7.
Oleh H.Hasan Baseri, S.Ag bin H.Muhammad Barssih
Ia seorang yang
shaleh, dan ia seorang yang ta’at
beragama yang sangat memelihara iman dan islam, ia amat dekat dan kenal dengan
Tuhannya, ia seorang yang bertanggungjawab kepada keluarganya dan ia selalu
berusaha menjalankan syari’at yang diperintahkan Tuhannya secara ketat selama
hidupnya, seperti shalat, puasa, zakat dan amaliah-amaliah dzahir dan
amaliah-amaliah bathin lainya.
Habib Abu Thair
Muhammad bin Abu Tha’am Ibrahim
bin Abu Bakar as-Tsani Assegaf Lahir
Menurut ceritera Datu-datu dan Nenek kami bahwa Habib Abu Thair Muhammad bin Abu Tha'am Ibrahim Assegaf di Desa Lumpangi kelahirannya awal abad ke-19M tahun 1829 Masihi dan wafatnya tahun 1942 Masihi Sumber data lain ada yang menyebutkan bahwa Habib Abu Thair Muhammad bin Abu Tha’am Ibrahim Assegaf lahir di Desa Lumpangi hari Jum'at, tanggal 14 Ramadhan tahun 1252 H/1829 Masihi.
Nama ayahnya adalah Habib Abu Tha’am
Ibrahim Assegaf sedangkan nama ibunya Siti
Rahmah (Diang Tangang), yang aslinya orang Tangang Bamban Kec. Angkinang. Sebelumnya ibunya
bekerja sebagai Pedagang atau penjual Iwak
yang ia bawa sendiri dengan lanjung dari Tangang
Bamban ke pasar “Jum'at Lumpangi” setiap minggunya.
Habib Abu Thair Muhammad bin Abu Tha’am Ibrahim bin Abu Bakar as-Tsani Assegaf Menerima Pengajaran ilmu Agama
Sjak kecil Habib Abu Thair Muhammad Assegaf, ia bercita-cita ingin merantau ke Negeri orang, kata orang tuanya hai Habib Abu Thair Muhammad bahwa “Kalau kau ingin merantau, kau harus banyak basango ilmu, supaya kembalinya kau selamat,” maka iapun telah membekali dirinya dengan giat belajar ilmu-ilmu agama kepada orang tuanya, kepada kakeknya dan pamannya dan juga kepada orang lain tentang ilmu akhlak, ilmu tauhid dan ilmu hakekat.
Dimasa kecil (lahir)nya Habib Abu Thair Muhammad
bin Abu Tha’am Ibrahim
bin Abu Bakar as-Tsani Assegaf berada di bawah
asuhan kedua orang tuanya bersembunyi
di
Desa Lumpangi, dimasa penjajahan Belanda datang ke Kalimantan.
Ia Mendapatkan Pengajaran Agama langsung dari : -Abu Tha’am Ibrahim/ Siti Rahmah ayah-ibunya, -Abu Bakar as-Tsani kakeknya -Abdullatif pamannya. Dan -Abu Ali pamannya. Oleh karenanya Dia pandai baca Al-Qur’an dan baca tulis arab Malayu”.
Nasab
الْحَبِيْب اَبًوْ طَيْرٍمُحَمَّدْ
بِنْ اَبًوْ طَعَامٍ اِبْرَاهِيْمَ بِنْ اَبُوْ بَكْرٍ الثَّاني بِنْ اَحْمَدْ صُحُف بِنْ مًحَمَّدْ جَميْلً الدِّيْن بِنْ اَبًوْ بَكْرٍ
بِنْ حَسَنٍ بِنْ هَاشِمٍ بِنْ مًحَمَّد بِنْ عًمَرَ الصُّوْفِيِّ [عُمَرُ الصَّافِيّ]
بِنْ عَبْدُ الرَّحْمن بِنْ مُحَمَّد بِنْ عَلِيٍّ بِنْ اَلْاِمَامً عَبْدُ الرَّحْمن
اى وَلِيُّ الله الْفَقِّيْه الْمًقّدَّم الثانيّ السَّقَّافُ بِنْ سَيِّدِنَا مًحَمَّد
مَوْلَى اَلدَّوِيْلَةِ بِنْ سَيِّدِنَا عَلِيٌّ صَاحِبُ الدَّرْكِ بِنْ سَيِّدِنَا
عَلْوِىْ الْغُيُوْرْ بِنْ سَيِّدِنَا الْفَقِّيْه الْمًقّدَّم مًحَمَّد بِنْ سَيِّدِنَا
علي الوالد االفقيه بن سَيِّدِنَا الامام مًحَمّدْ صاحب مرباط بن سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ
علي خالع قسم بن سيدنا عَلْوِيْ با عَلَوِيٌّ
بِنْ سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ مًحَمّدْ الصَّاحِبُ الصُّمْعَةُ بِنْ سَيِّدُنَا
اَلْاِمَامُ عَلْوِيُ الْمُبْتَكِرُعَلَوِيّيْن بِنْ سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ عَبْدُاللهِ
[عُبَيْدُالله الصَّاحِبُ الْعَرْضِيُّ] بنْ سَيِّدُنَا الْاِمَامُ أَحْمَدُ الْاَبَحُ
الْمُهَاجِرُ بِنْ سَيِّدُنَا الْاِمَامُ عِيْسَى الرُّوْمِيُّ بِنْ سَيِّدُنَا الْاِمَامُ
مًحَمّدٌ النَّاقِبُ بنْ سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ عَلِيُّ الْعُرَيْضِيُّ بِنْ سَيِّدُنَا
اَلْاِمَامُ جعفر الصادق بن سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ مًحَمّدْ الباقر بِنْ سَيِّدُنَا
اَلْاِمَامُ عَلِيُّ زَينُ الـعـابدين بن سَيِّدُنَا اَلْاِمَامُ الْحُسَيْنُ بنْ السَّيِّدِةُ
فَاطِمَةُ الزَّهْرَاءُ بِنْتُ مًحَمّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنْ عَبْدُ
الله
Nama Kuniyah Sayyid Abu Thair Muhammad bin Abu Tha'am Ibrahim Assegaf.
Nama aslinya Muhammad,
sedangkan nama kehormatannya Abu Thair atau Ambuthair itu
sendiri adalah nama pemberian orang-orang dan teman-teman
disekelilingnya. Mereka memanggilnya dengan gelar “Abuthair" maknanya
"Bapa yang punya
Burung" tetapi ada juga orang memanggilnya "Ambutheir” artinya
Anak yang pertama atau anak tunggal (nama panggilan untuk anak pertama).
Gelar “Abuthair" (َاَبُوْ طَيْرٍ) nama Abu Thair yang disimatkan pada awal namanya adalah "Hal ini berkaitan dengan profisi kegemarannya" sejak masa anak-anak hingga remaja, membuat rumah-rumahan (popundokan) dari bambu disamping rumah Ayanya. Dan ia juga gemar sekali memelihara dan memberi makan anak burung, yang diambilnya dari atas pohon kemudian dipeliharanya. Khususnya burung jenis Tiung dan Sarindit. Ia gemar menjebak, mamasang perangkap untuk mendapatkan burung-burung yang hinggap di atas pepohonan antara lain : “Memulutinya”. Bila burung itu hinggap dekat pulut, kemudian mengibas-ngibaskan sayapnya, maka bulunya kena getah yang ada pada pulut tersebut. Burung itu pasti jatuh ke tanah karena tidak bisa mengembangkan sayapnya. Oleh karenanya ia suka panjat-panjat pohon untuk pasang pulut dan cari sarang dan anak burungnya. Sehingga orang-orang disekitarnya menyimatkan pada namanya “Abuthair atau Ambutir” dengan maknanya “Bapak penyayang burung”
Masa muda Remaja Habib
Abu Thair Muhammad bin Abu Tha’am Ibrahim bin Abu Bakar as-Tsani Assegaf
Masa muda Habib Abu Thair
Muhammad bin Abuthair Ibrahim Assegaf di pertengahan abad ke-19 Masihi sekitar
tahun 1852, "Beliau hidup dimasa penjajahan Belanda dan menemui awal Jepang
menjajah Indonesia."
Sebahagian orang tua desa Lumpangi ada yang berkata
"Keadaan fisik postur tubuh Abu Thair Muhammad dimasa mudanya :
Tingginya tidak jauh berbeda dengan anaknya Tanqir Ghawa, dan bertubuh
besar, kekar, berdada bidang, ganteng, bermuka ceria, berkulit putih sawu
matang, rambut sedikit ikal dan berumbak dan sedikit homoris."
Menurut salah satu
sumber, ada yang mengatakan bahwa Abu Thair Muhammad, ia
berumur tidak kurang dari 110 tahun bahkan lebih. Yang pastinya tentu saja,
lebih muda 30 tahun usianya dari kelahiran anaknya Tanqir Ghawa 1862M.
Menurut
ceritera Datu-datu dan Nenek kami Desa Lumpangi "Ketika warga desa Amawang
Kandangan banyak yang menghindar dari kesewenangan Penjajah Belanda dan mereka
memilih menetap menjadi orang pegunungan di Desa Lumpangi.
Habib Abu
Thair Muhammad adalah duriat Habib Lumpangi yang ke-5 yang diberikan umur yang
panjang, ia berusia lebih dari satu abad. Ada
yang mengatakan/ berpendapat bahwa keberadaan Habib Abu Thair
Muhammad bin Abu Tha'am Ibrahim Assegaf di Desa Lumpangi
Berkata Abuthair Muhammad kepada
anak cucunya bahwa “Syukur alhamdu lillaah banar kita ine cucuai, jaka kada
datang habib membawa Islam dan nine kita ada yang balaki habib lalu maislamakan
datu nine bubuhan kita Dayak lumpamgi, jaka kada baislam maka kita rugi
banar akan dimasukakan ke dalam Naraka, nauudzu billaahi mindzaalik” ucapannya
ine telah diucapan pula oleh datu nine kita bahari sebelumnya kepada anak
cucunya
Pernikahan Habib Abu Thair Muhammad bin Abu Tha’am Ibrahim bin Abu Bakar as-Tsani Assegaf dengan ibunda Siti Tiadah (Siti Siyadah/Qiyadah)
Berkata Habib
Husni bin Manshur bin Hasan bin Aliadam bin Abdul Latif bin Abu Bakar as-Tsani
Assegaf bahwa “Habib Aliadam punya 2 orang saudara laki-laki yaitu Habib Abdul
Karim dan Habib Abdullah. Habib Abdul Karim pernah tinggal lama di Amuntai.”
Menurut
ceritera Datu-datu dan Nenek kami bahari bahwa ketika Sayyid Abu Thair Muhammad muda berprofisi
Arsetiktor Bangunan (Tukang) sekitar tahun 1860 Masihii ia berwisata lewat Nagara menuju ke
kota Raja Amuntai dan Candi Agung di Hulu Sungai Utara Amuntai, ia menjumpai
sepupunya yang juga berprofisi Arsetiktor Bangunan (Tukang) dan Dagang yaitu Habib
Abdul Karim bin Abdul Latif Assegaf yang tinggal sudah lama di desa Candi Agung
Amuntai Tengah. Ketika ia berada di Amuntai, ia bekerja beserta sepupunya membangun
Proyek Balai Rung Permaisuri Raja, saat bekerja itulah ia berjumpa, berkenalan dan jatuh hati
dengan seorag Dayang Permaisuri Raja, seorang gadis dara bernama "Siti Siadah/Tiadah atau Siti Qiadah"
ia adalah gadis
asli orang Candi Agung Amuntai Tengah, ia berprofisi asal Dayang Pemayungan Permaisuri Raja Kuripan Amuntai. Ia
berhenti bekerja di masa mudanya karena ia dipersunting dan dikawini oleh Sayyid Abu
Thair Muhammad
di tahun 1860 M.
Konon diceritakan tahun itu bahwa setelah ia mempersunting dan mempersteri atau mengawini an. Siti Siadah atau Tiadah, sebagai Isterinya, sekitar tahun 1861 Masihi saat itu, tanaman banih/ padi telah tinggi dan buah hijaunya sudah ada yang keluar, orang menyebutnya tanaman itu“rangkum kupak”, ia ajak isterinya yang hamil muda keladang (pahumaan) di Mantata’i. Saat isterinya berdiri ladang di atas pondok tinggi tersebut, isterinya melihat seekor Rosa atau Kijang berkulit indah memikat hatinya, sedang makan buah bilaran di tepi ladangnya. Ketika sudah pulang, berada dirumah, isterinya ingin sekali memakan hati (ghawa dalam bahasa arab) seekor Rosa yang pernah dilihatnya. Mungkin karena belum kesampaian hajatnya. Maka setelah anaknya lahir Senin. 12 Rabi'ul Awal 1279 Hijeriyah berjenis kelamin laki-laki, maka anaknya diberikan nama “ Tanqir Ghawa” artinya “Hati sedikit tergoda.” Pasangan suami-isteri ini hanya punya satu anak semata wayang mereka yang diberinama "Tanqir Ghawa."
Masa Habib Abu Thair Muhammad
Assegaf terjadi Perang Banjar
pecah saat melawan Belanda yang dikomandoi Pangeran
Antasari
Masa Abu Thair Muhammad
bin Ibrahim Assegaf telah terjadi perang, disebutkan bahwa Perang Banjar pecah
saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik
Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi
peperangan dikomandoi Pangeran Antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar.
Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari
menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut,
Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu. Pada 14 Maret 1862, dia
dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan
Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin
dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun
Atas,
Pangeran Antasari tidak
hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, dia juga merupakan pemimpin Suku
Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku
lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito, baik
yang beragama Islam maupun Kaharingan.
Konon Ia senang dan
suka pula membuat layang-layang, dan bermain layang-layang dimasa anak-anak
hingga masa mudanya. Ia diberi gelar oleh teman-temannya dengan laqab “Abu
Thaiyar” artinaya : "Bapa pembuat layang-layang yang terbang"
Masa Habib Abu Thair Muhammad
Assegaf terjadi Banjir
besar pada Sungai Kali Amandit.
Dimasanya Sayyid Abu
Bakar as-Tsani, Abu Tha'am Ibrahim dan Abu Thair Muhammad telah terjadi Banjir
besar, air sunami yang sangat mencekam, dan banyak menelan korban. Balai Pantai
Dusin Hulu Banyu bekas tinggal ibunya dan sebagian keluarganya telah hanyut
dibawa air bah. Tragedy Balai Adat Hulu Banyu pecehan Balai Ulin
Lumpangi Loksado diperkirakan terjadinya 1247H/1831 Masihi.
Menurut beberapa sumber
yang kami himpun bahwa Akibat air sunami tersebt, di Lumpangi khususnya
sebahagian petanahan pedatuan H. Bustani yang dulunya menyatu dengan tanah
Balai Ulin telah terkikis menjadi belahan sungai baru akibat air bah (banyu
ba'ah) atau banjir besar itu. Sisa satu batang tiang Bekas Balai Adat yang
dijadikan sebagai simbol Balai Ulin yang berdiri ditepi sungai belahan
sungai yang baru itu tiangnya bergesir atau kena air bah itu hingga
condong dan rebah kedasar sungai. Dan fostur tanah tempat berdirinya bekas
Balai Adat Balai Ulin dan sekelilingnya menjadi rendah atau talabuh atau
terkikis sebagai akibat ganasnya air bah itu. Kemudian tiang balai yang
terandam didasar sungai itu diambil dan dijadikan tiang suku guru atau
tiang utama masjid Jannatul Anwar dan diletakkan ditengah-tengah
sebagai penyangga atau pananggak kubah saat
perihapan masjid
Air bah itu, mampu
membelah dua arus, hingga terjadi Erosi (Erosi merupakan proses terkikisnya
lapisan permukaan tanah yang disebabkan oleh pergerakan air, angin, es, dan
gravitasi serta berlangsung secara alamiah). Erosi membuat sungai baru.
Sehingga adanya peristiwa itu halaman Masjid yang dulunya sungai, telah
berubah menjadi pantai.
Setelah sungai jauh dari
Masjid, maka Masid itu direhap total dan dibangun kembali tiang, atap dan
dinding menggunakan kayu ulin, kubah bundar atap siraf dan diatasnya dilengkapi
dengan aksisoris, lantainya tihal yang dibeli oleh Habib Tanqir Ghawa dari
Surabaya dan selesai diawal abad ke-20 Masihi sekitar tahun 1902
Masihi. Menurut ceritera datu nenek kami bahwa ada beberapa tokoh
orang Lumpangi yang berperan ikut andil membangun Masjid Jannatul Anwar
Lumpangi kala itu antara lain : Habib Abu Thair Muhammad sebagai ketua
Pembangunan, Habib Tanqir Ghawa, H. Bustani, H.Mastur, H.Ahmad dan tokoh
masyarakat lainnya sebagai anggota.
Setelah peristiwa banjir
besar tersebut maka timbullah inisiatif untuk memugar atau merombak Masjid.
Peristiwa pemogaran dan perombakan Masjid Pertama Lumpangi terjadi di masa
Habib Abu Thair Muhammad dan Tanqir Ghawa anaknya akhir abad ke-19 sekitar
tahun 1895-1902 Masihi atas kesepakatan bersama masyarakat Lumpangi,
Masjid Jannatul Anwar direhap total, semua bahan bangunannya dari kayu
Ulin, beratap dan kubahnya sirap.
Aksisoris
kobah Masjid Jannatul Anwar Lumpangi dari terbuat almanium dan
lantainya tihal yang dibeli oleh Habib Tanqir Ghawa dari Surabaya. Ini adalah
menurut ceritera atau penuturan Habib Bahriansyah Assegaf.
Habib Abu Thair Muhammad bin Abu Tha’am Ibrahim bin Abu Bakar as-Tsani Assegaf Wafat
Sebagian
orang berkata bahwa "Saat Muhammad Basih buyutnya berumur kurang lebih 5
tahun Habib Abu Thair Muhammad telah wafat." Masmurah
isteri cucunya telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberinama
“Muhammad Barsih”. tahun 1937 M.
Habib Muhammad Burhan
Rabbani bermimpi datuknya Habib Abuthair
Muhammad bin Abu Tha'am
Ibrahim Assegaf Tanggal 14 April tahun 2022M telah terjadi wangsit lagi,
setelah beberapa kali ia mendapati buyutnya lewat sebuah mimpi, ia memberi
isyarat bahwa “Ia pulang hari ini, 16 Ramadhan”. Kemudian Buyutnya Habib
Muhammad Burhan Rabbani bermusyawarah dikeluarganya. Kemudian hasilnya ia mengumpulkan
orang-orang untuk mengadakan jamuan makan dan di iringi do’a - do’a pada
haulnya setiap tanggal 16 Ramadhan, khususnya di tahun tersebut.
Sebagian orang ada yang
menyebutkan bahwa Habib Abuthair Muhammad bin Abu Tha'am Ibrahim Assegaf berusia cukup lanjut, kurang lebih usianya
sekitar 113 tahun, dan ia wafat di Desa Lumpangi, 16 Ramadhan 1361H/
Ahad, 27 September 1942 Masihi. Dimakamkan di Kuburan Muslimin, di kanan Masjid
atau bawah jalan bahari sekitar lingkungan Masjid Jannatul Anwar Lumpangi.
Adapun nama Isteri Abu Thair Muhammad yang terakhir adalah "Siti Aisyah" asal orang Tangang Desa Bambam Kecamatan Angkinang, ia juga orang yang diberi umur panjang. Berdasarkan beberapa sumber : ia wafat diakhir tahun 1960-an di makamkan di Kandangan Hulu.
Wallahu a'lam bissawab:
atang ke Indonesia. berarti Abu Thair Muhammad =Ambuteir wafat tahun 1942 Masihi.
Makam Habib Muhammad bin Ibrahim Assegaf (Abuthair atau Ambuthair)
Makam Habib Abu Thair Muhammad Assegaf
Karomah Siti Tiyadah (Siti Siyadah/ Siti Qiyadah) Ibunda Sayyid Tanqir Ghawa Assegaf.
Salah satu Karomah Siti Tiadah Ibunda
Sayyid Tanqir Ghawa Assegaf adalah Menurut ceritera Kayi Sepuh Lumpangi kelahiran 1935M (Habib Husni bin Ahmad Karji bin Tanqir Ghawa
bin Muhammad Assegaf) konon diceriterakan bahwa ketika Datung Siti Tiadah atau
Datung Qiadah, mandengar anaknya Sayyid Tanqir Ghawa saat
merantau di Kampung orang, ia berkalahi (dituduh berbuat onar) dan mendapat masalah di negeri orang, maka Datung Tiadah
datang menjemput (maambili) anaknya Sayyid Tanqir ke Pulau Laut
(Batulicin). Kata orang bahwa Ibu Sayyid Tanqir Gawa, ia hanya balarut mengayuh
jukung yang sangat sedarhana, konon ia bisa dengan mudah dan cepat sampai ke
sana, dengan bantuan sahabatnya para tentara Buaya. Beliau orang sakti atau
harat, menurut penglihatan orang-orang ketika itu, ia bisa barjalan di atas
permukaan air (banyu.) dengan cepat.
Wallahu a'lam bissawab
Artikel
ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Raja-Raja Kesultanan
Banjar", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/11/141137979/raja-raja-kesultanan-banjar?page=all.
Penulis : Widya Lestari Ningsih Editor : Nibras Nada Nailufar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar