad Qurtubi Assegaf (lhr. 31 Agust 2024/26 Shafar 1446H)
Salah satu dari 7 anak Ahmad Baderi bin Tanqir Ghawa bin Muhammad Assegaf dengan perempuan Maslianoor bernama “Muhammad Burhan Noor” anak pertama ia lahir di Kandangan 13 Juli 1955M. Sa’at dewasa ia menikah dengan perempuan bernama “Mastinah” binti Muhammad Yusuf dan punya 4 keturunan /anak an. :
- Hendri Yusliani Noor,
- Aulia Ismatullah Halim,
- Muhammad Subhan dan
- Muhammad Ainurahman.
Sedangkan anak ketiga bernama Drs.H.Tajuddin Noor,MM. Setelah dewasa ia menikah dengan perempuan bernama “Hj.Norliani” dan punya 3 keturunan /anak an. :
- Hikmatu Diniah,
- M.Firdaus Fansuri dan
- Hafijatun Nadia.
Adapun M.Firdaus Fansuri menikah dengan perempuan an. Ina punya 1 anak an. Adilla Risa, kemudian ia menikah dengan perempuan an. Ana isteri keduanya dan punya 1 anak an. M.Aiman Firdaus.
B.Dzuriat Habib Abdul Lathif bin Abu Bakar As-Tsani bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar Assegaf
Sedangkan dzuriat nasab dari Habib Abdul Lathif bin Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin Assegaf menikah dengan Diang Putih (Mutmainnah) menurunkan anak salah satunya an. Habib Aliadam. Beliau ini (Habib Aliadam menikah dengan Nilantih/ Nurhasanah) menurunkan 5 orang anak antara lain :
- Habib Hasan,
- Habib Umpat,
- Abdul Hamid,
- Abdullah dan
- Syarifah Masrah.
Menurut Habib Husni bin Mansyur bin Hasan Assegaf yang saya wawancarai dikediamannya bahwa "Datu Habib Aliadam punya saudara bernama Abdullah dan Abdul Karim. Abdul karim tersebut Beliau pernah tinggal di Sei Malang Amuntai."
Adapun anak Datu Habib
Aliadam yang pertama adalah bernama Habib Hasan. Menurut Habib Husni bin Mansur
bahwa Habib Hasan punya 3 orang anak :
- Syarifah Basriah
- Habib Mansyur
- Syarifah Masniah
Sedangkan Habib Mansyur bin
Hasan bin Aliadam bin Abdullatif bin Abu Bakar As-Tsani Assegaf punya anak 5
orang anak antara lain :
- Habib Husni
- Habib Jailani
- Habib Mugni
- Sy. Isnawati
- Habib Muhaimin
Menurut Habib Husni bin Mansyur Assegaf bahwa Habib Hasan bin Aliadam Assegaf dan Habib Mansyur bin Hasan bin Aliadam bermakan dekat langgar Darul Muttaqin di Tibung Raya Kec. Kandangan.
Adapun Habib Husni tercatat
di KTP Beliau lahir di Hulu Sungai Selatan tanggal 27 Februari 1959 pekerjaan
Polisi Kehutanan Beliau menikah dengan perempuan yang bernama Rasuna dan mereka punya 4 orang anak
antara lain :
- Sy. Elly Maranti
- Sy. Erliyantisti
- Sy. Erini
- Habib Anhari Anshar (lhr 2003)
Habib Jailani menikah punya
anak 1 orang yang bernama "Amin" sedangkan Habib Mugni menikah dengan
Masniah punya 3 orang anak yaitu :
- Sy. Linda (kelahiran 2002//20 th)
- Sy. Fina (kelahiran 2013/9 th)
- Habib Azka (kelahiran 2015/7 th)
Kemudian dari anak yang ketiga bernama Habib Abdul Hamid bin Aliadam bin Abdullatif bin Abu Bakar bin Ahmad Suhuf Assegaf menikah dengan Diang Kacil/Mardiah dan punya anak tunggal bernama Ahmad Darani. Dan Ahmad Darani menikah dengan Siti Nurah punya 7 anak an.
- Habib Ismail Jumberi.
- Habib Muhammad Jamberi,
- Sy. Salabiah,
- Sy. Aisyah,
- Habib Fakhrurrazi,
- Sy. Armaniah dan
- Sy. Tarmiah.
Muhammad Jamberi bin Ahmad Darani bin Abdul Hamid Assegaf menikah dengan Siti Aisyah punya anak an. Wardah dan Budi. Kemudian ia menikah lagi dengan Rusdiana isteri keduanya dan punya anak an. Muhammad Mahyudi. Sedangkan Habib Aliadam adalah Datunya Habib Muhammad Jamberi Assegaf. Jadi Habib Aliadam tersebut, ia telah merantau ke daerah Cantung dan ia wafat dan bamakam di Cantung Kec. Kelumpang Hulu Kab. Kotabaru.
Menurut ceritera bahwa Abdul Lathif. Beliau pernah dimasa mudanya bersama bersama adiknya Abu Tayau telah mengembara ke Pulau Emas yaitu disebut juga pulau Sumatera. Yaitu Provinsi Jambi. Kabupaten Karinci, tepatnya diperbatasan antara prov. Jambi dengan Sumatera Barat, di Pegunungan Bukit Barisan, dekat pantai barat, dengan ketinggian 3.805 mdpl. Gunung ini juga menjadi batas antara wilayah Suku Kerinci dengan Etnis Minangkabau yang dikelilingi hutan lebat Taman Nasional Kerinci Seblat, merupakan habitat harimau sumatra dan badak sumatera. Diwilayah Suku Kerinci konon mereka mengadu nasib dengan bekerja mendulang emas.
Kemudian untuk menambah kuatnya hubungan darah dan tali kekeluargaan, juga dilakukan oleh Habib Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin bin Habib Abu Bakar Assegaf mengkawinkan anaknya (Habib Abu Bakar as-Tsani) dengan anak sepupunya Tetuha Adat Dayak Bumbuyanin kampung Pantai Dusin, maka setelah dewasa Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Assegaf dinikahkan dengan Umi Salamah (nama asal : Diang Gunung) 14 Sya'ban 1202H/1788M. Walinya kakaknya sendiri yakni Bambang Basiwara. Maka melalui perkawinan ini, masuk Islamnya kedua kakak beradik ini, sebagai panutan suku Dayak Maratus, maka diikuti oleh orang-orang suku Dayak kampung Pantai Dusin Hulu Banyu dan sekitarnya di Kecamatan Loksado tempo dulu, seperti kampung Datar Mangkung, kampung Datar Laga. kampung Lambuk dan kampung Datar Belimbing dan kampung sebahagian Kemawakan menjadi Muslim. Dan juga diseberang Sungainya atau dihilir sungai seperti kampung Majulung, kampung Ni'ih dan kampung Tanuhi menjadi Muslim.
Menurut ceritera Habib Besrani Noor bin H.Muhammad Bersih Assegaf (Usia 57 tahun) yang saya wawancarai bahwa Balai Adat Pertama di Hulu Banyu Loksado kala itu terletak di kampung Pantai Dusin dihulu kampung Oling, berseberangan kampung Tar Laga dan kampung Tar Mangkung. Di kampung Pantai Dusin Hulu Banyu inilah Bumbuyanin sebagai Tetuha Adat pertama membangun Balai Adat terletak ditepi tiga muara sungai Kali Amandit.
Selanjutnya menurut Beliau bahwa diperkirakan keberadaan Balai Adat kampung Pantai Dusin yang di bangun oleh Bumbuyanin dan diturunkan kepada anak tertuanya Datu Ayuh atau nama lainnya sang Dayuhan, tidak sampai dari satu abad, Balai Adat dan penghuninya ini kena musibah, semuanya telah hanyut diterjang banjir besar, kecuali orang-orang yang selamat adalah orang-orang yang masih tinggal ( badim dipahumaan) ladang padi.
Ulang sudah mengenal Islam, dia adalah adik kandung Muhammad Langara yang belum muslim. Kemudian namanya diabadikan oleh masyarakat setempat / dzuriat anak cucunya menjadi nama kampung atau nama desa, maka bernamalah lokasi tempat kediamannya menjadi desa Ulang. Dia adalah seorang Dayak yang melahirkan suku Dayak Ulang didesa Ulang. Dan sebagian desa-desa sekitarnya menjadi muslim seperti kampung Tariban dan kampung Hutap, tetapi untuk desa Ulang sendiri tahun 1970 an sudah dimasuki Agama Kristen.
Dan suku Dayak Bumbuyanin juga keturunan Ulang yang pertama dan anaknya yang kedua bernama Bayumbung. Untuk mengenang Datunya maka dzuriat anak cucunya nama “Bumbuyanin” menjadi nama pada Balai Adat Dayak. Dinamakanlah Balai Adat dimaksud dengan nama “Bumbuyanin”. Balai Adat tersebut sekarang yang beralamat /berlokasi di desa Kemawakan. Demikian pula Balai Adat Bayumbung menjadi Balai Adat tertua di pegunungan Maratus.
Bumbuyanin adalah nama Tetuha Adat Dayak yang mempunyai 3 anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Dimasa kecilnya mereka bertiga pernah diutus atau dikirim orang tuanya ke Desa Lumpangi untuk menuntut Ilmu Islam kepada Habib oleh karenanya mereka sangat mengenal Islam dengan baik. Dimasa pendidikan inilah Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad mulai mengenal dan menyukai Umi Salamah sepupunya.
Adapun anak Bumbuyanin yang pertama bernama Ayuh atau Datu Ayuh atau Dayuhan atau Sang Dayuhan, digambarkan orang bahwa dia seorang lelaki yang berfisik kuat, gemar berkelahi atau berperang tetapi kurang cerdas, mudah/gampang marah, sulit menerima hal-hal yang positif dan dia menurunkan suku dayak Gunung Meratus.
Sedangkan anak yang ke-2. Bambang Swara atau Bambang Basiwara. digambarkan orang bahwa dia berfisik agak lemah tetapi sangat homoris, punya otak berlian dan cerdas dan menerima hal-hal yang positif. Ketiga anak sudah mengenal Islam dengan baik tetapi Datu Ayuh belum berani berislam. Sebab takut kehilangan kesaktian-kesaktin yang dia miliki turun-temurun.
Diantara kesaktian yang mereka miliki adalah “Dapat mengobati orang sakit, Parang Maya, Balah Saribu, Pulasit dan cara Mengobatinya, Pambaci pada Seseorang atau Pembanci Dagangan, Penglaris Dagangan, Panglit, Minyak Kuyang, Minyak Bintang, Minyak Buluh Parindu, Minyak Karuang Bulik, Minyak Jalawat Cancang, Minyak Bangkui Gila, baisian Rantai Babi, Minyak Landuk-landuk dan Minyak Paluncur Baranak.”
Dan yang ke-3 adalah perempuan bernama Umi Salamah (Diang Gunung), dia seorang puteri yang sangat cantik yang dinikahi oleh Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad bin Muhammad Djamiluddin bin Habib Abu Bakar Assegaf pada akhir pertengahan abad ke-18Masihi.Melalui perkawinan ini Bambang Basiwara sebagai wali dari adik perempuannya. Bambang Basiwara ini ia menjadi seorang muslim dan dia menurunkan suku Banjar.
Versi lain ada yang punya berpendapat bahwa ceritera ketiga anak ini dikenal oleh sebagian masyarakat Dayak Maratus yang pertama bernama Ayuh atau Datu Ayuh atau Sang Dayuhan, dia seorang lelaki yang berfisik kuat, gemar berkelahi atau berperang tetapi kurang cerdas, sulit menerima hal-hal yang positif, sosok ini di sebut Dayuhan. Yang ke-2. Bambang Swara atau Bambang Basiwara. dia berfisik agak lemah tetapi punya otak berlian dan cerdas dan menerima hal-hal yang positif dan sangat homoris, sosok ini dikenal dengan nama "Paluy" sedangkan yang ke-3 adalah perempuan bernama Diang Gunung, dia seorang puteri yang sangat cantik rupawan, sosok ini disebut "Intingan".
Balai Adat Bumbuyanin dulu/pertama diperkirakan berdiri ditepi Sungai disekitar Kampung Uling Kampung Tar Laga dan Tar Mangkung tepatnya kampung Pantai Dusin. Adapun orang-orang yang tiada mau menerima Islam, mereka pindah atau menjauh dari Kaum Mulimin. Dengan adanya sebab akibat dan bergesirnya waktu tempu dulu maka Balai Adat Bumbuyanin pindah lokasi / tempat, sekarang Balat Adat tersebut beralamat di desa Kemawakan Kec. Loksado.
B. Perkawinan Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar Assegaf dengan Wanita lain asal kampung Batu Tangah
Menurut sumber bahwa isteri Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf yang bernama Umi Salamah binti Bumbuyanin ketika berusia 44 tahunan ia sudah sering sakit-sakitan hingga membawa maut dan ia punya 2 orang cucu an. Muhammad bin Ibrahim dan Aliadam bin Abdullatif.
Namun disisi lain Habib Abu Bakar bahwa setelah isterinya (Umi Salamah binti Bumbuyanin) wafat diperkirakan usianya 45 tahun maka ada kemungkinan dan diduga kuat Habib Abu Bakar bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamaluddin Assegaf ini, Beliau menikah lagi dengan wanita muda lain disisa usianya sehingga pernikahan itu punya anak atau keturunan yang baru, selain keturunan yang telah kami sebutkan diatas yang belum kami gali dan belum kami ketahui kejelasannya. Akan tetapi apabila ditelusuri artikel yang ditulis Saadilah Mursyid maka diduga kuat bahwa anak dari isteri barunya asal kampung Batu Tangah dimaksud itu bernama Habib Husin dan Habib Ahmad dan menurut artikel dimaksud dzuriatnya masih ada dan tersebar hingga sa'at ini.
Kami belum mendengar tetapi yang lain ada yang tahu ceritera (keterangan) ini bahwa setelah isterinya (Umi Salamah binti Bumbuyanin) wafat diperkirakan usianya 45 tahun maka Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf ini, Beliau menikah lagi dengan wanita lain sehingga pernikahan itu punya anak atau keturunan yang lain (yang baru), selain tiga keturunan yang telah kami sebutkan yakni Ibrahim, Abdullatif dan "Aly dan keterangan tersebut belum kami gali dan belum kami ketahui kejelasannya. Akan tetapi kami hanya menelusuri artikel yang ditulis Saadilah Mursyid maka diduga kuat bahwa anak tersebut bernama Habib Husein dan Habib Ahmad dan menurut artikel dimaksud dzuriatnya masih ada dan tersebar hingga sa'at ini.
Tetapi diduga kuat menurut versi lain yang pernah saya dengar dari kisah salah seorang Habib dan lebih masuk akal bahwa keduanya Habib Husein dan Habib Ahmad tersebut adalah keturunan dari Habib Ali bin Idrus bin Hasyim bin Muhammad Assegaf yang berada/ bamakam dalam Kantin Los Batu Pasar Kandangan sedangkan Habib Iderus (adik kandung Habib Hasan) bin Hasyim bin Muhammad Assegaf.
“Diantara nama-nama keturunan beliau yang sampai sekarang masih hidup adalah
Habib Aziz (Muara Banta), Habib Yahya (Telaga Bidadari), Habib Yadi (Muara Hatip)” (Mursyid 2017)
C. Silsilah Nasab Dzuriat Habib Abu Bakar (Datu Habib Lumpangi) bin Hasan bin Hasyim Assegaf
Diperkirakan tahun 1705
Masihi terjadi perkawinan Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf dengan Aluh
Milah anak Tetuha Adat Langara di Balai Ulin Lumpangi, pernikahan ini membuahkan keturunan dan Nasabnya tercatat dengan baik.
Ada tiga sumber data catatan silsilah nasab yang Penyusun terima yaitu :
1. Tanqir Ghawa bin Muhammad bin Ibrahim Assegaf
Adapun catatan silsilah nasab yang saya terima dari Habib Tanqir Ghawa adalah tercatat bahwa :
"تَنْقِرُ الْغَوَى بِنْ اَبًوْ طَيْرٍ مُحَمَّدْ بِنْ اَبًوْ طَعَامٍ اِبْرَاهِيْمَ بِنْ اَبُوْ بَكْرٍ بِنْ اَحْمَدْ صُحُفٍ بِنْ مًحَمَّدْ جَميْلً الدِّيْن بِنْ اَبًوْ بَكْرٍالسقاف"
2. Ahmad Baderi bin Tanqir Ghawa Assegaf,
Hal yang sama juga dikatakan Ahmad Baderi bin Tanqir Ghawa kepada anak cucunya bahwa “Syukur alhamdu lillaah kita ucapkan kepada Allah Swt,
andaikata Habib tiada datang membawa Islam dan nenek kita saat itu ada yang kawin dengan habib lalu ia mengislamkan
datuk nenek keluarga kita Dayak lumpamgi, andai belum Islam, maka kita semua rugi, kita akan dimasukkan ke dalam api Naraka, nauudzu billaahi mindzaalik” Menurut
Beliau bahwa “Ucapan ini telah diucapan pula oleh datuk neneknya baharai sebelumnya kepada anak
cucunya”.
Adapun catatan silsilah nasab yang saya terima dari Habib Ahmad Baderi adalah “Tercatat Adjun baderit sasaran kembang (Ahmad Baderi) bin Tanqir Ghawa bin Abu Thair (Muhammad) bin Abu Tha’am (Ibrahim) bin Abu Bakar bin Ahmad Suhuf bin Djamaluddin bin Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assyggaf.”
3. Muhammad Jamberi bin Ahmad Darani bin Abdul Hamid Assegaf
Catatan nasab Habib Muhammad Jamberi bin Ahmad Darani Assegaf dan dengan rinci bahwa “tertulis Habib Abu Bakar bin Ahmad adalah cucu Habib Muhammad Djamaluddin bin Abu Bakar bin Hasan Assegaf kawin dengan Umi Salamah (nama asal dayak : Diang Gunung) binti Bumbuyanin bin Ulang dari Hulu Banyu. Dan menurunkan tiga anak laki-laki” an. -Ibrahim (gelar Abu Tha'am), -Abdul Lathif (gelar Abu 'Aly) 'Aly (gelar Abu Tayau). Adapun Abdul Lathif punya anak Aliadam. Aliadam punya anak : Hasan, Umpat, Abdul Hamid, Abdullah dan Masrah. Abdul Hamid punya anak : Ahmad Darani. Ahmad Darani punya 7 anak : Ismail Jumberi, Muhammad Jamberi dstnya.
Ada tiga bukti kuat
hubungan nasab dengan Habib Lumpangi yaitu
:
a. Adanya perkawinan Aluh
Milah (puteri asal Dayak) dengan Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf
b. Adanya silsilah Nasab yang
bersambung dari Dzuriat Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf dengan Aluh Milah
(asal Dayak)
c. Historis penguasaan tanah makam dan sekitarnya sebelum tahun 1970 an
Adapun Nasab Dzuriat Habib Abu Bakar
bin Hasan Assegaf yang ke-11 ada 4 orang. Keturunan beliau
yang tertua adalah perempuan kelahiran 2004 an. Ati binti Farida Hayati binti
Habib Basrani Noor bin H. Muhammad Barsih bin Ahmad Baderi Assegaf. Kedua
kelahiran 2017 an. Habib Ajril bin Syahril Majid bin Habib Baseraninor bin H.
Muhammad Barsih bin Ahmad Baderi Assegaf. Ketiga kelahiran 2020M an. Habib
Ahmad Fadhil Mubarak bin Muhammad Ibnu Mubarak Assegaf. Kalau dirunut dari
dzuriat Nasab Habib Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar bin Hasan Assegaf (Habib Lumpangi) yang paling
muda kelahiran 13 Januari 2020M FAM atau
Marga Assegaf adalah sebagai berikut ;
- Habib Ahmad Fadhil Mubarak Assegaf
- bin Muhammad Ibnu Mubarak, S.Pd
- bin H. Hasan Basri, S.Ag
- bin H. Muhammad Barsih (1937-1978M)
- bin Ahmad Baderi (1918-1993M)
- bin Tanqirr Ghawa w.1862-1985M/1279-1405H=(123 tahun M)
- bin Abu Thair Muhammad, w.1361H/1942M “Abu Thair/Ambuthair” Pada nama awalnya adalah nama gelar kehormatannya.
- bin Abu Tha'am Ibrahim. “Abu Tha’am/Ambutha'am”pada nama awalnya adalah nama gelar kehormatannya.
- bin Abu Bakar as-Tsani, Nama as-Tsani adalah nama yang diberikan untuk membedakan dengan Datuknya. w.1902M/1319H
- bin Ahmad Suhuf w.1211H/ 1796M
- bin Muhammad Djamiluddin (Habib Lumpangi) w.1195H atau 1781 Masihi
- bin Habib Abu Bakar (Datu Habib Lumpangi) w.1172H/1759M
- bin Hasan. w.1132H
- bin Hasyim w.1077H
- bin Muhammad w.1023H
- bin Umar as-Shufy
- bin Abdurrahman
- bin Muhammad
- bin Aly .w.840H
- bin Sayyidina Syekh al Imam al-Quthb Abdurrahman Assaqqaf /Assegaf (1338-1416M) Beliau diberi gelai "Al Faqi al-Muqaddam Tsani Assaqaf."
- Syekh Muhammad (Maula ad-Dawilah) w.765H.
- bin Syekh 'Aly (Shahibut Dark) w. Rabu 17 Rajab 709H /1289M
- bin Sayyidina al Imam Alwi al-Guyur w.669H
- bin Sayyidina al-Imam al-Faqih al-Muqaddam Muhammad (574-653H/1232M)
- bin Sayyidina 'Aly Walidul Faqih
- bin al Imam Muhammad Shahib Mirbath w.556H/1161M
- bin Sayyidina 'Aly (Al Iman Khaly al Qasam) w.527H/1133M
- bin Sayyidina Alwi Ba 'Alawi w.512H/1118M
- bin Sayyidina al-Imam Muhammad (Shahib as-Shaouma'ah) w.446H/1054M
- bin Sayyidina al-Imam Alwi al Mubtakir (Shahib Saml) Alawiyyin
- bin Sayyidina al-Imam Abdullah (Ubaidillah-Shahibul Aradh 295-383H/993M
- bin Sayyidina al-Imam Ahmad al-Abah al-Muhajir 820-924M
- bin Sayyidina al-Imam 'Isa ar-Rumi w.270H/883M
- bin Sayyidina al-Imam Muhammad An-Naqaib
- bin Sayyidina al-Imam 'Aly al-Uraidhi 765-818M
- bin Sayyidina al-Imam Ja'far as-Shadiq (702-765M)
- bin Sayyidina al-Imam Muhammad Al-Baqir (676-732M)
- bin Sayyidina al-Imam 'Aly Zainal Abidin (658-713M)
- bin Al-Imam as-Syahid Syahab Ahlil Jannah Sayyidina Husain (625-680M)
- bin Sayyidia 'Aly bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah Az-Zahra (11H/632)
- binti Muhammad ibnu Abdullah Rasulullah Saw (570-632M)
D.Ligalitas Silsilah Nasab
dzuriat Datu Habib Tanqir Ghawa
Puji Syukur Alhamdulillaah kami ucapkan bahwa Nasab dan Silsilah kami yang tertulis tersebut dinyatakan “SHAHIH” Atau “BENAR” oleh salah satu Lembaga Peneliti dan Pentashih Nasab Dzuriat Nabi Saw. yang berkedudukan di Jakarta. Yaitu Lembaga Baitul Ansab Lil Asyraf Azmatkhan Wa Ahlul bayt Al Alamy.
(نَقَبَةُ بَيْتِ الْاَنْسَابِ لِلْاَشْرَافِ الْعَظَمَتْ خَانْ وَ اَهْلُ الْبَيْتِ الْعَالَمِيِّ)
Ligality =أِSK.Kemenkumham RI Nomor : AHU-0013814.AH.01.04 TAHUN 2020
Secara resmi Lembaga Nasab Asyraf Internasional, yaitu Baitul Ansab Lil Asyraf Al-Azhmatkhan Wa Ahlulbayt Al- Alamy, mendata dan Mentashih 3.110 Qabilah Dzuriat Rasulullah Saw, 1.555 Qabilah jalur al-Imam al Hasani dan 1.555 Qabilah jalur al-Imam al Husaini, Di seluruh Dunia, 7 Benua, anggota 195 Negara.
Alhamdulillaah, Melalui Penelitian dan Pentashihan uji sampal atau pemeriksaan melalui photo wajah, photo kedua talpak tangan an. H.Hasan Basri dan data Silsilah Nasab Kehabiban hingga Nabi Saw yang dikrim dan diperiksa oleh Syekh Imam an-Naqib Sayyid Hafiz Prof. Dr. R. Shohibul Faroji al-Azmatkhan S.Ag MA PhD Ba'alawi, dari Lembaga Peneliti dan Pentashih Nasab Qabilah Ahlul Bayt (Qabilah al Hasani dan al Husaini) sedunia. Beliau (kelahiran di Banyuwangi, 13 Juni 1977) yaitu tokoh sufi dan alawiyyin yang bersumber dari Indonesia. Beliau juga Doktor Spisialis tentang Nasab dzuriat Nabi Saw.
Bulan Januari 2023 kami
daftarkan Silsilah Nasab kami dimaksud ke Lembaga ASYRAF INTERNASIONAL
perwakilan Pengurus Wilayah Prov. Kalsel yang ada di Banjarbaru dengan
menyertakan :
- Surat Permohonan (pernyataan Kehabiban) yang ditandatangani 2 orang saksi
- Photo Copy KTP
- Photo Copy KK
- Photo Copy Akta Lahir
- Data Silsilah Nasab hingga Rasulullah Saw
- Pas photo ukuran 4x6 = 4 lembar latar merah (Fam Assegaf) dan pakai selendang hijau dibahu
- Biaya Registrasi, tulis Buku Pasport dan Sertifikat dan biaya pengirimannya
- Nomor HP dan WA yang bisa dihubungi
Alhamdulillah silsilah
nasab kami sudah dicatat di salah satu Lembaga atau Rabithah yang berlaku di
Indonesia - Dunia yang berlindung dibawah
Ligality = SK.Kemenkumham RI Nomor : AHU-0013814.AH.01.04 TAHUN 2020
Nasab Diagram, Sertifkat
Nasab, Buku Pasport Nasab dan Kartu Habib yakni Beliau tanda tangani di Jakarta
tanggal 13 Januari 2023M/ 19 Jumadil Akhir 1444H. Senin. Tanggal 27 Februari 2023M
Pasport Nasab, Diagram Nasab dan Sertifikat Nasab an. H. Hasan Basri, Muhammad Ibnu Mubarak dan
Basrani Noor sudah datang lewat Lembaga ASYRAF INTERNASIONAL perwakilan
Pengurus Wilayah Prov. Kalsel yang ada di Banjarbaru. Kami ada pada Kloter 5
yakni ada 9 Habaib yang menerima Buku Pasport Nasab diantaranya : 1. Syahrani
Azmatkhan (Martapura), 2. Sumarni Assegaf 3.H. Hasan Basri, 4.Muhammad Ibnu
Mubarak dan 5.Basrani Noor Assegaf dllnya.
الْحَبِيْبُ عَلْوِيْ بِنْ سَقَّافُ [وفات ١١٩٥هج/١٧٨١م] بِنْ مُحَمَّدْ بِنْ
عُمَرُ[وفات ١٠٥٢ هج] بِنْ طه [وفات ١٠٠٧ هج] بِنْ عًمَرَ الصُّوْفِيِّ [اى عُمَرُ الصَّافِيّ]
Sedangan dzuriat nasab Habib Abubakar bin Hasan dari isteri Beliau pertama yang berasal
dari Seiyun adalah Habib Shaleh, dan ia punya anak yang bernama Abdillah, dan ia punya anak
yang bernama Alwi.
Seiyun (juga ditransliterasikan sebagai Saywun, Sayoun atau Say'un; Arab:
pengucapan Hadhrami: adalah sebuah kota di wilayah dan Kegubernuran Hadhramaut
di Yaman. Terletak di tengah Lembah Hadhramaut, sekitar 360 km (220 mi) dari
Mukalla, ibu kota Distrik Mukalla dan kota terbesar di wilayah tersebut,
melalui jalur barat.
Menurut
Artikel Sejarah Ahlul Bait …. menyebutkan bahwa “Seorang dari keluarga Assegaf bernama Habib Alwi (w.1842) bin Abdillah bin Shaleh bin Abubakar bin Hasan dilaporkan melalui perjalanan panjang
dari Hadramaut-Turki-Palembang-Gresik ketika menyinggahi
Banjarmasin. Dan ia sempat berdomisili di Kampung Sungai Mesa. Alwi kemudian
menetap di Martapura (Kampung Melayu). Disebutkan lagi bahwa “Suatu ketika Ali bin Alwi
Assegaf
dari Kampung Melayu Martapura mampir ke rumah keluarga Alklatiri tersebut. Saat
bersamaan, di rumah keluarga Arab itu, Ratubah tengah mencucuki
marjan. Dari
perjumpaan menyaksikan seorang perempuan campuran Bugis-Banjar di rumah
keluarga Arab itu, Ali
akhirnya tinggal di
Kampung Bugis karena menikah dengan Ratubah. Untuk tempat
tinggalnya Ali membeli sebuah rumah kecil di Kampung Bugis (Jalan Sulawesi),
membangunnya kembali, dan menyulapnya menjadi rumah Baanjung (rumah adat
Banjar).Putra Ali dengan Ratubah adalah Zen. Zen kawin dengan Syarifah dari keluarga
Bahasyim berputra Alwi
[seorang pedagang asam kamal yang berjualan dari Kuin Utara ke Aluh-aluh,
Kabupaten Banjar dan merupakan ayah dari Ibu Galuh (Syarifah Fatimah) di Kampung
Melayu dan Abdul Kadir Jailani di Sungai Mesa] Perkawinan Zen dengan perempuan
dari bangsa Banakmah
berputra Ali, Sy Zainab,
Sy Fetum (ibu Segaf bin Abubakar AlHabsyi), Sy Noor dan Sy Fedlon (masih
hidup tinggal di Kampung Bugis )”. ket : Sy =Syarifah
الْحَبِيْبُ عَبْدُ الْقَادِر الْجَيْلانِ بِنْ عَلْوِيْ بِنْ زِيْنْ بِنْ عَلِيُّ بِنْ عَلْوِيْ [وفات ١٨٤٢هج] بِنْ عَبْدِ للهِ بِنْ صَالِحْ بِنْ اَبًوْ بَكْرٍ [وفات ١١٧٢هج] بِنْ حَسَنٍ
[وَفات ١١٣٣هج] بِنْ هَاشِمٍ [وفات ١٠٧٧ هج] بِنْ مًحَمَّد [وفات ١٠٢٣ هج] بِنْ عًمَرَ
الصُّوْفِيِّ [اى عُمَرُ الصَّافِيّ]
الْحَبِيْبُ الْحَبِيْب
مًحَمَّدْ اِبْنُ مُبارَكْ بِنْ الحاج حَسَنْ بصْرِىْ بِنْ الحاج مًحَمَّدْ بَرْسِيْه [وفات ١٩٧٨م] بِنْ اَحْمَدْ
بَدْريْ [وفات ١٩٩٣م] بِنْ تَنْقِرُ الْغَوَى
[وفات ١٩٨٥م] بِنْ اَبًوْ طَيْرٍمُحَمَّدْ [وفات١٣٦١هج] بِنْ اَبًوْ طَعَامٍ اِبْرَاهِيْمَ
[وفت١٢٥٢هج] بِنْ اَبُوْ بَكْرٍ الثَّاني [وفات ١٩٠٢م] بِنْ اَحْمَدْ صُحُفٍ [وفات ١٧٩٦م] بِنْ مًحَمَّدْ جَميْلً الدِّيْن [وفات ١١٩٥هج] بِنْ اَبًوْ بَكْرٍ [وفات ١١٧٢حَمَّد [وفات ١٠٢٣ هج] بِنْ عًمَرَ الصُّوْفِيِّ [اى عُمَرُ
الصَّافِيّ]
الْحَبِيْب اَحْمَدْ اِلْهَامْ بِنْ جنغِيْ
عَلِيٍّ بِنْ جَمْبارَان بِنْ جَمَاعِيْن بِنْ اَحْمَدْ بِنْ عَلِيٍّ بِنْ عَبْدُاللهِ بِنْ حُسَيْنُ بِنْ اَحْمَدْ جَلَالُ الدِّيْن بِنْ اَبًوْ بَكْرٍ
بِنْ حَسَنٍ بِنْ هَاشِمٍ بِنْ مًحَمَّد بِنْ عًمَرَ الصَّافِيّ بِنْ عَبْدُ الرَّحْمن
بِنْ مُحَمَّد بِنْ عَلِيٍّ بِنْ اَلْاِمَامً عَبْدُ الرَّحْمن اى وَلِيُّ الله الْفَقِّيْه
الْمًقّدَّم الثانيّ السَّقَّافُ.
Tidaklah banyak yang Penulis ketahui tentang kehidupan Tokoh-tokoh ini, sejak Mereka lahir, masa kanak-kanak, masa remajanya, masa tuanya sampai wafatnya. Begitu pula tidaklah banyak Penulis ketahui tentang anak-anak Habib Abu Bakar bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar Assegaf dari isterinya yang baru (isteri keduanya) setelah Umi Salamah wafat.
Penulis hanya berharap dan mendo’akan semoga Allah Swt mema’afkan dan mengampuni kesalahan kita, kesalahan – kesalahan orang tua kita, kesalahan datuk-nenek kita, dan juga kesalahan – kesalahan orang-orang yang pernah dekat dengan kita dan kesalahan – kesalahan dzuriat-dzurat kita hingga akhir zaman, begitu juga semoga Allah Swt mengampuni dosa-dosa mereka, dosa-dosa orang tua mereka, dan dosa-dosa orang-orang muslimin dan muslimat semuanya. Aamiin Aamiin yaa rabbal aalamiin
الْحَبِيْبُ عَلِيُّ
بِنْ عَبْدُ الرَّحْمن بِنْ
اَخْمَدُ بِنْ عبْدُ الْقَادِرِ بِنْ عَلِيُّ بِنْ عُمَرُ بِنْ سَقَّافُ بِنْ مُحَمَّدْ القاضى بِنْ عُمَرُ بِنْ
طه القاضى بِنْ عُمَرُ[وفات ١٠٥٢ هج] بِنْ طه [وفات ١٠٠٧ هج] بِنْ عًمَرَ الصُّوْفِيِّ [اى عُمَرُ الصَّافِيّ]
F. Tragedi Runtuhnya Balai Adat "Balai Ulin" Lumpangi
1. Balai Adat Balai Ulin pernah Simpan Biji Padi Sebesar Kelapa
Diceritakan
bahwa dahulu kala Balai Adat Balai Ulin sewaktu dipimpin
oleh seorang Kepala Suku Dayak atau Kepala Balai atau Penghulu Adat yang bernama Langara,
mereka pernah
memiliki dan menyimpan peninggalan benda prasejarah, berupa tiga buah biji banih seukuran kelapa
yang dinamakan “Banih
kelapa atau Banih Nyiur”.yang diletakan
ditengah-tengah Kindai Banih dirungan tengah Balai.yang dijadikan sebagai “Ajimat
pipikat sakti”. Banih
Nyiur itulah yang
memanggil ruh-ruh kawannya /membawai nyawa kawannya sehingga Kindai Banih tidak
pernah kosong atau habis. Dengan ikhtiar Pemiliknya bahuma yang luas dan
hasilnya selalu melimpah. Konon masa itu benda-benda banyak yang berukuran
jumbo.
Orang-orang dahulu
kalau ingin memasak nasi dari banih kelapa itu, maka banih itu dipipiki satu persatu dari
tangkainya dan ditaruh dalam lasung kayu baru ditumbuk dengan Halu hingga lanik
dan ditampi dengan nyiru dahulu baru beras itu dimasak.
Dan dari ketiga buah biji padi tersebut atas permintaan
Dayak Ulang kepada kakaknya Langara, bahwa ia dan keluarganya saja yang
memeliharanya, maka buah biji Banih itu masing-masing dibawa Dayak Ulang satu biji
padi ke desa Ulang, dan dibawa Dayak Bumbuyanin ke Pantai Dusin
Hulu Banyu satu biji padi
dan juga satu biji padi dibawa Dayak
Bayumbung ke Harantan Hilir
Banyu saat Balai
Adat bubar. Namun masyarakat sekarang tetap percaya bahwa
beras yang kecil saat ini, dahulunya adalah beras besar tersebut. Walaupun
sudah tidak ada lagi bukti – fakta sejarah tersebut sampai saat ini, namun
masih banyak masyarakat yang mempercayainya Walaupun benda yang tinggal tiga
biji tersebut sudah musnah, akibat musibah banjir dan kebakaran balai
Adat.
2. Balai Adat di Renovasi
Balai itu berdiri sekitar tahun 1552 Masihi di Lumpangi tidaklah
sampai 1 setengah abad Balai Adat Balai Ulin ini berdiri karena adanya pengaruh
islm kemudian balai adat ini ditinggalkan
orang atau bubar.
Pada pertengahan abad ke-17 Masihi Balai Adat
"Balai Ulin" Lumpangi Loksado direhap total oleh Regenerasi suku
Dayak. Sekitar tahun 1700 Masihi akhir abad ke-17 Balai Adat tersebut dipimpin
oleh seorang Kepala Suku Dayak atau Tetuha atau Penghulu Adat bernama Langara,
ia punya adik kandung bernama Ulang. Dayak Ulang ini punya anak bernama
Bumbuyanin dan Bayumbung, sedangkan
Dayak Langara menurut sumber data punya 3 anak pertama bernama Talib dan kedua
bernama Anjah dan ketiga bernama Aluh Milah.
Versi lain menyebutkan, menurut sumber data bahwa
sesudah Balai Adat Balai Ulin bubar maka beberapa tahun kemudian datanglah
Dayak Ulang dan Bumbuyanin ke Lumpangi membawa ketiga anaknya agar diajari
tentang Islam kepada Habib dan menemui kakaknya Muhammad Langara dan mohon agar
Balai Adat Balai Ulin yang tidak berfungsi itu bisa dipindahkan ke Pantai Dusin
Hulu Banyu.
3. Tradisi Dayak dalam membangun rumah/balai adat
Salah satu yang menjadi tradisi adat Dayak dalam
membangun rumah/balai adat bahwa "muka rumah/ balai adat selalu menghadap
kearah matahari terbit, tak terkecuali Balai Adat "Balai Ulin" itu
mukanya juga mengadap kearah matahari terbit, dan balai itu dihuni oleh 7-10
kepala keluarga. Orang Dayak menjunjung tinggi semangat rasa kebersamaan dan
mereka memiliki dapur masing-masing. Balai Adat berbentuk panggung dengan
ukuran panjangnya diperkirakan 35-50 meter dan lebar 10-12 meter dan tinggi
lantai dari permukaan tanah 2 setengah hingga 3 meter dan 7 anak tangga kecil
untuk menolak Hantu kepala terbang. Tangga itu hanya dilewati 1 orang lebar
kurang lebih 50cm.
4. Balai Adat Balai Ulin di pindah ke Pantai Dusin Hulu
Bayu
Diceriterakan orang bahwa di awal pertengahan abad ke-18
Masihi sekitar tahun 1730-an Masihi Bumbuyanin bin Ulang memindah rumah Balai Adat Balai Ulin ke
pemukiman baru di Pantai Dusin Desa Hulu
Banyu Kecamatan Loksado. Setelah mereka pindah lokasi pemukiman dari Tamiang Malah Muara Hatip menuju lokasi
baru yakni Pantai Dusin. Tetuha Adat Dayak pertama bernama Bumbuyanin, ia
mempunyai 3 anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Adapun anak yang pertama
bernama Ayuh atau Datu Ayuh atau Sang Dayuhan, anak yang ke-2. Bambang Swara
atau Bambang Basiwara dan anak yang ke-3 adalah perempuan bernama Umi Salamah
(Diang Gunung), dia seorang puteri yang sangat cantik jelita.
Kemudian atas musyawarah dan kesepakatan bersama Balai
Adat Balai Ulin Lumpangi dipindah ke Pantai Dusin Hulu Banyu, tetapi kakaknya
minta agar 1 batang tiang dari bagian muka Balai Adat itu ditinggal atau
dibiarkan tetap berdiri atau tidak dialih atau dipindah. Katanya "Tiang
itu fungsinya dijadikan sebagai Simbol Balai bahwa di Lumpangi pernah berdiri
sebuah Balai Adat Dayak".
Menurut Ahmad atau Amat yang saya wawancarai, ia asal
dayak Bayumbung yang sudah muslim ceritera dari datuk-neneknya bahwa "
Bekas tiang-tiang ulin Balai Adat Balai Ulin itu telah diangkut atau dibawa ke
Pantai Dusin Hulu Banyu".
Mereka (warga Dayak) mengangkut tiang-tiang ulin bolat sebatangan Balai Adat Balai Ulin tersebut lewat sungai dengan rakit bambu, mereka Tarik satu persatu hingga sampai di Pantai Dusin Hulu Banyu
Sungai Kali Amandit kala itu masih banyak teluknya (airnya dalam dan tidak deras) jadi mudah membawa tiang-tiang ulin bolat sebatangan tersebut dengan rakit bambu. Tidak seperti sekarang batu-batu sungi sudah banyak diambil untuk membuat jalan raya hingga akibatnya air sungai dangkal dan deras.
Pada pertengahan abad ke-18 Masihi ketika masa kecilnya
mereka bertiga pernah diutus atau dikirim orang tuanya ke Desa Lumpangi untuk
menuntut Ilmu Islam beserta sepupu-sepupunya an. Habib Abu Bakar as-Tsani bin
Ahmad Assegaf dan anak-anak lainnya kepada Habib Muhammad Djamiluddin bin Abu
bakar Assegaf oleh karenanya mereka ini mengenal Islam dengan baik.
6. Tragedy Balai Adat Hulu Banyu pecehan Balai Ulin
Lumpangi Loksado
Selanjutnya di ceriterakan orang
bahwa pada zaman dahulu, setelah
pecah dan bubarnya Balai Adat di Balai
Ulin Lumpangi, kemudian berdiri Balai
Adat yang kedua di kampung Pantai Dusin Hulu Banyu, balai Adat tersebut
dibangun di tepi sungai,
berdekatan dengan kampung Datar Laga dan
kampung Datar Mangkung. Tetuha Adat
pertama bernama Bumbuyanin,
dia adalah anak sulung Tetuha Adat
Ulang. Pada masa cucunya, Balai Adat
ini mengalami tragedy mencekam.
Ketika itu Balai beserta penghuninya
hanyut (larut) di bawa air bah (ba'ah) besar, mungkin 6-7 keluarga
penghuninya tidak dapat menyelamat diri.
Sebagian orang ada yang berkata bahwa Tragedy Balai Adat
Hulu Banyu pecehan Balai Ulin Lumpangi Loksado terjadinya 7 Rajab 1247H/1831
Masihi. Dengan adanya sebab akibat dan
bergesirnya waktu tempu dulu maka Balai
Adat Bumbuyanin pindah lokasi / tempat, sekarang Balai Adat tersebut beralamat
di desa Kemawakan Kec. Loksado.
6. Letak geografis Balai Adat Pantai Dusin
Menurut ceritera Habib Basrani Noor bin H.Muhammad
Barsih Assegaf (Usia 57 tahun) yang saya wawancarai bahwa Balai Adat Pertama di
Hulu Banyu Loksado terletak di Pantai Dusin. Pantai ini dihulu kampung
Majulung, ia berseberangan dan dekat
kampung Datar Laga dan kampung Datar Mangkung. Di Pantai Dusin inilah
Bumbuyanin sebagai Tetuha Adat membangun Balai Adat yang terletak ditepi udik tiga
muara sungai Amandit.
Menurut Ahmad atau Amat yang saya wawancarai, ia asal
dayak Bayumbung yang sudah muslim bahwa "Letak Balai Adat Pantai Dusin
itu, kalau kita berada dari kampung Lambuk menuju hulu sungai ke Datar Mangkung
terus ke kampung Datar Laga terus ke kampung Uling terus kehulu lagi hingga
Pantai Dusin, dan dihulu Pantai Dusin itu sekarang Balai Adat Tanginau".
7. Kisah sebelum terjadinya Banjir besar.
Konon di ceriterakan bahwa ada seorang istri Tetuha Balai muda Pantai Dusin dan menentunya sedang hamil muda (ngidam) secara bersamaan.keduanya sering pusing-pusing dan tidak mau makan bahkan berhari-hari, membuat suaminya pusing kepala. Kedua istri yang ngidam ini pingin sekali memakan iwak hidup yang (dipalan) dimasak dalam seruas batang buluh.
Akhirnya untuk memenuhi hasrat isteri dan menentunya,
suami an.Dusin dan anak lelakinya an.Uling pergi ke sungai dengan membawa
sebuah jala (lunta) mencari iwak hidup. Kepergian keduanya diikuti oleh seekor
anjing setianya bernama si “Balang”
Konon bahwa Penghuni Balai Adat ini memakan anak orang (dalam bentuk seekor iwak sili-sili sebesar buah Bunglay berkepala seperti anak Naga atau ikan berkepala yang aneh). Yang mereka peroleh dengan menjala (melonta) di sungai. Di ceriterakan bahwa Penjala ikan “Tidak seperti biasanya, setelah berkali-kali ia melepas jaring jalanya ke sungai dan menariknya pelan-pelan, tetapi ia tidak merasakan dan menemukan adanya ikan yang tersangkut dijaring jalanya, kecuali seekor ikan tilan/ sili-sili sebesar buah bunglay yang berbentuk aneh (berkepala seperti anak Naga). Ikan itu dilepas kembali ke sungai, mereka semakin jauh berjalan menuju hilir sungai. Sehingga menghabiskan waktu berjam-jam, menjala ikan, tapi tak seekorpun ikan yang dicari didapat hingga perut mereka merasakan lapar. . Bahasa orang Banjar “Ujar anaknya, parut ulun sudah lapar, amun kaya ini bahay, kita kada kulihan iwak.saikung-ikung baik kita bulikan haja kerumah, bahay. Ujar nang abah, hadangi dahulu nakay, aku masih panasaran, sakali laginah aku menimbai lonta. Lalu Lonta itu ditimbai ketengah sungai dan ditarik pelan-pelan, ternyata ikan Aneh itu lagi yang terjaring. Ujar nang abah jangan dibawa! nakkai iwak itu” tetapi ujar nang anak, "Napa kita lauk makan, bini ulun kada mau makan saharian".
Kita bawa haja ke rumah, Ulun berkeyakinan bahay bahwa jenis
iwak nang kaya ini banyak terdapat di sungai ini sebab lain-lain warnanya iwak nang
kena di jaring kita walaupun iwak itu sama ganalnya, yang pertama iwak nang
kena jaring kita warna kehitam-hitaman, kemudian iwak itu kita lapas, yang kedua
iwak nang kena jaring kita warnanya hitam campur putih, yang ketiga yang kena jaring kita warnanya hitam
campur ungu, dan warna lainnya. Sedangkan terakir nang kena jaring kita warnanya
keemasan, ulun lihat lebih dari 5 warna nang kena jaring kita seperti lagenda warna
naga dalam warna pelangi, jadi rasanya kada mungkin bahay iwak jalmaan.
Kemudian.
iwak hidup itu dibawa pulang oleh ayahnya, sedangkan Uling singgah dipahumaan dan
sesampainya ke Balai, Dusin disambut istrinya riang gembira. Iwak hidup disiangi,
dipotong-potong dan (dipalan) dimasak dalam seruas batang buluh muda, tak lama
setelah itu tercium dengan bau aromanya yang lezat dan siap dimakan bersama-sama
hingga habis, dan lupa menyisakan untuk Uling anaknya.
Sejurus kemudian datanglah seorang laki-laki tua bungkuk pakaian serba putih dan bertongkat,dari hilir sungai, berjalan tergopuh-gopuh dengan tongkatnya sedang mencari anaknya yang hilang, dan ia bertanya-tanya kepada orang-orang yang ditemuinya tetapi jawaban orang selalu tidak pernah melihatnya. Kemudian ia masuk ke teras balai dan bertanya kepada Penghuni Balai Adat Bumbuyanin kala itu di pantai dusin. Kakek tua itu menjelaskan kepada mereka bahwa “ia orang tarlaga (tar-laga artinya rumah naga) dan ciri-ciri anaknya an.Mangkung "Berkepala Naga dan berbadan ikan sili-sili, akibat dari kena kutukan.
Ia pernah berkata kepada anaknya" Hai Mangkung anakku kamu akan selamanya jadi iwak sili-sili berkepala naga terkecuali jika kau besar nanti ditemukan orang dan kau dimakan oleh dua perempuan sedang hamil muda (ngidam) baru kau dapat beringkarnasi / menetis/menjelma hidup normal kembali lewat kedua Rahim perempuan hingga kamu dilahirkan dari perempuan tersebut. Baru kutukan terhadapmu akan berakhir.Karena merasa malu dan bersalah dengan orang tua itu mereka menyembunyiannya terhadap apa mereka perbuat, Kata Penghuni Balai “kami tiada melihat anak sampian”, kata orang tua itu "Kau bohong, Kalian semua berbohong "
Disini terjadi perdabatan sengit, yang akhirnya kata orang tua itu "Iwak yang kalian makan itu adalah anakku, tetapi adakah lagi sisanya atau tulang-tulangnya ? "Aku mohon aku pinta kembalikan kepadaku" kata orang tua itu. Kata Penghuni Balai “habis tiada tertinggal sedikitpun”, padahal tulang-tulangnya masih ada. kata orang tua itu, ‘Sebagai gantinya anakmu dan cucumu” yang masih dalam kandungan itu akan aku bawa, nanti keduanya akan aku jadikan Pengiran dan Ratu dikerajaanku " tetapi Kalian masih berbohong" tetapi jika benar bahwa kalian tidak berbohong, maka Tongkatku ini tidak akan bisa mengeluarkan air.
Pak Tua itupun memajamkan matanya lalu bibirnya kumat-kamit membaca mantera dan mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi disambut sembaran kilat dan patir menggalagar, lalu orang tua itu menghunjamkan tongkatnya ke tanah, maka keluarlah mata air yang melimpah disertai angin dan hujan dengan lebatnya selama 3 hari dan tiga malam tidak henti-hentinya.
Kemudian orang tua itu merubah bentuk menjadi seekor Naga sebesar pohon Enau, dan panjang sepanjang pohon kelapa tua, lalu ia merobohkan bangunan Balai dengan mengikat tiang-tiangnya dengan ekornnya dan menghilang ditelan air. dan terjadilah air ba’ah yang besar, sunami yang besar secara tiba-tiba, hingga Balai Adat dan Penghuninya hanyut ditelan air ba'ah yang dahsyat.
Selamat dan beruntunglah Uling dari musibah air ba’ah yang besar, tapi ia bersedih kehilangan anak dan isteri dan juga keluarganya Ketika tanaman padi sudah setinggi dada (banih rangkumkupak) ia pulang dari melonta bersama Dusin ayahnya, hari menjelang senja Uling dan seekor anjing setianya si “Balang”singgah menjenguk pahumaannya dan ketika sesampainya disana, ia menghidupkan parapian (balaman api) sambil membakar ubikayu untuk mengganjal perutnya hingga ia tertidur pulas hingga pagi dipondok humanya. Di hari itu turun hujan sangatlah deras selama 3 hari dan tiga malam tidak henti-hentinya dan disertai angin kencang, ia lihat air sungai pun yang melimpah dan membuatnya tidak bisa pulang ke Balai beberapa hari
Selanjutnya menurut Habib Basrani Noor bin H.Muhammad
Barsih Assegaf bahwa diperkirakan keberadaan Balai Adat kampung Pantai Dusin
yang di bangun oleh Bumbuyanin dan diturunkan kepada anak tertuanya Datu Ayuh
atau nama lainnya sang Dayuhan, tidak sampai dari satu abad, Balai Adat dan
penghuninya ini kena musibah, semuanya telah hanyut diterjang banjir besar,
kecuali orang-orang yang selamat adalah orang-orang yang masih tinggal ( badim
dipahumaan).
8. Tanah Bekas lokasi bangunan Balai Ulin menjadi
badan sungai
Adanya peristiwa air ba’ah yang besar menghayutkan Balai
Adat dan Penghuninya tersebut, air bah itu
telah melewati desa Lumpangi, kemudian arus air sungai membelah dua, yakni
: Tanah bekas lokasi bangunan Balai Ulin dulu berubah menjadi badan sungai baru
pada bagian kiri dan lebih deras airnya dari badan sungai lama pada bagian kanan,
hingga timbul murung (pulau) ditengah-tengah belahan sungai tersebut. Sekarang
ini, kalau kita menyebaragi kali Amandit lewat jembatan gantung menuju Kubah
Datu Lumpangi, dan kalau kita berdiri di tengah-tengah jembatan itu memandang
kehilir sungai. Maka kita akan melihat sungai itu membalah dua dan dihilir
murung (pulau), air sungai itu menyatu
kembali
Sebagian ada yang berkata menurut Datu-Nenek kami bahari
bahwa "Warna air ba'ah itu putih seperti susu kehitam-hitaman dan sangat
kalat rasanya, seperti bercampur
belirang atau bau batu bara sehingga mata iwak-iwak atau ikan -ikan kabur, maka
banyak ikan-ikan yang naik ke tepi sungai untuk menyelamatkan diri dan akhirnya
mati terkapar, akibat matanya tidak dapat melihat lagi dalam air karena
pengaruh kalatnya air ba'ah itu. Hal ini sangat menggembirakan dan
menguntungkan masyarakat Lumpangi mereka panen ikan sa'at itu".
Akibat air ba'ah itu terjadilah Erosi. Fostur tanah
tempat berdirinya Balai Adat "Balai Ulin Lumpangi" dan sekelilingnya
menjadi rendah atau talabuh atau tanahnya terkikis sebagai akibat air ba’ah
itu.
Sebagian erosi
dilakukan oleh air, angin, dalam bentuk gletser adalah sebuah bongkahan atau
endapan tanah yang besar dan tebal yang terbentuk di atas permukaan tanah.
Selain itu, erosi juga dipengaruhi oleh letak astronomis.
Maka menjadi keuntungan bagi masyarakat Desa
lumpangi. Sebab disaat itu desa Lumpangi
ini sudah lama berdiri sebuah Mesjid tua bernama Jannatul Anwar. Dulu masjid
ini dibangun ditepi sungai Amandit,
kemudian akibat air ba’ah yang besar
(ba’ah/banjir), maka sungai kali Amandit pindah mendekati bukit batu Langara,
dan arus sungai dekat pasar dan sebagai akibat erosi tanah, arus sungai di
bawah-halaman Masjid menjadi pantai. Yaitu sebuah bongkahan atau endapan tanah
yang besar dan tebal yang terbentuk di atas permukaan tanah. Sehingga arus sungai sekarang ini jauh dari
Masjid. Sedangkan bukti sungai itu pindah sendiri bahwa bukti masih
ada. Dan terlihat jurang tanah bekas dinding sungai dibelakang/samping WC
Masjid tersebut. Ini adalah salah satu karamah masjid yang dibangun mula-mula
oleh Datu Habib Lumpangi dan anak cucunya ,bersama masyarakat di sekitarnya
9. Merihab Masjid Jannatul Anwar Desa
Lumpangi
Sebelum terjadinya banjir besar Masjid Jannatul Anwar
Desa Lumpangi sudah beberapa kali diperbaiki oleh Masyarakat sekitarnya. Tetapi
beberapa tahun setelah terjadinya air ba'ah besar itu maka Masjid Jannatul
Anwar Desa Lumpangi dipugar kembali atau di Rehap total dan dibangun kembali oleh
Habib Abu Thair dan Masyarakat sekitarnya dengan Arsitik yang bagus.
Menurut ceritera penuturan Habib
Bahriansyah Assegaf.yang saya temui dirumahnya bahwa “Aksisoris petaka kubah
atau manara kubah Masjid Jannatul Anwar
Lumpangi dari terbuat almanium hitam berbentuk buah-buah teruntai dan lantainya
dari tihal yang didatangkan atau dibeli oleh Habib Tanqir Ghawa dari Surabaya.”
Adapun tiang-tiang Masjid, atap dan dinding menggunakan
kayu ulin yang sudah modern, ada seni pahatan dan ukirannya khususnya pada
lis-lis dinding atap juga atap kubah sirap yang diberi petaka dan aksesoris
diatas kubahnya dan lis-lis kubah, jendela kaca dan aksesoris didalamnya (bawah
kubah) berupa lampu-lampu lilin digantung dengan rantai besi. Proses renovasi
itu dengan mendatangkan Tukang-tukang seni pahat dari kota Kandangan dan masjid
tersebut selesai direnovasi bangunannya diawal abad ke-20 Masihi sekitar tahun 1902 Masihi.
Menurut sumber data bahwa ada beberapa tokoh orang
Lumpangi yang berperan aktif ikut andil membangun merihab total Masjid Jannatul
Anwar Lumpangi kala itu antara lain : Habib Abu Thair sebagai ketua rehap
pembangunan masjid, H.Ahmad sebagai sekretaris, dan H.Mastur sebagai bendahara,
Habib Tanqir Ghawa, anggota, H. Bustani (menjabat Penghulu dan pengembangan
dakwah) merangkap anggota, Kayi Sarman anggota
dan tokoh masyarakat lainnya sebagai anggota
Menurut sumber
data yang kami dapatkan bahwa ".Sebagai akibat banjir besar
tersebut sisa satu batang tiang bekas Balai Adat itu untuk simbol bahwa di Lumpangi pernah
berdiri sebuah Balai Adat Dayak, tiang itu condong dan bergesir hingga rebah ke dasar sungai, dari belahan
sungai yang baru terbentuk akibat kuatnya terjangan banjir "..
Berkata Habib H.Hasan Basri Assegaf “Andaikata Muhammad
Langara (mantan Tetuha Adat Dayak) ia lupa berniat/ ia tidak berkeinginan menjadikan tiang Masjid Lumpangi dari sisa satu batang
tiang bekas Balai Adat tersebut sebagai
simbol, maka dapat dipastikan bahwa “satu batang tiang itu pastilah hanyut
ditelan air ba’ah yang ganas itu.”
Kemudian dimasa Habib Abu Bakar as-Tsani masih hidup, dan cucunya Abu Thair dan Tanqir Ghawa buyutnya bahwa "1 batang tiang Balai Adat yang terandam didasar sungai itu diangkat dan dijadikan tiang utama atau tiang suku Guru masjid dan diletakkan ditengah-tengah sebagai Simbol atau penyangga atau pananggak kubah saat renovasi pembangunan masjid"Jannatul Anwar" Desa Lumpangi.
a.Ekspedisi militer Pertama Kerajaan Majapahit
Dilansir dari Artikel “Datu Banua Lima, Panglima yang Ditakuti Prajurit Majapahit” bahwa Pada saat itu, Kerajaan Majapahit sangat berambisi untuk menguasai nusantara termasuk tanah Borneo, Kalimantan. Hal itu terjadi karena Maha Patih Gajah Mada sudah bersumpah untuk menguasai dan menyatukan nusantara. Menurut mata-mata Majapahit ada yang mengatakan bahwa kedua kerajaan di Borneo tersebut adalah rakyatnya sangat makmur karena istananya berlapiskan emas. Mendengar hal itu, Prabu Hayam Wuruk, Raja Majapahit begitu berambisi untuk menguasai kedua buah kerajaan tersebut
Menurut Sri Naida, pemerhati sejarah mengatakan bahwa "walau Kerajaan Nansarunai itu dianggap lenyap, toh eksistensi Dayak Maanyan itu tetap ada. Terbukti, dengan adanya 7 uria (petinggi Kerajaan Nansarunai) dan 40 patih yang akhirnya membentuk suku-suku yang ada di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah"
Diceritrakan bahwa Kerajaan Majapahit mengirim ekspedisi militer pertama ke wilayah Borneo. Yang mula-mula diserang adalah Kerajaan Nan Sarunai. Sekitar 5.000 pasukan Majapahit datang dengan kapal-kapal laut melewati Sungai Barito yang dipimpin oleh Senopati Arya Manggala. Dengan membawa pasukan yang sangat banyak tersebut, lalu pasukan Kerajaan Nan Sarunai dengan gagah berani menyambut kedatangan serangan mereka dengan pasukan yang sudah matang dipersiapkan sebelumnya. Lalu terjadilah peperangan sengit antara dua kobo kerajaan ini.
Setelah dua hari bertempur dimedan laga menghadapi pasukan Nansarunai yang tangguh dan kuat, akhirnya pasukan Majapahit mampu dipukul mundur oleh pasukan Nan Sarunai yang dipimpin Datu Panglima Angkin tarkanal sakti (anak Datu Dayuhan), bahkan pemimpin pasukan Majapahit ketika itu yaitu Senopati Arya Manggala roboh bersimbah darah dengan liher putus akibat terkena sebitan Mandaunya senjata asli Suku Dayak. Mengetahui pemimpin pasukannya tewas lalu sisa-sisa pasukan Majapahit lari terbirit-birit tunggang langgang menuju kapal untuk menyelamatkan diri dari gempuran dan kejaran pasukan Nan Sarunai dan akhirnya mereka pulang ke tanah Jawa. Kerajaan Majapahit gagal dalam ekspedisi pertama ini, untuk menaklukan Kerajaan Nan Sarunai (Artikel “Datu Banua Lima, Panglima yang Ditakuti Prajurit Majapahit” diterbitkan SINDOnews.com pada Jum'at, 03 Juli 2015)
b.Ekspedisi militer Kedua Kerajaan Majapahit
Setelah gagal dalam ekspedisi pertama, Majapahit kembali mengirim ekpedisi militer kedua. Ekspedisi kedua kali ini dipimpin langsung Laksamana Nala yang diikuti isterinya dengan membawa dua kali lipat pasukan dari ekspedisi pertama. Dalam rombongan pasukan besar ini terdapat juga pasukan khusus Majapahit yang terkenal yaitu pasukan Bhayangkara. Pada ekspedisi kedua ini pasukan Majapahit belum berhasil menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai
Diceritrakan pula bahwa dimasa awal Raden Anyan memimpin kerajaan Dayak Nansarunai menggantian ayahnya Raden Neno. menurut Hikayat Datu Banua Lima ada seorang panglima kerajaan berasal dari suku Dayak Alai yang terkenal dengan sebutan Panglima Alai. Bersama lima panglima lainnya yaitu Panglima Tabalong, Panglima Balangan, Panglima Hamandit dan Panglima Tapin dengan membawa 1000 orang pasukan mereka sukses menghalau serangan kerajaan Majapahit pada tahun 1356M. . Laksamana Nala pulang ke tanah Jawa dengan sengaja ia meninggalkan isterinya Damayanti (Samoni Batu nama samaranya) di wilayah /tempat kekuasaan musuhnya tujuannya untuk mengetahui kelemahan musuhnya dengan alasan kapal tidak dapat merapat kepantai karena terjadi musim kemarau saat itu. Beberapa tahun kemudian musim kemarau telah berakhir menyamar sebagai saudagar Pedagabg kaya berlabuh di sungai Barito Laksamana Nala menjemput isterinya yang sedang menggendung seorang anak. Disinilah awal bermula timbul rasa .dendam Laksamana Nala dengan Raja Nansarunai karena ia menikahi & menghamili Samoni Batu yang sudah bersuami dan lewat keterangan isterinya tersebut ia mengetahui sumur gua tempat persembunyiannya dan rahasia kelemahan musuhnya.
c. Ekspedisi militer Ketiga Kerajaan Majapahit
Pada 1389 M. Majapahit kembali mengirim ekpedisi militer ketiga Ekspedisi ini dipimpin langsung Laksamana Empu Jatmika dan diikuti Laksamana Nala. Pada ekspedisi ketiga ini pasukan Majapahit melakukan siasat perang yakni penyusupan-penyusupan dari dalam yang tidak disadari lawannya, berupa memasukan kapal yang datang ke darmaga pelabuhan secara bertahap, di wilayah Kerajaan Nan Sarunai, hingga tak dicurigai lawan, mereka menyamar sebagai saudagar pedagang kaya yang banyak pelayannya untuk mengetahui kelemahan lawan, penyamaran ini dilakukan dalam waktu yang lama hingga kelemahan lawan ditemukan. Kemudian baru mengadakan serangan secara tiba-tiba hingga berhasil menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai, bahkan serangan ketiga tersebut Raja Nan Sarunai yang bergelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas yang terkenal konon sakti mandarguna tetapi ia diduga gugur dalam konvirasi peperangan. Peristiwa runtuhnya Kerajaan Nan Sarunai yang oleh orang-orang dayak Maanyan dikenal dengan istilah “Nan Sarunai Usak Jawa”. Konon atas petunjuk isterinya, diduga Raja Nan Sarunai terbunuh dengan sebuah tombak sakti miliknya sendiri yang dilakukan oleh Laksamana Nala di dalam sebuah sumur gua tempat persembunyiannya. Versi lain menyebutkan bahwa yang ditangkap dan dibunuh dengan sebuah tombak sakti itu adalah Raksa Gangsa pengawal setia Raden Ayan (adik kandung istrinya) sedangkan Raden Ayan sendiri selamat dari konvirasi penangkapan dan pembunuhan saat itu ia melarikan diri menuju Banua Lawas Amuntai dan bersembunyi disana hingga akhir hayatnya. Sedangkan Ratu Kerajaan Nan Sarunai yang bergelar Dara Gangsa Tulen dan sebagian keluarganya lari menyelamatkan diri menuju pedalaman dibantu dua orang Punggawanya.
Akibat serangan Kerajaan Majapahit tersebut, maka Kerajaan Nan Sarunai yang dipimpin oleh Raden Anyan yang menyandang gelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas disebut-sebut sebagai raja terakhir Nan Sarunai saat itu telah dihancurkan dan ditaklukan Maka suku Dayak Maanyan tersebut terdesak dan terpencar atau tercerai berai atau lari ke pedalaman. Sebagian mereka masuk ke pedalaman hulu sungai.
daftar bacaan :
https://kbr.id/nusantara/02-2014/agama_kaharingan__penciptaan_alam__tuhan_dan_suku_dayak/60612.html
Nasab adalah Keturunan, Berikut Pengertian dan Hukumnya dalm Islam, Selasa 12 Januari 2021 20.00 Reporter : Novi Fuji Astuti https://www.merdeka.com/jabar/nasab-adalah-keturunan-berikut-berikut-pengertian-dan-hukumnya-dalm-islam-kln html
Artikel “Sejarah Ahlul bait (keturunan) Sayyidina Muhammad Saw di Indonesa” dan http://fakhrur94.blogspot.com/2012/04/sejarah-ahlul-baitketurunan-sayyidina.html
Artikel tentang “Suku Dayak”yang di tulis oleh Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Suku Dayak - Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas (diakses pada 19 Oktober 2021).
Artikel tentang “Sejarah Kalimantan Selatan” dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kalimantan_Selatan diakses 20-10-2021 :07.45 wita
Kitab Biografi Ulama-ulama Terkemuka Dunia dan Nasional” yang ditulis oleh “Syekh Samsul Afandi The source: hadhramaut.info/indo – 01/5/2008
Folklor adalah Ceritera/kisah yang penyebaran dan pewarisannya cenderung dilakukan secara lisan, yaitu disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari datu-datu dan nenek-nenek kami.
Artikel "Islam Loksado dan Sayyid Abu Bakr bin Hasan Assegaf" oleh : Ahmad Harisuddin yang diposting 20 Februari 2011M
YouTube Jajak Truz “Sejarah Asal Usul
Suku Banjar, Nenek Moyang Suku Banjar”
https://www.youtube.com/watch?v=kGZnuctHOCo&t=354s
Hasil-hasil Wawancara dengan Habaib Fam/Marga Assegaf Desa Lumpangi yang masih hidup sebelum ditahun 2021Masihi, Kayi Tanqir, kayi Ahmad Baderi, kayi Ahmad Karji, M. Djamberi dan Ahmad Bayumbung misalnya Habib Muhammad Burhan atau Muhammad Burhanuddin bin Ahmad Baderi Assegaf , Kayi Husni bin Karji, Kayi Usman bin Juhri . Dan lainnya
Dan beberapa catatan ttg silsilah Nasab Dzuriat Lumpangi. Catatan Habib Muhammad Jamberi bin Ahmad Darani Assegaf dan penuturan dari Habib Tanqir Assegaf yang dicatat anak cucunya.
Artikel “Sejarah
Ahlul bait (keturunan) Sayyidina Muhammad Saw di Indonesa” dan http://fakhrur94.blogspot.com/2012/04/sejarah-ahlul-baitketurunan-sayyidina.html
Artikel “Biografi Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf: Ini Nasab Beliau sampai Nabi Muhammad” Eries Adlin - Jumat, 15 Januari 2021 | 20:51 WIB. https://www.ayobogor.com/nasional/pr-31874179/Biografi-Habib-Ali-bin-Abdurrahman-Assegaf-Ini-Nasab-Beliau-sampai-Nabi-Muhammad
Tahun1761–1801, masa pemerintahan Sultan Tahmidullah Kesultanan Banjar, https://www.google.com/search?q=kapan+belanda+menjajah+kalimantan+selatan&sxsrf=AOaemvKZjxAG7Lq7Y7jOA1IDVSAUmB7O2Q%3A1634772915876&ei=s6dwYeD6NISbmge2zIvICw&oq=kapan+belanda+menjajah+kalimantan+selatan&gs_lcp=Cgdnd3Mtd2l6EAEYATIHCCEQChCgATIHCCEQChCgAToHCAAQRxCwAzoHCAAQsAMQQzoECCMQJzoFCAAQgAQ6BggAEBYQHjoFCCEQoAFKBAhBGABQudYHWKGYCGCDrwhoAXACeACAAYcBiAGdBJIBAzIuM5gBAKABAcgBCsABAQ&sclient=gws-wiz diakses 20-10-2021, 09.41
Artikel "Riwayat
Singkat Habib Lumpangi - Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf” yang ditulis
pada 3 Agustus 2017 oleh Saadillah Mursyid, ...................................................... http://saadillahmursyid.blogspot.com/2017/08/riwayat-singkat-habib-lumpangi-abu.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar