Oleh : H. Hasan Baseri bin M. Barsih bin Ahmad Baderi bin Tanqir Ghawa bin Muhammad bin Ibrahim bin Abu Bakar bin Ahmad Suhuf bin M.Djamaluddin bin Abu Bakar Assegaf
Historis Mesjid Jannatul Anwar dn desa Lumpangi
Duhulu Masjid ini berlokasi dekat tepi sungai Kali Amandit Lumpangi.. Kemudian sungai kali Amandit itu berpindah sendiri menjauhi Masjid tersebut, melalui air bah atau air sunami atau banjir besar bersamaan dengan tragedy hanyutnya Balai Adat Pantai Dusin beserta Penghuninya Hulu Banyu Loksado.. Setelah sungai jauh dari Masjid, maka Masid itu direhap total dan dibangun kembali dengan Arsitik yang bagus: tiang, atap dan dinding menggunakan kayu ulin yang sudah modern, ada seni pahatan dan ukirannya khususnya pada lis-lis dinding atap dan lis-lis kubah, jendela kaca dan masjid tersebut selesai dibangun diawal abad ke-20 Masihi sekitar tahun 1902
Masihi. Menurut sumber data bahwa ada beberapa tokoh orang Lumpangi yang berperan aktif ikut andil membangun merihap total Masjid Jannatul Anwar Lumpangi kala itu antara lain : Habib Abu Thair Muhammad sebagai ketua rehap pembangunan masjid, H.Ahmad sebagai sekretaris, dan H.Mastur sebagai bendahara, Habib Tanqir Ghawa, anggota, H. Bustani (menjabat Penghulu dan pengembangan dakwah) merangkap anggota, Kayi Sarman anggota dan tokoh masyarakat lainnya sebagai anggota.
Dimasanya
Sayyid Abu Tha'am Ibrahim telah terjadi Banjir besar, air sunami yang sangat
mencekam, dan banyak menelan korban. Balai Pantai Dusin Hulu Banyu bekas
tinggal ibunya dan sebagian keluarganya telah hanyut dibawa air bah. Tragedy Balai Adat Hulu Banyu pecehan Balai Ulin
Lumpangi Loksado tersebut diperkirakan terjadinya 1247H/1831 Masihi.
Sebagian ada yang bercerita kepada saya, katanya menurut Datu-Nenek kami bahari bahwa "Warna air ba'ah itu putih seperti susu kehitam-hitaman dan sangat kalat rasanya, seperti bercampur belirang atau bau batu bara sehingga mata iwak-iwak atau ikan -ikan kabur, maka banyak ikan-ikan yang naik ke tepi sungai untuk menyelamatkan diri dan akhirnya mati terkapar, akibat matanya tidak dapat melihat lagi dalam air karena pengaruh kalatnya air ba'ah itu. Hal ini sangat menggembirakan dan menguntungkan masyarakat Lumpangi mereka panen ikan sa'at itu".
Menurut beberapa sumber yang kami himpun bahwa Akibat air sunami tersebt, di Lumpangi khususnya sebahagian petanahan pedatuan H. Bustani yang dulunya menyatu dengan tanah Balai Ulin telah terkikis menjadi belahan sungai baru akibat air bah (banyu ba'ah) atau banjir besar itu. Bekas sisa tiang sebagai simbol Balai Adat Balai Ulin yang berdiri ditepi sungai belahan sungai yang baru itu condong atau bergesir hingga rebah ke dasar sungai akibat kena air bah itu. Dan fostur tanah tempat berdirinya Balai Adat Balai Ulin dan sekelilingnya menjadi rendah atau talabuh/bahantak atau terkikis sebagai akibat air bah itu. Kemudian tiang balai yang terandam didasar sungai itu diambil dan dijadikan tiang Suku guru atau tiang utama masjid dan diletakkan ditengah-tengah sebagai penyangga atau pananggak kubah saat perihapan masjid.
Air bah itu, mampu membelah dua arus, hingga
terjadi Erosi (Erosi merupakan proses terkikisnya lapisan permukaan tanah yang
disebabkan oleh pergerakan air, angin, es, dan gravitasi serta berlangsung
secara alamiah). Erosi membuat sungai baru. Sehingga adanya peristiwa itu
halaman Masjid yang dulunya sungai, telah berubah menjadi pantai. Setelah
peristiwa banjir besar tersebut maka timbullah inisiatif untuk memugar atau
merombak Masjid. Peristiwa pemogaran dan perombakan Masjid Pertama Lumpangi terjadi
di masa Habib Abu Thair Muhammad dan Tanqir Ghawa anaknya akhir abad ke-19
sekitar tahun 1895-1902 Masihi atas kesepakatan bersama masyarakat Lumpangi,
Masjid Jannatul Anwar direhap total, semua bahan bangunannya dari kayu
Ulin, beratap dan kubahnya sirap.
Aksisoris petaka kubah atau manara kubah Masjid Jannatul Anwar Lumpangi dari terbuat almanium hitam berbentuk buah-buah teruntai dan
lantainya dari tihal yang dibeli oleh Habib Tanqir Ghawa dari Surabaya. Ini adalah
menurut ceritera atau penuturan Habib Bahriansyah Assegaf.
Kemudian
lama kelamaan akibat seringnya air bah yang besar (ba’ah/banjir), maka
sungainya membelah dua, hingga ada murung (pulau) ditengah-tengah sungai
tersebut. Kalau kita menyebaragi jembatan menuju Kubah Datu Lumpangi, dan kita
berdiri di tengah-tengah jembatan itu memandang kehilir sungai. Maka kita akan
melihat sungai itu membalah dua dan dihilir murung (pulau), sungai itu
menyatu kembali. Arus sungai belahan kiri lebih deras dari pada arus sungai
belahan kanan. Pada hilir sungai belahan kanan, pada kanannya ini timbul pantai.
Sehingga arus sungai sekarang jauh dari Masjid. Sedangkan bukti
sungai itu pindah sendiri bahwa bukti masih ada. Dan terlihat jurang tanah
bekas dinding sungai dibelakang/samping WC Masjid tersebut. Ini adalah salah
satu karamah masjid yang dibangun oleh Datu Lumpangi dan anak cucunya ,bersama
masyarakat di sekitarnya. Ada kemungkinan bahwa masjid perdana ini
dibangun sangatlah sedarhana, dengan tiang-tiangnya ulin, turus tawingnya kayu
sungkai, pertama atap rangkup, terus diganti dengan atap daun Rumbia, berdindingkan
(tawing) palupuh paring, berlantai tanah. Sebagai buktinya atap dan dinding
(tawing) masjid terbuat dari Bambu bahwa Dulu sebelum adanya jalan tembus
Kandangan Batulicin masih banyak ditemukan rumpun-rumpun Bambu disekitar
Masjid. Dalam ruangan masjid memuat tidak kurang dari 4 shap, bahkan samapai 5
shap. setiap 1 shap bisa diisi antara 10 dan 11 orang. Mazhab Imam
Syafi’i bahwa shalat Jum’at baru dapat dilaksanakan kalau jama’ah
laki-lakinya tidak boleh kurang dari 40 orang mukallaf. Kemudian masjid itu
direhap sebagian dengan tidak merobah kontruksi bangunan yang semula
(seperti asalnya). Masjid kala itu sudah berlantai ulin, beratapkan sirap,
begitu pula atap kubahnya beratapkan sirap, menara kubah sangat bagus dan
unik.dindingnya ulin dan dipasangi kaca putih.
Sekitar tahun 1970-1975 an masjid ini sudah mengalami perumbakan atau rehab, pembuatan kolam semen dikiri masjid (sekarang menjadi halaman masjid), lantai dan teras masjid yang asalnya lantai dan terasnya ulin diganti dengan semen tetapi tanpa keramik. Masyarakat waktu itu suka rela bergotong royong mengambil pasir dan batu ditepi sungai.Perumbakan atau rehab ini, tidak merubah struktur kontruksi bangunan dan bentuk masjid sehingga nilai-nilai sejarahnya masjid ini masih ada dan tetap terjaga. Siapa saja masyarakat yang ikut shalat jum’at dimasjid Jannatul Anwar Lumpangi ? Tentu saja masyarakat yang mengikuti shalat jum’at dimasjid Jannatul Anwar itu dari lingkungan Masjid itu sendiri, dan masyarakat yang ada di kampung Muara Lumpangi, masyarakat yang ada di kampung Batu Tanggah, masyarakat yang ada di kampung datar Tandui, masyarakat yang ada di kampung muara Ahan, masyarakat yang ada di kampung Muara Kitar, masyarakat yang ada kampung Lok Bungur dan masyarakat yang ada di kampung Mintatayi. Sesudah tahun yang disebutkan penulis diatas, penulis tidak mengetahui lagi tentang lanjutan rehab Masjid ini.
2. Historis Desa Lumpangi.masa tahun 1970-1980 Masihi
Ooh Lumpangi! Kau adalah desaku, desa tempat lahirku, kau tempat lahir nenek dan kakekku, desa tempat tinggalku masa kanak-kanak hingga remaja. Lumpangi adalah sebuah desa yang ramah lingkungan, ia desa yang terisolasi, udaranya yang sejuk. air sungainya yang bening, ia jauh dari pusat keramaian kota kandangan, dulu jaraknya sangat jauh dari kota Kandangan, bisa ditempuh 6-7 jam jalan kaki. dan belum bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua atau roda empat. Tetapi sekarang desa Lumpangi bisa ditempuh anatara 20-25 menit dengan kendaraan roda dua atau roda empat dari kota Kandangan.
Ada sebagian Keluarga Habib yang dulunya masih bertempat tinggal dekat areal makam di kampung Balai Ulin. Keluarga itu adalah keturunan Habib Iberahim Abu Tha’am bin Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf. Ia punya anak 3 orang yaitu an.Muhammad Abu Thair, Siti Khadijah dan Daud. Abu Thair Muhammad tinggal dekat Masjid, sedangkan kedua adiknya tinggal di kampung Balai Ulin. Kemudian anak Siti Khadijah an. Ahmad I’ing dan Hambali yang dulunya bertempat tinggal (rumah) dekat makam, dan karena merasa susah PP ke Lumpangi, harus menyeberangi sungai Kali Amandit, arus sungainya yang deras sedalam lebih dari 1 meter, menyeberangi dengan jalan kaki, atau menyeberangi dengan rakit bambu untuk samapai ke masjid dan ke pasar dan juga di pasar ini untuk mencari keperluan hidup lainnya seperti uyah, asam, acan dan timbaku.
Maka setelah dibuatnya jembatan gantung penghubung antara desa Lumpangi dengan kampung muara Ahan. Maka kedua saudara ini Julak Ahmad I’ing dan Hambali pindah rumah dari kampung Balai Ulin ke kampung Muara Ahan. Maka kampung Balai Ulin kosong dari perumahan penduduk. Kekosongan itu terjadi sebelum Indonesi merdeka. Kemudian Julak Ahmad I’ing dan Hambali (pa. Uut) mendirikan sebuah rumah di tepi sungai Ahan. Rumah itu juga berada di tepi jalan Kandangan ke Loksado. Dulu orang-orang yang dari Kandangan, apabila sampai dihulu kampung Datar Tandui, mereka menyeberang sungai Kali Amandit yang dangkal dekat muara ahan, mereka berjalan meliwati halaman rumah Ahmad I’ing dan Hambali, tetapi bila air sungai dalam dan arusnya deras mereka menyeberang lewat jembatan penghubung antara Lumpangi dengan muara Ahan. Dan mereka juga meliwati halaman rumah Ahmad I’ing bin H.Mastur dan Hambali bin H.Mastur ini.
Sejak kedua kakak beradik inilah pindah rumah, maka kampung Balai Ulin menjadi mati tak dihuni lagi oleh penduduk setempat, dan pusara / makam Habaib mulai tidak terawat lagi dengan baik. Dikampung Muara Ahan tahun 1974an sudah ada tempat pendidikan masyarakat yang dikenal “SR” yaitu Sekolah Rakyat. Bangunan SR dibangun dengan swadaya masyarakat dan honor Gurunya atas swadaya masyarakat. Pasar lumpangi dulu berada dihulu masjid, sebagian para Pedagang berjualan dihalaman rumah kami.
Konon keberadaan pasar ini
cukup lama seiring keberadaan dibangunnya masjid.
Kemudian ada bantuan Pemerintah tahun 1974 untuk membangun pasar, untuk
pembuatan tempat khusus jualan maka pasar pindah ke pantai dihalaman rumah Uus (Pa.Mawan)
dan.dekat dengan Jembatan gantung. Jembatan gantung sedarhana dengan tali kawat
baja yang diikatkan pada kaki batu langara, dan diseberangnya di beri dua tiang
ulin dan ujun kawat baja diikatkan pada kayu ulin yang dibenam di dasar tanah
pantai. Ujung tali itu ditutupi batu kali sebesar kepala setinggi 1 meter
lebih. Lantai paring batangan, banyaknya antara 5-7 batang yang diikat
dengan tali haduk,paikat tali atau tali sumawi tempo dulu.
Dahulu sebelum terjadi pemekaran desa dan kecamatan bahwa Desa Lumpangi menjadi wilayah Kecamatan Padang Batung, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Untuk sampai ke desa Lumpangi seseorang harus jalan kaki dari Taxian mobil Pagat Batu (Batu Bini). Waktu itu jenis mobi taxi yang sampai ke Batu Bini ini adalah mobil jenis Jep dan mobil Puar. Kedua jenis mobil inilah yang taxi pulang-pergi (PP) Kandangan – Pagat. Batu. Nah dari Pagat Batu inilah jalan kaki menuju desa Lumpangi kurang lebih 6 jam memakan waktu lama kalau berjalan normal melewati tepi sungai Kali Amandit.
Ada beberapa desa yang dilewati (sebagai terminal
pejalan kaki untuk istirahat minum dan makan di warung pada
desa-desa tersebut) antara lain desa-desa yang dilalui desa Batu Bini atau Batu Tambun terus desa Bulanang,
desa Muara Hariang (Periangan), desa Halunuk, desa Basawar, desa Muara
Bayumbung, desa Harantan (Panggungan) desa Marikit dan kampung Datar
Tandui terus sampai Desa Lumpangi. Tetapi sekitar tahun 1991-1995 jalan tembus
Kandangan ke Batulicin baru dibuat, dengan adanya akses jalan tersebut
maka sepeda motor dan mobil bisa masuk dengan mudah ke desa Lumpangi.. Jalan
tembus ini sangat berpengaruh banyak terhadap perekonomian masyarakat desa
Lumpangi khususnya. Kemudian terjalilah pemekaran desa dan kecamatan, maka Desa
Lumpangi menjadi Kecamatan
Loksado
Tidak ada komentar:
Posting Komentar