Minggu, 26 Desember 2021

Mengungkap Historis Datu Habib Lumpangi Abu Bakar Kec. Loksado

Oleh H.Hasan Basri bin M.Barsih Assegaf


1. Asal Usul Suku Dayak

Nama Dayak mulanya adalah sebutan untuk penduduk asli di Pulau Kalimantan. Suku Dayak, memiliki 405 sub-sub suku yang setiap sub sukunya memiliki adat, tradisi serta budaya yang hampir sama. Suku Dayak, merupakan suku yang berasal dari Kalimantan akan tetapi suku Dayak juga tersebar hingga ke Sabah dan Sarawak, Malaysia (Artikel Tradisi Suku Dayak & Asal-Usul Suku Dayak).

Menurut Artikel “Suku Dayak Berasal dari Kalimantan, Berikut Asal-usul dan Tradisinya” disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya, bahasa, adat, dan suku. Dari 300 kelompok etnik di Indonesia, Suku Dayak menjadi salah satu suku yang paling terkenal di Indonesia.Suku Dayak adalah kelompok penduduk asli di pulau Kalimantan, Indonesia. Mereka tersebar di lima provinsi Kalimantan, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara.
Dilansir dari laman Kemendikbud, Suku Dayak memiliki asal-usul keturunan dari imigran yang berasal dari Yunnan di China Selatan, tepatnya di Sungai Yang Tse Kiang, Sungai Mekong, dan Sungai Menan. Pada awalnya, kelompok ini bermigrasi menuju Semenanjung Malaysia, dan kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke bagian utara Pulau Kalimantan.

Asal usul nama suku Dayak adalah penjajah Belanda yang melakukan ekspansi di Kalimantan atau Borneo saat itu. Suku Dayak tinggal di daerah sungai di dalam hutan dan mereka mencari nafkah sebagai nelayan di hulu sungai.


Kelompok Etnis Suku Dayak
Suku Dayak yang berasal dari Kalimantan ini terdiri dari lebih dari 200 sub kelompok etnis yang sebagian besar tinggal di daerah aliran sungai atau pegunungan di bagian selatan dan tengah pulau Kalimantan.

Suku Dayak terbagi menjadi enam rumpun etnis utama, termasuk Rumpun Klemantan, Rumpun Murut, Rumpun Iban, Rumpun Apokayan, Rumpun Ot Danum-Ngaju, dan Rumpun Punan.

Rumpun Dayak Punan dianggap sebagai yang paling lama mendiami Kalimantan. Dari keenam rumpun ini, ada 405 sub-etnis suku Dayak yang memiliki karakteristik dan ciri khas yang berbeda-beda


2.Sekilas  Sejarah Kerajaan Dayak Maanyan "Nansarunai" Kalimantan Selata

Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 Masihi. Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu sekitar tahun 1520M (Suku Dayak).

Menurut Lindblad, bahwa  kata Dayak berasal dari kata “daya” dari bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. Suku Dayak adalah suku bangsa atau kelompok etnik yang mendiami pedalaman pulau Kalimantan.

Menurut pemerhati sejarah Mudjahidin. S (2010) Dari kisah orang dahulu hiduplah sekelompok suku Melayu Tua di pulau Kalimantan yang terdiri dari lima kelompok suku,ke-5 suku itu dipimpin masing-masing lima orang bersaudara, ke-5 suku tersebut sudah mempunyai sistem kepemimpinan bahwa yang muda taat pada yang tua. Kelima bersaudara tersebut bernama :

  1. Abal,
  2. Anyan,
  3. Aban,
  4. Anum,
  5. Aju,

Mereka ini sangat berilmu dan sakti, bijak dan berwibawa. Negeri yang mereka bangun tersebut diberinama Nan Marunai/dikenal kerajaan Nan Sarunai, yang artinya

  1. Marunai = memanggil dengan suara nyaring (keras belagu)
  2. Sarunai = menyaru dengan suara seperti suling.

Dahulu dinegeri ini jika memanggil orang (mengumpulkan orang) dengan berteriak (bahalulung : Banjar) keras suaranya berirama sesuai maksud panggilannya.

Nama Sarunai itu sendiri dimaknai dengan arti “sangat termasyhur”.Penamaan ini bisa jadi mengacu pada kemasyhuran Suku Dayak Maanyan pada masa silam, di mana mereka terkenal sebagai kaum pelaut yang tangguh, bahkan mampu berlayar hingga ke Madagaskar di Afrika.

Dari cerita suku Dayak Tua, bahwa kelima saudara ini titisan dari dewa Batara Babariang Langit, ia kawin dengan. Putri Mahuntup Bulang anak dari Batari Maluja Bulan dan melahirkan laki-laki an.Maanyamai, dan Maanyamai beristri putri Galuh dan istrinya melahirkan anak bernama Andung Prasap. Konon ia sangat sakti. Dan ia membangun Negeri Nan Marunai (Nan Sarunai) kemudian Andung Prasap beristri anak Raja menggaling Langit dan melahirkan kelima saudara tersebut di atas. Dari kelima saudara tersebut inilah cikal bakal suku-suku Dayak dari pulau Borneo  atau Kalimantan Timur, Tengah, Utara dan Selatan. Orang tua mereka menyuruh mereka berpencar mengembara, konon Abal ke daerah Timur, menjadi suku Aba, Anum ke daerah utara melahirkan suku Otdanum, Aju menetap ketengah benua, jadi suku Ngaju, sedangkan Anyan keselataan melahirkan suku Maanyan. Dan mereka tersebut diberi pitua :” Tabu/ dilarang bacakut papadaan apalagi bermusuhan, karena mereka satu daerah satu nyawa, menurut pitua Nenek Moyang mereka mengatakan (pitua) Terkutuk apabila Bakalahi sata manggungan.

Menurut Artikel "Sejarah persaudaraan dayak dan banjar" bahwa dari cerita silsilah keturunan dayak tersebut adalah suku Weddoid yang sudah eksis berabad-abad mendiami pulau Kalimantan.Adapun anak tertua yang ke-2 bernama Anyan bin Andung Prasap melahirkan suku Dayak Ma-Anyan. Ia punya 10 anak keturunan :

  1. Luwa,
  2. Pahi,
  3. Alai,
  4. Wangi,
  5. Sari,
  6.  Aju,
  7. Burai,
  8. Buun,
  9. Kutip,
  10. Asih

Dari kesepuluh anak ini orang suku Dayak menyebutkan cucu urang 10, kesepuluh cucu tersebut mereka membuka pemukiman /kampung di tempat yang berbeda sehingga ada warga Luwa di sepanjang Kalua sampai kemuara Uya, Ahe menjadi warga Ma-ahe Mahi, Alai di Birayang, wangi menjadi warga Mawangi di Padang Batung HSS, Sari menjadi warga/ Marga Sari di Tapin, Aju menjadi suku Biaju sampai ke Riam Kanan dan Riam Kiwa, Burai menjadi warga, Maburai, Buun menjadi warga Mabuun dan kampung di Warikin, Kutip menjadi warga-Makutip sedangkan Asih menjadi suku Ma-asih ke muara pulau (ujung panti) dan Sungai Baulak (sekarang sebelah Alalak)


3. Kerajaan Nan Sarunai meliputi Kahuripan dan Tanjung Puri adalah kerajaan yang sama 

Menurut mitologi suku Maanyan (suku tertua di Kalimantan Selatan), kerajaan pertama di Borneo Selatan adalah Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah Tabalong hingga ke daerah Pasir.

Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan tentang masa-masa keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebuah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini dan telah melakukan hubungan dengan pulau Madagaskar. Kerajaan ini mendapat serangan dari Majapahit. Sehingga sebagian rakyatnya menyingkir ke pedalaman (wilayah suku  Lawangan). Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang terletak di kota Amuntai. Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20). Menilik dari angka tahun dimaksud maka Kerajaan Nan Sarunai/Kerajaan Tabalong/Kerajaan Tanjungpuri usianya lebih tua 600 tahun dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur (Sahriansyah 2015).

Sementara itu menurut sumber kuat (arkeologis ) menyebutkan bahwa Kerajaan Tanjung Puri adalah kerajaan yang sama dengan Kerajaan Nan Sarunai di Kalimantan Selatan.

Kerajaan Nan Sarunai adalah sebuah kerajaan purba, pada masa keemasannya berdatanganlah Para imigran Melayu keturunan Sriwijaya ke tanah Borneo ini, mereka datang ke Tanjungpuri sekitar abad ke-4 M, mereka memiliki budaya lebih maju dari pada penduduk lokal atau suku Dayak pada saat itu, mereka yang menempati pemukiman yang berlokasi di daerah pesisir Sungai Tabalong

Semakin lama perkampungan yang mereka tempati semakin ramai dan kemudian berkembang menjadi sebuah kerajaan kecil bernama Tanjung Puri di bawah kekuasaan Kerajaan Nan Sarunai, 

Pada suatu saat, kota Tanjungpuri mulai berkembang pesat dan menjadi daerah perdagangan yang ramai, serta rakyatnya hidup dalam kemakmuran dan sejahtera.

Kerajaan Nan Sarunai adalah kerajaan purba di Kalimantan Selatan yang diyakini berdiri tahun 242 SM-1389M. Ia sebuah Kerajaan yang mempersatukan etnis Suku Dayak dan etnis Malayu di Kalimantan saat itu tetapi tidaklah banyak terixspots nama raja-rajanya yang berkuasa sebelumnya.

Sedangkan Kerajaan Tanjungpuri diyakini bawahan Nan Sarunai, kedua Kerajaan ini sangat rukun, berkelurga dan bersaudara dekat, bahkan tidak pernah ada permusuhan diantara kedua kerajaan tersebut. Walaupun kedua kerajaan tersebut berbeda keyakinan, tetapi tetap saling menghormati, menjaga, dan saling membantu. 

Referensi Artikel (KERAJAAN TANJUNGPURI DI TANJUNG TABALONG) Yuli Saputera 


4. Dayuhan dan Intingan Datunya Orang Banua Lima

Konon dipulau Borneo di daerah pesisir sungai Barito pada sekitar awal abad ke-13M (th.1200-1300M) hiduplah dua orang Pangeran bersaudara yang terpelajar dan berilmu dan dua orang pengiran ini bernama Datu Dayuhan dan Datu Intingan nama aslinya (Bambang Basiwara), keduanya masih keluarga dekat, sepupu sekali Raden Japutra Layar Raja Dayak Nan Sarunai. 

Menurut ceritra orang-orang Dayak pahuluan bahari bahwa Japutra Layar anak Raden Japatra Batu dan ia anak Raden Gupitra Dewa konon ia punya adik kandung bernama Raden Gupitra Bajawara (alias Datu Paluy) Datu Paluy ini anak dari Datu Sarawin. Dimasa mudanya Dayuhan dan Intingan adalah menjabat Patih dari 40 patih kerajaan Nan Sarunai. Bambang Basiwara dan anak-anaknya mengabdi di Kerajaan Tanjungpuri dan Dayuhan dan anak-anaknya mengabdi di Kerajaan Nan Sarunai. Dayuhan dimasa mudanya menikah dengan Dyang Nilam Baiduri anak pembesar Kerajaan Tanjungpuri menurunkan anak : Datu Angkin, Datu Angara, Datu Kumbang, Dara Kambang dan Datu Kantawan, kelima anaknya setelah dewasa menjadi orang terpelajar dan berilmu mereka mengabdi pada Raja Nan Sarunai. Sedangkan Datu Intingan dimasa mudanya menikah dengan Dyang Intan Baiduri (salah seorang Putri Imigran Melayu keturunan Sriwijaya). Hasil pernikahan keduanya menurunkan lima orang anak laki-laki : 

Datu Alai

Datu Tabalong

Datu Balangan

Datu Amandid

Datu Tapin

kelima bersaudara ini, mempunyai profisi dan keahlian berbeda sehingga tak mudah ditaklukkan lawannya. 

Dilansir dari Artikel “Datu Banua Lima, Panglima yang ditakuti Prajurit Majapahit” bahwa Nama Datu Banua Lima cukup dikenal warga Banjar di Kalimantan Selatan. Datu Banua Lima merupakan gelar bagi lima panglima Kerajaan Tanjungpuri yang terkenal sakti dan ditakuti kerajaan lain termasuk prajurit Majapahit pada awal abad ke 14 masehi. Berdasarkan hikayat Datu Banua Lima, kelima Panglima tersebut yang pertama bergelar Panglima Alai, merupakan ahli politik dan strategi perang. Kedua, Panglima Tabalong, yang terkenal gagah, kuat, pemberani, dan berjiwa ksatria. Ketiga, Panglima Balangan yang berwajah tampan, pintar, dan suka menuntut ilmu kanuragan. Sedangkan yang keempat dan kelima adalah si kembar yang bergelar Panglima Hamandit dan Panglima Tapin. Mereka berdua ini terkenal keras dan suka berkelahi. Kala itu Kerajaan Tanjungpuri berhubungan baik dengan Kerajaan Nan Serunai tetangganya. Walau berbeda keyakinan Kerajaan Tanjungpuri yang mayoritas pengikutnya beragama Buddha sedangkan Kerajaan Nan Sarunai pengikut ajaran Kaharingan. (Datu Dayuhan menjadi Kepala Suku Dayak pegunungan Maratus setelah Kerajaan Dayak Nan Sarunai dan bawahannya runtuh).  (Artikel “Datu Banua Lima, Panglima yang Ditakuti Prajurit Majapahit” 

 (rtikel “Datu Banua Lima, Panglima yang Ditakuti Prajurit Majapahit” diterbitkan SINDOnews.com pada Jum'at, 03 Juli 2015)


5. Ekspedisi militer Kerajaan Majapahit ke Kerajaan Dayak Maanyan Nan Sarunai

Menurut Sejarah tradisi lisan suku Dayak  bahwa Kerajaan Dayak Maanyan yang bernama Kerajaan Nan Sarunai, pernah berdiri di daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Amuntai. "Nan Sarunai diyakini berada di Amuntai, daerah yang terletak di pertemuan Sungai Negara, Sungai Tabalong, dan Sungai Balangan yang bemuara di Laut Jawa. Daerah itu berjarak sekira 190 kilometer dari Banjarmasin, ibukota Provinsi Kalimantan Selatan sekarang" (Raditya 2018)

.

a.Ekspedisi militer Pertama Kerajaan Majapahit

Sejarah menyebutkan bahwa Kerajaan Dayak Maanyan yang bernama Kerajaan Nan Sarunai, berdiri dan bertahan berabad-abad di Kabupaten Hulu Sungai Utara Amuntai. "Nan Sarunai diyakini berada di Amuntai, terletak di pertemuan Sungai Negara, Sungai Tabalong, dan Sungai Balangan yang bemuara di Laut Jawa. Nan Sarunai adalah kerajaan Dayak yang kuat dan hebat dan rakyatnya makmur. Buktinya dua kali pasukan Majapahit menyerang kerajaan Nan Sarunai tetapi selalu dapat dipatahkan.

Menurut hikayat Datu Banua Lima bahwa Tahun 1309 M Kerajaan Dayak Nan Sarunai dipimpin raja bernama Raden Japutra Layar, Menurut ceritra orang-orang Dayak pahuluan bahari bahwa Japutra Layar anak Raden Japatra Batu dan ia anak Raden Gupitra Dewa konon ia punya adik kandung bernama Raden Gupitra Bajawara (alias Datu Paluy anak dari Datu Sarawin. Datu Sarawin diperkirakan hidup akhir abad ke-12 Masihi) ia seorang raja Nan Sarunai dan ia kakeknya Datu Dayuhan. 

Seorang Raja yang dalam waktu satu genarasi masa memimpin kerajaannya berkisar antara 35-40 tahun baru digantikan oleh penerusnya kerajaan ini yang bertakhta  di Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan saat itu. Kemudian penerus Kerajaan Dayak Nan Sarunai dipimpin oleh Raden Neno antara 1339-1341.yaitu anak Raden Japutra Layar.

Menurut Sri Naida, pemerhati sejarah mengatakan bahwa "walau Kerajaan Nansarunai itu dianggap lenyap, toh eksistensi Dayak Maanyan itu tetap ada. Terbukti, dengan adanya 7 uria (petinggi Kerajaan Nansarunai) dan 40 patih yang akhirnya membentuk suku-suku yang ada di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah"

Diceritrakan bahwa Kerajaan Majapahit mengirim ekspedisi militer pertama ke wilayah Borneo. Yang mula-mula diserang adalah Kerajaan Nan Sarunai. Sekitar 5.000 pasukan Majapahit datang dengan kapal-kapal laut melewati Sungai Barito yang dipimpin oleh Senopati Arya Manggala. Dengan membawa pasukan yang sangat banyak tersebut, lalu pasukan Kerajaan Nan Sarunai dengan gagah berani menyambut kedatangan serangan mereka dengan pasukan yang sudah matang dipersiapkan sebelumnya. Lalu terjadilah peperangan sengit antara dua kobo kerajaan ini.

Setelah dua hari bertempur dimedan laga menghadapi pasukan Nansarunai yang tangguh dan kuat, akhirnya pasukan Majapahit mampu dipukul mundur oleh pasukan Nan Sarunai yang dipimpin Datu Panglima Angkin tarkanal sakti (anak Datu Dayuhan), bahkan pemimpin pasukan Majapahit ketika itu yaitu Senopati Arya Manggala roboh bersimbah darah dengan liher putus akibat terkena sebitan Mandaunya senjata asli Suku Dayak. Mengetahui pemimpin pasukannya tewas lalu sisa-sisa pasukan Majapahit lari terbirit-birit tunggang langgang menuju kapal untuk menyelamatkan diri dari gempuran dan kejaran pasukan Nan Sarunai dan akhirnya  mereka pulang ke tanah Jawa. Kerajaan Majapahit gagal dalam ekspedisi pertama ini, untuk menaklukan Kerajaan Nan Sarunai.

Referensi (Artikel “Datu Banua Lima, Panglima yang Ditakuti Prajurit Majapahit” diterbitkan SINDOnews.com pada Jum'at, 03 Juli 2015)

Diceritrakan pula bahwa dimasa kerajaan Dayak Nansarunai ini pula menurut Hikayat Datu Banua Lima ada seorang panglima kerajaan berasal dari suku Dayak Alai yang terkenal dengan sebutan Panglima Alai. Bersama lima panglima lainnya yaitu Panglima Tabalong, Panglima Balangan, Panglima Hamandit dan Panglima Tapin sukses menghalau serangan kerajaan Majapahit pada tahun 1356M.

Dilansir dari Artikel “Datu Banua Lima, Panglima yang Ditakuti Prajurit Majapahit” bahwa Pada saat itu, Kerajaan Majapahit sangat berambisi untuk menguasai nusantara termasuk tanah Borneo, Kalimantan. Hal itu terjadi karena Maha Patih Gajah Mada sudah bersumpah untuk menguasai dan menyatukan nusantara. Menurut mata-mata Majapahit ada yang mengatakan bahwa kedua kerajaan di Borneo tersebut adalah rakyatnya sangat makmur karena istananya berlapiskan emas. Mendengar hal itu, Prabu Hayam Wuruk, Raja Majapahit begitu berambisi untuk menguasai kedua buah kerajaan tersebut,


b. Ekspedisi militer Kedua Kerajaan Majapahit

Setelah gagal dalam ekspedisi pertama, Majapahit kembali mengirim ekpedisi militer kedua. Ekspedisi kedua kali ini dipimpin langsung Laksamana Nala yang diikuti isterinya dengan membawa dua kali lipat pasukan dari ekspedisi pertama. Dalam rombongan pasukan besar ini terdapat juga pasukan khusus Majapahit yang terkenal yaitu pasukan Bhayangkara. Pada ekspedisi kedua ini pasukan Majapahit belum berhasil menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai

Diceritrakan pula bahwa dimasa awal Raden Anyan memimpin kerajaan Dayak Nansarunai menggantian ayahnya Raden Neno. menurut Hikayat Datu Banua Lima ada seorang panglima kerajaan berasal dari suku Dayak Alai yang terkenal dengan sebutan Panglima Alai. Bersama lima panglima lainnya yaitu Panglima Tabalong, Panglima Balangan, Panglima Hamandit dan Panglima Tapin dengan membawa 1000 orang pasukan mereka sukses menghalau serangan kerajaan Majapahit pada tahun 1356M. . Laksamana Nala pulang ke tanah Jawa dengan sengaja ia meninggalkan isterinya Damayanti (Samoni Batu nama samaranya) di wilayah /tempat kekuasaan musuhnya tujuannya untuk mengetahui kelemahan musuhnya dengan alasan kapal tidak dapat merapat kepantai karena terjadi musim kemarau saat itu. Beberapa tahun kemudian musim kemarau telah berakhir menyamar  sebagai  saudagar Pedagabg kaya berlabuh di sungai Barito Laksamana Nala menjemput isterinya yang sedang menggendung seorang anak. Disinilah awal bermula timbul rasa .dendam Laksamana Nala dengan Raja Nansarunai karena ia menikahi & menghamili Samoni Batu yang sudah bersuami dan lewat keterangan isterinya tersebut ia mengetahui sumur gua tempat persembunyiannya dan rahasia kelemahan musuhnya.

Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 Masihi. Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu sekitar tahun 1520M (Suku Dayak)

Kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan tersebut yang berlokasi di Kabupaten Hulu Sungai Utara Amuntai. Nansarunai diyakini berada di Amuntai, daerah yang terletak di pertemuan Sungai Negara, Sungai Tabalong, dan Sungai Balangan yang bemuara di Laut Jawa. Akibat serangan Majapahit  itu yang terjadi diakhir abad ke-14 Masihi suku Dayak Maanyan tersebut terdesak dan terpencar, sebagian masuk ke pedalaman-pedalaman hulu sungai.


c.Ekspedisi militer Ketiga Kerajaan Majapahit

Pada 1389 M. Majapahit kembali mengirim ekpedisi militer ketiga Ekspedisi ini dipimpin langsung Laksamana Empu Jatmika dan diikuti Laksamana Nala. Pada ekspedisi ketiga ini pasukan Majapahit melakukan siasat perang yakni penyusupan-penyusupan dari dalam yang tidak disadari lawannya, berupa memasukan kapal yang datang ke darmaga pelabuhan secara bertahap, di wilayah Kerajaan Nan Sarunai, hingga tak dicurigai lawan, mereka menyamar sebagai saudagar pedagang kaya yang banyak pelayannya untuk mengetahui kelemahan lawan, penyamaran ini dilakukan dalam waktu yang lama hingga kelemahan lawan ditemukan. Kemudian baru mengadakan serangan secara tiba-tiba hingga berhasil menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai, bahkan serangan ketiga tersebut Raja Nan Sarunai yang bergelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas yang terkenal konon sakti mandarguna tetapi ia diduga gugur dalam konvirasi peperangan. Peristiwa runtuhnya Kerajaan Nan Sarunai yang oleh orang-orang dayak Maanyan dikenal dengan istilah “Nan Sarunai Usak Jawa”. Konon atas petunjuk isterinya, diduga Raja Nan Sarunai terbunuh dengan sebuah tombak sakti miliknya sendiri yang dilakukan oleh Laksamana Nala di dalam sebuah sumur gua tempat persembunyiannya. Versi lain menyebutkan bahwa yang ditangkap dan dibunuh dengan sebuah tombak sakti itu adalah Raksa Gangsa pengawal setia Raden Ayan (adik kandung istrinya) sedangkan Raden Ayan sendiri selamat dari konvirasi penangkapan dan pembunuhan saat itu ia melarikan diri menuju Banua Lawas Amuntai dan bersembunyi disana hingga akhir hayatnya. Sedangkan Ratu Kerajaan Nan Sarunai yang bergelar Dara Gangsa Tulen dan sebagian keluarganya lari menyelamatkan diri menuju pedalaman dibantu dua orang Punggawany

Akibat serangan Kerajaan Majapahit tersebut, maka Kerajaan Nan Sarunai yang dipimpin oleh Raden Anyan yang menyandang gelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas disebut-sebut sebagai raja terakhir Nan Sarunai saat itu telah dihancurkan dan ditaklukan  Maka suku  Dayak Maanyan  tersebut  terdesak dan terpencar atau tercerai berai atau lari ke pedalaman. Sebagian mereka masuk ke pedalaman hulu sungai

Ada tiga ekspedisi militer dilakoni Kerajaan Majapahit dalam misi menaklukkan Kerajaan Nansarunai.  Hingga terlebih menyusufkan tentara-tentaranya sebagai buruh kapal perdagangan dalam masa berbulan-bulan hingga bertahun tahun untuk mengetahui kelemahan Nansarunai. Penetrasi atau penyerangan III terjadi pada tahun-1389, di masa Raja IV Majapahit bernama Sri Hayam Wuruk atau Rajasanagara yang berkuasa pada 1350-1389, dengan Maha Patih Gajah Mada (yang wafat pada 1362), serangan yang ke-3 inilah terbilang sukses.

Atas perintah Hayam Wuruk, pasukan Majapahit pimpinan Empu Jatmika menyerang Nan Sarunai hingga takluk.  Kemudian, Empu Jatmika membangun kerajaan baru bernama Negara Dipa yang bernaung di bawah kekuasaan Majapahit dan menganut agama Hindu. 


6.  Dua orang Punggawa penyelamat Ratu Nansarunai dan keluarganya

Menurut Ahmad dan Ceritra datu nenek kami bahwa “Amandit dan saudara sepupunya Kantawan adalah nama dua orang Punggawa Kerajaan Nansarunai yang sakti dari Dayak Maanyan yang ditugaskan menyelamatkan Dara Gangsa Tolen Ratu Nansarunai  Dara Gangsa Tulen dan keluarganya dari kejaran-kejaran tentara Majapahit. Punggawa Amandit membawa mereka lewat tanah kelahirannya lumpangi hingga perjalanan sampai ke- Desa Peramasan Atas Kab. Banjar. Nah di Desa inilah terdapat sebuah nama bukit /gunung bernma Panginangan Ratu dan makam Ratunya ada disana.”..

Menurut Ahmad atau Amat yang saya wawancarai, ia asal dayak Bayumbung yang sudah muslim ceritera dari datuk-neneknya bahwa "Saat penyerangan tentara Maja Pahit yang ke-3 ke Kalimantan Selatan tahun 1389M Ratu Dayak Nansarunai juga ikut lari/mengungsi bersama sebagian rakyatnya menyelamatkan diri ke daerah pedalaman dibantu Pengawal setianya yang bernama Raksajiwa,adik kandungnya sendiri hingga perjalanan mereka tiba di Paramasan dan bersembunyi di sana. Beliau telah wafat dan bermakam di Pramasan Atas Kecamatan Paramasan dan makamnya Ratu Dara Gangsa Tulen masih ada malah diberi lelangit kain kuning oleh Masyarakat Dayak disana".

Menurut ceritra masyarakat setempat bahwa Pada masa menyelamatkan Dara Gangsa Tolen  Ratu Nansarunai  dan keluarganya perjalanan yang dipandu Dua orang Punggawa Kerajaan Nansarunai yakni Amandit dan Kantawan, mereka singgah di Kandangan beberapa waktu untuk bersembunyi dan beristirahat melepaskan lelah di dalam sebuah “Gua ” maka Gua tempat beristirahat Ratu Nansarunai tersebut diberi nama oleh masyarakat setempat dengan nama “Gua Peranginan Ratu” gua tersebut menjadi Objekwisata terletak digunung Parandakan sekarang menjadi wilayah Kec. Lokpaikat.

Menurut Asmaji Kades Paramasan Bawah yang saya wawancarai saat pernikahan sepupunya an. Yusran di Desa Bamban bahwa "Kuburan Ratu Nansarunai terletak di Desa Paramasan Atas dan Kuburannya itu sudah dibina oleh Pemerintah Kab. Banjar."


7. Sekilas Sejarah berdirinya Balai Adat "Balai Ulin Lumpangi" Kecamatan Loksado

Kurang lebih 150 tahun atau satu setengah abad kemudian setelah kekalahan generasi pertama Penduduk kerajaan Nan Saruna dari serangan Majapahit hingga generasi ke-4, ke-5 dan ke-6 dalam perjalanan atau hijerah sebahagianya ada yang sampai ke desa Lumpangi. Loksado. Nah di Desa Lumpangi inilah pernah berdiri diperkirakan tahun 1552 pertengahan abad ke-16 sebuah Balai Adat.

Menurut folklor ceritra datu nenek kami kalau dihitung dari runtuhnya kerajaan Nan Sarunai bahwa diperkirakan generasi ke-8, ke-9 dan ke-10 pancaran Suku Dayak Maanyan mereka sudah lama berdomisili  di Desa Lumpangi Loksado, mereka membangun kembali Balai Adat yang perabut bangunan utamanya dari kayu Ulin. Kayu Ulin tersebut ditebang dan diolah (ditarah) dengan kapak Baliung atau Balayung. Peralatan lainnya seperti parang.Bungkul, Mandau untuk mengkayau /perang, tumbak dan Sumpit untuk berburu binatang liar. Kayu-kayu tersebut diambil dan dibawa dari Hulu Banyu Loksado dengan  rakit bambu /lanting.

Salah satu yang menjadi tradisi adat Dayak dalam membangun rumah/balai adat bahwa "muka rumah/ balai adat selalu menghadap kearah matahari terbit, tak terkecuali Balai Adat "Balai Ulin" itu mukanya juga mengadap kearah matahari terbit, dan balai itu dihuni oleh 7-10 kepala keluarga. Orang Dayak menjunjung tinggi semangat rasa kebersamaan dan mereka memiliki dapur masing-masing. Balai Adat berbentuk panggung dengan ukuran panjangnya diperkirakan 35-50 meter dan lebar 10-12 meter dan tinggi lantai dari permukaan tanah 2 setengah hingga 3 meter dan 7 anak tangga kecil untuk menolak Hantu kepala terbang. Tangga itu hanya dilewati 1 orang lebar kurang lebih 50cm.

Pada pertengahan abad ke-17 Masihi Balai Adat "Balai Ulin" Lumpangi Loksado direhap total oleh Regenerasi suku Dayak. Sekitar tahun 1700 Masihi akhir abad ke-17 Balai Adat tersebut dipimpin oleh seorang Kepala Suku Dayak atau Tetuha atau Penghulu Adat bernama Langara, ia punya adik kandung bernama Ulang. Dayak Ulang ini punya anak bernama Bumbuyanin dan Bayumbung,  sedangkan Dayak Langara menurut sumber data punya 3 anak pertama bernama Talib dan kedua bernama Anjah dan ketiga bernama Aluh Milah.

Mengungkap sebahagian tradisi atau adat atau keberadaan suku dayak Langara (pancaran suku dayak Maanyan) dengan Balai Adatnya menurut tradisi lisan orang-orang Lumpangi bernama "Balai Ulin" waktu bahari (tempo dulu), Balai Adat Dayak tersebut telah berdiri diperkirakan tahun 1552 M di Desa Lumpangi. Mereka Para penghuninya dan masyarakat sekitarnya menemukan hidayah Islam pada masa Sultan Banjar yang ke-10 yaitu Raja Tahmidullah I tahun 1700-1717 Masihi. Peristiwa itu teradi di tiga abad yang silam.di awal abad ke-18 Masihi. Islam sudah masuk ke Lumpangi sejak tahun 1705-1759M, lewat perdagangan dan perkawnan Khadratu Syekh al Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf.

Berkata Kayi Sepuh Lumpangi Sayyid Husni bin Nanang Kardji Assegaf : "Rumah Adat atau Balai Adat yang bernama  Balai Ulin itu dibuat oleh Datu Nenek kami dari kayu Ulin, oleh karenanya dinamai Balai Ulin, begitu juga kampungnya dinamai juga kampung Balai Ulin".  Menurur Habib Bahriansyah bin Bahur Assegaf "Balai Adat Balai Ulin itu tiang-tiangnya kayu ulin sebatangan".

Orang-orang Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara menyebut nama istilah Balai adalah Surau atau Langgar, milik orang-orang muslim, akan tetapi di Hulu Sungai Selatan istilah Balai adalah Rumah Adat khusus milik orang Dayak

Hal senada yang dikemukakan oleh Kayi Usman bin Kayi Juhri  usia 76 tahun ketika kami temuai dan wawancarai dikediamannya di Desa Lumpangi bahwa" Sejak dahulu tempat lokasi makam Habaib itu dinamai kampung Balai Ulin karena disana Datu Nenek kita pernah tinggal".


8. Tradisi Suku Dayak Pegunungan Meratus

Dilansir dari berbagai sumber, bahwa suku Dayak memiliki berbagai tradisi unik, tetapi tradisi ini ditinggalkan oleh Dayak Maratus dan dibatalkan dimasa keberadaan Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf dan anak cucunya kecuaali tradisi Tarian Gantar (batandik),. Beberapa tradisi yang ditinggalkan di antaranya meliputi:

1.     1. Tradisi memuliakan Tamu Nginap

Salah satu tradisi/adat Dayak ketika itu, bagi Tamu Nginap untuk kaum laki-laki lajang diperbolehkan tidur satu kamar/ satu kelambu dengan wanita lajang puteri dari Tetuha Adat. Bila tidak punya anak gadis maka isterinya yang menemani tidur tamunya. (kalua tamunya sudah beristeri maka ia tidur satu kamar dengan isteri sahabatnya) sebagai bentuk penghormatan terhadap tamu atau sahabat, tak terkecuali dengan Habib, beliau tidur ditemani oleh Aluh Milah sepanjang malam, tetapi pagar ayu puteri Milah tetap terjaga dengan baik. Habib tidak mau mengganggu dan apalagi mempermainkan puteri Milah.

Adat Dayak adalah sangat meghormati dan memulikan tamu, Puteri Milah adalah seorang gadis Dayak yang lemah lembut, ia seorang gadis ramah dan homoris dan sulit untuk dilupakan.

Hal semacam ini dikuatkan oleh ceritera teman saya, dia seorang Serjana dibidang agama Islam. Dia berceritera kepada saya bahwa tamu laki-laki lajang yang nginap di rumah suku Dayak, ia diperbolehkan tidur satu kamar atau satu kelambu dengan wanita lajang anak Dayak sebagai bentuk penghormatan tuan rumah. Tradisi atau Adat Dayak tersebut masih berlaku hingga sekarang tahun 2020 disebagian suku Dayak Kalimantan.

Temannya berceritera bahwa ketika ia berada dipedalaman pulau Kalimantan tahun 2020, bekerja sebagai penebang pohon kayu jenis Meranti dan Ulin. Ia mulai bersahabat baik dan akrab dengan suku Dayak penduduk asli. Sahabatnya mengajaknya menginaf dirumahnya. Di rumah sahabatnya ini ia menginaf, makan, minum dan cuci pakaian. Ketika malam hari ia ingin tidur di salah satu ruangan, ia disuruh sahabat barunya tidur satu kelambu dengan anak perempuannya yang gadis lajang. Kemudian iapun tidur dengannya tetapi ia tidak berani mencumbu rayu, dan juga ia tidak mau merusak pagar ayu dan menggagahi anak perempuan sahabatnya.


2. Tradisi Kuping Panjang

Telingaan Aruu adalah tradisi adat Suku Dayak dengan cara memanjangan telinga. Untuk memanjangkan daun telinga, mereka menggunakan anting-anting berbentuk gelang yang terbuat dari tembaga. Anting-anting berukuran besar tersebut dalam bahasa kenyah disebut belaong.h

Di Kalimantan Timur, perempuan Dayak memiliki tradisi unik memanjangkan telinga mereka. Keyakinan di balik tradisi ini adalah bahwa telinga yang panjang membuat perempuan terlihat semakin cantik.

Selain untuk aspek kecantikan, memanjangkan telinga juga memiliki nilai simbolis dalam menunjukkan status kebangsawanan dan melatih kesabaran.

Proses memanjangkan telinga melibatkan penggunaan logam sebagai pemberat yang ditempatkan di bawah telinga atau digunakan untuk anting-anting.

Perempuan Dayak diperbolehkan memanjangkan telinga hingga dada, sementara laki-laki bisa memanjangkan telinga hingga bawah dagu.

 

3. Tradisi Tato

Tato atau rajah adalah simbol kekuatan, hubungan dengan Tuhan, dan perjalanan kehidupan bagi suku Dayak. Tradisi tato ini masih dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan Dayak.

Proses pembuatan tato terkenal karena masih menggunakan peralatan sederhana, di mana orang yang akan ditato akan menggigit kain sebagai pereda sakit, dan tubuhnya akan dipahat menggunakan alat tradisional.

Setiap gambar tato memiliki makna khusus, misalnya tato bunga terong menandakan kedewasaan bagi laki-laki, sementara perempuan mendapatkan tato Tedak Kassa di kaki untuk menandakan kedewasaan mereka.

Dalam konteks sejarah, dikatakan bahwa suku Dayak Iban menggunakan tato ini selama peperangan untuk membedakan antara teman dan musuh.

 

4. Tradisi Tiwah

Kwangkey atau Kuangkay ialah upacara kematian yang dilakukan Suku Dyaka Benuaq yang tingga di pedalaman Kalimantan Timur. Tradisi ini berasal dari kata ke dan angkey, artinya adalah melakukan atau melaksanakan dan bangkai.

Menurut istilah bahasa daerah setempat, Kwangkey mempunyai makna buang bangkai. Maknay yang ingin disampaikan adalah melepaskan diri dari kedukaan dan mengakhiri masa berkabung

Tiwah adalah upacara pemakaman masyarakat Dayak Ngaju yang melibatkan pembakaran tulang belulang kerabat yang telah meninggal.

Tradisi ini dilakukan sesuai dengan kepercayaan Kaharingan dan dipercaya membantu arwah orang yang meninggal untuk menuju dunia akhirat atau disebut juga dengan nama Lewu Tatau.

Selama pelaksanaan Tiwah, keluarga yang ditinggalkan akan menari dan bernyanyi sambil mengelilingi jenazah.

Proses pembakaran tulang belulang jenazah dilakukan secara simbolis, sehingga tidak semua tulang jenazah ikut dibakar dalam upacara Tiwah.

Tradisi suku Dayak ke-4 ialah Tiwah yang upacara pemakaman yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Ngaju. Dalam upacara ini,  mereka akan membakar tulang belulang dari kerabat yang telah meninggal dunia. Menurut kepercayaan Kaharingan, tradisi Dayah Tiwah, dipercaya mampu mengantarkan arwah dari orang yang telah meninggal agar mudah menuju dunia akhirat atau disebut pula dengan nama Lewu Tatau. Ketika melaksanakan tradisi Tiwah, biasanya keluarga yang ditinggalkan akan menari dan bernyanyi sambil mengelilingi jenazah. Proses pembakaran tulang belulang jenazah hanya dilakukan secara simbolis sehingga tidak semua tulang jenazah akan ikut dibakar dalam upacara Tiwah.

Tradisi Penguburan

Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan:

  1. penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat 
  2. penguburan di dalam peti batu (dolme
  3. penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.

Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni:

  1. dikubur dalam tanah
  2. diletakkan di pohon besar
  3. dikremasi dalam upacara tiwah

Prosesi penguburan sekunder

1Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.

  1. 2jambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
  2. 3Marabia
  3. 4Mambatur (Dayak Maanyan)


5. Tradisi Ngayau

Tradisi berburu kepala ini, yang pernah ada tetapi sekarang sudah dihentikan, melibatkan pemburuan kepala musuh oleh beberapa rumpun Dayak, seperti Ngaju, Iban, dan Kenyah.

Tradisi ini penuh dendam turun-temurun sebab anak akan memburu keluarga pembunuh ayah mereka dan membawa kepala musuh ke rumah. Ngayau juga menjadi syarat agar pemuda Dayak bisa menikahi gadis yang mereka pilih.

Pemuda Dayak diwajibkan untuk berpartisipasi dalam tradisi berburu kepala sebagai cara untuk membuktikan kemampuannya dalam memuliakan keluarganya dan meraih gelar Bujang Berani.

Larangan terhadap tradisi ini dihasilkan dari musyawarah Tumbang Anoi pada tahun 1874, yang bertujuan menghindari perselisihan di antara suku Dayak.

Ke-5 tradisi tersebut sudah ditinggalkan oleh Dayak Maratus dan dibatalkan dimasa keberadaan Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf dan anak cucunya kecuaali tradisi Tarian Gantar

6. Manajah antang

Tradisi dari suku Dayak selanjutnya ialah manjah antang, tradisi ini merupakan suatu ritual untuk mencari di mana musuh berada ketika berperang. Menurut cerita masyarakat Dayak, ritual manajah antang merupakan ritual pemanggilan roh leluhur dengan burung Antang, di mana burung tersebut dipercaya mampu memberitahukan lokasi musuh. Selain dipakai ketika berperang, tradisi manajah antang pun dipakai untuk mencari petunjuk-petunjuk lainnya.

 

7. Mantat Tu’Mate

Seperti halnya Tiwah, tradisi mantat tu’mate merupakan tradisi untuk mengantarkan orang yang baru saja meninggal dunia. Namun mantat tu’mate berbeda dengan Tiwah. Sebab, mantat tu’mate dilakukan selama tujuh hari dengan konten acara iring-iringan musik serta tari tradisional. Setelah upacara selama tujuh hari selesai, barulah jenazah kemudian akan dimakamkan

Ket. Referinsi No. 6-7 Artikel Tradisi Suku Dayak & Asal-Usul Suku Dayak

8. Tari Gantar

Tari Gantar adalah salah satu tarian khas Suku Dyak. Tarian ini adalah tari pergaulan muda-mudi Suku Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung di Kabupaten Kutai Barat.

Tarian Gantar mengekspresika kegembiraan serta keramahan dalam menyambut tamu, baik wisatawan atau tamu kehormatan. Tari ini juga berfungis untuk menyambut pahlawan dari medan perang. Ada tiga jenis tarian Gantar, yakni Gantar Rayat, Gantar Busai, dan Gantar Senak dan Kusa


9. Balai Ulin pernah Simpan Biji Padi Sebesar Kelapa pipikat Keramat

Diceritakan bahwa dahulu kala Balai Adat Balai Ulin sewaktu dipimpin oleh seorang Kepala Suku Dayak atau Kepala Balai atau Penghulu Adat yang bernama Langara, mereka pernah memiliki dan menyimpan peninggalan benda prasejarah, berupa tiga buah biji banih seukuran kelapa yang dinamakan “Banih kelapa atau Banih Nyiur”.yang diletakan ditengah-tengah Kindai Banih dirungan tengah Balai.yang dijadikan sebagai “Ajimat pipikat sakti”.menurut kepercayaan orang Dayak bahwa Banih Nyiur itulah yang memanggil ruh-ruh kawannya /membawai nyawa kawannya sehingga Kindai Banih tidak pernah kosong atau habis. Dengan ikhtiar Pemiliknya bahuma yang luas dan hasilnya selalu melimpah. Konon masa itu benda-benda banyak yang berukuran jumbo.

Orang-orang dahulu kalau ingin memasak nasi dari banih kelapa itu,  maka banih itu dipipiki satu persatu dari tangkainya dan ditaruh dalam lasung kayu baru ditumbuk dengan Halu hingga lanik dan ditampi dengan nyiru dahulu baru beras itu dimasak.

Dan dari ketiga buah biji padi tersebut atas permintaan Dayak Ulang kepada kakaknya Langara, bahwa ia dan keluarganya saja yang memeliharanya, maka buah biji Banih itu masing-masing dibawa Dayak Pang Ulang satu biji padi ke desa Ulang, dan dibawa Dayak Bumbuyanin (Pang Yanin) ke kampong Pantai Dusin Hulu Banyu satu biji padi dan juga satu biji padi dibawa Dayak Bayumbung (Pang Yumbung) ke kampong Harantan Hilir Banyu saat Balai Adat bubar.  Namun masyarakat sekarang tetap percaya bahwa beras yang kecil saat ini, dahulunya adalah beras besar tersebut. Walaupun sudah tidak ada lagi bukti – fakta sejarah tersebut sampai saat ini, namun masih banyak masyarakat yang mempercayainya Walaupun benda yang tinggal tiga biji tersebut sudah musnah, akibat musibah banjir dan kebakaran balai Adat.


10. Adanya upaya Mengkaburkan /Menghilangan  Fakta Sejarah

Adanya upaya Mengkaburkan /Menghilangan  Fakta Sejarah  Balai Adat "Balai Ulin Lumpangi" Kecamatan Loksado yang dilakukan oleh orang yang berkepentingan dan  sebagian anggota Rabitah Alawiyah Kab. Hulu Sungai Selatan. antara lain  :

  1. Penguasaan makam dipegang oleh orang yang bukan ahli warisnya
  2. Menghalang-halangi ahli warisnya yang sah untuk membina makam datu neneknya tanpa ada dasarnya
  3. Mengajak masyarakat untuk membenci atau tidak mengakui makam datu nenek mereka yang dibina ahli warisnya. 
  4. Misalnya bunyi Artikel  yang saya kutip beritikut  :

Habib Abu Bakar bin Habib Hasan bin Hasyim bin Muhammad Assegaf atau yang lebih di kenal dengan nama Habib Lumpangi adalah salah satu ulama berpengaruh dalam penyebaran agama Islam di Hulu Sungai Selatan. Nama Habib Lumpangi diperoleh karena beliau mensyi’arkan, menyebarkan, dan mengajarkan agama Islam atau berdakwah di Lumpangi, tepatnya di KM.21 kampung Pantai Ulin (dulu Balai Ulin), desa Lumpangi, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Mursyid 2017).

Artikel ini ditulis adanya upaya mengkaburkan /Menghilangan  Fakta Sejarah nama lokasi Balai Adat "Balai Ulin Lumpangi" Kecamatan Loksado sehingga anak-anak muda  sekarng mereka tidak mengenal sejarah Balai Adat Dayak "Balai Ulin” yang pernah berdiri di desa Lumpangi

Sekitar bulan September 2021 Penulis diberitahu lewat grof WA tentang sebuah artikel Biografi Sayyid Abu Bakar bin Sayyid Hasan Assegaf yang ditulis tahun 2017 oleh Saadil Mursyid. Sebuah Artikel yang sangat berharga dan bagus dan belum ada ditemukan orang yang menulis sebelumnya. Terima kasih sang Penulis namun Kami Keluarga Besar Datu Tanqir salah satu Ahli Waris Makam Habaib sangat kecewa tentang penulisan Pantai Ulin (dulu Balai Ulin) dan tahun wafatnya Syekh. Tulisan kampung Pantai Ulin ini akan menghilangkan fakta sejarah Makam itu sendiri. 

Saya menulis bebarapa Artikel tujuannya untuk menjelaskan kepada sebagian   masyarakat tentang peristiwa yang dialami Datu dan Datung kami dimasa lalu atau bahari di Desa Lumpangi Loksado. Salah satu Artikel dimaksud mengungkap tentang "Sebahagian tradisi keberadaan suku Dayak Langara pancaran suku Dayak Maanyan dengan nama Balai Adatnya  "BALAI ULIN" di desa Lumpangi tempu dulu pertengahan abad ke-17 Balai itu berdiri. Mereka menemukan hidayah Islam tiga abad yang silam melalui perdagangan dan perkawinan Syekh Habib Abu Bakar Assegaf.

Orang-orang sesudah masa kita, tentu akan beranggapan bahwa lokasi pantai pemakaman Habaib datu kita ini dan tanah sekitarnya dulunya banyak tumbuh kayu Ulin. Argumen itu tidaklah benar. Faktanya sekitar lokasi pantai pemakaman Habaib datu kami ini dan tanah sekitarnya belum ditemukan kayu Ulin atau anak kayu Ulin yang hidup tahun 1970 an hingga tahun 1980 an. Sekarangpun belum ada masyarakat yang menemukan punggur-punggur Ulin atau batang Ulin yang terpendam dalam tanah untuk dijadikan tungkat atau kursen. Oleh karenanya rasanya belum tepat kalau lokasi pantai pemakaman Habaib datu kami ini dan tanah sekitarnya dinamakan kampung Pantai Ulin. Nama tersebut akan menghilangkan fakta sejarah kampung Balai Ulin Desa Lompangi itu sendiri.

  

7.Keadaan fisik Datu Habib Lumpangi adalah berperawakan tinggi besar,

Pedagang-pedagang Arab pada abad 16 hingga 17 M sejak kesultanan Banjar dipimpin oleh seorang muslim, berdatanganlah para pendatang ke wilayah ini disamping untuk berdagang mencari rempah-rempah misi penting lain juga tidak terlewatkan untuk berdakwah (Gafur 2009).

Keluarga Assegaf yang ada di Taniran dan Habaib yang ada di Lumpangi ini mayoritasnya  berasal dari satu rumpun marga Assegaf ash-Shufy (ash-Shafy). Yang pertama kali menyandang marga ini adalah waliyullah Habib Umar ash-Shafy yakni turunan nasab Nabi Saw yang ke-26.

Disebutkan orang bahwa keadaan fisik ayahnya Datu Habib Lumpangi masa mudanya yakni Habib Abu Bakar bin Hasan adalah seorang saudagar muda berperawakan tinggi besar, dada bidang, berkulit putih kemerahan,yang merupakan sebaik-baiknya warna kulit, sebagaimana perkataan Imam Ali ra. bahwa "warna kulit Rasulullah adalah putih kemerah-merahan". Menurut ceritera Datu-neni bahari bahwa ayahnya Habib Datu Lumpangi adalah Habib Abu Bakar, Beliau pandai merayu hingga pembelinya terutama para wanita tidak malu-malu, merasa senang-gambira. Ia juga "sedikit homoris, berwajah arab, ceria, tampan (gentang) punya jabis dan kumis tipis dan juga berjanggut tipis, berbau wangi kala beliau  datang berdagang ke Balai Ulin Lumpangi."

Kedatangan Sayyid Abu Bakar di Desa Lumpangi  pada tahun 1705 Masihi. Ketika Beliau datang ke Desa Lumpangi, menurut salah satu sumber informasi bahwa usia Beliau sekitar 43-45 tahunan kala itu, tetapi pisik dan muka Beliau kelihatan muda seperti usia 25-30 tahun.

Sang puteri Milah terpesona melihat sang peria ganteng idaman hatinya benar-benar hadir didepan matanya kala itu, sehingga ia, tak bosan-bosan memandangnya. Syair lagu menyebutkan : Pesonamu wahai sang kumbang menyilaukan mata hatiku, Pesonamu menggambirakan hati  Pesonamu menyejukkan hati bagi setiap orang yang memandangnya, hanrum wangi baumu, membangkitkan gairah hidupku, tak bosan mataku, tak bosan sungguh, mataku tak akan bosan, untuk memandangmu wahai peria idamanku, rasanya mataku ini enggan sekali berkedip disaat sedang memandangmu, ingin rasanya aku menyuntingmu hidup berdua denganmu, hidup berdua denganmu, akan kujadikan dirimu raja dalam istanaku,tak bosan mataku, tak bosan sungguh, mataku tak akan bosan

Menurut beberapa informasi yang saya dapat bahwa  salah seorang turunan ke-3/buyut Habib Abu Bakar bin Hasan yang bernama Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf Assegaf, ia berwajah mirip sekali dengan Datuknya Sayyid Abu Bakar.bin Hasan Assegaf. Baik Postur bentuk tubuhnya maupun tingkah lakunya persis seperti Datuknya. Maka oleh karenanya orang-orang sekellingnya memanggil namanya yakni "Abu Bakar as-Tsani".


8 .Perjalanan Habib Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Aly  Assegaf.ke Bandarmasih

Awal masa pemerintahan sultan Suriansyah, Menurut sumber bahwa “Habib asal Hadramaut yang datang pertama kali berkunjung ke Bandarmasih tujuannya berdagang dan mencari rempah-rempah diperkirakan awal abad ke-16 yakni tahun 1536 Masihi adalah orangtua Umar Ash-Shufy yakni Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Aly Assegaf. Beliau tidak lama menetap di kota ini kemudian balik lagi. Beliau berasal dari  Seiyun (juga ditransliterasikan sebagai Saywun, Sayoun atau Say'un; 

Beliau Datuknya dari (Datu Habib Lumpangi) adalah salah satu dzuriat keturunan Syekh dan Imam Sayyid Abdurrahman bin Habib Muhammad Maula Dawilah berasal dari Hadramaut Yaman, ia singgah menetap atau berdomisili yang lama di Kesultanan Demak Jawa Tengah sehingga beliau bersikaf dengan adat Jawa, lembut dan sopan dan juga sangat pasih berbahasa Malayu Indonesia. Fam/marga beliau As-Saqqaf, akan tetapi orang-orang Arab menyubutkan kata as-Saqqaf sulit/tidak bisa, maka disebutkan dengan lisan Arab adalah as-Seggaf. Orang Indonesia menulinya "Assegaf".


9. Syarif atau Habib ber- FAM / Marga Assaqqaf 

Aal-ALSAQQAF آل السقاف    (dibaca Assegaf/al Seggaf).  Yang pertama kali digelari al-saqqaf ialah waliyullah al-Muqaddam al-Tsani al-Imam Abdurahman bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Gelar yang disandang karena beliau sebagai pengayom para wali pada zamannya agar terhindar dari perkara bid’ah. Para ulama ahli hakikat dan para wali yang bijaksana menamakan beliau ‘al-Saqqaf’, karena beliau menutup hal keadaannya dari penduduk di zamannya. Beliau sangat benci dengan kesohoran. Ketinggian derajat beliau dari para wali di zamannya bagaikan kedudukan atap bagi rumah.  Beliau dilahirkan di kota Tarim, dikarunia 13 anak lelaki, dan 7 orang meneruskan keturunannya: Abu Bakar As-Sakran, Alwi, Ali, Aqil, Abdullah, Husein dan Ibrahim.  Waliyullah Abdurahman Al-saqqaf wafat di Tarim tahun 819 H (Afandi 2008).

Beliau hidup dari  tahun 1338-1416M / 739-819 H. Dari ke 13 anak lelaki ini dzuriat Rasulullah Saw yang bermarga  As Segaf telah  menyebar ke pelusuk negeri , salah satunya ke negara Asia Tenggara yakni Indonesia, diantaranya  ke pulau Jawa pada masa Kesultanan Demak untuk mengembangkan Syari’at Islam dari Datu Moyang mereka. Masa Kesultanan Banjar mengalami keemasan maka Gantung siwur dan Cicip moning yakni genarasi/ keturunan ke-7 dan ke-8 Sayyidina Syekh Al-Imam Al-Qutb Abdurahman Al-saqqaf adalah Habib Hasan bin Hasyim beserta adik kandungnya Habib Idrus Assegaf dan anaknya Habib Abu Bakar bin Habib Hasan bin Hasyim bin Muhammad bin Umar as-Shufi Asseggaf. Habaib inilah menurunkan Habaib yang ber MARGA atau FAM (Family-Keluarga) Assegaf masuk ke Kesultanan Banjar  Kalimantan Selatan dan menatap beberapa tahun. Dikota ini Habib Idrus dan Habib Abu Bakar menikahi wanita shalihah dari suku Banjar. Diperkirakan Habaib ini telah menyeberang dan masuk kedaerah Bandarmasih pada akhir abad ke-17M


10. CIKAL BAKAL BERDIRINYA  KERAJAAN BANJAR

Terlebih dahulu kita kembali kesejarah asal muasal agama Islam tersebut muncul di kota Banjarmasin yang dulunya bernama kota Bandarmasih yang erat sekali kaitannya dengan Pangeran Raden Samudera bin Raden Manteri Jaya bin Raden Bagawan di Kerajaan Hindu Nagara Daha.

Maharaja Sukarama, Raja Negara Daha telah berwasiat agar penggantinya adalah cucunya Pangeran Samudera, anak dari putrinya Puteri Galuh Intan Sari. Ayah dari Raden Samudera adalah Raden Manteri Jaya, putra dari Raden Begawan, saudara kandung Maharaja Sukarama. Wasiat tersebut menyebabkan Raden Samudera terancam keselamatannya karena para putra Maharaja Sukarama juga berambisi sebagai raja yaitu Pangeran Bagalung, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. Dibantu oleh Arya Taranggana, Pangeran Samudra melarikan diri dengan sampan ke hilir sungai Barito. Sepeninggal Sukarama, Pangeran Mangkubumi menjadi Raja Negara Daha, selanjutnya digantikan Pangeran Tumenggung yang juga putra Sukarama. Pangeran Samudra yang menyamar menjadi nelayan di daerah Balandean dan Kuin, ditampung oleh Patih Masih di rumahnya. Oleh Patih Masih bersama Patih Muhur, Patih Balitung, ia diangkat menjadi raja yang berkedudukan di Bandarmasih. Pangeran Tumenggung melakukan penyerangan ke Bandarmasih. Pangeran Samudra dibantu Kerajaan Demak dengan kekuatan 40.000 prajurit dengan armada sebanyak 1.000 perahu yang masing-masing memuat 400 prajurit mampu menahan serangan tersebut. Akhirnya Pangeran Tumenggung bersedia menyerahkan kekuasaan Kerajaan Negara Daha kepada Pangeran Samudra. Kerajaan Negara Daha kemudian dilebur menjadi Kesultanan Banjar yang beristana di Bandarmasih. Sedangkan Pangeran Tumenggung diberi wilayah di Batang Alai. Pangeran Samudra menjadi raja pertama Kerajaan banjar dengan gelar Sultan Suriansyah. Ia pun menjadi raja pertama yang masuk islam dibimbing oleh Khatib Dayan (Alamnirvana 2011)




11. Penyebaran  dan Proses masuknya agama Islam di Kalimantan Selatan 

Penyebaran Islam di Kalimantan Selatan.  Proses masuknya agama Islam di Kalimantan Selatan disebutkan mulai sekitar abad 14 M, sebelum Kerajaan Banjar berdiri. Sosok yang berandil dalam penyebarannya adalah pewaris sah kerajaan Negara Daha yang bernama Raden Samudera. Proses penyebaran Islam di Kalimantan Selatan secara terang-terangan dimulai dengan kontak antara Pangeran Samudera dengan Kerajaan Demak. Pangeran Samudera meminta bantuan pasukan ke Demak untuk berperang melawan pamannya, Pangeran Tumenggung dalam merebut takhta kekuasaan Negara Daha. Atas kemenangannya melawan Kerajaan Daha, ia berhasil mengislamkan raja dan pejabat kerajaan, hingga akhirnya agama Islam berkembang semakin pesat berabad-abad kemudian (CNN Indonesia 2021)

Beberapa catatan tahun Sejarah Kesultanan Banjar yang ada bahwa            :

a.  1520, penobatan Raden Samudera oleh Patih Masih sebagai raja di Muara Kuin dengan gelar Pangeran Samudera.

b.  6 September 1526, pertempuran antara Kerajaan Banjar dipimpin Pangeran Samudera dengan Kerajaan Negara Daha dipimpin Pangeran Tumenggung di Jingah Besar, Pangeran Samudra dibantu Kesultanan Demak.

c.    24 September 1526, kemenangan Pangeran Samudra dan pembentukan Kesultanan Banjar, dengan memasukkan Kerajaan Nagara Daha, selanjutnya Pangeran Tumenggung menetap ke hulu pada Batang Alai dengan 1000 penduduk  (Sejarah Kalimantan Selatan).

Ada yang mengatakan bahwa Islam mulai masuk ke Kalimantan Selatan abad ke 15M sampai abad ke 17M. Pada Abad ke-17M sampai ke-18M adalah masa  puncaknya perkembangan agama Islam di Kalimantan Selatan dan masa keemasan Kerajaan Banjar. Adapun puncak keemasan Kerajaan Banjar dan perkembangan Islam ditandai datangnya syekh-syekh / Habaib  ke Banjar  bersamaan  muculnya ulama ulama Banjar  salah satu yang terkenal dengan hasil karya tulis Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yaitu Kitab Sabilal Muhtadin. Kitab ini dijadikan sebagai bahan bacaan dan rujukan negara-negara di Asia Tenggara.

        Kemudian ulama  atau  Habib asal Tarim Hadramaut tersebut, bahwa keluarganya yang dulunya sudah lama  tinggal di Kesultanan Demak (Jawa Tengah) telah menyeberang menuju ke Kesultanan Banjar yang membawa misi dakkwah. Yakni  Habib Abu Bakar dan ayahnya Habib Hasan beserta adiknya Habib Idrus. Disusul oleh yang lain : Habib Abdullah dengan isterinya Siti Aminah (orang tua Datu Kelampyan) datang dari  India. Di kota Bandarmasih ini mereka berbeda tempat tujuan lokasi yang dituju. Habib Abdullah bin Abu Bakar al-Hindi bin (Abdurrasyid Mindanau bin ) Ahmad Ash-Shalabiyah bin Husain bin Abdullah bin Syekh bin Abdullah al  Aydarus Al-Akbar bin Abu Bakar as-Sakran bin Sayyid Abdurraman Assegaf  al Aydrus, mereka naik perahu menuju ke desa Lok Gabang Martapura. 

        Sedangkan Habib Abu Bakar dan ayahnya Habib Hasan beserta adiknya Habib Idrus Assegaf menetap di Bandarmasih konon tepatnya di kampung Sungai Mesa.. Habib Idrus sempat mengawini wanita salihah dari suku Banjar dan ia punya anak an. Habib Ali  Assegaf. Tetapi tidaklah menutup kemunginan juga bahwa Habib Abu Bakar assegaf sebelum berpetualang ke negeri asia, ia telah mengawini perempuan salihah dari daerahnya tarim hadramaut  dan punya keturunan an.Habib Shaleh Assegaf.

Keluarga Assegaf yang ada di Taniran dan Habaib yang ada di Lumpangi ini mayoritasnya  berasal dari rumpun marga Assegaf ash-Shufy. Yang pertama kali menyandang marga ini adalah Habib Umar ash-Shufy yakni turunan nasab Nabi Saw yang ke-26.
    Pedagang-pedagang Arab pada abad 16 hingga 17 M sejak kesultanan Banjar dipimpin oleh seorang muslim, berdatanganlah para pendatang ke wilayah ini disamping untuk berdagang mencari rempah-rempah misi penting lain juga tidak terlewatkan untuk berdakwah (Gafur 2009).


12. Orang Arab suka berpetualang menjelajahi  lautan sebelum dan sesudah berkembangnya Islam.

Orang Arab dikenal sebagai orang yang suka berpetualang menjelajahi sepanjang lautan sebelum dan sesudah berkembangnya Islam. Salah satunya Perjalanan ayahandanya Umar Ash-Shufy yakni Habib Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Aly  Assegaf.ke Bandarmasih 

Menurut Artikel “Menelusuri Silsilah Suci Bani Alawi Sadah Aal Ba Alawy Aal Muhammad” ditulis oleh  Al Habib Aidarus Almashoor bahwa Habib Aly bin Sayyid Abdurrahman Assegaf wafat 840H/1437M di Tarim Hadramaut. Beliau mempunyai 3 orang anak laki-laki an.

  1. Abdurrahman (keturunannya terputus)
  2. Ahmad
  3. Muhammad

Kemudian Muhammad mempunyai 2 orang anak/ keturunan an.

  1. Abdullah dan keturunannya di Mukalla Yaman
  2. Abdurrahman

Kemudian  Abdurrahman mempunyai keturunan atau anak laki-laki atas nama  :

  1. Aly dan Beliau ini kakeknya Keluarga As- Saqraan di Tarim dan Zili
  2. Umar ash-Shafy atau Umar ash-Shufy

    Pada awal abad ke-16 tahun 1536 Masihi masa pemerintahan Sultan Suriansyah Raja Banjar pertama, menurut salah satu sumber bahwa Pedagang 'Arab tersebut yakni Habib asal Hadramaut yang datang pertama kali berkunjung ke Bandarmasih tujuannya berdagang dan mencari rempah-rempah dan misi penting lainya berdakwah, ia adalah orangtua Umar Ash-Shufy yakni Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Aly Assegaf. Beliau adalah Buyutnya al Faqih Muqaddam as-Tsani. Beliau tidak lama menetap di kota ini kemudian balik lagi. Beliau berasal dari  Seiyun (juga ditransliterasikan sebagai Saywun, Sayoun atau Say'un; Arab: pengucapan Hadhrami: [seːˈwuːn], Sastra Arab: [sæjˈʔuːn]; Arab Selatan Kuno: S¹yʾn) adalah sebuah kota di wilayah dan Kegubernuran Hadhramaut di Yaman. Terletak di tengah Lembah Hadhramaut, sekitar 360 km (220 mi) dari Mukalla, ibu kota Distrik Mukalla dan kota terbesar di wilayah tersebut, melalui jalur barat. Juga berjarak 12 km (7,5 mil) dari Shibam dan 35 km (22 mil) dari Tarim, kota-kota besar lainnya di lembah. Menurut sumber informasi lain bahwa Habib Umar Ash-Shufy bin Abdurrahman punya anak diantaranya : Muhammad, Thaha, Segaf dan ..........

Menurut silsilah nasabnya bahwa "Muhammad bin Umar as-shufy" tersebut punya anak an. Hasyim. Dari Hasyim punya anak an. Hasan dan Idrus. Hasan punya anak Abu Bakar (Ayahnya Habib Lumpangi) dan Abu Bakar punya anak an..Shaleh (ibunya dari Seiyun Tarim) dan Muhammad Djamaluddin (Habib Lumpangi) dan (ibunya dari suku Dayak Langara Lumpangi Loksado), yang dipanggil sehari “Muhammad” atau "Djamiluddin" kemudian Muhammad Djamiluddin punya anak an.Ahmad Suhuf yang dipanggil sehari ”Ahmad”. Kemdian Ahmad punya anak an. Abu Bakar yang dipanggil sehari “Abubakar as-Tsani’ sedangkan Thaha punya anak an. Umar, dari Umar punya anak an. Thaha al Qadhi dan Thaha al Qadhi punya anak an. Umar. dari Umar punya anak an. Muhammad al Qadhi

     Konon Sungai Mesa merupakan sebuah kampung tua di Kota Banjarmasin (Bandarmasih nama dulunya). Kampung ini dibangun oleh seorang tokoh yang dikenal dengan nama Kiai Mesa Jaladri. Tidak diketahui persis, kapan Kiai Mesa membangun wilayah ini, yang jelas sejak itu Kampung Sungai Mesa menjadi wilayah tempat tinggal yang strategis. Letaknya yang persis di tepi sungai Martapura, membuat daerah ini menjadi semacam pelabuhan kecil tempat menaik-turunkan barang dagangan dari perahu. Di seberang Sungai Mesa adalah Jalan Pasar Lama Laut yang sekarang menjadi pusat perkantoran pemerintah Provinsi Kalsel (Artikel Kajian al Kahfi)

Menurt Artikel Sejarah Ahlul Bait (Keturunan) Sayyidina Muhammad Saw di Indonesia menyebutkan bahwa “Seorang dari keluarga Assegaf bernama Alwi (w.1842M) bin Abdillah bin Shaleh bin Abubakar dilaporkan melalui perjalanan panjang dari Hadramaut-Turki-Palembang-Gresik sebelum menyinggahi Banjarmasin dan sempat bermukim di Kampung Sungai Mesa. Alwi kemudian menetap di Martapura (Kampung Melayu) dan mendapat hadiah tanah dari Sultan Adam di daerah Karang Putih. Kelak ia dan anak cucunya bermakam di tanah pemberian sultan tersebut (makam Karang Putih Jl Menteri Empat Martapura) ”(Fakhrul 04-2012M)

Makam Sayyid Alwi bin Abdillah Assegaf /Makam Karang Putih Martapura

        Pemukim dari golongan sayyid yang terhitung orang lama (tua) di Sungai Mesa adalah Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf. Ahmad diperkirakan lahir di paruh kedua pertengahan tahun 1800-an. Ahmad memiliki saudara bernama Umar, Muhdor dan Muhammad. “Pekerjaan Habib Ahmad berdagang kayu ulin, juga membawa tajau, belanga berdagang dengan urang Dayak,” cerita Syarifah Nikmah.(Artikel Kajian al Kahfi)

Maksud paruh kedua pertengahan tahun 1800-an.adalah Habib Ahmad lahir kampung Sungai Mesa Bandarmasih tahun 1852 Masihi


13. Habib Abu Bakar beserta ayahnya hijerah ke Hulu Sungai

Setelah beberapa lama tinggal di kota tersebut. Kemudian Habib pindah dari Bandarmasih menuju Banua Anam yaitu kota Kandangan. Mereka mudik menyisir sungai Barito dengan kendaraan perahu jukung yang sedarhana, membawa dagangan berupa sarung dan perhiasan wanita untuk menghidupi keluarganya. Mereka berhari-hari mengayuh jukung bahkan berminggu-minggu, mereka meliwati Nagara, 

Ada kemungkinan juga di Nagara tepatnya Desa Sungai Pinang ini, Habaib cukup lama singgah berniaga dan sempat menikahi perempuan shalihah kampung tersebut hingga ada dzuriat nasab Habib yang ber-Fam Assegaf, yakni Alhabib Seggaf bin Abdul Hamid Assegaf (Kramat Assegaf Sungai Pinang) Alamat; Samping Kantor Desa Sungai Pinang-Nagara, KM.37. Kecamatan Daha Selatan.Kab.HSS Kalsel.

Bangkau, Garis, Sungai Kupang menyisir sungai menuju ke Hulu Sungai, hingga tiba tepatnya Desa Taniran. Kala itu arus tranportasi yang digunakan masyarakat melalui jalan laut dan sungai. Setelah beberapa tahun berdomisili di kota ini terjadi pembagian tugas dan lokasi misi dakwah. Karena sudah sepuh/ tua sering sakit-sakitan maka Habib Hasan bin Hasyim bin Muhammad bin Umar as-Shufi Assegaf  berdakwah di Kandangan khusus diwilayah Kecamatan Angkinang. 


14. Kedatangan Habib Hasan bin Hasyim Assegaf di Taniran awal abad ke-18M dan Syekh H. Sa'duddin bin H. As'ad (Datu Taniran) di abad ke-19

Keberadaan atau kedatangan Habib Hasan bin Hasyim Assegaf di Taniran lebih awal (awal abad ke-18M tahun 1700-1720 Masihi) dari pada Syekh H. Sa'duddin bin H. As'ad (Datu Taniran) awal abad ke-19M, ia pulang menuntut ilmu dari Mekkah sekitar tahun 1812M dan merehap Masjid Darul Lathif bersama masyarakat Taniran yang bahan dasarnya semua dari kayu Ulin beratap sirap. 

Adapun sebagai dasar penulis  mengatakan bahwa Habib Hasan bin Hasyim Assegaf lebih awal berada di Desa Taniran dari pada H.Sa'duddin (Datu Taniran) ada empat alasan yang kuat  :

Alasan yang Pertama (1). Adanya silsilah (kelahiran) Habib Tanqirr Ghawa di pertengahan abad ke-19M yakni tercatat tahun 1862M/1279H di Desa Lumpangi, usia Beliau 126 tahun Hijeriah. Beliau adalah keturunan ke Tujuh  dari Habib Hasan bin Hasyim Assegaf. Jadi ada 7 generasi silsilah baru sampai ke Habib Hasan Assegaf. Kalau dirunut dari     :

  1. Habib Tanqirr Ghawa 
  2. bin Abu Thair Muhammad 
  3. bin Abu Tha'am Ibrahim 
  4. bin Abu Bakar as-Tsani 
  5. bin Ahmad Suhuf 
  6. bin Muhammad Djamiluddin (Habib Lumpangi) 
  7. bin  Abu Bakar 
  8. bin Habib Hasan Assegaf. 

Alasan kedua (2) Artkel Datu Taniran dan Sejarah Penyebaran Islam di Banua Anam, menyatakan bahwa ia mengutif dari berbagai sumber, sebelum Datu Taniran, masyarakat kampung Taniran sudah dididik oleh Sayyid Hasan bin Hasyim Assegaf, yaitu ayahnya Sayyid Abu Bakar yang dikenal sebagai Habib Lumpangi di Kecamatan Loksado, HSS.

Alasan ketiga (3) Makam Habib Hasan bin Hasyim Assegaf sempat hilang, makam tersebut baru ditemukan di abad ke-20 Masihi. Karena sangat lamanya Beliau wafat hingga Keluarganya dan masyarakat sekitarnya sudah banyak yang melupakannya.

Alasan keempat (4) hasil pengamatan kami tahun 1970-1980 terhadap Makam  anak-cucu Beliau di Lumpangi Loksado sebagai berikut :

a). Makam dan sekitarnya sudah lama ditinggalkan orang, keadaan Nisan-nisan pada Pusara Datu Habaib Lumpangi sudah raif, usia makam sudah sangat tua, makam tidak terpelihara dengan baik, keadaan tanaman atau pohon kayu, rumput yang hidup di sekitarnya tumbuh sangat subur.

b).Ppepohonan Langsat, Ramania, Manggis yang hidup disekitar itu lebih besar dari ember plastic isi 16 liter bahkan ada yang lebih besar lagi. dan pohon-pohon Kelapa sanagt tinggi sekali dan tidak berbuah lagi, pohon Durian ada yang sangat besar sekali, sebesar kindai padi (kalau diragaf lebih dari dua depa orang tua)

c). Waktu itu Nisan-nisan ditengah pusara sudah raif dan sebagian berupa batu sungai, belum ada catatan atau tulisan yang kami temukan dan dapatkan kala itu.

d). Semua dinding-dinding Ulin Baturnya sudah tanggal ke tanah, Batur-batur ulinnya tidak ada seni ukirannya atau seni pahatannya, tidak seperti Batur-baturnya anak cucu Datu Kelampayan di kota Marabahan sudah ada seni ukirannya atau seni pahatannya.


15. Habib Hasan) wafat  pada awal abad ke-18  tahun 1720 Masihi.

Akhirnya Beliau (Habib Hasan) wafat diperkirakan pada awal abad ke-18, masa Raja Banjar ke-10 Sultan Tamidullah I tahun 1700-1717 Masihi. Saya beberapa kali datang kesana dan bertanya kepada orang-orang yang tua penduduk asli Desa Taniran Kubah RT.002/RW.001 yang dekat dengan makam Habib Hasan bin Hasyim bin Muhammad bin Umar as-Shufi Assegafdiperkirakan mereka mengetahui tentang beliau datang dan wafat namun mereka berkata menurut tradisi lisan tetuha bahari bahwa diperkirakan usia Beliau saat datang di Taniran sekitar 70 tahunan dan ia menikahi wanita janda tua yang beranak warga desa Taniran.

Menurut sumber data yang saya terima bahwa Habib Hasan sudah sepuh tetapi kuat dan sehat, saat datang pertama di Taniran, ia berstatus duda. Beliau  wafat pada hari Selasa, 19 Sya'ban 1132H/1720 Masihi. Ketika Belanda mulai  menduduki Kota Banjarmasin sekitar tahun 1747 Masihi. Beliau barmakam atau berpusara di Desa Taniran Kubah RT.002/RW.001,  sekitar 600 meter dari jalan besar atau jalan induk. Atau 500 meter dari makam Syaikh Datu Taniran. Berseberangan dengan langgar Darul Miftahul Jannah. Kubah  beliau dikunjungi orang.


Makam Habib Hasan bin Hasyim Assegaf


16. Tradisi Aruh Bawanang dan Aruh Baharin.Balai Adat Balai Ulin Lumpngi

Misalnya Tradisi Aruh Bawanang atau disebut juga  aruh mahanyari banih adalah salah satu ritual adat yang dilaksanakn oleh suku dayak meratus setiap tahunnya pada saat pasca panen padi yang merupakan salah acara ucapan rasa syukur kepada Sang Pencipta Alam Semesta.

Misalnya lagi Tradisi Aruh Baharin. Pada saat ini, pelaksanaan Aruh Baharin tidak lagi setiap tahun atau sehabis musim panen padi ladang, tapi tiga tahun sekali atau lima tahun sekali. Hal ini disebabkan biaya untuk pelaksanaannya terbilang mahal. Tujuannya adalah memanggil arwah raja-raja dari Kesultanan Banjar pada masa lampau karena harus memotong/menyembelih beberapa ekor kerbau, kambing, dan ayam. Aruh Baharin adalah Ritual ini bertujuan memanggil para arwah yang pemah berkuasa di daerah tersebut, termasuk arwah raja-raja dari Pulau Jawa. Kedua, ritual Sampan Dulang atau ritual Kelong. Ketiga, ritual Hyang Lembang. Ritual ini bertujuan memanggil arwah Balian Jaya atau Nini Uri, yang dipercayai sebagai leluhur orang Dayak. Ketiga, ritual Hyang Lembang. Tujuannya adalah memanggil arwah raja-raja dari Kesultanan Banjar pada masa lampau. Pelaksanaan upacara adat Aruh Baharin yang digelar selama tujuh hari tujuh malam ini memiliki tiga tahapan  : Pertama, tahapan persiapan.Tahapan kedua adalah pemanggilan arwah leluhur. Tahapan ketiga adalah puncak upacara adat aruh baharin. Puncak upacara ditandai dengan penyembelihan beberapa ekor kerbau, kambing, dan ayam yang dipimpin oleh para balian (ensiklopedia bebas)

Keberadaan pakaian mereka yang mereka pakai berupa dedaunan dan kulipak pohon kayu yang menutupi  tubuh dan kemaluan mereka. Kemudian setelah Habib yang bermarga Assegaf datang membawa syari’at Islam, melalui jalur perdagangan dan perkawinan (jualan kain dan perhiasan wanita) secara barter, lalu Habib membaur dengan masyarakat suku  Dayak Langara, di Balai Adat Balai Ulin pada waktu itu, mengawini salah satu puteri yang anggun dan cantik parasnya anak Tetuha Adat Dayak Langara an.Milah. Nama Putri Tetuha Adat dimaksud yang dzuriat sesudahnya menyebutnya aluh/galuh Jamilah atau Siti Jamilah.

Perkawinan inilah yang sangat merekatkan hubungan suku  Dayak Langara dengan Habib. Adanya ikatan perkawinan tersebut Islam berkembang dengan cepat. Akhirnya mereka karena merasa berkelurga dengan Habib, merasa badangsanak dengan Habib, mereka tertarik dengan Islam dan menerima Islam dengan sukacita dan juga hasil perkawinan itu membuahkan keturunan dan dzuriatnya yang bersambung dan nasabnya tercatat dengan baik sampai saat ini.


17. Habib Abu Bakar saudagar Kain Sarung dan Perhiasan Wanita berdagang ke Pedalaman Hulu Sungai 

 

Kemudian untuk tugas dan lokasi pelusuk pedalaman dan hulu sungai diserahkan pada anak muda yakni Abu Bakar bin Hasan Assegaf. Hingga akhirnya Sayyid Abu Bakar setelah beberapa tahun berdakwah menyebarkan Islam di desa Taniran dan sekitarnya membatu ayahnya. Sayyid Abu Bakar Assegaf berniaga membawa dagangannya sampai ke pelusuk pedalaman suku Dayak Langara Desa Lumpangi yang belum pernah tersentuh Islam pada awal abad ke-18 tahun 1705M. 

Barter adalah merupakan sistem perdagangan yang di dalamnya terdapat kegiatan tukar-menukar barang tanpa melibatkan uang sebagai alat transaksi. saat itu orang dayak belum punya uang keping atau uang kertas.

Habib Abu Bakar saudagar Kain Sarung dan Perhiasan Wanita (perhiasan imitasi) berdagang ke Pedalaman Hulu Sungai. Selanjutnya diceritrakan oleh Datuk-nenek kami bahari bahwa pada awal mulanya Habib datang  membawa dagangannya kepadalaman Hulu Sungai di Balai Ulin Lumpangi, dagangan Habib diserbu oleh Para wanita tua-muda suku Dayak. Mereka sangat tertarik dan tergoda dengan gaya dan bahasa yang santun, dan raut muka habib yang ceria, homoris dan murah senyum, pandai merayu para pembelinya sehingga membuat mereka tanpa rasa malu, bergerumbul mengelilingi jualan Habib yang bertempat di tengah-tengah ruangan Balai kala itu, mereka melihat dan mereka mencoba mengenakan cincin dijari tangan, mencoba mengenakan aguk/kalung yang tergantung disela-sela dada mereka atau tergantung didahi mereka, mereka mencoba mengenakan gelang dipegelangan tangan mereka dan bunil dan juga mereka mencoba menggunakan sisir/ surui gafit ke kepala, wanita tua tertarik dengan sarung/tapih. . Dikala itulah puteri Milah mulai berkenalan pada pertemuan pertama dengan Habib hingga cahaya Matahari condung ke Barat waktu sore tiba dan Habib tak mungkin balik-pulang ke Taniran di waktu sore hari karena akan menemui malam dan iapun  nginap ditempat itu. Gadis itu sangat senang menjumpai Habib diruangan Balai Adat saat itu/

Salah satu tradisi unik /adat Dayak Pegunungan Meratus ketika itu, bagi Tamu Nginap untuk kaum laki-laki lajang tidak diperbolehkan tidur sendiri kecuali ia tidur satu kamar/ satu kelambu bersama dengan puteri dari Tetuha Adat. Bila tidak punya anak gadis maka isterinya yang menemani tidur tamunya. sebagai bentuk penghormatan terhadap tamu atau sahabat, tak terkecuali dengan Habib, beliau tidur ditemani oleh puteri Milah, saat Habib datang jualan pertama kali dan nginap (bamalam) di Balai Adat Balai Ulin. Adat Dayak adalah sangat meghormati dan memulikan tamu,

Puteri Milah adalah seorang gadis berwajah ayu rupawan remaja yang anggun, cantik parasnya, berwajah keibuan, rambut ikal berderai hingga punggungnya. Ia berdada bidang, tinggi-sedang, ia lemah lembut, ia seorang gadis berkulit putih bersih, ia ramah dan homoris dan sulit untuk dilupakan. tetapi berpakaian setengah telanjang. Pakaiannya terbuat dari anyaman dadaunan, anyaman kulipak kayu dan kulit-kulit binatang yang disamak,   pantas saja pakaiannya hanya menutupi dada dan kemaluannya sesuai keadaan waktu itu.

Disinilah Habib mulai kenal dngan suku Dayak Langara. Begitu pula dengan salah satu puteri remaja suku dayak langara yang cantik jelita memikat hati bagi orang yang memandangnya. Hingga sekarangpun hampir dipastikan bahwa setiap Balai Adat yang Ganal selalu ada muncul satu wanita muda tercantik di suku itu yang setiap Pemuda selalu terpikat olehnya. Salah satu tradisi Adat budaya Dayak mengawinkan anak usia muda antara usianya 9 tahun sd. 17 tahun.

Kedatangannya kali yang kedua Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf membawa dagangannya kepedalaman Hulu Sungai. entah kenapa ia melakukannya seperti bulan yang lalu,  ia sampai berada diempiran Balai. Disambut oleh Aluh Milah, padahal saat itu acara sacral atau acara inti Aruh Ganal atau Aruh Bawanang masih berlangsung, yang diperbolehkan berhadir khusus untuk pemuka adat, penghulu adat dan orang-orang yang mendiami Balai dimaksud, dan pada acara sacral tersebut tidak  diperkenankan ikut hadir masyarakat umum atau orang-orang dagang.

Dikatakan orang bahwa ada orang memperkirakan usia Sayyid Abu Bakar saat datang di lumpangi sekitar 45 tahunan, oleh karena itulah Beliau mampu meredam imosi ketika menghadapi masalah ttg penjatuhan hukuman Adat kepadanya. Begitu pula ia mempu memelihara kesucian dirinya dan Aluh Milah saat tidur di dekatnya selama menjalani hukuman adat. 

Melalui Sayyid Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim bin Muhammad Assegaf  yang mengislamkan suku Dayak Langara dengan nama Rumah Adatnya “Balai Ulin”. Menurut mitologi bahwa  suku dayak  Langara adalah bagian/ pencaran dari dari suku dayak Maanyan suku dayak tertua di Kalimantan Selatan. 


18. Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf Kena hukuman Adat

Allah Swt berkehendak lain dengan Hamba-Nya beriman. Kedatangannya  bersamaan dengan Masa Pamali atau Masa Tenang. Masa Pamali berlaku selama 3 hari dan 3 malam  pada acara inti aruh ganal ini tamu tidak diperkenankan datang ke Balai Adat. Dan Habib belum tahu hukum adat istiadat yang berlaku saat itu. Dan ia belum mendapat undangan maka kehadiran Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf dikenakan hukuman Adat. Hukumannya adalah tidak dibolehkan ia keluar dari Balai itu selama   9 hari dan 9 malam.  Jenis hukuman itu dan juga dikenakan membayar denda. Pendapat yang kuat Aruh Ganal adalah hukuman itu 10 hari 10 malam dan dikenakan membayar denda.

Maka hukuman itu diterima dan dijalani dengan senang hati, tetapi ia minta bebas menjalankan apa yang diperintahkan Tuhannya. Disinilah gerak gerik Habib Abu Bakar mulai wudlu hingga melaksanakan shalat lima waktu selalu diintai diintip oleh penghuni Balai saat itu dan maka mulai saat itu pula penghuni Balai Ulin diperkenalkan gerakan-gerakan shalat.

Menurut versi lain diceriterakan saat berakhir masa tahanan 10 hari dan 10 malam Habib tidak bisa membayar denda yang dianggaf susah dan sulit saat itu untuk mendapatkanya berupa parang bungkul puting sebanyak dua bilah. Maka sebagai jalan terakhir, ia disuruh memilih dari dua pilihan hukuman : Bayar Denda atau  mengawini Puteri Aluh  Milah. Habib dianggap bersalah merusak jiwa Puteri Milah yakni Puteri jatuh hati yang dalam kepada Habib. Ia memilih  mengawini Puteri Tetuha Adat sebagai ganti Hukuman Denda karena Habib tidak mampu membayar Denda saat berakhir masa tahanan. Perkawinan itu pun terjadi dengan punya syarat-syarat tersendiri yang harus dipenuhi oleh Habib masa kini dan akan datang.

Sebenarnya mereka tertarik, ingin tau dan menyimpan berbagai macam pertanyaan ttg gerakan-gerakan shalat Habib. Dikala itu pula ia mulai berkenalan pada pertemuan kedua dengan aluh Milah. Seorang gadis remaja yang anggun, cantik parasnya, berwajah keibuan, berambut ikal mayang panjang hingga punggungnya tetapi berpakaian setengah telanjang. Pakaiannya terbuat dari dadaunan dan kulipak kayu,  pantas saja pakaiannya hanya menutupi dada dan kemaluannya sesuai keadaan waktu itu. Gadis itu sangat senang menjumpai Habib dan suka sekali melayaninya  dengan baik seperti mengambil air ke sungai dengan tempaian untuk wudlu, memberi Habib makan dan minum hingga Habib dibebaskan dari hukuman adat.


19. Putri Milah sakit keras secara tiba-tiba seisi Balai Pusing

Selama dalam tahanan Adat ia ditemani, dibantu dan dilayani oleh Puteri Milah siang dan malam dengan senang hati dan riang gambira.bercumbu tanpa malu dengan Habib.  Milah adalah seorang Puteri yang pandai menari (batandik) walaupun ia sedikit tidur dan belum merasakan lelah pada dirinya dalam melayani tamu istemiwanya. Semua penghuni Balai Adat tahu bahwa puteri Milah  anak Tetuha Adat mereka, telah jatuh hati yang dalam, ia sangat menyukai pamuda yang ganteng dan tampan ini..

Diceriterakan orang bahwa saat berakhir masa tahanan Habib Abu Bakar selama 10 hari dan 10 malam,karena merasa lelah dan kurang tidur, Puteri Milah jatuh sakit secara tiba-tiba, ia tak sadarkan diri/pingsan dalam waktu cukup lama, Puteri belum bisa sadar walaupun Tetuha Adat (Penghulu Adat) berusaha keras melakukan BALIAN untuk menyembuhkan Puterinya, walaupun ia adalah seorang tokoh adat yang mempunyai kemampuan mempuni mengobati orang yang sakit, namun dikala itu tidak membawa hasil apa-apa dan membuatnya putus asa.

Melihat keadaan yang sangat memperahantinkan, tak terkecuali Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf, seorang tahanan mereka, yang baru datang beberapa hari kewilayah itu. Ia mencoba menawarkan diri kepada mereka untuk mengobatinya sang Puteri. Akhirnya dengan perasaan was-was terlihat pada wajah mereka, namun mereka dengan berat hati mempersilahkannya hingga Puteri sadar dari pingsannya dan sembuh dari sakitnya.

. Kemudian pada saat hukuman Adat akan berakhir, Beliau melihat dan merasakan ada kesedihan yang mendalam yang menimpa dan dialami oleh Puteri Milah. Habib sadar bahwa puteri Milah sangat mencintainya. Inilah yang membuatnya khawatir frustasi/ stres  kalau, kalau Habib pulang tidak kembali lagi. Sesegeranya Habib melamar gadis yang pernah melayaninya sewaktu menjalani hukuman adat. Habib memberi tahu bahwa pernikahan dalam Islam ada seorang wali dan 2 orang saksi yang beragama Islam.

Ringkasnya  pada saat pelaksanaan akad nikah terjadi permasalahan siapa yang menjadi wali dan saksinya maka Habib setelah selesai berbuka puasa sunnat Senin - Khamis, ia adzan dan shalat magrib. setelah itu ia mohon penghuni Balai untuk duduk mengelilinginya. Kemudian ia menjelaskan kepada para hadirin maksud kedatangannya dan apa itu Islam dan keuntungan beragama Islam? Dan juga ia menjelaskan apa syarat dan rukun nikah menurut Islam? Kemudian ia mengislamkan Puteri (calon isterinya), wali (calon mertuanya) dan dua orang saksi akad nikahnya untuk keabsahan pernikahannya.

Berkata sebagian orang tua bahari dari Dayak Lumpangi bahwa “Habib dianggap bersalah sebab merusak jiwa (meracuni pikiran) Puteri Milah hingga Puteri jatuh hati yang dalam kepadanya dan jatuh sakit, oleh karenanya Habib harus mengawini Puteri anak Tetuha Balai. sebagai bentuk rasa tanggungjawabnya.”.”

Berkata sebagian orang tua Ds. Taniran Kubah bahwa “Habib Abu Bakar tapabini (kawin-menikah) dengan perempuan Dayak Lumpangi dan baanak (berketurunan) saat Beliau berdagang dan berdakhwah di sana.


20. Mediasi dan   Basa basi penyerahan Aluh Milah anak Tetuha Adat

Terjadlah  mediasi proses perundingan   tawar menawar antara Habiib Abu Bakar  dengan  Langara sebagai Tetuha Adat. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan.

Ujar Penghulu Adat, Nah..... sekarang Aluh Milah ini, sudah sembuh kembali dari sakitnya, inya aku serahkan lawan ikam (kepadamu), inya cinta banar lawan ikam, inya sayang banar lawan ikam nakkay. kawini inya dan bawa ke rumah ikam agar abah dan mama ikam tahu dan jangan ikam kecewakan inya. Inya ini menjadi milik ikam. Agar abah disini merasa nyaman melihat ikam badua, dan abah marasa tanang dan nyaman mendengar ikam badua.

Ujar abu bakar Kada kaya itu caranya bahay, dikira orang ulun ini nanti membawa lari anak sampian secara sembunyi-sembunyi, bila ulun kawin di Taniran diwadah abah ulun. ulun kada handak nang kaya itu.

Ulun ini handak menikah secara agama islam, maka ada lamaran ulun dengan Milah, inya menerima garang atau kada menerima lamaran ulun, namaun inya menerima lamaran ulun maka ada wali nikahnya harus beragama Islam, jadi sampianlah wali nikah aluh Milah ini dan nikah itu dihadiri dan disaksikan  2 orang saksi yang muslim maka Talib dan Anjah sebagai saksinya, ada mahar dan ada ijab dan qabul dari rangkaian peristiwa itu terjadilah perkawinan ulun dengan Milah. Akhirnya tanpa pikir panjang terjadilah kesepakatan bersama, mereka menerima hidayah islam

Catin wanita : “Karena begitu dalam cintanya dengan Habib Abu Bakar, padahal baru saja Sembilan hari sembilan malam ia mengenalnya, tetapi terasa sudah lama mencintainya. Ia bersedia tanpa ragu melepaskan agama yang dianaut nenek moyangnya.

Wali Catin wanita an. Datu Langara “Karena begitu sayang dengan Siti Jamilah anaknya, ia menerima Islam dengan suka rela untuk membahagiakan anak yang sangat dicintainya.”

Saksi-saksi nikah : “Begitu pula dengan kedua saudara laki-lakinya an.Abu Thalib dan Hamzah, sayang dan kasih dengan adik perempuannya. Keduanya rela melepaskan agama yang sedang dianutnya. Berkorban untuk kebahagian adiknya yang kedua bertindak sebagai saksi pernikahan adiknya saat itu.”

Mahar perkawinan : “Sebingkai cincin emas yang telah dipakaikan/dikenakan pada jari manis catin wanita kala  itu.”

Ijab nikah : “Dilakukan oleh walinya sendiri dan diterimakan oleh Habib Abu Bakar As-Segaf, yang sebelumnya didahului pembacaan khotbah nikah oleh Habib saat itu.”Resmilah Siti Jamilah dengan Habib Abu Bakar sebagai suami isteri dimalam Jum’at itu, seisi Balai bergembira, diiringi canda dan tawa menyambut kehadiran keluarga baru dan menyambut kehadiran dangsanak baru. Setelah  Tetuha Adat Suku Dayak dan kedua anak laki-lakinya menjadi seorang muslim maka secara pelan-pelan namun pasti diikuti oleh keluarganya yang lain hingga akhirnya seisi Balai Ulin  dan sekitarnya menjadi muslim.


21. Kesaktian Orang Dayak yang mereka miliki turun temurun.

Namun kala itu ada sebagian kecil keluarga Tetuha Adat Dayak Langara di Balai Ulin yang belum menerima Islam karena mereka takut  kehilangan kesaktian-kesaktian yang mereka miliki turun temurun. Diantara kesaktian yang mereka miliki adalah “Dapat mengobati orang sakit, Parang Maya, Balah Saribu, Pulasit dan cara Mengobatinya, Pambaci pada Seseorang atau Pambaci Dagangan, Panglaris Dagangan,  Panglit, Minyak Kuyang, Minyak Buluh Parindu, Minyak Karuang Bulik, Minyak Jalawat Cancang, Minyak Bankui Gila, baisian Rantai Babi, Minyak Landuk-landuk dan Minyak Paluncur Baranak.

Mereka sudah mempelajari Islam dengan Habib, tetapi Mereka beranggapan bahwa apabila masuk Islam maka kesaktian-kesaktian itu hilang  dan dibuang. Inilah salah satu alasan sehingga mereka enggan menerima Islam, mereka menjauhi keluarga Habib Abu Bakar dan mengasingkan diri dengan keluarganya  menuju ke Pegunungan Meratus. Lama kelamaan keturunan keluarga yang belum menerima Islam ini menjadi banyak. Terus membesar berkelumpok-kelumpok dan mereka tinggal menempati kaki-kaki  Pegunungan Meratus dan mereka masing-masing kelumpok itu membangun sebuah Balai Adat yang banyak menjamur di kaki-kaki  Pegunungan Meratus. Masing-masing Balai Adat dengan nama suku Dayak Meratus. Balai Adat - Balai Adat ini masih berdiri kukoh hingga pada sekarang ditahun 2021M.


22. Habib berdakwah 7-14 tahun di ruang Balai Adat kemudian ia mendirikan tempat ibadah (Langgar) dibelakang Balai Adat

Seperti pada malam-malam ketika menjalani hukuman adat, Habib menjalankan misi Dakwahnya di Balai Adat Balai Ulin, beliau membaur dengan masyarakat setempat dan setiap ada kesempatan beliau mulai Bakisah (berceritera) dalam Bahasa Banjar, ada syairnya /ada kata-kata mutiaranya dan pantunnya yang dibumbui sedikit homor dalam dakwahnya menyempaikan ttg Kehidupan Rasulullah Saw sebagai suri tauladan yang harus diikuti dan Peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di Timur Tengah. misalnya Bakisah ttg Cinta Rabi'atul Adawiah dengan Hasan al Basri, dan lain-lainnya. Orang-orang penghuni Balai mulai datang, mendekat, duduk menghadap Habib dan mereka mulai senang, tertawa dan terhibur mendengarkan dengan kisah-kisah dan sedikit homoris dari  Habib hingga waktu larut malam.

Berdakwah semacam ini dlakukan ketika ia tinggal bersama isterinya dalam Balai Adat “Balaii Ulin” saat itu dengan materi khusus ttg “Penanaman Aqidah Islam/tauhid” kepada Penghuni Balai. Dakwah tersebut ia lakuni hingga usia anak pertamanya  berumur 7 tahun, namun versi lain menyebutkan bahwa usia anak pertamanya berumur 14 tahun  kemudian ia dan isterinya memisahkan diri atau pindah dari Balai Adat yakni membuat rumah sendiri dan Mushalla “Baiturrahman” yang tak jauh dari Balai Adat.

Selanjutnya menurut  folklor  tutuha kami sebelumnya bahwa keberadaan Balai Adat Dayak, mereka.yang belum  mendapat hidayah Islam, yang berada dikaki-kaki Pegunungan Meratus itu, adalah sebahagian turunan dan dzuriat  dari Balai Adat Dayak  Balai Ulin, dengan nama sukunya  “Dayak Langgara”yang mendiami di tepi sungai Kali Amandit desa Lumpangi.

Adapun agama/aliran kepercayaan yang mereka /orang-orang Dayak anut adalah Kaharingan. Kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang mereka dan kepercayaan mereka tersebut disebut dengan sebutan "BALIAN atau BABALIAN".

Kita lihat dan kita amati bahwa sampai sekarang pun keberadaan Balai Adat yang ada dikaki kaki Pegunungan Meratus itu dikenal dengan nama sukunya “Dayak Maratus”, bahwa 1 buah Balai Adat dibangun terdiri dari beberapa kamar, 1 buah kamar dihuni oleh 1 keluarga dan ditengah-tengahnya dijadikan tempat untuk berunding, musyawarah, acara perkawinan,  aruh ganal (batandik) dilaksanakan 9 hari, 9 malam, aruh Baharin dan menyambut acara kelahiran anak, mamulai manugal banih dan aruh Bawanang (panen raya), begitu juga keadaan suku Dayak Langara di Balai Ulin Lumpangi tempu  dahulu dan sekitarnya sebelum datangnya Islam.

Kemudian Habib mendirikan tempat ibadah (Langgar) dibelakang Balai Adat, tempat untuk belajar dan mengajar tentang Islam. Setelah beberapa lama bersama Habib menantunya tinggal di Balai Ulin, kemudian Datu Muhammad Langara ayah mertuanya sudah punya cucu pertama laki-laki yang sehat dan ganteng an. Muhammad Djamiluddin.

Kelahirannya sangat  dinanti dan ditubggu oleh keluarga muslim dan keluarga Dayak. Ketika ia hadir (ia lahir) sanak keluarganya tertawa sangat bersukaria dengan menghadirkan jamuan hidangan dari seekor payau /menjangan. Ketiika ia berumur 7-14 tahun ayah dan ibunya memisahkan diri atau pindah dari Balai Adat. Membuat rumah sendiri dan Mushalla “Baiturrahman” yang tak jauh dari Balai Adat. Ketika ia berumur 14-15 tahun Balai Adat mulai bubar


23. Balai Adat Balai Ulin di pindah ke Pantai Dusin Hulu Bayu

Diceriterakan orang bahwa di awal pertengahan abad ke-18 Masihi Bumbuyanin bin Ulang memindah rumah Balai Adat Balai Ulin ke pemukiman  baru di Pantai Dusin Desa Hulu Banyu Kecamatan Loksado. Setelah mereka pindah lokasi pemukiman  dari Tamiang Malah Muara Hatip menuju lokasi baru yakni Pantai Dusin. 

Setelah Balai Adat Balai Ulin bubar awal abad ke-18 tahun 1722M karena banyak penghuni Balai Ulin yang memeluk Islam, maka Balai Ulin Desa Lumpangi mulai ditinggalkan oleh Suku Dayak yang belum menerima hidayah Islam, walaupun mereka sudah mengenal Islam dengan baik hingga bertahun-tahun.

Menurut sumber data bahwa sesudah Balai Adat Balai Ulin bubar maka beberapa tahun kemudian datanglah Dayak Ulang dan Bumbuyanin ke Lumpangi membawa ketiga anaknya agar diajari tentang Islam kepada Habib dan menemui kakaknya Muhammad Langara dan mohon agar Balai Adat Balai Ulin yang tidak berfungsi itu bisa dipindahkan ke Pantai Dusin Hulu Banyu.

Kemudian atas musyawarah dan kesepakatan bersama Balai Adat Balai Ulin Lumpangi dipindah ke Pantai Dusin Hulu Banyu, tetapi kakaknya minta agar 1 batang tiang dari bagian muka Balai Adat itu ditinggal atau dibiarkan tetap berdiri atau tidak dialih atau dipindah. Katanya "Tiang itu fungsinya dijadikan sebagai Simbol bahwa di Lumpangi pernah berdiri sebuah Balai Adat Dayak".

Menurut Ahmad atau Amat yang saya wawancarai, ia asal dayak Bayumbung yang sudah muslim ceritera dari datuk-neneknya bahwa " Bekas tiang-tiang ulin Balai Adat Balai Ulin itu telah diangkut atau dibawa ke Pantai Dusin Hulu Banyu".

Mereka (warga Dayak) mengangkut tiang-tiang ulin bolat sebatangan Balai Adat Balai Ulin tersebut lewat sungai dengan rakit bambu, mereka Tarik satu persatu hingga sampai di Pantai Dusin Hulu Banyu

Sungai Kali Amandit kala itu masih banyak teluknya (airnya dalam dan tidak deras) jadi mudah membawa tiang-tiang ulin bolat sebatangan tersebut dengan rakit bambu. Tidak seperti sekarang batu-batu sungi sudah banyak diambil untuk membuat jalan raya hingga akibatnya air sungai dangkal dan deras


Karomah Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf.

Salah satu Karomah terbesar Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf adalah ia  dapat menyembuhkan Puteri Milah yang sakit keras dengan seketika dan berislamnya satu keluarga kepala suku Dayak Lumpangi setelah peristiwa penyembuhan Puteri Milah

Diceriterakan bahwa saat berakhir masa tahanan Habib Abu Bakar selama 10 hari dan 10 malam, Puteri Milah (Siti Jamilah) jatuh sakit, mungkin ia kurang tidur dan sangat lelah menemani dan melayani tamu istimewanya. Diang Milah jatuh sakit secara tiba-tiba, ia tak sadarkan diri, ia pingsan dalam waktu cukup lama, Diang belum bisa sadar walaupun Tetuha Adat (Penghulu Adat) ayahnya sendiri berusaha keras mengobatinya dengan  melakukan Balian Basambui untuk menyembuhkan Puteri kesayangannya. Balian Basambui maksudnya Puteri diobati secara kebatinan orang Dayak, walaupun ia seorang tokoh adat yang mempunyai  kemampuan mempuni dalam hal mengobati orang yang sakit, namun dikala itu pengobatannya tidak membawa hasil apa-apa dan bahkan membuatnya dan penghuni Balai prostasi dan putus asa.

Menurut Folklor ceritra Datu-datu dan nenek kami bahwa “Melihat keadaan tersebut Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf, ia seorang tahanan mereka, yang baru saja datang beberapa hari kewilayah itu. Ia mencoba menawarkan diri kepada mereka untuk mengobatinya sang Puteri. Akhirnya dengan perasaan was-was terlihat pada wajah mereka, namun mereka dengan berat hati akhirnya mempersilahkannya. Habib meminta Secawan air putih, kemudian pada air itu ia bacakan do’a hidzip dan shalawat dan juga ada yang ia bisikkan pada telinga sang puteri, kemudian air tersebut Habib semburkan melalui mulutnya kearah kepala & tubuh pasennya hingga seketika itu Puteri sadar dari pingsannya dan sembuh dari sakitnya.”

Peristiwa pengobatan Puteri tersebut  tertuang dalam Artikel "Habib Abu Bakr Assegaf - Cerita para wali dan datu' yang diposting Jum'at, 01 Maret 2013M yang saya kutip menyatakan bahwa "Di kampung Lumpangi kala itu masih berupa kehidupan Balai, yaitu "Balai Ulin; dan di sana terdapat tokoh yang disebut penghulu Balai yang terkenal dengan kemampuannya mengobati orang sakit. Ternyata, kemampuan medis habib yang baru datang ke wilayah itu lebih tinggi darinya, sehingga warga Balai sangat terkesima dan akhirnya mau menerima Islam. Bahkan, disebutkan bahwa di antara tokoh habib itu ada yang menikahi puteri penghulu Balai Ulin.

Beliau (Habib) melihat dengan kacamata kesufiannya dan merasakan ada kesedihan yang dalam yang dirasakan dan menimpa pada Puteri Milah. Puteri sangat kuatir tidak berjumpa lagi dengan Sang pujaan hatinya. Inilah yang membuat hatinya khawatir dan membawanya frustasi dan juga stres. memikirkan kalau, kalau Habib Sang Pujaan hatinya pulang tidak kembali lagi kepadanya. Mengetahui hal ini, setelah sembuh dari sakitnya.” segeranya Habib melamar gadis yang pernah melayaninya dan menemaninya siang dan malam, sewaktu menjalani hukuman adat. Habib menjelaskan lamaran dan perkawinan bisa terjadi dengannya bila Puteri Milah, Langara (wali nikah), dan Talib dan Anjah (2 orang saksinya) merima hidayah Islam. Akhirnya dengan adanya sedikit perjanjian  dengan Habib, mereka menerima Islam dengan suka cita

Berkata Muhammad Bahrudin bin Marsal ( Beliau keturunan Syarifah asal Amawang) bahwa "Habib Djamaluddin adalah orang yang paling berprngaruh, ia orang yang paling alim dan ia orang yang paling berpengetahuan agama diantara semua penghuni makam di Kampung Balai Ulin ini, Ia memperoleh pengajaran langsung dari ayahnya, kakeknya dan pamannya. hal ini kalau bisa disembunyikan."

Menurut folklor ceritera datu dan nenek kami bahwa berkata sebahagian orang Lumpangi masa itu bahwa “Tiada ada Orang yang memilki keilmuan yang paling dalam dan luas tentang Islam kecuali dimiliki oleh Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar Assegaf".Ia memperoleh pengajaran dan bimbingan (suluk, riiyadhah) ilmu Islam langsung dari ayahnya, kakeknya dan pamannya.

24. Perkawinan Habib Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar Assegaf dengan Siti Sarah

Akhirnya Abu Thalib beserta isterinya dan Datu Muhammad Langara ayahnya membuat rumah baru dan pindah rumah ke kampung Batu Tangah. Kemudian Abu Thalib dikampung itu dikeruniai anak perempuan an. Siti Sarah. Nantinya untuk menambah kuatnya tali/hubungan darah/ kekeluargaan atau tali persaudaraan Habib Abu Bakar Assegaf mengawinkan Habib Muhammad Djamiluddin (Habib Lumpangi) anaknya setelah remaja dengan Siti Sarah binti Abu Thalib bin Datu Muhammad Langara, ia seorang perempuan dari kampung Batu Tangah.

Perkawinan sepupu tersebut membuahkan keturunan /nasab anak laki-laki salah satunya adalah an. Habib Ahmad Suhuf yang panggilan sehari-harinya Habib Ahmad.

Adapun adik kandung Muhammad Djamiluddin antara lain  : Sy. Ummi Badar, Sy. Amas (Mastora) dan yang paling  bungsu bernama Ahmad Djalaluddin, ia dilahirkan 10 Sya’ban 1149H/1736M di Desa Lumpangi bersamaan tahun dengan kelahiran Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin yakni  Ahad,10 Jumadil Awal 1149H/1736M dan kedua anak ini (Mamarina dan Kemanakan) tumbuh dan dibesarkan dilingkungan orang-orang  muslim yang taat Agama islam di Desa Lumpangi, silsilah nasabnya tercatat dengan baik. 

Setelah remaja - hingga dewasa ia (Ahmad Suhuf) dikawinkan dengan Diang Galuh Aminah sepupunya asal desa Muara Lumpangi cucu Hamzah.Perkawinan Habib Ahmad tersebut punya anak, yang salah satunya an. Abu Bakar as-Tsani.

Balai Adat Bumbuyanin dulu/pertama diperkirakan berdiri ditepi Sungai disekitar Kampung Datar Laga dan Datar Mangkung tepatnya kampung Pantai Dusin. Adapun orang-orang yang tiada mau menerima Islam, mereka pindah atau menjauh dari Kaum Mulimin. Dengan adanya sebab akibat dan bergesirnya waktu  tempu dulu maka Balai Adat Bumbuyanin pindah lokasi / tempat, sekarang Balat Adat tersebut beralamat di desa Kemawakan Kec. Loksado.

Habib Abu Bakar lahir Hadramaut, Yaman Yordania diperkirakan Kamis, tnggal 11 Dzul Hijjah 1068H. Habib Lumpangi Assegaf tinggal bersama isterinya Siti Jamilah dan anak-anaknya antara lain an. Muhammad Djamaluddin, Syarifah Umi Badar, Syarifah Amas.Ahmad Djalaluddin, beserta  cucu-cucunya  antara lain  Ahmad,  Husein, Alwy,  dan  juga sebahagian keluarga isterinya yang lain di rumah kampung Balai Ulin. Habib Lumpangi adalah salah seorang yang diberi Allah Swt umur panjang, ia berumur lebih dari 86 tahun Masihi. Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf  akhirnya wafat dipangkuan isterinya Jum'at, 17 Dzul Hijjah 1172H.


25. Anak-anak Datu Habib  Lumpangi Abu Bakar bin Hasan Assegaf

Anak-anak Datu Habib  Lumpangi antara lain  :

  1. Shalih (ibunya dari Seiyun Hadramaut)
  2. Muhammad Djamiluddin
  3. Sy. Ummi Badar,
  4. Sy. Amas (Mastora) dan
  5. Ahmad Djalaluddin, anak yang paling  bungsu

Adapun anak laki-laki Habib Datu Lumpangi Abu Bakar bin Hasan Assegaf yang terkomvirmsi saat ini akhir tahun 2023 abad ke-21 Masihi dan silsilah nasabnya tercatat dengan baik antara lain ”

  1. 1.   Shalih
  2. 2.   Muhammad Djamiluddin
  3. 3.   Ahmad Djalaluddin

Pernah aku dengar dari ceritra sebahagian Habaib bahwa Habib Datu Lumpangi beristeri  antara 4-5 orang  dan punya anak berjumlah 9 orang dan isteri terakhir Beliau seorang perempuan dari suku Dayak.

Jadi sesudah isteri pertama wafat, ia ikut serta rombongan kakeknya  Hasyim bin Muhammad bin Umar ash-Shafi berhijrah - berdagang permadani, kain dan jenis perhiasan ke Asia Tenggara sambil mencari rempah-rempah dengan membawa misi dakwah dari kakek moyang mereka yakni Rasulullah Saw, dimasa Kesultanan Demak di Jawa Tengah, mereka menetap di Kelurahan Randusari Kec. Semarang Selatan. Nah dari sini hingga menetap di Desa Taniran ada 4 sd. 6 orang anak Habib Datu Lumpangi keturunan dari isterinya yang ke-2, ke-3 dan  ke-4  yang belum terkonvirmasi hingga saat ini


26. Saudara kandung Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar Assegaf  

Adapun adik kandung Muhammad Djamiluddin antara lain  : Sy. Ummi Badar, Sy. Amas (Mastora) dan yang paling  bungsu bernama Ahmad Djalaluddin, ia dilahirkan bersamaan tahun dengan kelahiran Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin yakni 10 Sya’ban 1149H/1736M di Desa Lumpangi, dan kedua anak ini tumbuh dan dibesarkan dilingkungan orang-orang  muslim yang taat Agama islam di Desa Lumpangi, silsilah nasabnya tercatat dengan baik.

Menurut catatan Habib Ahmad Ilham bin Janggi Ali Assegaf bahwa “Ahmad Djalaluddin salah satu anak laki-laki Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf.” Hal ini dapat dilihat catatan silsilah nasabnya yakni Ahmad Ilham bin Janggi Ali bin Jambran bin Jama’in bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Husain bin Ahmad Djalaluddin bin Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim bin Muhammad Assegaf……..

الْحَبِيْب عَبْدُ القَدِيْر الْجَيْلَانِيِّ بِنْ عَلْوِىْ بِن زَيْنْ بِنْ عَلِيٍّ بِنْ عَلْوِىْ بِنْ عَبْدِاللهِ بِنْ صَالِح بِنْ اَبًوْ بَكْرٍ بِنْ حَسَنٍ بِنْ هَاشِمٍ بِنْ مًحَمَّد بِنْ عًمَرَ الصُّوْفِيِّ [عُمَرُ الصَّافِيّ] بِنْ عَبْدُ الرَّحْمن بِنْ مُحَمَّد بِنْ عَلِيٍّ بِنْ اَلْاِمَامً عَبْدُ الرَّحْمن اى وَلِيُّ الله الْفَقِّيْه الْمًقّدَّم الثانيّ السَّقَّافُ

الْحَبِيْب حَسَنْ بصْرِىْ  بِنْ مًحَمَّدْ بَرْسِيْه بِنْ اَحْمَدْ بَدْريْ بِنْ  تَنْقِرُ الْغَوَى بِنْ اَبًوْ طَيْرٍ مُحَمَّدْ بِنْ اَبًوْ طَعَامٍ اِبْرَاهِيْمَ بِنْ اَبُوْ بَكْرٍ الثَّاني بِنْ اَحْمَدْ صُحُف بِنْ مًحَمَّدْ جَميْلً الدِّي  بِنْ اَبًوْ بَكْرٍ بِنْ حَسَنٍ بِنْ هَاشِمٍ بِنْ مًحَمَّد بِنْ عًمَرَ الصُّوْفِيِّ [عُمَرُ الصَّافِيّ] بِنْ عَبْدُ الرَّحْمن بِنْ مُحَمَّد بِنْ عَلِيٍّ بِنْ اَلْاِمَامً عَبْدُ الرَّحْمن اى وَلِيُّ الله الْفَقِّيْه الْمًقّدَّم الثانيّ السَّقَّافُ

الْحَبِيْب اَحْمَدْ اِلْحَامْ بِنْ جنغِيْ عَلِيٍّ بِنْ جَمْبارَان  بِنْ  جَمَاعِيْن بِنْ اَحْمَدْ  بِنْ عَلِيٍّ بِنْ عَبْدُاللهِ  بِنْ حُسَيْنُ بِنْ اَحْمَدْ جَلَالُ الدِّيْن بِنْ اَبًوْ بَكْرٍ بِنْ حَسَنٍ بِنْ هَاشِمٍ بِنْ مًحَمَّد بِنْ عًمَرَ الصُّوْفِيِّ [عُمَرُ الصَّافِيّ] بِنْ عَبْدُ الرَّحْمن بِنْ مُحَمَّد بِنْ عَلِيٍّ بِنْ اَلْاِمَامً عَبْدُ الرَّحْمن اى وَلِيُّ الله الْفَقِّيْه الْمًقّدَّم الثانيّ السَّقَّافُ


27. Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf wafat tahun 1759M/ 1172H

Sayyid Abu Bakar ayahnya Habib Lumpangi adalah orang yang sangat setia dan menepati janjinya, ia benar-benar melaksanakan Adat Dayak. ia tidak pernah meninggalkan isterinya. Dan Beliau tinggal bersama isterinya Siti Jamilah dan anak-anaknya  beserta cucu-cucunya dan keluarga isterinya di rumah Balai Ulin hingga akhir hayatnya.

Menurut tradisi adat Dayak bahwa "Bila seseorang laki-laki lajang (perantau atau pendatang) menikahi perempuan suku Dayak maka ia harus ikut tinggal di tanah kelahiran isterinya, sebagai bentuk kesetian adat Dayak". Tetapi bila kangen dengan ayah-ibu atau sanak keluarga ia boleh menenguk mereka sendirian atau bersama isterinya, setelah selesai hajatnya ia harus kembali lagi kerumah isterinya. Suaminya hanya memiliki satu isteri maksudya tidak dimadu. Beliau benar-benar setia menjalani hukum adat Dayak yang ia sepakati, saat ia ingin mengislamkan Tetuha Adat, Puteri dan kedua saudara puteri yakni tidak akan meninggalkan mereka hingga ajal menjemputnya.

Beliau wafat di kampung Balai Ulin Lumpangi hari Jum'at, tanggal 17 Dzul Hijjah 1172H, dipertengahan akhir abad ke-18 Masih. Bertepatan dengan 10 Agustus tahun 1759 Masihi. Dan makam Beliau berdampingan dengan makam isterinya Siti Jamilah binti Muhammad Langara dan Haulan Beliau terebut dilaksanakan oleh Ahlul Bait setiap tanggal 17 Dulhijjah. Dan i Beliau dimakamkan di kampung Balai Ulin Lumpangi. 

Adapun Buyut Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf yang terkonvermasi antara lain  :

Alwi (w.1842M) bin Abdillah bin Shalih bin Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf makam di Martapura
Abu Bakar ats-Tsani (w.1902M) bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Jamiluddin bin Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf makam di Kampung Balai Ulin Lumpngi
Abdullan (w.1872M) bin Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf Assegaf makam di Kampung Balai Ulin Lumpngi


28. Perkawinan Habib Abu Bakar as-Tsani  Assegaf dengan Umi Salamah (Dayak Diang Gunung)


Menurut ceritera Habib Muhammad Jamberi dan yang dikuatkan ceritera Habib Muhammad Burhanuddin bin Ahmad Baderi Assegaf yang saya temui dan saya wawancarai di kediamannya Desa Tabihi tentang asal sebahagian orang-orang Hulu Banyu menerima hidayah Islam. Dan beliau berceritera ceritera dari sepupunya Habib Muhammad Djamberi bin Ahmad Darani Assegaf bahwa Habib Abu Bakar as-Tsani adalah buyut Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf kawin dengan Umi Salamah (nama asal dayak : Diang Gunung) binti Bumbuyanin bin Ulang dari Hulu Banyu kampung Pantai Dusin yang telah menerima Islam (puteri ini adalah sepupu Habib). Hasil perkawinan ini menurunkan nasab, tiga anak laki-laki an. :

  1. Ibrahim (gelar Abu Tha'am),
  2. Abdul Lathif (gelar Abu Aly)
  3. Abdullah" (gelar Abu Tayau).

Adapun Abu Tha'am ibrahim menikah dengan Diang Tangang (Siti Rahmah) ia seorang wanita janda muda yang sudah punya anak ditinggal mati suaminya. ia cantik memikat hati Habib, ia bersal desa Tangang Bamban Kec. Angkinang, dari pernikahan tersebut Habib punya anak tunggal an. Muhammad (gelarnya Abuthair atau Ambutheir). setelah dewasa Abuthair Muhammad menikah dengan Siti Siadah atau Tiadah asal desa Amuntai dan Habib punya anak tunggal an. Tanqir Ghawa. Kemudian dari Abdul Lathif menurunkan anak an. Habib Aliadam adalah Datunya Habib Muhammad Djamberi Assegaf.

Kemudian untuk menambah kuatnya hubungan darah dan tali kekeluargaan, juga dilakukan oleh Habib Muhammad Djamiluddin Assegaf (Habib Lumpangi) diperkirakan w.1781 Masihi  mengawinkan cucunya an. Habib Abu Bakar as-Tsani dengan anak sepupunya Tetuha Adat Dayak Bumbuyanin kampung Pantai Dusin, maka setelah dewasa Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf Assegaf dinikahkan dengan Umi Salamah (nama asal : Diang Gunung) binti Bumbuyanin bin Ulang. 


29. Dayak Bambang Basiwara dan adik kandungnya Diang Gunung menerima hidayah Islam

Malalui perkawinan Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad dengan Umi Salamah dengan Wali nikahnya kakaknya sendiri yakni Bambang Basiwara. Perkawinan ini terjadi Selasa,tanggal 14 Sya'ban 1202 H / 1788 Masihi diakhir pertengaan abad ke-18 Masihi dahulunya maka dengan Islamnya kedua kakak beradik tersebut telah diikuti oleh orang-orang suku dayak daerah Hulu Banyu Loksado, sebahagian mereka juga mendapat hidayah Islam. , .

Dengan berislamnya kedua kakak beradik an. Bambang Basiwara dan Diang Gunung (Umi Salamah) diikuti keluarga Dayak lainnya dan maka malalui perkawinan ini orang-orang suku dayak kampung Pantai Dusin Hulu Banyu di Kecamatan Loksado dulu, seperti 

  1. kampung Tar Mangkung, 
  2. kampung Tar Laga. 
  3. kampung Lambuk 
  4. kampung Tar Belimbing dan 
  5. kampung sebahagian Kemawakan menjadi Muslim. Dan juga diseberang Sungainya seperti 
  6. kampung Majulung, 
  7. kampung Ni'ih 
  8. dan kampung Tanuhi 
  9. kampung Hutap 
  10. kampung Tariban menjadi Muslim.  

Ulang sudah mengenal Islam dengan baik, dia adalah adik kandung Muhammad Langara yang belum muslim. Kemudian namanya diabadikan oleh masyarakat setempat / dzuriat anak cucunya menjadi nama kampung atau nama desa, maka bernamalah lokasi tempat kediamannya menjadi desa Ulang. Dia adalah seorang Dayak yang melahirkan suku Dayak Ulang didesa Ulang. Dan sebagian desa-desa sekitarnya menjadi muslim seperti kampung Tariban dan kampung Hutap, tetapi untuk desa Olang sendiri tahun 1970 an sudah dimasuki Agama Kristen.

Dan suku Dayak Bumbuyanin dan Bayumbung juga keturunan Ulang. Untuk mengenang Datunya maka dzuriat anak cucunya nama “Bumbuyanin” menjadi nama pada Balai Adat Dayak. Dinamakanlah Balai Adat dimaksud  dengan nama “Bumbuyanin”. Balai Adat tersebut sekarang yang beralamat /berlokasi di desa Kemawakan. Begitu juga nama Balai Adat Bayumbung yang berlokasi di Desa Halunuk.

Bumbuyanin adalah nama Tetuha Adat Dayak yang mempunyai 3 anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Dimasa kecilnya mereka bertiga pernah diutus atau dikirim orang tuanya ke Desa Lumpangi untuk menuntut Ilmu Islam kepada Habib Djamiluddin bin Abu Bakar Assegaf oleh karenanya mereka sangat mengenal Islam dengan baik. Dimasa pendidikan inilah Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf mulai mengenal dan menyukai Umi Salamah sepupunya.

Adapun anak Bumbuyanin yang pertama bernama Ayuh atau Datu Ayuh atau Dayuhan atau Sang Dayuhan, digambarkan orang bahwa dia seorang lelaki yang berfisik kuat, gemar berkelahi atau berperang tetapi kurang cerdas, mudah/gampang marah, sulit menerima hal-hal yang positif dan dia menurunkan suku dayak Gunung Meratus.

Sedangkan anak yang ke-2. Bambang Swara atau Bambang Basiwara. digambarkan orang bahwa dia berfisik agak lemah tetapi sangat homoris, punya otak berlian dan cerdas dan menerima hal-hal yang positif. Ketiga anak sudah mengenal Islam dengan baik tetapi Datu Ayuh belum berani berislam. Sebab takut kehilangan kesaktian-kesaktin yang dia miliki turun-temurun.

Dan yang ke-3 adalah perempuan bernama Umi Salamah (Diang Gunung), dia seorang puteri yang sangat cantik yang dinikahi oleh Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamaluddin bin Habib Abu Bakar Assegaf pada pertengahan abad ke-18 Masihi. Melalui perkawinan ini Bambang Basiwara sebagai wali dari adik perempuannya. Bambang Basiwara ini  ia menjadi seorang muslim dan dia menurunkan suku Banjar.

Versi lain ada yang punya berpendapat bahwa ceritera ketiga anak ini dikenal oleh sebagian masyarakat Dayak Maratus yang pertama bernama Ayuh atau Datu Ayuh atau Sang Dayuhan, dia seorang lelaki yang berfisik kuat, gemar berkelahi atau berperang tetapi kurang cerdas, sulit menerima hal-hal yang positif, sosok ini di sebut  Dayuhan. Yang ke-2. Bambang Swara atau Bambang Basiwara. dia berfisik agak lemah tetapi punya otak berlian dan cerdas dan menerima hal-hal yang positif dan sangat homoris, sosok ini dikenal dengan nama "Paluy" sedangkan yang ke-3 adalah perempuan bernama Diang Gunung, dia seorang puteri yang sangat cantik rupawan, sosok ini disebut "Intingan".

 

30. Perkawinan Habib Abu Bakar as-Tsani  dengan Wanita lain asal kampung Batu Tangah

Menurut sumber bahwa isteri Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf yang bernama Umi Salamah binti Bumbuyanin ketika berusia 44 tahunan ia sudah sering sakit-sakitan hingga membawa maut dan ia punya 4 orang cucu an. Muhammad bin Ibrahim dan Aliadam, Abdul Karim dan Abdullah bin Abdullatif.

Namun disisi lain Habib Abu Bakar as-Tsani bahwa setelah isterinya (Umi Salamah binti Bumbuyanin) wafat diperkirakan usianya 45 tahun maka ada kemungkinan dan diduga kuat Habib Abu Bakar bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamaluddin Assegaf ini, Beliau menikah lagi dengan wanita  muda lain disisa usianya yang panjang sehingga pernikahan itu punya anak atau keturunan yang baru, selain keturunan yang telah kami sebutkan diatas yang belum kami gali dan belum kami ketahui kejelasannya dan juga nasab silsilahnya. Akan tetapi apabila ditelusuri artikel yang ditulis Saadilah Mursyid maka diduga kuat bahwa anak dari isteri barunya  asal kampung Batu Tangah dimaksud itu bernama Habib Husin dan Habib Ahmad dan menurut artikel dimaksud dzuriatnya masih ada dan tersebar hingga sa'at ini.

Kami belum mendengar tetapi yang lain ada yang tahu ceritera (keterangan) ini bahwa setelah isterinya (Umi Salamah binti Bumbuyanin) wafat diperkirakan usianya 45 tahun maka Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf ini, Beliau menikah lagi dengan wanita lain sehingga pernikahan itu punya anak atau keturunan yang lain (yang baru), selain tiga keturunan yang telah kami sebutkan yakni Ibrahim, Abdullatif dan "Aly dan keterangan tersebut belum kami gali dan belum kami ketahui kejelasannya. Akan tetapi kami hanya menelusuri artikel yang ditulis Saadilah Mursyid maka diduga kuat bahwa anak tersebut bernama Habib Husin dan Habib Ahmad dan menurut artikel dimaksud dzuriatnya masih ada dan tersebar hingga sa'at ini.

 

31. Tragedy runtuhnya Balai Adat Hulu Banyu pecehan Balai Ulin

Selanjutnya di ceriterakan  orang  bahwa pada  zaman dahulu, setelah pecah dan bubarnya  Balai Adat di Balai Ulin Lumpangi, kemudian berdiri Balai  Adat yang  kedua  di kampung Pantai Dusin  Hulu Banyu, balai Adat  tersebut  dibangun  di tepi sungai, berdekatan dengan kampung  Datar Laga dan kampung Datar Mangkung. Tetuha  Adat pertama  bernama  Bumbuyanin,  dia  adalah anak sulung  Tetuha Adat  Ulang. Pada masa cucunya, Balai Adat  ini  mengalami tragedy mencekam. Ketika itu Balai beserta  penghuninya hanyut (larut) di bawa  air  bah (ba'ah) besar, mungkin 6-7 kepala keluarga penghuninya  tidak dapat  menyelamat diri.

Sebagian orang ada yang berkata bahwa Tragedy Balai Adat Hulu Banyu pecehan Balai Ulin Lumpangi Loksado terjadinya 7 Rajab 1247H/1831 Masihi.  Dengan adanya sebab akibat dan bergesirnya waktu  tempu dulu maka penghuni Balai Adat Bumbuyanin pecah terbagi dua kelompok. ada penghuninya yang bertahan dan memindah Balai Adat tidak jauh lokasi Pantai Dusin yakni (Balai Adat Tanginau) dan kelompok kedua memindah jauh dari lokasi awal, sekarang Balai Adat tersebut beralamat di desa Kemawakan Kec. Loksado.


32. Letak Geografis Balai Adat Bumbuyanin

Menurut ceritera Habib Basrani Noor bin H.Muhammad Barsih Assegaf (Usia 57 tahun) yang saya wawancarai bahwa Balai Adat Pertama sesudah  Balai Ulin Lumpangi di Hulu Banyu Loksado adalah Balai Adat Bumbuyanin yang terletak di Pantai Dusin. Pantai ini terletak dihulu kampung Uling  setelah kampung Majulung, ia berseberangan dan dekat  kampung Tar Laga dan kampung Tar Mangkung. Di kampung Pantai Dusin inilah Bumbuyanin sebagai Tetuha Adat membangun Balai Adat yang terletak ditepi udik tiga muara sungai Amandit.

Menurut Ahmad atau Amat yang saya wawancarai, ia asal dayak Bayumbung yang sudah muslim bahwa "Letak Balai Adat Pantai Dusin itu, kalau kita berada dari kampung Lambuk menuju hulu sungai ke Tar Mangkung terus ke kampung ar Laga terus ke kampung Uling terus kehulu lagi hingga Pantai Dusin, dan dihulu Pantai Dusin itu sekarang Balai Adat Tanginau".


33. Kisah Keadaan Balai Adat sebelum terjadinya Banjir besar.

Konon di ceriterakan bahwa  ada seorang istri Tetuha Balai muda Pantai Dusin dan menentunya sedang hamil muda (ngidam) secara bersamaan.keduanya sering pusing-pusing dan tidak mau makan bahkan berhari-hari, membuat suaminya pusing kepala. Kedua istri yang ngidam ini pingin sekali memakan iwak hidup yang (dipalan) dimasak dalam seruas batang buluh. 

Akhirnya untuk memenuhi hasrat isteri dan menentunya yang hamil muda, maka suami an.Dusin (Pang Dusin) dan anak lelakinya an.Uling (Pang Uling). Dipagi hari yang cerah mereka pergi ke sungai dengan membawa sebuah jala (lunta) mencari iwak hidup. Kepergian keduanya diikuti oleh seekor anjing setianya bernama si “Balang”

Konon  bahwa  Penghuni Balai Adat ini  memakan anak orang (dalam bentuk  seekor  iwak sili-sili sebesar buah Bunglay berkepala seperti anak Naga atau ikan berkepala yang aneh). Yang mereka  peroleh  dengan  menjala (melonta) di sungai. Di ceriterakan bahwa Penjala ikan “Tidak seperti biasanya, setelah berkali-kali ia melepas jaring jalanya ke sungai dan menariknya pelan-pelan, tetapi ia tidak merasakan dan menemukan adanya ikan yang tersangkut dijaring jalanya, kecuali seekor ikan tilan/ sili-sili sebesar buah bunglay yang berbentuk aneh (berkepala seperti anak Naga). Ikan itu dilepas kembali ke sungai, mereka semakin jauh berjalan menuju hulu sungai. Sehingga menghabiskan waktu berjam-jam, menjala ikan,  tapi tak seekorpun  ikan yang dicari didapat.hingga perut mereka merasakan lapar. 

Bahasa orang Banjar “Ujar anaknya, parut ulun sudah lapar, amun kaya ini bahay, kita kada kulihan iwak.saikung-ikung baik kita bulikan haja kerumah, bahay. Ujar nang abah, hadangi dahulu nakay, aku masih panasaran, sakali  laginah aku menimbai lonta. Lalu Lonta itu ditimbai ketengah sungai dan ditarik pelan-pelan, ternyata  ikan Aneh itu lagi yang terjaring. Ujar nang abah jangan dibawa! nakkai iwak itu” tetapi ujar nang anak, "Napa kita lauk makan, bini ulun kada mau makan saharian".

Kita bawa haja ke rumah, Ulun berkeyakinan bahay bahwa jenis iwak nang kaya ini banyak terdapat di sungai ini sebab lain-lain warnanya iwak nang kena di jaring kita walaupun iwak itu sama ganalnya, yang pertama iwak nang kena jaring kita warna kehitam-hitaman, kemudian iwak itu kita lapas, yang kedua iwak nang kena jaring kita warnanya hitam campur putih,  yang ketiga yang kena jaring kita warnanya hitam campur ungu, dan warna lainnya. Sedangkan terakir nang kena jaring kita warnanya keemasan, ulun lihat lebih dari 5 warna nang kena jaring kita seperti lagenda warna naga dalam warna pelangi, jadi rasanya kada mungkin bahay iwak jalmaan.

Kemudian .iwak hidup itu dibawa pulang oleh ayahnya, sedangkan Uling singgah dipahumaan dan sesampainya ke Balai, Dusin disambut istrinya riang gembira. Iwak hidup disiangi, dipotong-potong dan (dipalan) dimasak dalam seruas batang buluh muda, tak lama setelah itu tercium dengan bau aromanya yang lezat dan siap dimakan bersama-sama hingga habis, dan lupa menyisakan untuk Uling anaknya

Sejurus kemudian datanglah seorang laki-laki tua bungkuk berpakaian serba putih dan bertongkat, dari arah hilir sungai, ia berjalan tergopuh-gopuh dengan tongkatnya sedang mencari anaknya yang hilang, dan ia bertanya-tanya kepada orang-orang yang ditemuinya tetapi jawaban orang selalu tidak kenal dan tidak pernah melihatnya. Kemudian ia masuk ke teras balai dan bertanya kepada Penghuni Balai Adat Bumbuyanin kala itu yang berlokasi di pantai dusin. Kakek tua itu menjelaskan kepada mereka bahwa “ia orang tarlaga (tar-laga = tar artinya rumah/liang/lobng, laga artinya naga) dan ciri-ciri anaknya an.Mangkung "Berkepala Naga dan berbadan ikan sili-sili sebesar buah Bunglay, akibat dari kena kutukannya.

Ia pernah berkata kepada anaknya" Hai Mangkung anakku, kamu akan selamanya jadi iwak sili-sili berkepala naga terkecuali jika kau besar nanti ditemukan orang dan kau dimakan oleh dua perempuan sedang hamil muda (ngidam) baru kau dapat beringkarnasi /menetis/menjelma hidup normal kembali lewat kedua Rahim perempuan hingga kamu dilahirkan dari perempuan tersebut. Baru kutukan terhadapmu akan berakhir.

Karena merasa malu dan bersalah dengan orang tua itu mereka menyembunyiannya terhadap apa mereka perbuat, Kata Penghuni Balai “kami tiada melihat anak sampian”, kata orang tua itu "Kau bohong, Kalian semua berdusta " 

Disini terjadi perdabatan sengit, yang akhirnya kata orang tua itu "Iwak yang kalian makan itu adalah anakku, tetapi adakah lagi sisanya atau tulang-tulangnya ? "Aku mohon aku pinta kembalikan kepadaku" kata orang tua itu. Kata Penghuni Balai “habis tiada tertinggal sedikitpun”, padahal tulang-tulangnya masih ada. kata orang tua itu, ‘Sebagai gantinya anakmu dan cucumu” yang masih dalam kandungan itu akan aku bawa, nanti keduanya akan aku jadikan Pengiran dan Ratu dikerajaanku " tetapi Kalian masih berbohong" tetapi jika benar bahwa kalian tidak berbohong, maka Tongkatku ini tidak akan bisa mengeluarkan air. 

Pak Tua itupun turun dari Balai menuju halaman, ia memajamkan matanya lalu bibirnya kumat-kamit membaca mantera dan mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi disambut sembaran kilat dan patir menggalagar, lalu orang tua itu menghunjamkan tongkatnya ke tanah, maka keluarlah mata air yang melimpah disertai angin dan hujan dengan derasnya selama 3 hari dan tiga malam tidak henti-hentinya dan orang tua itu merubah bentuk menjadi seekor Naga sebesar pohon Ena, dan panjang sepanjang pohon kelapa tua, lalu ia merobohkan bangunan Balai dengan mengikat tiang-tiangnya dengan ekornnya dan menghilang ditelan air. Kemudian terjadilah air ba’ah yang besar, sunami yang besar secara tiba-tiba, hingga  Balai Adat kampung Pantai Dusin dan Penghuninya  hanyut ditelan air ba'ah yang dahsyat. 

Selamat dan beruntunglah Uling dari musibah air ba’ah yang besar, tapi ia bersedih kehilangan anak dan isteri dan juga keluarganya. Ketika itu tanaman padi sudah setinggi dada (banih sudah rangkumkupak) ia pulang dari melonta bersama Dusin ayahnya, hari menjelang senja Uling dan seekor anjing setianya si “Balang”singgah menjenguk pahumaannya, dan ketika sesampainya disana, ia menghidupkan parapian (balaman api) sambil membakar ubikayu untuk mengganjal perutnya hingga ia tertidur pulas hingga pagi dipondok humanya. Di hari itu turun hujan sangatlah deras selama 3 hari dan tiga malam tidak henti-hentinya dan disertai angin kencang, ia lihat air sungai pun yang melimpah dan membuatnya tidak bisa pulang ke Balai beberapa hari

Selanjutnya menurut Baliau bahwa diperkirakan keberadaan Balai Adat kampung Pantai Dusin yang di bangun oleh Bumbuyanin dan diturunkan kepada anak tertuanya Datu Ayuh atau nama lainnya sang Dayuhan, tidak sampai dari satu abad, Balai Adat dan penghuninya ini kena musibah, semuanya telah hanyut diterjang banjir besar, kecuali orang-orang yang selamat adalah orang-orang yang masih tinggal ( badim dipahumaan).


34. Tanah Bekas lokasi bangunan Balai Ulin menjadi badan sungai

Adanya peristiwa air ba’ah yang besar menghayutkan Balai Adat dan Penghuninya tersebut, air bah itu  telah melewati desa Lumpangi, kemudian arus air sungai membelah dua, yakni : Tanah bekas lokasi bangunan Balai Ulin dulu berubah menjadi badan sungai baru pada bagian kiri dan lebih deras airnya dari badan sungai lama pada bagian kanan, hingga timbul murung (pulau) ditengah-tengah belahan sungai tersebut. Sekarang ini, kalau kita menyebaragi kali Amandit lewat jembatan gantung menuju Kubah Datu Lumpangi, dan kalau kita berdiri di tengah-tengah jembatan itu memandang kehilir sungai. Maka kita akan melihat sungai itu membalah dua dan dihilir murung (pulau),  air sungai itu menyatu kembali

Sebagian ada yang berkata menurut Datu-Nenek kami bahari bahwa "Warna air ba'ah itu putih seperti susu kehitam-hitaman dan sangat kalat  rasanya, seperti bercampur belirang atau bau batu bara sehingga mata iwak-iwak atau ikan -ikan kabur, maka banyak ikan-ikan yang naik ke tepi sungai untuk menyelamatkan diri dan akhirnya mati terkapar, akibat matanya tidak dapat melihat lagi dalam air karena pengaruh kalatnya air ba'ah itu. Hal ini sangat menggembirakan dan menguntungkan masyarakat Lumpangi mereka panen ikan sa'at itu".

Akibat terjadinya Erosi. Fostur tanah tempat berdirinya Balai Adat "Balai Ulin Lumpangi" dan sekelilingnya menjadi rendah atau talabuh atau tanahnya terkikis sebagai akibat air ba’ah itu.

 Sebagian erosi dilakukan oleh air, angin, dalam bentuk gletser adalah sebuah bongkahan atau endapan tanah yang besar dan tebal yang terbentuk di atas permukaan tanah. Selain itu, erosi juga dipengaruhi oleh letak astronomis.

Maka menjadi keuntungan bagi masyarakat Desa lumpangi.  Sebab disaat itu desa Lumpangi ini sudah lama berdiri sebuah Mesjid tua bernama Jannatul Anwar. Dulu masjid ini dibangun  ditepi sungai Amandit, kemudian akibat  air ba’ah yang besar (ba’ah/banjir), maka sungai kali Amandit pindah mendekati bukit batu Langara, dan arus sungai dekat pasar dan sebagai akibat erosi tanah, arus sungai di bawah-halaman Masjid menjadi pantai. Yaitu sebuah bongkahan atau endapan tanah yang besar dan tebal yang terbentuk di atas permukaan tanah.  Sehingga arus sungai sekarang ini jauh dari Masjid. Sedangkan  bukti  sungai itu pindah sendiri bahwa bukti masih ada. Dan terlihat jurang tanah bekas dinding sungai dibelakang/samping WC Masjid tersebut. Ini adalah salah satu karamah masjid yang dibangun mula-mula oleh Datu Habib Lumpangi dan anak cucunya ,bersama masyarakat di sekitarnya

 

35. Merihab Masjid Jannatul Anwar Desa Lumpangi

Di desa Lumpangi ini dulu berdiri sebuah Mesjid Tua bernama Jannatul Anwar. Dulu masjid ini dibangun oleh Datu Lumpangi dan anak cucunya ,bersama masyarakat di sekitarnya.  Ada kemungkinan bahwa masjid perdana ini dibangun sangatlah sedarhana, dengan tiang-tiangnya ulin, turus tawingnya kayu sungkai, pertama atap rangkup, terus diganti dengan atap daun Rumbia, berdindingkan (tawing) palupuh paring, berlantai tanah. Sebagai buktinya atap dan dinding (tawing) masjid terbuat dari Bambu bahwa masih banyak ditemukan rumpun-rumpun  Bambu disekitar Masjid. Dalam ruangan masjid memuat tidak kurang dari 4 shap, bahkan samapai 5 shap. setiap 1 shap bisa diisi antara 10  dan 11 orang. Mazhab Imam Syafi’i bahwa shalat Jum’at baru dapat dilaksanakan kalau  jama’ah laki-lakinya tidak boleh kurang dari 40 orang mukallaf. .

Sekitar tahun 1970-1975 an masjid ini sudah mengalami perumbakan atau rehab, pembuatan kolam semen dikiri masjid (sekarang menjadi halaman masjid), lantai dan teras masjid yang asalnya lantai dan terasnya ulin diganti dengan semen tetapi tanpa keramik. Masyarakat waktu itu suka rela bergotong royong mengambil pasir dan batu ditepi sungai.Perumbakan atau rehab ini, tidak merubah struktur kontruksi  bangunan dan bentuk masjid sehingga nilai-nilai sejarahnya masjid ini masih ada dan tetap terjaga. Siapa saja masyarakat yang ikut shalat jum’at dimasjid Jannatul Anwar Lumpangi ? Tentu saja masyarakat yang mengikuti shalat jum’at dimasjid Jannatul Anwar itu dari lingkungan Masjid itu sendiri, dan masyarakat yang ada di kampung Muara Lumpangi, masyarakat yang ada di kampung Batu Tanggah,  masyarakat yang ada di kampung datar Tandui, masyarakat yang ada di kampung muara Ahan, masyarakat yang ada di kampung Muara Kitar, masyarakat yang ada kampung Lok Bungur dan masyarakat yang ada di kampung Mintatayi. Sesudah tahun yang disebutkan penulis diatas, penulis tidak  mengetahui lagi tentang lanjutan rehab Masjid ini.

Sebelum terjadinya banjir besar Masjid Jannatul Anwar Desa Lumpangi sudah beberapa kali diperbaiki oleh Masyarakat sekitarnya. Tetapi beberapa tahun setelah terjadinya air ba'ah besar itu maka Masjid Jannatul Anwar Desa Lumpangi dipugar kembali atau di Rehap total dan dibangun kembali oleh Habib Abu Thair dan Masyarakat sekitarnya dengan Arsitik yang bagus.

Menurut ceritera penuturan Habib Bahriansyah Assegaf.yang saya temui dirumahnya bahwa “Aksisoris petaka kubah atau manara kubah Masjid  Jannatul Anwar Lumpangi dari terbuat almanium hitam berbentuk buah-buah teruntai dan lantainya dari tihal yang didatangkan atau dibeli oleh Habib Tanqir Ghawa dari Surabaya.”

Adapun tiang-tiang Masjid, atap dan dinding menggunakan kayu ulin yang sudah modern, ada seni pahatan dan ukirannya khususnya pada lis-lis dinding atap juga atap kubah sirap yang diberi petaka dan aksesoris diatas kubahnya dan lis-lis kubah, jendela kaca dan aksesoris didalamnya (bawah kubah) berupa lampu-lampu lilin digantung dengan rantai besi. Proses renovasi itu dengan mendatangkan Tukang-tukang seni pahat dari kota Kandangan dan masjid tersebut selesai direnovasi bangunannya diawal abad ke-20 Masihi sekitar tahun 1902 Masihi.

Menurut sumber data bahwa ada beberapa tokoh orang Lumpangi yang berperan aktif ikut andil membangun merihab total Masjid Jannatul Anwar Lumpangi kala itu antara lain : Habib Abu Thair sebagai ketua rehap pembangunan masjid, H.Ahmad sebagai sekretaris, dan H.Mastur sebagai bendahara, Habib Tanqir Ghawa, anggota, H. Bustani (menjabat Penghulu dan pengembangan dakwah) merangkap anggota, Kayi Sarman anggota  dan tokoh masyarakat lainnya sebagai anggota

Menurut sumber  data yang kami dapatkan bahwa ".Sebagai akibat banjir besar tersebut sisa satu batang tiang bekas Balai Adat  itu untuk simbol bahwa di Lumpangi pernah berdiri sebuah Balai Adat Dayak, tiang itu condong dan bergesir  hingga rebah ke dasar sungai, dari belahan sungai yang baru terbentuk akibat kuatnya terjangan banjir "..

Berkata Habib H.Hasan Basri Assegaf “Andaikata Muhammad Langara (mantan Tetuha Adat Dayak) ia lupa berniat/ ia tidak berkeinginan menjadikan  tiang Masjid Lumpangi dari sisa satu batang tiang bekas Balai Adat  tersebut sebagai simbol, maka dapat dipastikan bahwa “satu batang tiang itu pastilah hanyut ditelan air ba’ah yang ganas itu.”

Kemudian dimasa Habib Abu Bakar as-Tsani masih hidup, dan cucunya Abu Thair dan Tanqir Ghawa buyutnya bahwa "1 batang tiang Balai Adat yang terandam didasar sungai itu diangkat dan dijadikan tiang utama atau tiang suku Guru masjid dan diletakkan ditengah-tengah sebagai Simbol atau penyangga atau pananggak kubah saat renovasi pembangunan masjid"Jannatul Anwar" Desa Lumpangi.

 

36 Historis Keadaan Pusara/Makam Habaib Lumpangi dan perkiraan Usia Makam pengamatan tahun 1970-1980M'


Makam Sayyid Abu Bakar dan Datung Milah isterinya

Langara” adalah nama seorang Kepala Suku Dayak atau Tetuha Adat Dayak pertama yang mendiami ditengah-tengah antara ditepi sungai kali Amandit dan kaki Bukit Batu desa Lumpangi. Dengan nama Rumah Adatnya “BALAI ULIN”. Kemudian masyarakat setempat mengabadikan nama Kepala Suku atau Tetuha Adat Dayak tersebut pada bukit batu, maka disebutlah oleh masyarakat sesudahnya dengan nama “BUKIT BATU LANGARA”

 Berdasarkan hasil pengamatan kami tahun 1970-1980 keadaan makam sudah sangat tua, dan keadaan tanaman atau pohon kayu, rumput yang hidup di sekitarnya. Buktinya banyak ditemukan pepohonan langsat, Ramania, Manggis yang hidup disekitar itu banyak dan lebih besar dari ember plastic isi 16 liter bahkan ada yang lebih besar lagi. Dan juga  rumpun-rumpun paring tali dan pohon-pohon Kelapa, Durian tetapi kami tidak menemukan sama sekali pohon kayu Ulin atau anak kayu Ulin dan juga kami belum menemukan punggur-punggur/tungul-tunggul Ulin diareal makam dan sekitarnya.  Langara dalam bahasa Dayak berarti “benteng kuat atau tinggi, juga berarti Tegar dan kukoh. masyarakat setempat menamakan Langara dengan nama “Bukit Batu atau Gunung Batu”. 

Berdasarkan hasil pengamatan atau observasi kami 50 tahun yang lalu  Balai Ulin  berada dikaki bukit batu Langara. bahwa makam dan sekitarnya sudah lama ditinggalkan orang, sudah lama tidak dihuni penduduk (tidak ditemukan rumah penduduk disekitar areal makam) antara lain ada beberapa bukti yang kami dapatkan

1. Buktinya kala itu banyak ditemukan pepohonan langsat, Ramania, Manggis yang hidup disekitar itu banyak dan lebih besar dari ember plastic isi 16 liter bahkan ada yang lebih besar lagi. Dan juga  rumpun-rumpun paring tali dan pohon-pohon Kelapa, Durian tetapi kami tidak menemukan sama sekali pohon kayu Ulin atau anak kayu Ulin dan juga kami belum menemukan punggur-punggur/tungul-tunggul Ulin diareal makam dan sekitarnya.  

Makam Habib M. Djamiluddin & Datung Siti Sarah isterinya


37.  Bukti kedua kepemilikan lahan tanah makam dan sekitarnya waktu itu tidak dimiliki masyarakat umum.

3.  Bukti ketiga bahwa kepemilikan lahan tanah makam dan sekitarnya hanya dikuasai oleh cucu-cicit-canggah dan wareng keturunan  Habib Abu Bakar Assegaf atas nama Habib Abu Tha’am Ibrahim bin Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad (Habib Ahmad Suhuf) bin Muhammad Djamaluddin (Habib Lumpangi) bin Habib Abu Bakar  bin Hasan Assegaf.

Makam Habib Ahmad Suhuf & Datung  Aminah isterinya

4. Orang-orang dari Hulu Banyu balarut banyu (balabuh) dengan rakit bambunya singgah/istirahat di warung Kampung Balai Ulin, tetapi kalau pulang dari kota Kandangan, mereka tidak melewati lagi kampung Balai Ulin, sejak ditemukannya jalan baru lewat diantara dua batu sempit di ujung kampung Muarakitar, mereka berjalan terus menuju tepi sungai ke Hulu Sungai Ahan hingga sampai ke Desa Datar Balimbing.

     Pada masa Habib Abu Tha’am Ibrahim dan Habib Ali Adam anak kemenakannya, ia  ikut bersamanya di desa Lumpangi, kemudian kampung Balai Ulin tanahnya dibagi menjadi 4 bagian. Masing-masing mereka diberikan 1 bagian tanah dari ke-3 anaknya dan anak kemenakannya satu bagian dari kebun bambu pada bagian lering bukit arah batu.

DENAH LOKASI PASAR & MAKAM HABAIB DESA LUMPANGI

TAHUN 1970 - 1980 MASIHI

        Di Lingkungan Masjid Jannatul Anwar Desa Lumpangi tahun 1970 - 1980 Masihi itu dihuni oleh 17 buah  rumah penduduk asli antara lain :

1. Rumah Neng Manang, 2.Rumah Ijai, 3.Rumah Pa. Huhus, 4.Rumah Mahran, 5. Rumah Galuh Qamar, 6.Rumah Maseri, 7.Rumah Habib Bahur, 8.Rumah Minin, 9. Rumah Dulah, 10.Rumah Habib M.Barsih, 11.Rumah Angah, 12.Rumah Jamal, 13.Rumah Pangulu Irus, 14. Rumah Unan, 15.Rumah Utuh Kokoh, di pantai 16.Rumah Uus dan 17. Rumah Uya

       Sekarang ini kurang lebih ada 45 prosen penduduk Desa Lumpangi adalah dzuriat Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf. Adapun yang menjadi tokoh dilingkungan Mesjid Jannatul Anwar Desa Lumpangi Kecamatan Padang Batung pada tahun1970-1980 Masihi saat itu adalah Habib Bahur bin Tanqir Gawa bin Abu Thair Muhammad  bin Abu Tha'am Ibrahim  Assegaf.

Kami temukan juga bahwa  ”Batur-batur pada pusara - makam Habaib di Balai Ulin kala itu,  tak kurang dari empat buah, panjang dan lebarnya  lebih kurang 6x4 meter perbuahnya dan tiada punya atap. Batur Ulin dengan tebel antara 3 - 4 cm dan salah satunya  ada pohon kembang kenanga sebesar drum kurang-lebih. ketika kami masa kanak-kanak sering kesana, mengambil kembang yang jatuh dari pohon itu, dan juga mancari humbut risi diareal makam  dan sekitarnya untuk dijadikan sayuran. Posisi letak rumah kami (penduduk asli) tidak jauh dari areal makam, hanya dihalat sungai kali Amandit. Waktu itu Tahun 1970 -1978 Nisan-nisan pusara sudah raif dan sebagian berupa batu sungai, belum ada catatan atau tulisan yang kami temukan dan dapatkan kala itu.

Pada tahun 1975  bahwa pusara atau makam para Habib belum terawat  dengan baik.Pernah diadakan gotong royong tahun itu untuk membersihkan makam para Habaib tersebut. Sa’at itu diareal  pusara/ makam dan sekitarnya banyak tumbuh rumpun Paring Tali (Bambu).Batang Paring Tali itu ada banyak yang  sebesar  botol  Aqua Tanggung dan batur-batur ulinnya pun sudah dimakan usia, kering dimakan rayaf, hanya yang tinggal /berdiri tiang-tiang batur. Itupun sudah condong dan pecah-pecah dan dinding-dindingnya jatuh ke tanah dan ada yang tiada terlihat/ hilang.. Inilah yang menunjukkan bahwa usia makam Habaib itu sangat tua.diperkirakan berumur 200 tahun lebih. Sebagaimana kami ketahui bahwa 1 buah batur dengan ukuran panjang dan lebar  kurang lebih 6x4 meter persegi panjang. Pusara itu dihuni/diisi oleh satu keluarga (beberapa orang) bukan dihuni oleh satu orang pada 1 buah Batur tetapi diisi oleh beberapa orang. Kalau dibandingkan Batur-batur yang ada di Balai Ulin dengan Batur batur yang ada  pada  pusara anak-anak Datu Bakumpai, di kota Marabahan keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Batur batur pusara anak Datu Bakumpai sudah ada seni ukiran (pengamatan  tahun 2016 & 2020M).  Usia batur-batur makam Datu Lumpangi di Balai Ulin dengan usia batur-batur makam anak-anak Datu Bakumpai. 

      Photo Ziarah Kubah Habib Abu Bakar As-Tsani Assegaf Balai Ulin Tahun 2014M

Maka usia batur Ulin pusara Habaib Lumpangi lebih tua, belum ada seni ukiran-ukiran pahat-pahatan tetapi sangat disayangkan Batur-batur itu sebagai bukti peninggalan sejarah semuanya raif ditelan masa, nilai-nilai sejarahnya hilang sehingga generasi-generasi selanjutnya sulit mengadakan penelitian ilmiah untuk menentukan keberadaan masa hidup penghuni pusara Habaib dimaksud.Jadi semua keterangan yang saya kemukan diatas, kalau Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf dimaksud ditulis diawal abad ke-20 Masihi maka catatan atau tulisan itu tidaklah palid atau tulisan itu belum tepat.

Abad ke-20 dihitung mulai dari tahun 1901 Masihi sampai dengan tahun 2000 Masihi. Tahun 1970-an hingga tahun 1980-an  itu tiang-tiang batur ulin sudah bayak yang hilang dan sisanya dimakan usia, pecah-pecah dan kering dimakan rayaf. Nisan-nisan tidak terlihat/ raif. Salama pengamatan kami tidak menemukan atau tulisan kala itu, hanya yang masih berdiri sedikit sekali dari  tiang-tiang batur sahaja, dinding-dindingnya pun sudah hilang, dan jatuh dari tiangnya. Inilah yang menunjukkan usia makam Habaib sangat tua.

Menurut ceritra Datu-datu kami bahwa Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf sudah datang, berada di Lumpangi jauh sebelum Belanda datang ke Kesultanan Banjar. Tetapi sebagian orang berkata bahwa usia Habib Abu Bakar  sekitar 40 tahunan saat ia melakukan dakwah di kampung Balai Ulin mulai tahun 1705-1759 M pada masa pemerintahan Raja Banjar ke-10 Tahmidullah I tahun 1700-1717 Masihi  hingga Sultan Tamjidillah I sekitarnya awal abad ke 18 hingga  pertengan abad 18. Tahun 1734-1759M, masa pemerintahan Sultan Tamjidillah I di Martapura. Belanda belum menjajah Kesultanan Banjar.

Menurut catatan Sejaarah Tahun 1747, Belanda menduduki Banjarmasin. 1761–1801, masa pemerintahan Sultan Tahmidullah II/Sunan Nata Alam. 1762, Saudara Sultan Nata yang bernama Pangeran Prabujaya dilantik sebagai mangkubumi oleh Dewan Mahkota Kesultanan Banjar (Kesultanan Banjar).

            Jembatan Penghubung Kubah Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf

“Diantara nama-nama keturunan beliau yang sampai sekarang masih hidup adalah Habib Aziz (Muara Banta), Habib Yahya (Telaga Bidadari), Habib Yadi (Muara Hatip)” (Mursyid 2017)

       Adapun kedua Syarifah puteri Habib Abu Bakar bin Habib Hasan Assegaf diperisteri oleh orang biasa orang kampung. Syarifah Pertama ini menurunkan anak. Adapun dzuriat ke-6, ada tiga bersaudara an. H.Bustani, Sarman dan mama Masni, Sarman punya anak an. Suli dan julak Tunjul, Tunjul kawin dengan Nadal  punya anak an. Ambi dan Kurniah. mereka ini punya tanah dekat dengan kampung Balai Ulin. Demikian juga Syarifah Galuh dan Aluh kacil menurunkan dzuriat ke-6 an.H.Ahmad bin Utuh Merah dan ia punya atau dzuriat an. Utuh Ramli, Jamal dan Bini Pangulu Irus, dan mereka ini juga punya tanah dekat dengan kampung Balai Ulin. Begitu juga H. Mastur Abdullah juga dzuriat Habib Abu Bakar bin Hasan, ia kawin degan syarifah Khadijah melahirkan Ismail (Ahmad I'ing) dan Hambali (pa U'ut).

        Beliau bermakam di Alkah Balai Ulin Desa Lumpangi Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan (masuk gang samping masjid Jannatul Anwar sekitar 300m)..... Haul Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf biasa dilaksanakan oleh ahlul bait beliau pada tanggal 17 Dzulhijjah di kubah beliau (Murysid 2017)

Beliau  adalah sepupu sekali dengan Habib Ali bin Idrus Assegaf dan Habib Ali jauh lebih muda dari Habib Abu Bakar, oleh sebab itu saat pembagian tugas atau misi dakwah di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dulu, Beliau tidak diikutsertakan. Habib Ali bin Idrus bin Hasyim Assegaf telah menikah dengan wanita sholehah, berasal dari Suku Banjar kelahiran Nagara dan punya anak an. Habib Husein. Jadi Habib Husein Assegaf yang pertama lahir di Kota Kandangan adalah putra sulung dari Habib Ali. Beliiau meninggal diperkirakan tahun 1793M pada diusia remaja/muda dan belum menikah. Makam  Habib Husein bin Ali bin Idrus bin Hasyim bin Muhammad Assegaf berada dalam Kantin Los Batu Pasar Kandangan. Haul Beliau dilaksanakan setiap tanggal : 12 Rabiul Awal bersamaan dengan acara mauled Nabi Muhammad Saw..Kami saat ini belum mengetahui anak dan cucu dan juga cicit Habib Ali  selanjutnya.tetapi Habib Ali bin Idrus Assegaf barmakam dipemakaman  Ashhab Turbah Alawiyyin Anak Mas Jln.M.Rusli (Jln. Mardeka Kandangan) Kelurahan Kandangan Kota, Kecamatan Kandangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan.

Saadillah Mursyid ini sewaktu mengadakan penelitiannya. Beliau belum menemukan atau belum menyebutkan silsilah keturunan Lumpangi ini secara utuh atau secara lengkap. Tetapi Kami punya catatan pendahulu kami tentang silsilah nasab (keturunan) Habib Abu Bakar bin Hasan yaitu keturunan Beliau yang bernama. Habib Muhammad Djamiluddin (Habib Lumpangi) dengan perempun yang dinikahinya dari puteri Tetuha Adat Dayak Langara  Lumpangi yang belum terungkap atau belum ada  disebutkan dalam Artikel dimaksud, catatan  silsilah nasab dimaksud adalah  ::

  1. Habib H.Muhammad Barsih
  2. bin Ahmad Baderi 
  3. bin Tanqir Ghawa 
  4. bin Abu Thair Muhammad 
  5. bin Abu Tha'am Ibrahim  
  6. bin Abu Bakar as-Tsani 
  7. bin Ahmad Suhuf 
  8. bin Muhammad Djamiluddin 
  9. bin Habib  Abu Bakar bin Hasan Assegaf. 

Habib Tanqir Ghawa 

Keturunan Habib Tanqir Ghawa bin Muhammad bin Ibrahim bin Abu Bakar as-Tsani Assegaf

1.Kontroversi  Keturunan atau anak isteri pertama 

Menurut keterangan Habib Bahriansyah (Utuh undul,72 thn) bin Bahur Assegaf yang saya wawancarai saat aqiqah buyut pertamanya dikediamannya, bahwa ia dari keterangan ayahnya bahwa Kayi Tanqir Ghawa dimasa mudanya dijodohkan orang tuanya sebelum ia mengembara ke Pulau Laut, (sekarang Kab Kotabaru) ia telah menikahi seorang perempuan dan punya anak. Kayi Karji adalah anak kandung Kayi Tanqir Ghawa dengan isteri pertamanya orang Amawang, dan isterinya tersebut bekeluarga dekat dengan Siti Nurah (adik kandung Atha’illah) isteri Ahmad Darani bin Abdul Hamid bin Aliadam Assegaf 

Menurut keterangan Habib Muhammad Ibnu Mubarak bin Hasan Basri Assegaf bahwa ia dari keterangan Drs.Habib Tajuddinnor,MM bin Ahmad Baderi Assegaf  paman ayahnya yang ia wawancarai dikediamannya di Barabai bahwa Kayi Karji adalah anak kandung Kayi Tanqir Ghawa dari isteri pertamanya.

Menurut keterangan Habib Burhannor, ia dari ucapan Ahmad Baderi ayahnya bahwa Kayi Karji dan Karjah bukan saudara kandung kami (.Bahar,Badariah,Maswati dan Salmiati) tetapi ia saudara seketirian  kami (bukan sdr kandung). Menurut keterangan Habib Burhannor, ia dari ucapan Ahmad Baderi ayahnya bahwa selama 12 tahun lebih Kayi Tanqir hidup berumah tangga dengan mamanya Kayi Karji tetapi belum punya keturunan kemudian disebutkan bahwa sekitar tahun 1900-1909 ia menikah lagi dengan perempuan janda an.Aisyah yang ditinggal mati suaminya hingga lahirlah anak pertama yang diberinama “Ahmad Baderi”. Beda usia Karji deengan Baderi sebanyak 13 tahun.

Menurut ibu saya Hj. Masitah binti Salamat (umur 83 thn),  yang saya wawancarai dirumah Beliau di jalan  Alfalah Kandangan mengatakan, ia dari ucapan Umbuy Uja isteri terakhir Kayi Karji bahwa Kayi Tanqir ayah tiri Karji

Menurut Habib Muhammad Burhannor bin Ahmad Baderi Assegaf yang saya wawancarai dikediamannya, bahwa mereka anak-anak Kayi Karji antara lain (Husni) dan cucu-cucunya mengakui dan meyakini bahwa ayah mereka adalah keturunan/ anak Kayi Tanqir Ghawa bin Muhammad bin Ibrahim bin Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar Asseaf

Adapun Karji adalah anak pertama dari Tanqir Ghawa bin Muhammad bin Ibrahim bin Abu Bakar bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar Asseaf, setelah dewasa ia menikah Maimunah punya anak

  1.  Husni (Utuh Gunung)
  2. Ahmad
  3.  Unan
  4.  Misran (Imis) bin Maisyarah isteri kedua setelah isteri pertama wafat.

Kemudian  Karji (Julak Nanang Karji) bin Tanqir Ghawa Assegaf setelah isterinya wafat, ia menikah lagi dengan Maisyarah perempuan asal Desa Tilahan Kec. Hantakan Barabai punya anak tunggal bernama Misran (Imis). Sedangkan Habib Husni bin Ahmad Karji  bin Tanqir Ghawa Assegaf menikah dan punya anak : Habib H.Bastami dan Sy. Nur Aida. Adapun Habib H.Bastami bin Husni bin Ahmad Karji bin Tanqir Ghawa Assegaf menurunkan anak bernama Toni Jemain dan Beny.

Kontroversi adalah sebuah keadaan perdebatan atau pertentangan pendapat yang umum dan sering kali berlangsung lama. Kontroversi biasanya melibatkan perbedaan sudut pandang atau opini yang saling bertentangan

Keturunan Habib Tanqir Ghawa bin Muhammad bin Ibrahim bin Abu Bakar as-Tsani Assegaf 

2. Keturunan atau anak isteri Kedua

Sayyid Tanqir Ghawa menikahi Siti Khadijah seorang janda muda. Versi lain juga menyebutkan bahwa sekitar tahun 1909 ia menikah dengan perempuan janda yang ditinggal mati suaminya janda itu bernama Siti Khadijah asal orang Kandangan Hulu yang berdomisili di Lumpangi keluarga ini karena takut dengan kesewenangan Penjajah Belanda mereka berhijrah ke hulu banyu..”Maka dipihak keluarga memutuskan bahwa Tanqir Ghawa harus segera dikawinkan.. Akhirnya ia menikah dengan Siti Khadijah seorang janda beranak satu an. Ahmad Karjah. Dan  dari hasil perkawinannya  dengan janda itu kemudian ia punya keturunan 6 anak an.

  1. Ahmad Baderi,
  2.   Bahar,
  3. Badariah,
  4.   Bahur,
  5. Maswati /Taluh dan 
  6.  Salmiati

Hal senada sebagaimana yang diebutkan oleh Habib Muhammad Burhan Rabbani Assegaf dan Beliau ceritera dari ayahnya bahwa "Siti Khadijah adalah seorang janda kembang, muda dan cantik, beranak satu yang ditinggalkan mati oleh suaminya kemudian ia dikawinkan dengan Sayyid Tanqir Ghawa, kemudian dari Perkawinan itu mempunyai anak 6 orang. Salah satu dari yang 6 tersebut bernama Habib Ahmad Baderi. 

Habib Ahmad Baderi 

Habib H.Muhammad Barsih


Salah satunya lahir 4 Shafar 1337H yang bernama Ahmad Baderi. Pada Januari 1936  Ahmad Baderi menikah dengan Masmurah binti H.Bustani (Penghulu Kandangan Hulu) dan ia beranak tunggal an. Muhammad Barsih, tgl 30-7-1937. Kemudan cerai hidup. H.Muhammad Barsih menikah dengan Hj. Masitah binti Salamat asal orang Kayu Abang Angkinang dan ia punya 9 orang anak, salah satunya yang bernama Habib H.Muhammad Barsih  dan  ia punya 9 orang anak
  1. Basuni (wafat saat kecil)
  2. Basrani Noor
  3. H.Hasan Basri, S.Ag
  4. H.Muhammad Nurdin Effendi w.2014M
  5. Taniah (Nia Kurnia) w.2022
  6. Maimunah (wafat saat kecil)
  7. Dzulkipli Lubis
  8. Hj. Nursinah, S.Pd w.2018M
  9. Arya Nurhadi S.Pd (Muhammad Ariatim)
Adapun anak Hj. Masitah binti Salamat yang kedua dari 9 orang bersaudara bernama Basrani Noor bin H.Muhammad Barsih bin Ahmad Baderi Assegaf. Ia menikah dengan Ainah binti Kasran asal orang Malinau dan punya anak 4 orang, 2 laki-laki  dan 2 perempuan an. 
  1. Sy Farida Hayati
  2. Habib Syahril Majid, 
  3. Habib Ali Marzuki,  dan 
  4. Sy Eva. 
Adapun Syahril Majid bin Basrani Noor bin H.Muhammad Barsih bin Ahmad Baderi Assegaf  menikah dengan Diana binti Ayau asal orang Lumpangi dan punya anak 1 orang laki-laki an. Ajril Majid. Sedangakan adiknya Ali Marzuki menikah dengan Saidah Hasanah dan punya anak 1 orang laki-laki an. Angga Saputra.

Salah satunya dari anak yang 9 bernama Habib H.Hasan Basri. ia menikah dengan Hj. Masliana binti H.Muhammad Yusuf asall Alabio-Amuntai  dan  keduanya punya 6 orang anak. Tiga orang wanita wafat saat melahirkan dan Tiga orang lelaki yang hidup, diantaranya yang bernama Habib
  1. Muhammad Ibnu Mubarak. S.Pd
  2. Ibnu Salam, M.Pd
  3. Muhammad Ibni Athaillah, ST
Kemudian Muhammad Ibnu Mubarak menikah dengan Lina Hafizah binti Hamberan asal desa Pemintangan Amuntai dan punya anak laki-laki an. Ahmad Fadhil Mubarak Assegaf.

Habib Ahmad Baderi menikah dengan Nerandah asal desa Tabihi, Kec. Padang Batung, ia tidak punya keturunan dan cerai. Kemudian Habib Ahmad Baderi menikah dengan Masliannoor asal orang Desa Tumbukan Banyu Nagara akhir tahun 1953 dan keduanya punya anak 7 orang :
  1. Muhammad Burhan Noor13 Juli 1955
  2. Rumaynur
  3. Drs.H.Tajuddin Noor, MM
  4. Syahruddin Noor
  5. Nurlianti (Nunur)
  6. Nurjatunnisa (Jatun)
  7. Nurijati Rahmi, S.Pd.I (Untung)
Inilah catatan  silsilah nasab yang kami maksud silsilah nasab (keturunan) Habib Lumpangi yang kami punya.:

Habib .Muhammad Burhan noor 

Salah satu dari 7 anak Ahmad Baderi bin Tanqir Ghawa bin Muhammad Assegaf dengan Maslianoor bernama “Muhammad Burhan Noor” anak pertamanya ia lahir di Kandangan 13 Juli 1955M. Sa’at dewasa ia menikah dengan perempuan bernama “Mastinah” binti Muhammad Yusuf dan punya 4 keturunan /anak  an. : 
  1. Sy Hendri Yusliani Noor, 
  2. Habib Ismatullah Halim, 
  3. Habib Muhammad Subhan dan 
  4. Habib Muhammad Ainurahman. 
Sedangkan anak ketiga bernama Drs.H.Tajuddin Noor,MM. Setelah dewasa ia menikah dengan perempuan bernama “Hj.Norliani” dan punya 3 keturunan /anak  an. : 
  1. Sy Hikmatu Diniah, 
  2. Habib M.Firdaus Fansuri dan 
  3. Sy Hafijatun Nadia. 
Adapun M.Firdaus Fansuri menikah dengan perempuan an. Ina punya 1 anak an. Adilla Risa, kemudian ia menikah dengan perempuan an. Ana isteri keduanya dan punya 1 anak an.  M.Aiman Firdaus.

Adapun Habib Syahruddin Noor bin Ahmad Baderi bin Tanqir Ghawa Assegaf menikah perempuan Siti Nikmah punya anak  :
  1. Habib Muhammad Taufik Abdillah
  2. Habib Faqih Maulana

Habib Bahur poto thn 1975  

Keturunan Habib Abu Bakar Assegaf anaknya yang bernama Habib Muhammad Djamiluddin (Habib Lumpangi) 

Dari Habib ini punya keturunan (anak) yang bernama Habib Ahmad (Ahmad Suhuf) dan ia menikah dengan Diang Galuh Aminah binti Abdullah bin Hamzah bin Datu Muhammad Langara, dan  ia punya anak Habib Abu Bakar as-Tsani dan ia punya 3 anak yang bernama Habib Ibrahim (Abu Tha’am), Abdul Lathif (Abu Aly) dan 'Aly versi lain namanya Abdullah (Abu Tayau).


Dzuriat Habib Abdul Lathif bin Abu Bakar As-Tsani bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar Assegaf

Habib Abdul Lathif (gelar Abu Aly) sebelum merantau ke Pulau Emas, ia sudah menikah dengan Diang Putih (Muthma'innah) dan ia punya anak salah satunya yang bernama Habib Aliadam.

Menurut Habib Husni bin Mansyur Assegaf bahwa "Datunya Aliadammempunyai saudara kandung yang bernama "Abdullah dan Abdul Karim". Dahulu Abdul Karim tersebut pernah tinggal di Sungai Malang Amuntai". 

Datu Habib Aliadam wafat dan bamakam di Cantung Kec. Kelumpang Hulu Kotabaru. Dan Aliadam menikah dengan Nurhasanah (Nelantih), keduanya punya 5 anak  orang antara Lain :

  1. Haib Hasan
  2. Habib Umpat
  3. Habib Abdul Hamid
  4. Habib Abdullah dan
  5. Sy Masrah 

Adapun anak Datu Habib Aliadam yang pertama adalah bernama Habib Hasan. Menurut Habib Husni bin Mansur bahwa Habib Hasan punya 3 orang anak  :

  1. Sy Basriah
  2. Habib Mansyur
  3. Sy Masniah

Sedangkan Habib Mansyur bin Hasan bin Aliadam bin Abdullatif bin Abu Bakar As-Tsani Assegaf punya anak 5 orang anak antara lain    :

  1. Habib Husni
  2. Habib Jailani
  3. Habib Mugni
  4. Sy Isnawati
  5. Habib Muhaimin

Menurut Habib Husni bin Mansyur Assegaf bahwa Habib Hasan bin  Aliadam Assegaf dan Habib Mansyur bin Hasan bin Aliadam bermakan dekat langgar Darul Muttaqin di Tibung Raya Kec. Kandangan.

Adapun Habib Husni tercatat di KTP Beliau lahir di Hulu Sungai Selatan tanggal 27 Februari 1959 pekerjaan Polisi Kehutanan  Beliau menikah dengan Rasuna dan mereka  punya 4 orang anak antara lain  :

  1. Sy. Elly Maranti
  2. Sy. Erliyantisti
  3. Sy. Erini
  4. Habib Anhari Anshar (lhr 2003)

Habib Jailani menikah punya anak 1 orang yang bernama "Amin" sedangkan Habib Mugni menikah dengan Masniah punya 3 orang anak yaitu  :

  1. Sy. Linda (kelahiran 2002//20 th)
  2. Sy. Fina  (kelahiran 2013/9 th)
  3. Habib Azka (kelahiran 2015/7 th)

Habib Abdul Hamid  menikah dengan Diang Kacil (Mardiah) dan ia punya anak tunggal  an. Habib Ahmad Darani. Habib Ahmad Darani kawin dengan Siti Nurah dan ia punya 7 anak :

  1. Habib Ismail Jumberi
  2. Habib Muhammad Djamberi
  3. Sy Salabah
  4. Sy Asyah
  5. Habib Fakhrurrazi
  6. Sy Armaniah
  7. Sy Tarmiah

Habib Muhammad Djamberi bin Ahmad Darani Assegaf menikah dengan Sit Aisyah isteri pertamanya dan ia punya 2 anak  :

  1. Wardah
  2. Budi

Kemudan Habib Muhammad Djamberi bin Ahmad Darani Assegaf menikah lagi dengan Rusdiana isteri keduanya dan ia punya 1 anak an. Habib Muhammad Mahyudi Assegaf.

Dan Habib Abu Tha’am Ibrahim menikah dengan Siti Rahmah (Diang Tangang). Ia seorang janda sudah beranak dan pernikahan ini punya anak an. Muhammad. ketika isterinya wafat Habib menikah lagi dengan Diang Bulan, Habib Ibrahim juga diberi gelar "Ambatha'an atau Ambutha'an maksudnya "Bapa yang lambat beranak atau bapa yang menanti seorang anak". walaupun usianya hampir setengah abad, akhirnya dengan usaha dan ikhtiarnya ia punya 2 anak. Anak yang pertamanya bernama an. Khadijah: Habib punya 3 anak  :

  1. Muhammad (gelar Abu Thair lahir 19 Ramadhan 1244H) 
  2. Khadijah dan 
  3. Daud (Datu Pandai atau Datu Titik)

Habib Muhammad Abu Thair tahun 1860M menikah dengan seorang Puteri Siti Siadah atau Tiadah  berprofisi asal Pamayungan Permaisuri Raja Kuripan Amuntai. Ia berhenti bekerja membantu Permaisuri Raja karena disunting dan dikawini Sayyid Muhammad, dan Ia punya 1 anak tunggal yang lahir 19 Rabi'ul Awal 1279H an. Habib Tanqir Gawa. kemudian Sayyid Muhammad cerai dengan Siti Siadah atau Tiadah. 

Siti Siadah menikah lagi dengan lelaki lain, perkawinan ini tidak punya anak. Kemudian Siti Siadah menikah lagi dengan laki-laki lebih muda darinya dan dari perkawinannya tersebut, ia punya anak dua orang an. Juhri dan Fatmah. Jadi Habib Tanqir punya adik seibu an. Juhri dan Fatmah. Kemudian setelah Siadah wafat.

Kemudian ayahnya Fatmah, ia menikah lagi dengan perempuan muda dan punya anak an. (Ubuy Ani atau bini Kayi Ibas Palantingan). Setelah dewasa  Fatmah ini (Ning Aib Palantingan) menikah dengan Habib Muhammad Mohdar bin Abdullah Assegaf asal Desa Kapuh Taminung, melalui pernikahan ini menurunkan an. Aib Salim dan Habib-habib yang ada di Pelantingan. 

Adik perempuan Habib Muhammad Abu Thair yang bernama H.Mastur Abdullah  menikah dengan Syarifah Khadijah beranak 2 orang :

  1. Ismail (Ahmad I'ing)
  2. Hambali (Bapa U'ut)
  3. Datu Pandai makannya di depan paimaman Masjid Lumpngi mamarina Tanqir
  4. Muhammd bin Datu Pandai sepupu Tanqir
  5. Pa Jala Muara Lumpangi sepupu Tanqir
  6. Pa Usuf sepupu Tanqir

Mamanya Ahmad Iing dan Hambali/Pa.Uut yang memelihara dan menjaga makam terakhir,  dia bertempat tinggal dekat makam di Balai Ulin tempu dulu..Sedangkan Habib Tanqirr Gawai ini ia punya 6 orang anak


 3. Nasab Dzuriat Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim bin Muhammad bin Umar as-Shufy Assegaf.

Ada tiga bukti kuat hubungan nasab dengan Habib Lumpangi yaitu  :

  1. Adanya perkawinan Datung Milah dengan Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf
  2. Adanya silsilah Nasab Dzuriat Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf
  3. Historis penguasaan tanah makam dan sekitarnya sebelum tahun 1970 an:

Kalau dirunut dari dzuriat Nasab Habib Muhammad Djamaluddin (Habib Lumpangi) bin Abu Bakar bin Hasan  Assegaf  yang paling muda kelahiran tahun 2020M  Marga Assegaf adalah sebagai berikut  ;r”

  1. abib Ahmad Fadhil Mubarak Assegaf
  2. bin Muhammad Ibnu Mubarak, S.Pd
  3. bin H.Hasan Basri, S.Ag
  4. bin H.Muhammad Barsih (1937-1978M)
  5. bin Ahmad Baderi (1918-1993M)
  6. bin Tanqirr Ghawa w.1862-1985M/1279-1405H=(123 tahun M)
  7. bin Abu Thair Muhammad, 1252-1361H/1942M  “Abu Thair/Ambuthair” Pada nama awalnya adalah nama gelar kehormatannya.
  8. bin Abu Tha'am Ibrahim.(1213-1252H) “Abu Tha’am/Ambutha'am”pada nama awalnya adalah nama gelar kehormatannya.
  9. bin Abu Bakar as-Tsani, (1191-1319H/1778-1902M).  Nama as-Tsani adalah nama yang diberikan untuk membedakan dengan Datuknya.
  10. bin Ahmad Suhuf (Tahun1736-1796M)
  11. bin Muhammad Djamiluddin (Habib Lumpangi) 1118-1195H
  12. bin Habib Abu Bakar (Datu Habib Lumpangi) 1068-1172H//1658-1759M
  13. bin Hasan. w.1720M
  14. bin Hasyim
  15. bin Muhammad
  16. bin Umar as-Shufy
  17. bin Abdurrahman
  18. bin Muhammad
  19. bin Aly w.840H di Tarim
  20. bin Sayyidina Syekh al Imam al-Quthb Abdurrahman Assaqqaf /Assegaf (739-819H atau1338-1416M)  Beliau diberi gelai "Al Faqi al-Muqaddam Tsani Assaqaf."
  21. bin Syekh Muhammad (Maula ad-Dawilah) w.765H.
  22. bin Syekh 'Aly (Shahibut Dark) w. Rabu 17 Rajab 709H /1289M
  23. bin Sayyidina al Imam Alwi al-Guyur w.669H
  24. bin Sayyidina al-Imam al-Faqih al-Muqaddam Muhammad (574-653H/1232M)
  25. bin Sayyidina 'Aly Walidul Faqih w.593H
  26. bin al Imam Muhammad Shahib Mirbath w.556H/1161M
  27. bin Sayyidina 'Aly (Al Iman Khaly al Qasam) w.527H/1133M
  28. bin Sayyidina Alwi  Ba' Alawi w.512H/1118M
  29. bin Sayyidina al-Imam Muhammad ( Maula Shahib as-Shaouma'ah) w.446H/1054M
  30. bin Sayyidina al-Imam Alwi  al Mubtakir (Shahib Saml) Alawiyyin w.400H
  31. bin Sayyidina al-Imam Abdullah (Ubaidillah Shahibul Aradh 295-383H/993M
  32. bin Sayyidina al-Imam Al-Muhajir Ahmad al-Abah 820-924M/345H
  33. bin Sayyidina al-Imam 'Isa ar-Rumi w.270H/883M
  34. bin Sayyidina al-Imam Muhammad An-Naqaib w.250H
  35. bin Sayyidina al-Imam 'Aly al-Uraidhi 765-818M/210H
  36. bin Sayyidina al-Imam Ja'far as-Shadiq (702-765M/148H)
  37. bin Sayyidina al-Imam Muhammad Al-Baqir (676-732M/114H)
  38. bin Sayyidina al-Imam 'Aly Zainal Abidin (658-713M/97H)
  39. bin Al-Imam as-Syahid Syahab Ahlil Jannah Sayyidina Husain (625-680M)
  40. bin Sayyidah Fatimah Az-Zahra (11H/632)
  41. binti Muhammad ibnu Abdullah Rasulullah Saw (570-632M)


4. Historis penguasaan tanah makam dan sekitarnya sebelum tahun 1970 an.

    Kalau kita telusuri historis penguasaan tanah makam Habaib dan sekitarnya yang ada Desa Lumpangi, ternyata semuanya milik keluarga Habib Abu Tha'am Iberahim  yang diturunkan kepada ke-3 anaknya yang bernama :

  1. Muhammad (Abu Thair,)
  2. Siti Khadijah, dan
  3. Daud 
  4. Aliadam (anak kemanakan Ibrahim) untuk pembagian tanah lihat Denah diatas.
Dulu sebelum sampai ke pusara Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf, harus menyeberangi sungai Kali Amandit baru melewati jalan bawah pohon tarap bingkuang (lugong) yang tumbuh di tepi sungai Kali Amandit, terus meliwati jalan samping pepohonan ada pohon manggis, pohon ramania, pohon rambai, pohon langsat , pohon gitaan, pohon ramania, pohon kelapa pohon durian semua pohon-pohon itu lebih besar dari embir dan tinggi. 
Tanah lireng bukit batu Langara belakang kiblat makam berupa Rumpun Bambu dimiliki oleh Habib Aliadam
Tanah dan kebun buah-buahan ini terletak Sebelah Barat diluar areal makam dikuasai Julak Ahmad Iing dan Hambali (Pa. Uut) sepupu /keluarga Habib Tanqirr Gawa. Kemudian dihulu kebun ini  arah Kiblad luar areal pusara ada tanah  dan kebun langsat dan pohon pohon durian,  ada yang sebesar drum aspal. Tanah dan kebun ini terletak Sebelah Barat-Utara dikuasai oleh keturunan Habib Abu Thair Muhammad. 
Sedangkan Timut- Utara Tanah dan kebun ini dikuasai oleh keturunan Habib Abu Thair Muhammad. Timur-Selatan  Bukit Batu Langara dan Barat-Selatan ada Tanah yang ditumbuhi Rumpun-rumpun Bambu (pulau Paring) tanah ini juga dikuasai oleh keturunan Habib Abu Thair Muhammad. Sedangkan seberang sungai dari makam namanya tanah  Patawakan adalah kebun karet dulu dikuasai Kayi Sarman (datuknya Julak Tunjul, ia = mamanya Ambi Nadal) sepupu jauh Habib Tanqirr Gawa


6. Historis Desa Lumpangi.

Ada sebagian  Keluarga Habib yang dulunya masih bertempat tinggal dekat areal makam di kampung  Balai Ulin. Keluarga itu adalah keturunan Habib Iberahim (Abu Tha’am) yaitu adik perempuan kandungnya Habib Muhammad Abu Thair yakni  ibunya kuitan ismail atau Ahmad I’ing dan Hambali. Ia dulunya bertempat tinggal dekat makam, dan karena merasa susah PP ke Lumpangi, harus menyeberangi sungai Kali Amandit, arus sungainya yang deras sedalam lebih dari 1 meter, menyeberangi dengan jalan kaki, atau menyeberangi dengan rakit  bambu  untuk samapai ke masjid dan ke pasar  dan juga di pasar ini untuk mencari keperluan hidup lainnya seperti  uyah, asam, acan dan timbaku. Maka setelah dibuatnya jembatan gantung penghubung antara desa Lumpangi dengan kampung muara Ahan. Maka kedua saudara ini Julak Ahmad I’ing dan Hambali pindah rumah dari kampung Balai Ulin ke kampung Muara Ahan. Maka kampung Balai Ulin kosong dari perumahan penduduk. Kekosongan itu terjadi sebelum Indonesi merdeka. Kemudian  Julak Ahmad I’ing dan Hambali (pa. Uut)  mendirikan sebuah rumah di tepi sungai Ahan. Rumah itu juga berada di tepi jalan Kandangan ke  Loksado. Dulu orang-orang yang dari Kandangan, apabila sampai dihulu kampung Datar Tandui, mereka menyeberang sungai Kali Amandit yang dangkal  dekat muara ahan, mereka  berjalan  meliwati halaman rumah Ahmad I’ing dan Hambali, tetapi bila air sungai dalam dan arusnya  deras mereka menyeberang lewat jembatan penghubung antara Lumpangi dengan muara Ahan. Dan mereka juga meliwati halaman rumah Julak I’ing dan Hambali ini.

    Sejak kedua kakak beradik inilah pindah rumah, maka kampung Balai Ulin menjadi mati tak dihuni lagi oleh penduduk setempat, dan pusara / makam Habaib mulai tidak terawat lagi dengan baik. Dikampung Muara Ahan tahun 1974an sudah ada tempat pendidikan masyarakat yang dikenal “SR” yaitu Sekolah Rakyat. Bangunan SR dibangun dengan swadaya masyarakat dan honor Gurunya atas swadaya masyarakat.  

    Pasar lumpangi dulu berada dihulu masjid, sebagian para Pedagang  berjualan dihalaman rumah kami, konon keberadaan  pasar ini cukup lama  seiring  keberadaan  dibangunnya masjid.  Kemudian ada bantuan Pemerintah tahun 1974 untuk membangun pasar, untuk pembuatan tempat khusus jualan maka pasar pindah ke pantai dihalaman rumah Uus(Pa.Mawan) dan.dekat dengan Jembatan gantung. Jembatan gantung sedarhana dengan tali kawat baja yang diikatkan pada kaki batu langara, dan diseberangnya di beri dua tiang ulin dan ujun kawat baja diikatkan pada kayu ulin yang dibenam di dasar tanah pantai. Ujung tali itu ditutupi batu kali sebesar kepala setinggi 1 meter lebih. Lantai paring batangan, banyaknya antara 5-7 batang yang diikat dengan  tali haduk,paikat tali atau tali sumawi tempo dulu.

    Dahulu sebelum terjadi pemekaran desa dan kecamatan bahwa Desa Lumpangi menjadi wilayah Kecamatan Padang Batung Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Untuk sampai ke desa Lumpangi seseorang harus jalan kaki dari Taxian mobil Pagat Batu (Batu Bini). Waktu itu jenis mobi taxi yang sampai  ke Batu Bini ini adalah mobil jenis Jep dan mobil Puar. Kedua jenis mobil inilah yang taxi pulang-pergi (PP) Kandangan – Pagat. Batu.  Nah dari Pagat  Batu inilah jalan kaki menuju desa Lumpangi kurang lebih 6 jam memakan waktu lama kalau berjalan normal melewati tepi sungai Kali Amandit. Ada beberapa desa yang dilewati (sebagai terminal pejalan kaki untuk istirahat  minum  dan makan di warung pada desa-desa tersebut) antara lain desa-desa yang dilalui desa Bulanang,  desa Muara Hariang (Periangan), desa Halunuk, desa Basawar, desa Muara Bayumbung, desa Harantan (Panggungan) desa Marikit dan kampung  Datar Tandui terus sampai Desa Lumpangi. Tetapi sekitar tahun 1991-1995 jalan tembus Kandangan ke Batulicin baru dibuat, dengan adanya  akses jalan tersebut maka sepeda motor dan mobil bisa masuk dengan mudah ke desa Lumpangi.. Jalan tembus ini sangat berpengaruh banyak terhadap perekonomian masyarakat desa Lumpangi khususnya. Kemudian terjalilah pemekaran desa dan kecamatan, maka Desa Lumpangi menjadi Kecamatan Loksado.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Artikel Biografi Habib Abu Bakar Assegaf yang ditulis pada tahun 2017 oleh  Saadillah Mursyid

 

Kitab Biografi Ulama-ulama Terkemuka Dunia dan Nasional” yang ditulis oleh “Syekh Samsul Afandi The source: hadhramaut.info/indo – 01/5/2008

 

Artikel tentang “Suku Dayak”yang di tulis oleh Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Suku Dayak - Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas (diakses pada 19 Oktober 2021).

Artikel tentang “Sejarah Kalimantan Selatan” dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kalimantan_Selatan diakses 20-10-2021 :07.45 wita


Artikel tentang “Kesultanan Banjar “ yang diterbitkan oleh Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas 2011-03-27 13:26 Alamnirvana.


 Artikel Sejarah dan Perkembangan Kerajaan Islam di Kalimantan"  yang ditulis oleh Tim, CNN Indonesia | Rabu, 30/06/2021 13:03

 

Artikel tentang Islam di Kesultanan Banjar pada abad ke 19M dan Peran Muhammad Arsyad Al Banjari ditulis oleh: Abd. Gafur tahun 2009

 

Tahun1761–1801, masa pemerintahan Sultan Tahmidullah Kesultanan Banjar, https://www.google.com/search?q=kapan+belanda+menjajah+kalimantan+selatan&sxsrf=AOaemvKZjxAG7Lq7Y7jOA1IDVSAUmB7O2Q%3A1634772915876&ei=s6dwYeD6NISbmge2zIvICw&oq=kapan+belanda+menjajah+kalimantan+selatan&gs_lcp=Cgdnd3Mtd2l6EAEYATIHCCEQChCgATIHCCEQChCgAToHCAAQRxCwAzoHCAAQsAMQQzoECCMQJzoFCAAQgAQ6BggAEBYQHjoFCCEQoAFKBAhBGABQudYHWKGYCGCDrwhoAXACeACAAYcBiAGdBJIBAzIuM5gBAKABAcgBCsABAQ&sclient=gws-wiz diakses 20-10-2021, 09.41


 Waktu tahun 1975 ( kami pernah sekolah SD Kristen di Desa Loksado kurang lebih 2 tahun setengah kemudian pindah ke Lumpangi) ketempat tinggal asal di Desa Lumpangi. An. H.Hasan Baseri bin H.Muhammad Barsih, bin Ahmad Baderi bin Tanqirr Gawa bin Muhammad Ambatit bin Muhammad Ambatha’an bin Ahmad Suhuf bin Djamiluddin bin Sayyid Abu Bakar Assegaf (Datu Lumpangi)

 Artikel Datu Bakumpai bernama Syekh Abdusshamad bin Mufti Syekh Djamaluddin adalah orang yang mengislamkan suku Dayak Bakumpai di wilayah Barito Kuala kota Marabahan

Folklor  adalah Ceritera/kisah yang penyebaran dan pewarisannya cenderung dilakukan secara lisan, yaitu disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut.

 Barter merupakan sistem perdagangan yang di dalamnya terdapat kegiatan tukar-menukar barang tanpa melibatkan uang sebagai alat transaksi. Para wanita tua muda tertarik bergerumbul mengelilingi jualan Habib, mereka melihat dan mencoba mengenakan cincin, aguk/kalung, gelang dan bunil dan juga surui gafit. wanita tua tertarik dengan sarung/tapih. Disinilah Habib mulai tergoda dengan salah satu wanita suku dayak langara dan akhirnya mengawininya. Setiap Balai Adat biasanya selalu ada muncul satu wanita tercantik di suku itu yang setiap Pemuda selalu terpikat olehnya.

 

konstruksi adalah sebuah susunan atau model dari sebuah sarana dan prasarana yang dibuat sebelum melakukan pembangunan

 

Artikel Biografi Habib Abu Bakar As-Segaf yang ditulis pada tahun 2017 oleh  Saadillah Mursyid

 

Menurut Mitologi Kisah-kesah Tetuha bahari


 

Keterangan bahwa Nama Islamnya Putri Tetuha Adat Dayak Balai Ulin yang dzuriat sesudahnya menyebutnya aluh/galuh Jamilah atau Siti Jamilah. Abu Thalib dan Hamzah adalah kakak kandung Siti Jamilah.

 

Daftar makam Ulama Aulia Habaib HSS, Dakwah sepanjang hayat Teladan sepanjang jaman, Sabtu, 17 November 2018, di tulis oleh Abu Salim (Bin Alkaff HSS) Dikutip bersumber dari Manaqib Alhabib Ali bin Idroes Assegaf Turbah Alawiyyin Anak Mas Kandangan.

 

Abad ke-18 adalah dihitung mulai dari tahun 1701M sampai dengan tahun 1800M. Sedang pertengan abad ke-18 berarti dihitung mulai dari tahun 1751M.aan tanah makam dan sekitarnya sebelum tahun 1970 an.

Aruh Baharin  /Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas : https://id.wikipedia.org/wiki/Aruh_Baharin

Artikel Sejarah Ahlul Bait (Keturunan) Sayyidina Muhammad Saw di Indonesia, http://fakhrur94.blogspot.com/2012/04/sejarah-ahlul-baitketurunan-sayyidina.html

 Suku Dayak Berasal dari Kalimantan, Berikut Asal-usul dan Tradisinya

Fida Afra – detikSulsel, Rabu, 27 Sep 2023 19:30 WIB

https://www.detik.com/sulsel/budaya/d-6953919/suku-dayak-berasal-dari-kalimantan-berikut-asal-usul-

Artikel  Suku  Dayak” Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak

dan-tradisinya#:~:text=Suku%20Dayak%20adalah%20kelompok%2

 Ket. Referinsi No. 6-7 Artikel Tradisi Suku Dayak & Asal-Usul Suku Dayak   https://www.gramedia.com/best-seller/tradisi-suku-dayak/

Artikel Datu Banua Lima, Panglima yang Ditakuti Prajurit Majapahit (Bagian-1)

https://daerah.sindonews.com/berita/1019516/29/datu-banua-lima-panglima-yang-ditakuti-prajurit-majapahit-bagian-1


2 komentar:

A.Historis dan Nasab Dzuriat Datu Habib Lumpangi

  Oleh H.Hasan Basri,S.Ag bin H.M.Barsih Assegaf NASAB AHLU ALBAIT NABI BESAR MUHAMMAD SAW IBN ABDULLAH IBN ABDUL MUTHALIB DARI KELUARGA A...