SYEKH ABU ‘ALI ADDAQAQ W. 405 H / 1015 M
(الشيخ الإمام أبو على الدقاق)
هو الشيخ والإمام أبو علي الحسن بن علي بن
الجنيد بن محمد الدقاق
Nama panjangnya Syekh wal Imam Abu ‘Ali Hasan bin ‘Ali bin al Junaid bin Muhammad ad Daqaq. Ada yang mengatakan bahwa Dia adalah cucu Syekh wal Imam al Junaid al Bagdady
Dia memiliki otoritas terkemuka dalam bidang
Pengetahuan dan dia tiada bandingannya dari semua rekan-rekan sezamannya. Dia
sangat jelas gubahan dan fasih dalam berbicara, ketika melihat penyingkapan
jalan menuju Allah Swt. Dia banyak berjumpa dan bergaul dengan para Syekh. Dia
tercatat sebagai salah seorang murid Syekh An Nashra Abadzi dan biasa menjadi
juru Dakwah (تَذْكِيْرُ كَرْدِي)
Terdapat riwayat bahwa dia pernah berkata :”Barangsiapa
dekat dengan seseorang selain Allah, maka berarti dia lemah keadaan
(Spritual)-nya, dan barangsiapa berkata mengenai seseorang selain Allah, maka
ucapanya adalah DUSTA,” Karena kedekatan dengan seseorang selain Allah
muncul karena tidak mengetahui Allah secara memadai. Dan apabila seseorang
tidak bershahabat, maka dia tidak bakal berbicara mengenai yang lain.
Saya (Penyusun Kasyf al Mahjub) mendengar seseorang laki-laki Tua meriwayatkan bahwa suatu ketika dia pergi ke tempat dimana Ad Daqaq mengadakan pertemuam, dengan tujuan ingin bertanya kepadanya mengenai keadaan mereka yang hatinya yang Tawakkal kepada Allah. Waktu itu Ad Daqaq mengenakan sorban yang bagus buatan Tabaristan yang diinginkan oleh orang Tua tersebut. Dia berkata kepada Ad Daqaq :”Apa itu Tawakkal kepada Allah ? Syekh Ad Daqaq menjawab :”Menjauhlah dari menginginkan sorban orang lain,” Dengan kata-kata tersebut dia menyerahkan (memberikan) sorbannya kehadapan orang yang bertanya tersebut.
Syekh wal Imam Abu ‘Ali Hasan bin ‘Ali bin al Junaid bin Muhammad ad
Daqaq. Dia tinggal di kota Naisyabur dari Provensi Khurasan. Dia seorang Syekh
dan Imam syari’at dan hakekat di masanya. Dia guru bagi Syekh Imam Al Qusyairi
dan Ulama-ulama Sufi tahun 335 -412 Hijeriyah di kota Naisyabur Provensi
Khurasan. (
Syekh wal Imam Abu ‘Ali Hasan bin ‘Ali bin al Junaid bin Muhammad al
Nisyafuri dengan panggilan ad Daqaq wafat 405H /1015M adalah guru dan juga mertua
Syekk Abul Qasim Al Qusyairi.
Berkata Imam Al Qusyairi di dalam kitabnya Ar Risalah :
.... إن العبادة منهاج الجنة, ٌال القشيرى فى الرسالة : سمعت أبا على الدقاق رحمه الله تعالى يقول : العبودية أتم من العبادة, فأولا عبادة, ثم عبودية ثم عبودة, فالعبادة للعوام من المؤمنين والعبودية للخواص و العبودة لخاص الخاص *كذا كتاب سراج الطالبين الاول
“Tentang beribadah adalah jalan menuju ke sorga.” Di dalam kitabnya Ar Risalah Al Qusyairiyah.Imam Al Qusyairi telah berkata : “Telah aku dengar dari Guruku, Abu ‘Ali ad Daqaq Allah berkata :”Ubudiyah lebih sempurna dari pada ibadah, maqam yang pertama adalah ibadah, kemudian maqam yang kedua adalah ‘Ubudiyah, dan maqam yang ketiga adalah “Ubudah.” Maqam Ibadah untuk orang awwam, Maqam Ubudiyah, untuk orang khawas dari Kaum Mu’minin dan maqam Ubudah,untuk orang khawasu-khawas
Dalam "Artikel Muhammad Afiq
Zahara" tentang Jenderal Besar Meminta Nasihat Syekh Abu ‘Ali al-Daqaq
bahwa dikatakan pada kitab al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk, Imam
al-Ghazali menceritakan sosuk seorang Isfahsalar Naisabur (Jenderal Besar
Naisabur) bernama Abu Ali bin Ilyas datang ke majelis Imam Abu Ali al-Daqaq (w.
405 H).
Diceriterakan bahwa Abu Ali bin Ilyas, Isfahsalar (Jenderal) wilayah Naisabur pada suatu hari berkunjung pada Syekh Abu Ali al-Daqaq rahimahullah. Beliau ini adalah seorang zahid di zamannya dan sangat alim diera/masanya. Jenderal Abu Ali bin Ilyas duduk berhadapan dengan beliau dan berkata : "Wahai Syekh, Berikanlah aku nasehat"
Syekh wal Imam Abu Ali al-Daqaq rahimahullah berkata kepadanya : "Wahai Amir (penguasa), aku hendak menanyakan satu persoalan padamu. Aku haraf kau menjawabnya dengan jujur tanpa kenifakan."
Jenderal Abu Ali bin Ilyas berujar "Baik, akan kujawab pertanyaan Tuan Syekh".
Syekh wal Imam Abu Ali al-Daqaq rahimahullah bertanya : "Manakah yang lebih kau cintai, harta atau musuh."
Jenderal Abu Ali bin Ilyas menjawab : "Harta lebih aku cintai dari pada musuh."
Kemudian Imam Abu Ali al-Daqaq berucap : "Bagaimana bisa tuan meninggalkan sesuatu (harta) yang tuan cintai, setelah kematian tuan dan membawa musuh yang tuan tidak cintai bersama tuan (dikehidupan setelah mati." Amir itu menengis, matanya tertutup, sambil berujar "Bener yang tuan nasehatkan ini (Al Ghazali, cetakan 1988) Abu Hamid al Ghazali, al Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk, Bairut Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1988 halaman 45
bahwa bahwa Dalam "Artikel Muhammad Afiq Zahara" tentang Jenderal Besar Meminta Nasihat Syekh Abu ‘Ali al-Daqaq bahwa dikatakan pada kitab al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk, Imam al-Ghazali menceritakan sosuk seorang Isfahsalar Naisabur (Jenderal Besar Naisabur) bernama Abu Ali bin Ilyas datang ke majelis Imam Abu Ali al-Daqaq (w. 405 H).
Diceritakan
bahwa :
كان أبو علي بن إلياس إسفهسلار نيسابور فحضر يوما عند الشيخ أبي علي الدقاق رحمه الله, وكان زاهد زمانه وعالم أوانه, فقعد علي ركبتيه بين يديه وقال: عظني! فقال له أبو علي: أيها الأمير, أسألك مسألة وأريد الجواب عنها بغير نفاق. فقال: أجل أجيبك. فقال: أيها الأمير أيما أحب إليك المال أو العدو؟ فقال: المال أحب إليّ من العدو. فقال: كيف تترك ما تحبه بعدك وتصطحب العدو الذي لا تحبه معك؟ فبكي الأمير ودمعت عيناه وقال: نعم الموعظة هذه!
Abu Ali bin Ilyas, Isfahsalar (Jenderal) wilayah Naisabur suatu hari berkunjung pada Syekh Abu ‘Ali al-Daqaq rahimahu Allah. Beliau adalah seorang zahid di zamannya dan alim di eranya. Jenderal Abu Ali bin Ilyas duduk berhadapan dengan beliau dan berkata: “Berikan aku nasihat!”
Imam Abu Ali al-Daqaq berkata
kepadanya: “Wahai amir (penguasa), aku hendak menanyakan satu persoalan padamu.
Aku harap kau menjawabnya tanpa kenifakan.”
Abu Ali bin Ilyas berujar: “Baik,
akan kujawab pertanyaan tuan syekh.”
Imam al-Daqaq bertanya: “Manakah
yang lebih kau cintai, harta atau musuh?”
Abu Ali bin Ilyas menjawab: “Harta
lebih aku cintai daripada musuh.”
Kemudian Imam al-Daqaq berucap:
“Bagaimana bisa tuan meninggalkan sesuatu (harta) yang tuan cintai setelah
(kematian) tuan dan membawa musuh yang tuan tidak cintai bersama tuan (di
kehidupan setelah mati)?”
Amir itu menangis. Matanya tertutup,
sembari berujar: “Benar yang tuan nasihatkan ini.” (Abu Hamid al-Ghazali,
al-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1988,hlm 45).
Nasihat Imam Abu Ali al-Daqaq ini
menarik untuk direnungkan. Sebab mengedepankan kemanusiaan di atas segalanya.
Ia menarik kemanusiaan masuk ke wilayah akhirat, dengan menegaskan bahwa harta
yang lebih dicintai oleh jenderal itu tidak akan dibawa mati, tapi musuh yang
ia benci akan turut bersamanya di kehidupan mendatang. Seburuk-buruknya musuh,
ia tetap manusia yang memiliki peluang sama dengan kita di akhirat kelak,
tergantung bagaimana cara ia hidup.
Dengan kata lain, musuh harus lebih
dicintai, bukan harta. Cara mencintainya dengan menghilangkan perilaku buruk
mereka dan membawa mereka ke jalan yang benar. Jangan membencinya karena
permusuhan. Cintailah mereka karena kemanusiaan. Sebanyak apa pun harta yang
kita kumpulkan, mereka tidak akan dibawa mati. Seburuk apapun musuh yang kita
miliki, ia akan bersama kita di akhirat kelak.
Dengan mengatakan nasihat ini kepada seorang jenderal besar, Imam Abu Ali al-Daqaq berharap agar jenderal tersebut lebih mengutamakan dakwah dan pendekatan persuasif dalam membebaskan suatu daerah, bukan penyerangan membabi buta untuk mendapatkan harta rampasan perang. Setiap orang memiliki hak mendengarkan seruan kebenaran, melintasi jalan yang lurus, dan tentu saja memasuki surga Allah. Jika ada seseorang yang mengambil hak tersebut dari orang lain, entah sangsi apa yang akan diberikan Allah kepadanya, kita tidak mengetahuinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar