Oleh :Hasan Basri, S.Ag bin H.Muhmmad Brsih bin Ahmad Baderi Assegaf
Nasab Dzuriat Datu Habib Lumpangi Assegaf
A .Mengaku Nasab Dzuriat Datu Habib Lumpangi Assegaf
B. Silsilah Nasab Dzuriat Habib Abu Bakar Assegaf (Datu Habib Lumpangi)
C.Silsilah Muhammad SAW sampai Nabi Adam Alaihis Salam
A. Mengaku Nasab Dzuriat Datu Habib Lumpangi Assegaf
Haram hukumnya mengaku-ngaku Ahlul Bait tanpa hak dan pendukung lainnya seperti tidak punya Silsilah Nasab. Sesungguhnya banyak di zaman sekarang ini orang dari keturunan Arab maupun orang non Arab yang mengaku dan menyandarkan nasabnya bahwa dia ahlul bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di negeri kita ini mulai santer istilah Sayyid dan Habib yang katanya mereka itu masih keturunan Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam atau ahlul baitnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau pengakuannya memang benar dan ia mu’min sungguh Allah telah mengumpulkan pada dirinya antara kemuliaan iman dan kemuliaan nasab. Akan tetapi, lain masalahnya jika pengakuannya hanya sekedar omong kosong, tidak disertai data yang akurat sebagai pendukungnya maka orang yang semacam ini telah menerjang keharaman yang besar dia bagaikan orang yang pura-pura kenyang dengan sesuatu yang tidak diberi!!
Benarlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi.
المُتَشَبِّعُ بما لَمْ يُعْطَ، كَلَابِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ
“Orang yang pura-pura kenyang dengan apa yang tidak diberi, ibaratnya seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan” [HR Muslim : 2129]
Keharaman mengaku atau menyandarkan pada suatu kaum yang bukan haknya telah tegas dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya.
لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلاَّ كَفَرَ، وَمَنِ ادَّعى قَوْمًا لَيْسَ لَهُ فِيهِمْ نَسَبٌ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Tidaklah seseorang mengaku-aku kepada bukan bapaknya sedang ia tahu, kecuali ia telah kafir kepada Allah. Dan barangsiapa yang mengaku bahwa dia termasuk kaum ini padahal bukan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka” [HR Bukhari : 3508, Muslim : 112]
Dalam hadits lain sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Umar yang terekam dalam Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud dan beberapa kitab hadits yang lain menceritakan:
كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُعُودًا، فَذَكَرَ الْفِتَنَ، فَأَكْثَرَ في ذِكْرِهَا حَتَّى ذَكَرَ فِتْنَةَ الْأَحْلَاسِ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَا فِتْنَةُ الْأَحْلَاسِ؟ قَالَ: " هِيَ فِتْنَةُ هَرَبٍ وَحَرَبٍ، ثُمَّ فِتْنَةُ السَّرَّاءِ، دَخَلُهَا أَوْ دَخَنُهَا مِنْ تَحْتِ قَدَمَيْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي، يَزْعُمُ أَنَّهُ مِنِّي، وَلَيْسَ مِنِّي، إِنَّمَا وَلِيِّيَ الْمُتَّقُونَ، ثُمَّ يَصْطَلِحُ النَّاسُ عَلَى رَجُلٍ كَوَرِكٍ عَلَى ضِلَعٍ، ثُمَّ فِتْنَةُ الدُّهَيْمَاءِ لَا تَدَعُ أَحَدًا مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلَّا لَطَمَتْهُ لَطْمَةً، فَإِذَا قِيلَ انْقَطَعَتْ تَمَادَتْ ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيهَا مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، حَتَّى يَصِيرَ النَّاسُ إِلَى فُسْطَاطَيْنِ، فُسْطَاطُ إِيمَانٍ لَا نِفَاقَ فِيهِ، وَفُسْطَاطُ نِفَاقٍ لَا إِيمَانَ فِيهِ، إِذَا كَانَ ذَاكُمْ فَانْتَظِرُوا الدَّجَّالَ مِنَ الْيَوْمِ أَوْ غَدٍ
Artinya: “Kita pernah duduk bersama Rasulullah ﷺ. Beliau mengupas tentang aneka macam fitnah (ujian besar di akhir zaman). Beliau menjelaskan panjang lebar tentang fitnah-fitnah itu, hingga beliau menyinggung tentang fitnah ahlas. Ada seseorang yang bertanya: “Ya Rasulallah, apa yang dimaksud fitnah ahlas?’ Rasul menjawab: ‘Yaitu; fitnah pelarian dan peperangan. Kemudian fitnah sarra’ (karena banyak bermegah-megahan hingga lupa dan jatuh dalam perilaku maksiat), yang asapnya dari bawah kedua kaki seseorang dari ahli bait-ku; ia mengaku bagian dariku, padahal bukan dariku. Karena sesungguhnya orang-orang yang aku kasihi hanyalah orang-orang yang bertakwa. Kemudian manusia bersepakat pada seseorang seperti bertemunya pinggul di tulang rusuk. Setelah itu, fitnah duhaima’ yang tidak membiarkan ada seseorang dari umat ini kecuali dihantamnya. Jika dikatakan: ‘Ia telah selesai’, maka ia justru berlanjut. Di dalamnya ada seorang pria yang pada pagi harinya beriman, tetapi pada sore harinya men¬jadi kafir, sehingga manusia terbagi menjadi dua kemah, kemah keimanan yang tidak mengandung kemunafikan dan kemah kemunafikan yang tidak mengandung keimanan. Jika itu sudah terjadi, maka tunggulah kedatangan Dajjal pada hari itu atau besoknya.” (Musnad Ahmad: 6168)
Menafsiri hadits di atas, Syekh Ali bin Muhammad Al-Qari, dalam karyanya Mirqatul Mafatih Syarah Misykatul Mashabih menjelaskan:
(يَزْعُمُ أَنَّهُ مِنِّي) أَيْ: فِي الْفِعْلِ وَإِنْ كَانَ مِنِّي فِي النَّسَبِ، وَالْحَاصِلُ أَنَّ تِلْكَ الْفِتْنَةَ بِسَبَبِهِ، وَأَنَّهُ بَاعِثٌ عَلَى إِقَامَتِهَا (" وَلَيْسَ مِنِّي ") أَيْ: مِنْ أَخِلَّائِي أَوْ مِنْ أَهْلِي فِي الْفِعْلِ ; لِأَنَّ لَوْ كَانَ مِنْ أَهْلِي لَمْ يُهَيِّجِ الْفِتْنَةَ، وَنَظِيرُهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ}
Artinya: “Yang dimaksud ‘ia mengaku bagian dariku’ adalah karena secara lahir, kenyataannya memang ia bagian dariku (Nabi Muhammad) dalam sisi nasab. Adapun hasil nyatanya; fitnah tersebut ada karena disebabkan olehnya, dan justru ia malah menjadi pembangkit fitnah tersebut. Maka, Rasulullah bersabda ‘Laisa minni’, maksudnya adalah hakekatnya orang tersebut bukanlah ahli baitku (keluargaku). Sebab, apabila ia benar-benar ahli bait-ku (Rasulullah ﷺ), tentu ia tidak berkontribusi pada fitnah tersebut. Hal itu mirip dengan firman Allah subhanahu wa ta’a ‘Sesunggunya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik.’.” (Syekh Ali bin Muhammad Al-Qari, Mirqatul Mafatih Syarah Misykatul Mashabih, [Darul Fikr, Beirut, 2002), juz 8, halaman 3399)
Inilah yang dapat kami kumpulkan tentang ahlil bait, keutamaan dan adab kepada mereka. Kita memohon kepada Allah taufiq-Nya, kefaqihan dalam agama, dan tegar di atas kebenaran. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Mengabulkan do’a. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada nabi kita Muhammad, keluarganya, dan para shahabatnya. Amin Allahu A’lam
Semoga kita tdk digolongkan seperti hadist Rasulullah SAW :
Artinya *Orang yang mengaku-ngaku dengan sesuatu yang tidak dia miliki maka dia seperti pemakai dua pakaian kebohongan (HR. Muslim dalam Shahihnya, no. 2129 dari Hadits Aisyah radliyallahu’anha)_*
Lembaga Nasab perjuangkan adalah Kemurnian Nasab Silsilah Keturunan Manusia Termulia Rasulullah SAW yang tidak boleh salah dan memiliki Tanggung Jawab Besar di Akherat kelak,
Sebagaimana Dari Imam Ali, bahawasanya Rasulullah SAW bersabda:
Artinya *"Barangsiapa mengaku nasab selain ayahnya dan membanggakan dirinya kepada selain walinya (garis keturunannya) maka baginya laknat dari Allah, Malaikat dan sekalian manusia, Allah SWT tidak akan menerima adanya penggantian atau pertukaran nasab secara sembarang dan serampangan darinya". (Muttafaqun Alaih).*
Mengaku-ngaku nasab orang lain dan mengingkari nasab yang sebenarnya sangat dilarang dalam Islam. Bahkan dalam sebuah riwayat dijelaskan orang yang mengaku-ngaku nasab dan yang mengingkari nasab itu bisa membuat dirinya menjadi kafir dihadapan Allah.
وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنِ ادَّعَى نَسَبًا لَا يَعْرِفُ كَفَرَبِاللَّهِ وَمَنِ اتْتَفَى مِنْ نَسَبٍ وَاِنْ دَقَّ كَفَرَبِاللَّهِ.
Rasulullah ﷺ bersabda : Barangsiapa mengaku-ngaku nasab (keturunan) yang dia
sendiri tidak mengetahuinya, maka jadi kafirlah ia kepada Allah. Dan
barangsiapa mengingkari nasab walaupun samar nasab itu, maka kafirlah ia kepada
Allah.” (HR. Thabarani).
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa :
وَرَوَى أَحَدُ: إِنَّ لِلَّهِ تَعَالَى عِبَادًا لَايُكَلِّمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيْهِمْ وَلَا يَنْظُرُاِلَيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ, قِيْلَ وَمَنْ اُولَئِكَ يَارَسُوْلَ اللَّهِ ؟ قَالَ مُتَبَرِّئٌ مِنْ وَالِدَيْهِ رَاغِبٌ عَنْهُمَا وَمُتَبَرَّئٌ مِنْ وَلَدِهِ وَرَجُلٌ أَنْعَمَ عَلَيْهِم قَوْمٌ فَكَفَرَ نَعْمَتَهُمْ وَتَبَرَّأَمِنْهُمْ. وَالْمُرَادُالْاِنْعَامُ بِالْعِتْقِ.
Dan
diceritakan Imam Ahmad: Sesungguhnya Allah Ta'ala itu mempunyai hamba,
yang tidak akan berbicara Allah dengan
mereka pada hari kiamat. Dan Allah tidak
akan mensucikan dosanya mereka, dan Allah tidak memandang mereka(dengan rasa
kasih sayang). Dan bagi
hamba itu diberikan siksaan yang pedih. Sahabat bertanya: siapa mereka
itu Rasulullah?
Rasullullah menjawab: Yaitu
orang yang menyatakan lepas diri dari
kedua orang tuanya (tidak mengakui orang tua) marah kepada orang tuanya. Orang
yang lepas tangan dari anaknya(tidak mengakui anak). Dan orang yang diberi kenikmatan oleh suatu kaum lalu dia ingkar
dari mereka serta melepaskan diri dari mereka. Yang dimaksud dengan “ memberikan kenikmatan” di sini ialah
“Kemerdekaan (memerdekakan budak)
B. Silsilah Nasab Dzuriat Habib Abu Bakar Assegaf (Ayah Habib Lumpangi)
Nasab berasal dari bahasa Arab al-nasb yang berartinya menghububungkan kekerabatan, keturunan atau menyebutkan keturunan. Bila al-nasb dibentuk menjadi kalimat tanaasub artinya ikatan, hubungan, kesamaan atau kesetaraan. Nasab dalam hukum Islam memiliki kualitas yang sangat penting karena dengan adanya nasab secara filosofi antara anggota keluarga yang memiliki keterkaitan dan keterikatan yang sangat kuat dan menjadi pondasi utama untuk terbentuknya suatu kelompok manusia yang kokoh, setiap anggota kelompok terkait dan terkait dengan anggota yang lainnya, seolah-olah membentuk jaringan laba-laba dalam kehidupan bersama dalam bermasyarakat dan bernegara (Astuti 2021)
Salah seorang yang bermarga Assegaf bernama Habib Alwi (w.1842) bin Abdillah bin Shaleh bin Abubakar bin Hasan bin Hasyim bin Muhammad Assegaf dan Baliau bermakan di Karang Putih Martapura Kalsel.
Menurut Artikel Ahlul Bait ... di indonesia menyebutkan bahwa "Suatu ketika Ali bin Alwi Assegaf dari Kampung Melayu Martapura mampir ke rumah keluarga Alklatiri tersebut. Saat bersamaan, di rumah keluarga Arab itu, Ratubah tengah mencucuki marjan. Dari perjumpaan menyaksikan seorang perempuan campuran Bugis-Banjar di rumah keluarga Arab itu, Ali akhirnya tinggal di Kampung Bugis karena menikah dengan Ratubah. Untuk tempat tinggalnya Ali membeli sebuah rumah kecil di Kampung Bugis (Jalan Sulawesi), membangunnya kembali, dan menyulapnya menjadi rumah Baanjung (rumah adat Banjar).Putra Ali dengan Ratubah adalah Zen. Zen kawin dengan Syarifah dari keluarga Bahasyim berputra Alwi [seorang pedagang asam kamal yang berjualan dari Kuin Utara ke Aluh-aluh, Kabupaten Banjar dan merupakan ayah dari Ibu Galuh (Syarifah Fatimah) di Kampung Melayu dan Abdul Kadir Jailani di Sungai Mesa] Perkawinan Zen dengan perempuan dari bangsa Banakmah berputra Ali, Sy Zainab, Sy Fetum (ibu Segaf bin Abubakar AlHabsyi), Sy Noor dan Sy Fedlon (masih hidup tinggal di Kampung Bugis)".
Bekata
Tanqir Ghawa kepada anak cucunya bahwa “Syukur alhamdu lillaah banar kita ine
cucuai, jaka kada datang habib membawa Islam dan nine kita bahari ada yang balaki
habib lalu ia maislamakan datu nine bubuhan
kita Dayak lumpamgi, jaka kada baislam maka kita rugi banar, kita akan dimasukakan
ke dalam Naraka, nauudzu billaahi mindzaalik” Menurut Beliau bahwa “Ucapannya
ine telah diucapan pula oleh datu nine kita bahari sebelumnya kepada anak
cucunya”.
Ada tiga sumber catatan silsilah nasab yang Penyusun terima yaitu :
1. Tanqir Ghawa bin Muhammad bin Ibrahim Assegaf
"تَنْقِرُ الْغَوَى بِنْ اَبًوْ طَيْرٍ مُحَمَّدْ بِنْ اَبًوْ طَعَامٍ اِبْرَاهِيْمَ بِنْ اَبُوْ بَكْرٍ بِنْ اَحْمَدْ صُحُفٍ بِنْ مًحَمَّدْ جَمَالً الدِّيْن بِنْ اَبًوْ بَكْرٍالسقاف"
Adapun catatan silsilah nasab yang saya terima dari Habib Tanqir Ghawa adalah “Tercatat Tanqir Ghawa bin Abu Thair (Muhammad) bin Abu Tha’am (Ibrahim) bin Abu Bakar bin Ahmad Suhuf bin Djamaluddin bin Abu Bakar Assyggaf.
2. Ahmad Baderi bin Tanqir Ghawa bin Muhammad Assegaf
اَحْمَدْ بَدْريْ بِنْ تَنْقِرُ الْغَوَى بِنْ اَبًوْ طَيْرٍ مُحَمَّدْ بِنْ اَبًوْ طَعَامٍ اِبْرَاهِيْمَ بِنْ اَبُوْ بَكْرٍ بِنْ اَحْمَدْ صُحُفٍ بِنْ مًحَمَّدْ جَمَالً الدِّيْن بِنْ اَبًوْ بَكْرٍالسقاف
Adapun catatan silsilah nasab yang saya terima dari Habib Ahmad Baderi adalah “Tercatat Ahmad Baderi bin Tanqir Ghawa bin Abu Thair (Muhammad) bin Abu Tha’am (Ibrahim) bin Abu Bakar bin Ahmad Suhuf bin Djamaluddin bin Abu Bakar Assyggaf.”
3. Muhammad Jamberi bin Ahmad Darani bin Abdul Hamid Assega
Menurut Catatan nasab dari Habib Muhammad Jamberi bin Ahmad Darani Assegaf dan dengan rinci bahwa “tertulis Habib Abu Bakar bin Ahmad adalah cucu Habib Muhammad Djamaluddin bin Abu Bakar bin Hasan Assegaf kawin dengan Umi Salamah (nama asal dayak : Diang Gunung) binti Bumbuyanin bin Ulang dari Hulu Banyu. Dan menurunkan tiga anak laki-laki” an. -Ibrahim (gelar Abu Tha'am), -Abdul Lathif (gelar Abu 'Aly) 'Aly (gelar Abu Tayau). Adapun Abdul Lathif punya anak Aliadam. Aliadam punya anak : Hasan, Umpat, Abdul Hamid, Abdullah dan Masrah. Abdul Hamid punya anak : Ahmad Darani. Ahmad Darani punya 7 anak : Ismail Jumberi, Muhammad Jamberi dan seterusnya.
Silsilah Nasab Dzuriat Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf
Ada tiga bukti kuat hubungan nasab dengan Datu Habib Lumpangi yaitu :
a. Adanya perkawinan Datung Milah dengan Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf /Ayahnya Habib Lumpangi Assegaf, Senin, tanggal 13 Sya'ban 1117H/1705 Masihi
b. Adanya silsilah Nasab Dzuriat Habib Abu Bakat Assegaf an. Muammad Djamaluddin atau Habib Lumpangi lahir 13 Syawwal 1707M dan Duriat Nasabnya tercatat dengan baik.
c. Historis penguasaan tanah makam dan sekitarnya sebelum tahun 1970 an:
Adapun Nasab Dzuriat Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf (Ayahnya Habib Lumpangi) Assegaf yang ke-11 ada 5 orang. Keturunan beliau yang ke-11 (tertua). Pertama adalah perempuan kelahiran 2004 an. Ati binti Farida Hayati binti Habib Baseraninor bin H. Muhammad Barsih bin Ahmad Baderi Assegaf. Kedua kelahiran 2017 an. Habib Ajril bin Syahril Majid bin Habib Baseraninor bin H. Muhammad Barsih bin Ahmad Baderi Assegaf. Ketiga kelahiran 2021M an. Habib Angga Saputra bin Ali Marzuki bin Baseraninor bin H. Muhammad Barsih bin Ahmad Baderi Assegaf. Keempat : Habib kelahiran 2020M an. Habib Ahmad Fadhil Mubarak bin Muhammad Ibnu Mubarak Assegaf. Kalau dirunut dari dzuriat Nasab Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf (Datu Habib Lumpangi) yang paling muda kelahiran 12 Januari 2020M FAM atau Marga Assegaf adalah sebagai berikut ;
- Habib Ahmad Fadhil Mubarak Assegaf
- bin Muhammad Ibnu Mubarak, S.Pd
- bin H. Hasan Baseri, S.Ag
- bin H. Muhammad Barsih (1937-1978M)
- bin Ahmad Baderi (1918-1993M)
- bin Tanqirr Gawa w.1862-1985M/1279-1405H=(123 tahun M)
- bin Abu Thair Muhammad, w.1361H/1942M Gelar kehormatannya “Abu Thair/Ambuthair”
- bin Abu Tha'am Ibrahim. Gelar kehormatannya “Abu Tha’am/Ambutaam”
- bin Abu Bakar as-Tsani. Nama As-Tsani adalah untuk membedakan dengan Datuknya
- bin Ahmad Suhuf
- bin Muhammad Djamaluddin
- bin Abu Bakar (Datu Habib Lumpangi w.1172H/1759M)
- bin Hasan. w.1720M
- bin Hasyim
- bin Muhammad
- bin Umar ash-Shufy
- bin Abdurrahman
- bin Muhammad
- bin Aly
- bin Sayyidina Syekh al Imam al-Quthb Abdurrahman Assaqqaf /Assegaf (1338-1416M) Beliau diberi gelai "Al Faqi al-Muqaddam Tsani Assaqaf."
- bin Syekh Muhammad (Maula ad-Dawilah) w.665H.
- bin Syekh 'Aly (Shahibut Dark) w. Rabu 17 Rajab 709H /1289M
- bin Sayyidina al Imam Alwi al-Guyur w.669H
- bin Sayyidina al-Imam al-Faqih al-Muqaddam Muhammad (574-653H/1232M)
- bin Sayyidina 'Aly Walidul Faqih
- bin al Imam Muhammad Shahib Mirbath w.556H/1161M
- bin Sayyidina 'Aly (Al Iman Khaly al Qasam) w.527H/1133M
- bin Sayyidina Alwi Ba “Alawi w.512H/1118M
- bin Sayyidina al-Imam Muhammad (Shahib as-Shaouma'ah) w.446H/1054M
- bin Sayyidina al-Imam Alwi Alawiyyin (Shahib Saml)
- bin Sayyidina al-Imam Ubaidillah (Shahibul Aradh w.383H/993M
- bin Sayyidina al-Imam Al-Muhajir Ahmad 820-924M
- bin Sayyidina al-Imam 'Isa ar-Rumi w.270H/883M
- bin Sayyidina al-Imam Muhammad An-Naqaib
- bin Sayyidina al-Imam 'Aly al-Uraidhi 765-818M
- bin Sayyidina al-Imam Ja'far as-Shadiq (702-765M)
- bin Sayyidina al-Imam Muhammad Al-Baqir (676-732M)
- bin Sayyidina al-Imam 'Aly Zainal Abidin (658-713M)
- bin Al-Imam as-Syahid Syahab Ahlil Jannah Sayyidina Husain (625-680M)
- bin Sayyidia 'Aly bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah Az-Zahra (11H/632)
- binti Muhammad ibnu Abdullah Rasulullah Saw (570-632M)
Pertalian keluarga atau nasab
memiliki kedudukan yang penting sehingga seseorang dapat mengidentifikasi
silsilah dan hubungan keluarganya. Nasab yang jelas dapat membantu memudahkan
berbagai persoalan seperti pembagian warisan, wali nikah atau persoalan
lainnya.
Akan tetapi dalam Islam ada
larangan bagi seorang mengaku-ngaku memiliki nasab kepada orang lain padahal
dirinya pun ragu atau klaimnya tidak memiliki kekuatan. Semisal seseorang
mengaku-ngaku memiliki garis keturunan kepada nabi Muhammad ﷺ namun ternyata
klaimnya itu palsu. Atau mengaku-ngaku orang tuanya adalah si Fulan padahal
sejati/sebenarnya orang tuanya adalah si B.
Selain itu, Islam juga melarang
bagi seorang Muslim untuk mengingkari nasab. Semisal seorang anak yang telah
merantau di kota besar bertahun-tahun lalu sukses dan kaya raya tapi tidak
mengakui bahwa A dan B adalah ayah dan ibunya. Padahal sejatinya A dan B adalah
orang tua kandungnya sendiri yang membesarkannya sejak kecil. Atau contoh
lainnya seorang bapak tidak mengakui anak keturunannya sendiri lantaran cacat
dan lainnya.
Maka kedua hal itu yaini
mengaku-ngaku nasab orang lain dan mengingkari nasab yang sebenarnya sangat
dilarang dalam Islam. Bahkan dalam sebuah riwayat dijelaskan orang yang
mengaku-ngaku nasab dan yang mengingkari nasab itu bisa membuat dirinya menjadi
kafir dihadapan Allah.
وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنِ ادَّعَى نَسَبًا لَا
يَعْرِفُ كَفَرَبِاللَّهِ وَمَنِ اتْتَفَى مِنْ نَسَبٍ وَاِنْ دَقَّ كَفَرَبِاللَّهِ.
Rasulullah ﷺ bersabda : Barangsiapa mengaku-ngaku nasab (keturunan) yang dia
sendiri tidak mengetahuinya, maka jadi kafirlah ia kepada Allah. Dan
barangsiapa mengingkari nasab walaupun samar nasab itu, maka kafirlah ia kepada
Allah.” (HR. Thabarani)
وَرَوَى أَحَدُ: إِنَّ لِلَّهِ تَعَالَى عِبَادًالَايُكَلِّمُهُمْ يَوْمَ
الْقِيَا مَةِ وَلَا يُزَكِّيْهِمْ وَلَا يَنْظُرُاِلَيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ,
قِيْلَ وَمَنْ اُولَئِكَ يَارَسُوْلَ اللَّهِ ؟ قَالَ مُتَبَرِّئٌ مِنْ وَالِدَيْهِ
رَاغِبٌ عَنْهُمَاوَمُتَبَرَّئٌ مِنْ وَلَدِهِ وَرَجُلٌ أَنْعَمَ عَلَيْهِم قَوْمٌ
فَكَفَرَ نَعْمَتَهُمْ وَتَبَرَّأَمِنْهُمْ. وَالْمُرَادُالْاِنْعَامُ بِالْعِتْقِ.
Dan diceritakan Imam Ahmad: Sesungguhnya Allah Ta'ala itu mempunyai hamba, yang tidak akan berbicara Allah dengan mereka pada hari kiamat. Dan Allah tidak akan mensucikan dosanya mereka, dan Allah tidak memandang mereka(dengan rasa kasih sayang). Dan bagi hamba itu diberikan siksaan yang pedih. Sahabat bertanya: siapa mereka itu Rasulullah?
Rasullullah menjawab: Yaitu orang
yang menyatakan lepas diri dari kedua
orang tuanya (tidak mengakui orang tua) marah kepada orang tuanya. Orang yang
lepas tangan dari anaknya(tidak mengakui anak). Dan orang yang diberi kenikmatan oleh suatu kaum lalu dia ingkar
dari mereka serta melepaskan diri dari mereka. Yang dimaksud dengan “ memberikan kenikmatan” di sini ialah
“Kemerdekaan (memerdekakan budak).
1. Mengagungkan Mereka Dengan Pantas
Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah berada di pertengahan dalam mencintai ahli bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak berlebihan dan tidak pula merendahkan. Pengagungan yang dilandasi dengan keadilan, tidak sekedar hawa nafsu. Kita mengagungkan seluruh kaum muslimin dan muslimat dari keturunan Abdul Mutholib dan para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mencintai seluruhnya. Apabila ahli bait itu termasuk seorang sahabat, maka kita menghormatinya karena keimanan, ketaqwaan, kebersamaannya dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan karena termasuk keluarga beliau. Apabila bukan termasuk shahabat maka kita mencintai karena keimanan dan keberadaannya sebagai ahli bait.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
أُذَكِّرُكم اللهَ في أهلِ بيتي، ثلاثًا
“Dan terhadap ahli baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahli baitku”. Beliau mengulang ucapannya sampai tiga kali” [HR Muslim : 24028]
Sungguh, cerminan perilaku salaf dalam mengagungkan ahli bait sangatlah tinggi. Simaklah penuturan berikut ini.
Abdullah bin Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib pernah masuk menemui Umar bin Abdul Aziz dalam suatu keperluan, lantas Umar bin Abdul Aziz berkata: “Apabila engkau mempunyai kebutuhan kepadaku, maka kirimlah utusan atau tulislah surat, karena aku malu kepada Allah apabila Dia melihatmu di depan pintu rumahku” [Asy-Syifa 2/608, Lihat Dam’ah Ala Hubb Nabi, hal. 51]
Asy-Sya’bi berkata : “Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu suatu ketika menshalati ibunya yang telah meninggal. Ketika telah selesai, maka untanya di dekatkan kepadanya agar dinaiki. Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma kemudian datang mendekat dan mengambil tali kekang (untuk Zaid Radhiyallahu ‘anhu). Melihat hal itu, Zaid Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Biarkan, wahai anak paman Rasulullah”. Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma menimpali : “Demikianlah seharusnya kita bersikap kepada ulama”. Maka Zaid Radhiyallahu ‘anhu mencium tangan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dan membalas : “Demikianlah kita diperintahkan untuk berbuat kepada ahli bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Asy-Sifa 2/608]
Ahlus Sunnah dalam masalah ini, merupakan orang yang paling
berbahagia dalam melaksanakan wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
atas. Mereka mencintai dan mendudukkan ahlil bait sesuai dengan proporsinya yang
pantas, tidak berlebih-lebihan. Hal ini berbeda dengan para pengekor hawa nafsu
dari kalangan Rafidhah dan yang semisalnya yang ghuluw terhadap sebagian dan
merendahkan sebagian yang lain, bahkan boleh dikata mereka mencela kebanyak
ahlil bait. Sebagai contoh sikap ghuluw mereka kepada ahlil bait yaitu keyakinan
mereka adanya imam dua belas, yang dimaksud Ali, Hasan, Husain dan sembilan
anak keturunan Husain!!?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Orang
yang paling jauh dalam melaksanakan wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
atas adalah orang-orang Rafidhah, mereka memusuhi Al-Abbas Radhiyallahu ‘anhuma
dan keturunannya, bahkan boleh dikata mereka memusuhi kebanyakan ahlil bait”
[Majmu Fatawa 4/419]
Andaikan kita renungi dengan akal yang jernih, niscaya
setiap orang yang masih punya sedikit ilmu saja akan memastikan bahwa ini
adalah kedustaan dan bualan Rafidhah kepada para imam, dan tentu para imam
berlepas diri dari itu semua.
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ
اِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً ۚاِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong
kepada kesesatan sesudah engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah
kepada kami rahmat dari sisi Engkau, karena Engkau-lah yang Maha Pemberi
karunia” [Ali-Imran/3 : 8]
2. Mencintai Dan Mendo’akan Kebaikan
Berdasarkan keumuman firman Allah yang berbunyi.
وَالَّذِيْنَ جَاۤءُوْ مِنْۢ بَعْدِهِمْ
يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ
وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ
رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
Artinya “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a : “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantuan lagi Maha Penyayang” [Al-Hasyr/59 : 10]
Imam Bukhari telah meriwayatkan dalam kitab shahih-nya bahwa Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu : “Sungguh aku lebih senang menyambung tali kekerabatan kepada keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada keluargaku sendiri” [HR Bukhari : 3712]
Masih dalam Shahih Bukhari bahwasanya Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu ketika pulang dari shalat Ashar ia melihat Hasan Radhiyallahu anhu sedang bermain-main bersama anak-anak yang lain di jalan. Lalu Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu menggendong Hasan Radhiyallahu ‘anhu di atas pundaknya sambil berkata “Demi bapakku yang menjadi tebusan, Hasan lebih mirip Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan dengan Ali Radhiyallahu ‘anhu. Mendengar hal itu Ali Radhiyallahu ‘anhu hanya bisa tertawa” [HR Bukhari : 3542]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkomentar : “Hadits ini
menunjukkan keutamaan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu dan kecintaannya kepada
kerabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Fathul Bari 6/694]
Syaikhul Islam rahimahullah berkata : “Ahlus Sunnah wal
Jama’ah mencintai ahli bait dan berloyalitas kepada mereka. Ahlus Sunnah selain
menjaga wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berkata pada hari
Ghodir Khum : Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahli baitku” [Syarah
Al-Aqidah Al-Washitiyyah 2/273] [7]
3. Membela Dari Hujatan
Termasuk bentuk membela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah membela ahli bait dan keluarganya, lebih-lebih para istri beliau,
khususnya Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma yang Allah telah sucikan dirinya dari
segala tuduhan. Allah berfirman.
اِنَّ الَّذِيْنَ جَاۤءُوْ بِالْاِفْكِ
عُصْبَةٌ مِّنْكُمْۗ لَا تَحْسَبُوْهُ شَرًّا لَّكُمْۗ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۗ لِكُلِّ
امْرِئٍ مِّنْهُمْ مَّا اكْتَسَبَ مِنَ الْاِثْمِۚ وَالَّذِيْ تَوَلّٰى كِبْرَهٗ مِنْهُمْ
لَهٗ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Artinya “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu
adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira berita bohong itu buruk
bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka
mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa diantara mereka yang
mengambil bagian yang besar dalam penyiaran berita bohong itu baginya adzab
yang besar” [An-Nur/24 : 11]
Imam Ibnu Hazm rahimahullah telah membawakan sanadnya sampai
kepada Hisyam bin Ammar dia berkata : Aku telah mendengar Anas bin Malik
Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Barangsiapa yang mencela Abu Bakar dan Umar
Radhiyallahu ‘anhuma berhak dicambukl. Dan barangsiapa yang mencela Aisyah Radhiyallahu
‘anha berhak dibunuh”. Imam Malik ditanya, mengapa orang yang mencela Aisyah
Radhiyallahu ‘anha dibunuh? Beliau menjawab : “Karena Allah telah berkata
tentang Aisyah Radhiyallahu ‘anha dalam firmanNya:
يَعِظُكُمُ اللّٰهُ اَنْ تَعُوْدُوْا لِمِثْلِهٖٓ
اَبَدًا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
Artinya “Allah memperingatkan kamu agar jangan kembali berbuat yang
seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman” [An-Nur/24 :
17]
Imam Malik rahimahullah berkata : “Barangsiapa yang menuduh
Aisyah Radhiyallahu ‘anha, sungguh ia telah menyelisihi Al-Qur’an. Dan orang
yang menyelisihi Al-Qur’an berhak dibunuh”. Imam Ibnu Hazm rahimahullah
berkomentar : “Perkataan Imam Malik ini benar, karena hal itu merupakan
kemurtadan yang nyata dan pelakunya berarti telah mendustakan Allah dalam
ketegasanNya terhadap kesucian Aisyah Radhiyallahu ‘anha” [Al-Muhalla 13/503]
[8]
4. Jangan Mencela
Imam Bukhari dalam kitab shahih-nya telah menceritakan
bahwasanya Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Perhatikan Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keluarganya” [HR Bukhari : 3713]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan perkataan di
atas : “Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu menghimbau manusia dan berwsiat kepada
mereka. Maksudnya adalah agar manusia menjaga ahli bait, janganlah kalian
menyakitinya dan berbuat jelek kepada mereka” [Fathul Bari 7/101]
5. Memberikat nasehat kepada Ahlil Bait
Ketahuilah hai saudaraku! Bahwa Ahlil bait adalah manusia biasa seperti kita, tidak ma’shum dan kesalahan. Mereka ada yang shalih dan ada yang fajir. Kemulian nasab ahli bait tidak akan berarti sama sekali apabila tidak diiringi dengan keimanan dan ketaqwaan. Karena orang yang mulia di sisi Allah adalah orang yang beriman dan bertaqwa. Allah berfirman.
اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ
Artiny“ …Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu” [Al-Hujurat/49 : 13]
Apalah artinya status sebagai ahli bait tetapi senang berbuat syirik, bid’ah, dan maksiat??! Tentunya tidak berguna kemuliaan nasabnya itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ
بِهِ نَسَبُهُ
Artinya “Barangsiapa yang lambat amalannya, maka nasabnya tidak
dapat mempercepat” [HR Muslim : 2699, Ahmad 2/252, Abu Dawud : 3643, Tirmidzi :
2646, Ibnu Majah : 225, Darimi 1/99, Baghowi : 127, Ibnu Hibban : 84]
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata : “Maknanya, bahwa
amalan itulah yang menghantarkan seorang hamba mencapai derajat akhirat. Allah
berfirman.
وَلِكُلٍّ دَرَجٰتٌ مِّمَّا عَمِلُوْ
Artinya “Dan tiap-tiap orang memperoleh derajat-derajat seimbang dengan apa yang dia kerjakan” [Al-An’am/6 : 132]
Maka barangsiapa yang lambat amalannya untuk sampai pada
derajat tertinggi di sisi Allah, nasabnya juga tidak akan mempercepatnya untuk
mencapai derajat tinggi tersebut, karena Allah mengiringkan balasan itu
seimbang dengan amalan, bukan dengan nasab” [Jami’ul Ulum wal Hikam 2/308]
Akan tetapi, apabila kita melihat ahli bait yang bersalah, nasehatilah dengan baik, karena mereka pun kaum muslimin, berhak menerima nasehat. Nasehatilah bahwa perbuatannya menyelisihi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pantas dikerjakan, imbasnya akan banyak ditiru oleh manusia lantaran status ahli bait terpandang. Nasehati dengan kelembutan, maafkan apabila bersalah.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah ketika berada pada
hari-hari yang penuh cobaan, beliau dipukul dan diikat. Kemudian beliau dibawa
ke hadapan Khalifah Al-Watsiq. Al-Watsiq berkata : “Lepaskan ikatan tangan
Syaikh”. Tatkala ikatan telah terlepas, Imam Ahmad rahimahullah hendak
mengambilnya, Al-Watsiq pun bertanya : “mengapa engkau hendak mengambil ikatan
tali itu?”. Imam Ahmad rahimahullah menjawab : “Karena aku berniat untuk
berwasiat agar tali ikatan ini disatukan dalam kain kafanku, hingga aku bisa
menuntut balas pada hari kiamat atas perbuatan zholim kamu”. Imam Ahmad
rahimahullah menangis dan Al-Watsiq pun menangis sambil meminta agar
dihalalkan. Imam Ahmad rahimahullah menjawab : “Sungguh aku telah memaafkanmu
sejak hari pertama siksaan ini, demi memuliakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam karena kamu termasuk keturunan ahli baitnya!!” [Siyar A’lam An-Nubala
11/315]
6. Besholawat Kepada Mereka
Berdasarkan hadits Ka’ab bin Ujroh : Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam keluar menemui kami, dan kami pun bertanya kepadanya : “Kami
sudah mengetahui bagaimana mengucapkan salam kepadamu, sekarang bagaimana kami
bershalawat kepadamu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
Ucapkanlah.
اللَّهُـمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى
آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ
حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُـمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا
بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Artinya “Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad sebagaimana engkau telah bershalawat kepada Ibrahim, sesungguhnya
Engkau Maha terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah berkahilah Muhammad dan keluarga
Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkahi keluarga Ibrahim, sesungguhnya
Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia” [HR Bukhari : 4797, Muslim 4/126]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
“Demikian pula ahli bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai
hak-hak yang wajib dijaga. Sungguh Allah telah menjadikan bagi mereka hak dalam
seperlima harta ghonimah dan fa’i, dan telah memerintahkan kita untuk
bershalawat kepada mereka dan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Majmu
Fatawa 3/407]
C. Silsilah Muhammad SAW sampai Nabi Adam Alaihis Salam
Pengetahuan Nasab Rasulullah Saw yang harus kita tahui
1. Nasab hingga Adnan
Nasab atau silsilah pertama, yakni dari Nabi Muhammad SAW hingga
Adnan. Adapun urutannya adalah sebagai berikut.
Muhammad SAW bin Abdullah bin Abdul Muthallib bin Hasyim bin Abdu
Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr
bin Malik bin Nadr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Nabi Ilyas A.S
bin Mudlar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan.
2. Nasab hingga Nabi Ibrahim A.S
Nasab kedua, yakni dari Adnan hingga Nabi Ibrahim A.S. Ada pun
urutannya adalah sebagai berikut.
Adnan bin ‘Adad bin Humaisa’ bin Salaaman bin ‘Iwadh bin Buuz bin
Qimwal bin Abi Awwam bin Naasyid bin Hiza bin Buldas bin Yadhaf bin Thabiikh
bin Jaahim bin Naahisy bin Maakhi bin ‘Iid bin Abqor bin ‘Ubaid bin Addi’a bin
Hamdaan bin Sunbur bin Yatsribi bin Yahzan bin Yalhan bin Ar’awi bin ‘Iid bin
Disyaan bin ‘Aishar bin Afnaad bin Ayhaam bin Miqshar bin Naahits bin Zaarih
bin Sumay bin Mizzi bin Uudah bin ‘Uram bin Qoidzar bin Nabi Ismail A.S bin
Nabi Ibrahim A.S
3. Nasab hingga Nabi Adam A.S
Nasab terakhir, yakni silsilah hingga Nabi Adam A.S. Berikut
urutannya.
Nabi Ibrahim A.S bin Taarih (Aazar) bin Nnahuur bin Saaruu bin
Raa’uw bin Faalikh bin ‘Aabir bin Syaalikh bin Afkhasyad bin Sam bin Nabi Nuh
A.S bin Laamiik bin Mutwisylakh bin Nabi Idris A.S bin Yarid bin Mahlaaiil bin
Qoinaan bin Aanuusyah bin Nabi Syits A.S bin Nabi Adam A.S.
Bacaan
Artikel “Larangan Mengaku dan Mengingkari Nasab” Home > Ihram > RihlahKamis 18 Nov 2021 17:17 WIB Rep: Andrian Saputra/ Red: Agung Sasongko https://ihram.republika.co.id/berita/r2rgkc313/larangan-mengaku-dan-mengingkari-nasab-part1
Artikel “Adab Kepada Ahli Bait dan Haramnya Mengaku Ahli Bait Tanpa Hak” Oleh Ustadz Abu Abdillah Al-Atsari https://almanhaj.or.id/2293-adab-kepada-ahli-bait-dan-haramnya-mengaku-ahli-bait-tanpa-hak.html
Artikel “Larangan Mengaku dan Mengingkari Nasab” yakni
Pertalian
keluarga atau nasab memiliki kedudukan yang penting. Rep: Andrian Saputra/
Red: Agung Sasongko, https://ihram.republika.co.id/berita/r2rgkc313/larangan-mengaku-dan-mengingkari-nasab-part1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar