Oleh H.Hasan Basri bin M.Barsih Assegaf
Nama Dayak mulanya adalah sebutan untuk
penduduk asli di Pulau Kalimantan. Suku Dayak, memiliki 405 sub-sub suku yang
setiap sub sukunya memiliki adat, tradisi serta budaya yang hampir sama. Suku
Dayak, merupakan suku yang berasal dari Kalimantan akan tetapi suku Dayak juga
tersebar hingga ke Sabah dan Sarawak, Malaysia (Artikel Tradisi Suku Dayak
& Asal-Usul Suku Dayak).
Di daerah selatan
Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan
Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan
Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang
diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 Masihi. Kejadian tersebut
mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah
pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada
saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para
pedagang Melayu sekitar tahun 1520M (Suku Dayak).
Menurut Lindblad,
bahwa kata Dayak berasal dari kata
“daya” dari bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. Suku Dayak
adalah suku bangsa atau kelompok etnik yang mendiami pedalaman pulau
Kalimantan.
Menurut pemerhati sejarah
Mudjahidin. S (2010) Dari kisah orang dahulu hiduplah sekelompok suku Melayu
Tua di pulau Kalimantan yang terdiri dari lima kelompok suku,ke-5 suku itu
dipimpin masing-masing lima orang bersaudara, ke-5 suku tersebut sudah
mempunyai sistem kepemimpinan bahwa yang muda taat pada yang tua. Kelima
bersaudara tersebut bernama :
- Abal,
- Anyan,
- Aban,
- Anum,
- Aju,
Mereka ini sangat berilmu dan sakti, bijak dan berwibawa. Negeri yang mereka bangun tersebut diberinama Nan Marunai/dikenal kerajaan Nan Sarunai, yang artinya
- Marunai = memanggil dengan suara nyaring (keras belagu)
- Sarunai = menyaru dengan suara seperti suling.
Dahulu dinegeri ini jika memanggil orang (mengumpulkan orang) dengan berteriak (bahalulung : Banjar) keras suaranya berirama sesuai maksud panggilannya.
Nama Sarunai itu sendiri
dimaknai dengan arti “sangat termasyhur”.Penamaan ini bisa jadi mengacu pada
kemasyhuran Suku Dayak Maanyan pada masa silam, di mana mereka terkenal sebagai
kaum pelaut yang tangguh, bahkan mampu berlayar hingga ke Madagaskar di Afrika.
Dari cerita suku Dayak Tua, bahwa kelima saudara ini titisan dari dewa Batara Babariang Langit, ia kawin dengan. Putri Mahuntup Bulang anak dari Batari Maluja Bulan dan melahirkan laki-laki an.Maanyamai, dan Maanyamai beristri putri Galuh dan istrinya melahirkan anak bernama Andung Prasap. Konon ia sangat sakti. Dan ia membangun Negeri Nan Marunai (Nan Sarunai) kemudian Andung Prasap beristri anak Raja menggaling Langit dan melahirkan kelima saudara tersebut di atas. Dari kelima saudara tersebut inilah cikal bakal suku-suku Dayak dari pulau Borneo atau Kalimantan Timur, Tengah, Utara dan Selatan. Orang tua mereka menyuruh mereka berpencar mengembara, konon Abal ke daerah Timur, menjadi suku Aba, Anum ke daerah utara melahirkan suku Otdanum, Aju menetap ketengah benua, jadi suku Ngaju, sedangkan Anyan keselataan melahirkan suku Maanyan. Dan mereka tersebut diberi pitua :” Tabu/ dilarang bacakut papadaan apalagi bermusuhan, karena mereka satu daerah satu nyawa, menurut pitua Nenek Moyang mereka mengatakan (pitua) Terkutuk apabila Bakalahi sata manggungan.
Menurut Artikel "Sejarah persaudaraan dayak dan banjar" bahwa dari cerita silsilah keturunan dayak tersebut adalah suku Weddoid yang sudah eksis berabad-abad mendiami pulau Kalimantan.Adapun anak tertua yang ke-2 bernama Anyan bin Andung Prasap melahirkan suku Dayak Ma-Anyan. Ia punya 10 anak keturunan :
- Luwa,
- Pahi,
- Alai,
- Wangi,
- Sari,
- Aju,
- Burai,
- Buun,
- Kutip,
- Asih
Dari kesepuluh anak ini orang suku Dayak menyebutkan cucu urang 10, kesepuluh cucu tersebut mereka membuka pemukiman /kampung di tempat yang berbeda sehingga ada warga Luwa di sepanjang Kalua sampai kemuara Uya, Ahe menjadi warga Ma-ahe Mahi, Alai di Birayang, wangi menjadi warga Mawangi di Padang Batung HSS, Sari menjadi warga/ Marga Sari di Tapin, Aju menjadi suku Biaju sampai ke Riam Kanan dan Riam Kiwa, Burai menjadi warga, Maburai, Buun menjadi warga Mabuun dan kampung di Warikin, Kutip menjadi warga-Makutip sedangkan Asih menjadi suku Ma-asih ke muara pulau (ujung panti) dan Sungai Baulak (sekarang sebelah Alalak)
3. Kerajaan Nan Sarunai meliputi Kahuripan dan Tanjung Puri adalah kerajaan yang sama
Menurut mitologi suku Maanyan (suku tertua di Kalimantan Selatan), kerajaan pertama di Borneo Selatan adalah Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah Tabalong hingga ke daerah Pasir.
Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan tentang masa-masa keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebuah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini dan telah melakukan hubungan dengan pulau Madagaskar. Kerajaan ini mendapat serangan dari Majapahit. Sehingga sebagian rakyatnya menyingkir ke pedalaman (wilayah suku Lawangan). Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang terletak di kota Amuntai. Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20). Menilik dari angka tahun dimaksud maka Kerajaan Nan Sarunai/Kerajaan Tabalong/Kerajaan Tanjungpuri usianya lebih tua 600 tahun dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur (Sahriansyah 2015).
Sementara itu menurut sumber kuat (arkeologis ) menyebutkan bahwa Kerajaan Tanjung Puri adalah kerajaan yang sama dengan Kerajaan Nan Sarunai di Kalimantan Selatan.
Kerajaan Nan Sarunai adalah sebuah kerajaan purba, pada masa keemasannya berdatanganlah Para imigran Melayu keturunan Sriwijaya ke tanah Borneo ini, mereka datang ke Tanjungpuri sekitar abad ke-4 M, mereka memiliki budaya lebih maju dari pada penduduk lokal atau suku Dayak pada saat itu, mereka yang menempati pemukiman yang berlokasi di daerah pesisir Sungai Tabalong
Semakin lama perkampungan yang mereka tempati semakin ramai dan kemudian berkembang menjadi sebuah kerajaan kecil bernama Tanjung Puri di bawah kekuasaan Kerajaan Nan Sarunai,
Pada suatu saat, kota Tanjungpuri mulai berkembang pesat dan menjadi daerah perdagangan yang ramai, serta rakyatnya hidup dalam kemakmuran dan sejahtera.
Kerajaan Nan Sarunai adalah kerajaan purba di Kalimantan Selatan yang diyakini berdiri tahun 242 SM-1389M. Ia sebuah Kerajaan yang mempersatukan etnis Suku Dayak dan etnis Malayu di Kalimantan saat itu tetapi tidaklah banyak terixspots nama raja-rajanya yang berkuasa sebelumnya.
Sedangkan Kerajaan Tanjungpuri diyakini bawahan Nan Sarunai, kedua Kerajaan ini sangat rukun, berkelurga dan bersaudara dekat, bahkan tidak pernah ada permusuhan diantara kedua kerajaan tersebut. Walaupun kedua kerajaan tersebut berbeda keyakinan, tetapi tetap saling menghormati, menjaga, dan saling membantu.
Referensi Artikel (KERAJAAN TANJUNGPURI DI TANJUNG TABALONG) Yuli Saputera
4. Dayuhan dan Intingan Datunya Orang Banua Lima
Konon dipulau Borneo di daerah pesisir sungai Barito pada sekitar awal abad ke-13M (th.1200-1300M) hiduplah dua orang Pangeran bersaudara yang terpelajar dan berilmu dan dua orang pengiran ini bernama Datu Dayuhan dan Datu Intingan nama aslinya (Bambang Basiwara), keduanya masih keluarga dekat, sepupu sekali Raden Japutra Layar Raja Dayak Nan Sarunai.
Menurut ceritra orang-orang Dayak pahuluan bahari bahwa Japutra Layar anak Raden Japatra Batu dan ia anak Raden Gupitra Dewa konon ia punya adik kandung bernama Raden Gupitra Bajawara (alias Datu Paluy) Datu Paluy ini anak dari Datu Sarawin. Dimasa mudanya Dayuhan dan Intingan adalah menjabat Patih dari 40 patih kerajaan Nan Sarunai. Bambang Basiwara dan anak-anaknya mengabdi di Kerajaan Tanjungpuri dan Dayuhan dan anak-anaknya mengabdi di Kerajaan Nan Sarunai. Dayuhan dimasa mudanya menikah dengan Dyang Nilam Baiduri anak pembesar Kerajaan Tanjungpuri menurunkan anak : Datu Angkin, Datu Angara, Datu Kumbang, Dara Kambang dan Datu Kantawan, kelima anaknya setelah dewasa menjadi orang terpelajar dan berilmu mereka mengabdi pada Raja Nan Sarunai. Sedangkan Datu Intingan dimasa mudanya menikah dengan Dyang Intan Baiduri (salah seorang Putri Imigran Melayu keturunan Sriwijaya). Hasil pernikahan keduanya menurunkan lima orang anak laki-laki :
Datu Alai
Datu Tabalong
Datu Balangan
Datu Amandid
Datu Tapin
kelima bersaudara ini, mempunyai profisi dan keahlian berbeda sehingga tak mudah ditaklukkan lawannya.
Dilansir dari Artikel “Datu Banua Lima, Panglima yang ditakuti Prajurit Majapahit” bahwa Nama Datu Banua Lima cukup dikenal warga Banjar di Kalimantan Selatan. Datu Banua Lima merupakan gelar bagi lima panglima Kerajaan Tanjungpuri yang terkenal sakti dan ditakuti kerajaan lain termasuk prajurit Majapahit pada awal abad ke 14 masehi. Berdasarkan hikayat Datu Banua Lima, kelima Panglima tersebut yang pertama bergelar Panglima Alai, merupakan ahli politik dan strategi perang. Kedua, Panglima Tabalong, yang terkenal gagah, kuat, pemberani, dan berjiwa ksatria. Ketiga, Panglima Balangan yang berwajah tampan, pintar, dan suka menuntut ilmu kanuragan. Sedangkan yang keempat dan kelima adalah si kembar yang bergelar Panglima Hamandit dan Panglima Tapin. Mereka berdua ini terkenal keras dan suka berkelahi. Kala itu Kerajaan Tanjungpuri berhubungan baik dengan Kerajaan Nan Serunai tetangganya. Walau berbeda keyakinan Kerajaan Tanjungpuri yang mayoritas pengikutnya beragama Buddha sedangkan Kerajaan Nan Sarunai pengikut ajaran Kaharingan. (Datu Dayuhan menjadi Kepala Suku Dayak pegunungan Maratus setelah Kerajaan Dayak Nan Sarunai dan bawahannya runtuh). (Artikel “Datu Banua Lima, Panglima yang Ditakuti Prajurit Majapahit”
(rtikel “Datu Banua Lima, Panglima yang Ditakuti Prajurit Majapahit” diterbitkan SINDOnews.com pada Jum'at, 03 Juli 2015)
5. Ekspedisi militer Kerajaan Majapahit ke Kerajaan Dayak Maanyan Nan Sarunai
Menurut Sejarah tradisi lisan suku Dayak bahwa Kerajaan Dayak Maanyan yang bernama Kerajaan Nan Sarunai, pernah berdiri di daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Amuntai. "Nan Sarunai diyakini berada di Amuntai, daerah yang terletak di pertemuan Sungai Negara, Sungai Tabalong, dan Sungai Balangan yang bemuara di Laut Jawa. Daerah itu berjarak sekira 190 kilometer dari Banjarmasin, ibukota Provinsi Kalimantan Selatan sekarang" (Raditya 2018)
.
a.Ekspedisi militer Pertama Kerajaan Majapahit
Sejarah menyebutkan bahwa Kerajaan Dayak Maanyan yang bernama Kerajaan Nan Sarunai, berdiri dan bertahan berabad-abad di Kabupaten Hulu Sungai Utara Amuntai. "Nan Sarunai diyakini berada di Amuntai, terletak di pertemuan Sungai Negara, Sungai Tabalong, dan Sungai Balangan yang bemuara di Laut Jawa. Nan Sarunai adalah kerajaan Dayak yang kuat dan hebat dan rakyatnya makmur. Buktinya dua kali pasukan Majapahit menyerang kerajaan Nan Sarunai tetapi selalu dapat dipatahkan.
Menurut hikayat Datu Banua Lima bahwa Tahun 1309 M Kerajaan Dayak Nan Sarunai dipimpin raja bernama Raden Japutra Layar, Menurut ceritra orang-orang Dayak pahuluan bahari bahwa Japutra Layar anak Raden Japatra Batu dan ia anak Raden Gupitra Dewa konon ia punya adik kandung bernama Raden Gupitra Bajawara (alias Datu Paluy anak dari Datu Sarawin. Datu Sarawin diperkirakan hidup akhir abad ke-12 Masihi) ia seorang raja Nan Sarunai dan ia kakeknya Datu Dayuhan.
Seorang Raja yang dalam waktu satu genarasi masa memimpin kerajaannya berkisar antara 35-40 tahun baru digantikan oleh penerusnya kerajaan ini yang bertakhta di Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan saat itu. Kemudian penerus Kerajaan Dayak Nan Sarunai dipimpin oleh Raden Neno antara 1339-1341.yaitu anak Raden Japutra Layar.
Menurut Sri Naida, pemerhati sejarah mengatakan bahwa "walau Kerajaan Nansarunai itu dianggap lenyap, toh eksistensi Dayak Maanyan itu tetap ada. Terbukti, dengan adanya 7 uria (petinggi Kerajaan Nansarunai) dan 40 patih yang akhirnya membentuk suku-suku yang ada di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah"
Diceritrakan bahwa Kerajaan Majapahit mengirim ekspedisi militer pertama ke wilayah Borneo. Yang mula-mula diserang adalah Kerajaan Nan Sarunai. Sekitar 5.000 pasukan Majapahit datang dengan kapal-kapal laut melewati Sungai Barito yang dipimpin oleh Senopati Arya Manggala. Dengan membawa pasukan yang sangat banyak tersebut, lalu pasukan Kerajaan Nan Sarunai dengan gagah berani menyambut kedatangan serangan mereka dengan pasukan yang sudah matang dipersiapkan sebelumnya. Lalu terjadilah peperangan sengit antara dua kobo kerajaan ini.
Setelah dua hari bertempur dimedan laga menghadapi pasukan Nansarunai yang tangguh dan kuat, akhirnya pasukan Majapahit mampu dipukul mundur oleh pasukan Nan Sarunai yang dipimpin Datu Panglima Angkin tarkanal sakti (anak Datu Dayuhan), bahkan pemimpin pasukan Majapahit ketika itu yaitu Senopati Arya Manggala roboh bersimbah darah dengan liher putus akibat terkena sebitan Mandaunya senjata asli Suku Dayak. Mengetahui pemimpin pasukannya tewas lalu sisa-sisa pasukan Majapahit lari terbirit-birit tunggang langgang menuju kapal untuk menyelamatkan diri dari gempuran dan kejaran pasukan Nan Sarunai dan akhirnya mereka pulang ke tanah Jawa. Kerajaan Majapahit gagal dalam ekspedisi pertama ini, untuk menaklukan Kerajaan Nan Sarunai.
Referensi (Artikel “Datu Banua Lima, Panglima yang Ditakuti Prajurit Majapahit” diterbitkan SINDOnews.com pada Jum'at, 03 Juli 2015)
Diceritrakan pula bahwa dimasa kerajaan Dayak Nansarunai ini pula menurut Hikayat Datu Banua Lima ada seorang panglima kerajaan berasal dari suku Dayak Alai yang terkenal dengan sebutan Panglima Alai. Bersama lima panglima lainnya yaitu Panglima Tabalong, Panglima Balangan, Panglima Hamandit dan Panglima Tapin sukses menghalau serangan kerajaan Majapahit pada tahun 1356M.
Dilansir dari Artikel “Datu Banua Lima, Panglima yang Ditakuti Prajurit Majapahit” bahwa Pada saat itu, Kerajaan Majapahit sangat berambisi untuk menguasai nusantara termasuk tanah Borneo, Kalimantan. Hal itu terjadi karena Maha Patih Gajah Mada sudah bersumpah untuk menguasai dan menyatukan nusantara. Menurut mata-mata Majapahit ada yang mengatakan bahwa kedua kerajaan di Borneo tersebut adalah rakyatnya sangat makmur karena istananya berlapiskan emas. Mendengar hal itu, Prabu Hayam Wuruk, Raja Majapahit begitu berambisi untuk menguasai kedua buah kerajaan tersebut,
b. Ekspedisi militer Kedua Kerajaan Majapahit
Setelah gagal dalam ekspedisi pertama, Majapahit kembali mengirim ekpedisi militer kedua. Ekspedisi kedua kali ini dipimpin langsung Laksamana Nala yang diikuti isterinya dengan membawa dua kali lipat pasukan dari ekspedisi pertama. Dalam rombongan pasukan besar ini terdapat juga pasukan khusus Majapahit yang terkenal yaitu pasukan Bhayangkara. Pada ekspedisi kedua ini pasukan Majapahit belum berhasil menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai
Diceritrakan pula bahwa dimasa awal Raden Anyan memimpin kerajaan Dayak Nansarunai menggantian ayahnya Raden Neno. menurut Hikayat Datu Banua Lima ada seorang panglima kerajaan berasal dari suku Dayak Alai yang terkenal dengan sebutan Panglima Alai. Bersama lima panglima lainnya yaitu Panglima Tabalong, Panglima Balangan, Panglima Hamandit dan Panglima Tapin dengan membawa 1000 orang pasukan mereka sukses menghalau serangan kerajaan Majapahit pada tahun 1356M. . Laksamana Nala pulang ke tanah Jawa dengan sengaja ia meninggalkan isterinya Damayanti (Samoni Batu nama samaranya) di wilayah /tempat kekuasaan musuhnya tujuannya untuk mengetahui kelemahan musuhnya dengan alasan kapal tidak dapat merapat kepantai karena terjadi musim kemarau saat itu. Beberapa tahun kemudian musim kemarau telah berakhir menyamar sebagai saudagar Pedagabg kaya berlabuh di sungai Barito Laksamana Nala menjemput isterinya yang sedang menggendung seorang anak. Disinilah awal bermula timbul rasa .dendam Laksamana Nala dengan Raja Nansarunai karena ia menikahi & menghamili Samoni Batu yang sudah bersuami dan lewat keterangan isterinya tersebut ia mengetahui sumur gua tempat persembunyiannya dan rahasia kelemahan musuhnya.
Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 Masihi. Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu sekitar tahun 1520M (Suku Dayak)
Kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan tersebut yang berlokasi di Kabupaten Hulu Sungai Utara Amuntai. Nansarunai diyakini berada di Amuntai, daerah yang terletak di pertemuan Sungai Negara, Sungai Tabalong, dan Sungai Balangan yang bemuara di Laut Jawa. Akibat serangan Majapahit itu yang terjadi diakhir abad ke-14 Masihi suku Dayak Maanyan tersebut terdesak dan terpencar, sebagian masuk ke pedalaman-pedalaman hulu sungai.
c.Ekspedisi militer Ketiga Kerajaan Majapahit
Pada 1389 M. Majapahit kembali mengirim ekpedisi militer ketiga Ekspedisi ini dipimpin langsung Laksamana Empu Jatmika dan diikuti Laksamana Nala. Pada ekspedisi ketiga ini pasukan Majapahit melakukan siasat perang yakni penyusupan-penyusupan dari dalam yang tidak disadari lawannya, berupa memasukan kapal yang datang ke darmaga pelabuhan secara bertahap, di wilayah Kerajaan Nan Sarunai, hingga tak dicurigai lawan, mereka menyamar sebagai saudagar pedagang kaya yang banyak pelayannya untuk mengetahui kelemahan lawan, penyamaran ini dilakukan dalam waktu yang lama hingga kelemahan lawan ditemukan. Kemudian baru mengadakan serangan secara tiba-tiba hingga berhasil menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai, bahkan serangan ketiga tersebut Raja Nan Sarunai yang bergelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas yang terkenal konon sakti mandarguna tetapi ia diduga gugur dalam konvirasi peperangan. Peristiwa runtuhnya Kerajaan Nan Sarunai yang oleh orang-orang dayak Maanyan dikenal dengan istilah “Nan Sarunai Usak Jawa”. Konon atas petunjuk isterinya, diduga Raja Nan Sarunai terbunuh dengan sebuah tombak sakti miliknya sendiri yang dilakukan oleh Laksamana Nala di dalam sebuah sumur gua tempat persembunyiannya. Versi lain menyebutkan bahwa yang ditangkap dan dibunuh dengan sebuah tombak sakti itu adalah Raksa Gangsa pengawal setia Raden Ayan (adik kandung istrinya) sedangkan Raden Ayan sendiri selamat dari konvirasi penangkapan dan pembunuhan saat itu ia melarikan diri menuju Banua Lawas Amuntai dan bersembunyi disana hingga akhir hayatnya. Sedangkan Ratu Kerajaan Nan Sarunai yang bergelar Dara Gangsa Tulen dan sebagian keluarganya lari menyelamatkan diri menuju pedalaman dibantu dua orang Punggawany
Akibat serangan Kerajaan Majapahit tersebut, maka Kerajaan Nan Sarunai yang dipimpin oleh Raden Anyan yang menyandang gelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas disebut-sebut sebagai raja terakhir Nan Sarunai saat itu telah dihancurkan dan ditaklukan Maka suku Dayak Maanyan tersebut terdesak dan terpencar atau tercerai berai atau lari ke pedalaman. Sebagian mereka masuk ke pedalaman hulu sungai
Ada tiga ekspedisi militer dilakoni Kerajaan Majapahit dalam misi menaklukkan Kerajaan Nansarunai. Hingga terlebih menyusufkan tentara-tentaranya sebagai buruh kapal perdagangan dalam masa berbulan-bulan hingga bertahun tahun untuk mengetahui kelemahan Nansarunai. Penetrasi atau penyerangan III terjadi pada tahun-1389, di masa Raja IV Majapahit bernama Sri Hayam Wuruk atau Rajasanagara yang berkuasa pada 1350-1389, dengan Maha Patih Gajah Mada (yang wafat pada 1362), serangan yang ke-3 inilah terbilang sukses.
Atas perintah Hayam Wuruk, pasukan Majapahit pimpinan Empu Jatmika menyerang Nan Sarunai hingga takluk. Kemudian, Empu Jatmika membangun kerajaan baru bernama Negara Dipa yang bernaung di bawah kekuasaan Majapahit dan menganut agama Hindu.
6. Dua orang Punggawa penyelamat
Ratu Nansarunai dan keluarganya
Menurut Ahmad dan Ceritra
datu nenek kami bahwa “Amandit dan saudara sepupunya Kantawan adalah nama dua orang
Punggawa Kerajaan Nansarunai yang sakti dari Dayak Maanyan yang ditugaskan
menyelamatkan Dara Gangsa Tolen Ratu Nansarunai Dara Gangsa Tulen dan keluarganya dari kejaran-kejaran tentara
Majapahit. Punggawa Amandit membawa mereka lewat tanah kelahirannya lumpangi hingga
perjalanan sampai ke- Desa Peramasan Atas Kab. Banjar. Nah di Desa inilah
terdapat sebuah nama bukit /gunung bernma Panginangan Ratu dan makam Ratunya
ada disana.”..
Menurut Ahmad atau Amat
yang saya wawancarai, ia asal dayak Bayumbung yang sudah muslim ceritera dari
datuk-neneknya bahwa "Saat penyerangan tentara Maja Pahit yang ke-3 ke Kalimantan
Selatan tahun 1389M Ratu Dayak Nansarunai juga ikut lari/mengungsi bersama
sebagian rakyatnya menyelamatkan diri ke daerah pedalaman dibantu Pengawal
setianya yang bernama Raksajiwa,adik kandungnya sendiri hingga perjalanan mereka tiba di Paramasan dan
bersembunyi di sana. Beliau telah wafat dan bermakam di Pramasan Atas Kecamatan
Paramasan dan makamnya Ratu Dara Gangsa Tulen masih ada malah diberi lelangit kain kuning oleh
Masyarakat Dayak disana".
Menurut ceritra masyarakat setempat
bahwa Pada masa menyelamatkan Dara Gangsa Tolen Ratu Nansarunai
dan keluarganya perjalanan yang dipandu Dua orang Punggawa Kerajaan
Nansarunai yakni Amandit dan Kantawan, mereka singgah di Kandangan beberapa
waktu untuk bersembunyi dan beristirahat melepaskan lelah di dalam sebuah “Gua ” maka Gua tempat beristirahat Ratu Nansarunai tersebut diberi nama
oleh masyarakat setempat dengan nama “Gua Peranginan Ratu” gua tersebut menjadi
Objekwisata terletak digunung Parandakan sekarang menjadi wilayah Kec.
Lokpaikat.
Menurut Asmaji Kades
Paramasan Bawah yang saya wawancarai saat pernikahan sepupunya an. Yusran di
Desa Bamban bahwa "Kuburan Ratu Nansarunai terletak di Desa Paramasan Atas
dan Kuburannya itu sudah dibina oleh Pemerintah Kab. Banjar."
7. Sekilas Sejarah berdirinya Balai Adat "Balai Ulin Lumpangi" Kecamatan Loksado
Kurang lebih 150 tahun atau satu setengah abad kemudian setelah kekalahan generasi pertama Penduduk kerajaan Nan Saruna dari serangan Majapahit hingga generasi ke-4, ke-5 dan ke-6 dalam perjalanan atau hijerah sebahagianya ada yang sampai ke desa Lumpangi. Loksado. Nah di Desa Lumpangi inilah pernah berdiri diperkirakan tahun 1552 pertengahan abad ke-16 sebuah Balai Adat.
Menurut folklor ceritra datu nenek kami kalau dihitung dari runtuhnya kerajaan Nan Sarunai bahwa diperkirakan generasi ke-8, ke-9 dan ke-10 pancaran Suku Dayak Maanyan mereka sudah lama berdomisili di Desa Lumpangi Loksado, mereka membangun kembali Balai Adat yang perabut bangunan utamanya dari kayu Ulin. Kayu Ulin tersebut ditebang dan diolah (ditarah) dengan kapak Baliung atau Balayung. Peralatan lainnya seperti parang.Bungkul, Mandau untuk mengkayau /perang, tumbak dan Sumpit untuk berburu binatang liar. Kayu-kayu tersebut diambil dan dibawa dari Hulu Banyu Loksado dengan rakit bambu /lanting.
Salah satu yang menjadi tradisi adat Dayak dalam membangun rumah/balai adat bahwa "muka rumah/ balai adat selalu menghadap kearah matahari terbit, tak terkecuali Balai Adat "Balai Ulin" itu mukanya juga mengadap kearah matahari terbit, dan balai itu dihuni oleh 7-10 kepala keluarga. Orang Dayak menjunjung tinggi semangat rasa kebersamaan dan mereka memiliki dapur masing-masing. Balai Adat berbentuk panggung dengan ukuran panjangnya diperkirakan 35-50 meter dan lebar 10-12 meter dan tinggi lantai dari permukaan tanah 2 setengah hingga 3 meter dan 7 anak tangga kecil untuk menolak Hantu kepala terbang. Tangga itu hanya dilewati 1 orang lebar kurang lebih 50cm.
Pada pertengahan abad ke-17 Masihi Balai Adat "Balai Ulin" Lumpangi Loksado direhap total oleh Regenerasi suku Dayak. Sekitar tahun 1700 Masihi akhir abad ke-17 Balai Adat tersebut dipimpin oleh seorang Kepala Suku Dayak atau Tetuha atau Penghulu Adat bernama Langara, ia punya adik kandung bernama Ulang. Dayak Ulang ini punya anak bernama Bumbuyanin dan Bayumbung, sedangkan Dayak Langara menurut sumber data punya 3 anak pertama bernama Talib dan kedua bernama Anjah dan ketiga bernama Aluh Milah.
Mengungkap sebahagian tradisi atau adat atau keberadaan suku dayak Langara (pancaran suku dayak Maanyan) dengan Balai Adatnya menurut tradisi lisan orang-orang Lumpangi bernama "Balai Ulin" waktu bahari (tempo dulu), Balai Adat Dayak tersebut telah berdiri diperkirakan tahun 1552 M di Desa Lumpangi. Mereka Para penghuninya dan masyarakat sekitarnya menemukan hidayah Islam pada masa Sultan Banjar yang ke-10 yaitu Raja Tahmidullah I tahun 1700-1717 Masihi. Peristiwa itu teradi di tiga abad yang silam.di awal abad ke-18 Masihi. Islam sudah masuk ke Lumpangi sejak tahun 1705-1759M, lewat perdagangan dan perkawnan Khadratu Syekh al Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf.
Berkata Kayi Sepuh Lumpangi Sayyid Husni bin Nanang Kardji Assegaf : "Rumah Adat atau Balai Adat yang bernama Balai Ulin itu dibuat oleh Datu Nenek kami dari kayu Ulin, oleh karenanya dinamai Balai Ulin, begitu juga kampungnya dinamai juga kampung Balai Ulin". Menurur Habib Bahriansyah bin Bahur Assegaf "Balai Adat Balai Ulin itu tiang-tiangnya kayu ulin sebatangan".
Orang-orang Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara menyebut nama istilah Balai adalah Surau atau Langgar, milik orang-orang muslim, akan tetapi di Hulu Sungai Selatan istilah Balai adalah Rumah Adat khusus milik orang Dayak.
Hal senada yang dikemukakan oleh Kayi Usman bin Kayi Juhri usia 76 tahun ketika kami temuai dan wawancarai dikediamannya di Desa Lumpangi bahwa" Sejak dahulu tempat lokasi makam Habaib itu dinamai kampung Balai Ulin karena disana Datu Nenek kita pernah tinggal".
8. Tradisi Suku Dayak Pegunungan Meratus
Dilansir dari berbagai sumber, bahwa
suku Dayak memiliki berbagai tradisi unik, tetapi tradisi ini ditinggalkan oleh
Dayak Maratus dan dibatalkan dimasa keberadaan Habib Abu Bakar bin Hasan bin
Hasyim Assegaf dan anak cucunya kecuaali tradisi Tarian Gantar (batandik),.
Beberapa tradisi yang ditinggalkan di antaranya meliputi:
1. 1. Tradisi memuliakan Tamu Nginap
Salah satu tradisi/adat Dayak
ketika itu, bagi Tamu Nginap untuk kaum laki-laki lajang diperbolehkan
tidur satu kamar/ satu kelambu dengan wanita lajang puteri dari Tetuha Adat.
Bila tidak punya anak gadis maka isterinya yang menemani tidur tamunya. (kalua
tamunya sudah beristeri maka ia tidur satu kamar dengan isteri sahabatnya) sebagai
bentuk penghormatan terhadap tamu atau sahabat, tak terkecuali dengan Habib,
beliau tidur ditemani oleh Aluh Milah sepanjang malam, tetapi pagar ayu puteri
Milah tetap terjaga dengan baik. Habib tidak mau mengganggu dan apalagi
mempermainkan puteri Milah.
Adat Dayak adalah sangat meghormati
dan memulikan tamu, Puteri Milah adalah seorang gadis Dayak yang lemah lembut,
ia seorang gadis ramah dan homoris dan sulit untuk dilupakan.
Hal semacam ini dikuatkan oleh
ceritera teman saya, dia seorang Serjana dibidang agama Islam. Dia berceritera
kepada saya bahwa tamu laki-laki lajang yang nginap di rumah suku Dayak, ia
diperbolehkan tidur satu kamar atau satu kelambu dengan wanita lajang anak
Dayak sebagai bentuk penghormatan tuan rumah. Tradisi atau Adat Dayak tersebut
masih berlaku hingga sekarang tahun 2020 disebagian suku Dayak Kalimantan.
Temannya berceritera bahwa ketika
ia berada dipedalaman pulau Kalimantan tahun 2020, bekerja sebagai penebang
pohon kayu jenis Meranti dan Ulin. Ia mulai bersahabat baik dan akrab dengan
suku Dayak penduduk asli. Sahabatnya mengajaknya menginaf dirumahnya. Di rumah
sahabatnya ini ia menginaf, makan, minum dan cuci pakaian. Ketika malam hari ia
ingin tidur di salah satu ruangan, ia disuruh sahabat barunya tidur satu
kelambu dengan anak perempuannya yang gadis lajang. Kemudian iapun tidur
dengannya tetapi ia tidak berani mencumbu rayu, dan juga ia tidak mau merusak
pagar ayu dan menggagahi anak perempuan sahabatnya.
2. Tradisi Kuping Panjang
Telingaan Aruu adalah tradisi adat
Suku Dayak dengan cara memanjangan telinga. Untuk memanjangkan daun telinga,
mereka menggunakan anting-anting berbentuk gelang yang terbuat dari tembaga.
Anting-anting berukuran besar tersebut dalam bahasa kenyah disebut belaong.h
Di Kalimantan Timur, perempuan
Dayak memiliki tradisi unik memanjangkan telinga mereka. Keyakinan di balik
tradisi ini adalah bahwa telinga yang panjang membuat perempuan terlihat
semakin cantik.
Selain untuk aspek kecantikan,
memanjangkan telinga juga memiliki nilai simbolis dalam menunjukkan status
kebangsawanan dan melatih kesabaran.
Proses memanjangkan telinga
melibatkan penggunaan logam sebagai pemberat yang ditempatkan di bawah telinga
atau digunakan untuk anting-anting.
Perempuan Dayak diperbolehkan
memanjangkan telinga hingga dada, sementara laki-laki bisa memanjangkan telinga
hingga bawah dagu.
3. Tradisi Tato
Tato atau rajah adalah simbol
kekuatan, hubungan dengan Tuhan, dan perjalanan kehidupan bagi suku Dayak.
Tradisi tato ini masih dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan Dayak.
Proses pembuatan tato terkenal
karena masih menggunakan peralatan sederhana, di mana orang yang akan ditato
akan menggigit kain sebagai pereda sakit, dan tubuhnya akan dipahat menggunakan
alat tradisional.
Setiap gambar tato memiliki makna
khusus, misalnya tato bunga terong menandakan kedewasaan bagi laki-laki,
sementara perempuan mendapatkan tato Tedak Kassa di kaki untuk menandakan
kedewasaan mereka.
Dalam konteks sejarah, dikatakan
bahwa suku Dayak Iban menggunakan tato ini selama peperangan untuk membedakan
antara teman dan musuh.
4. Tradisi Tiwah
Kwangkey atau Kuangkay ialah
upacara kematian yang dilakukan Suku Dyaka Benuaq yang tingga di pedalaman
Kalimantan Timur. Tradisi ini berasal dari kata ke dan angkey, artinya adalah
melakukan atau melaksanakan dan bangkai.
Menurut istilah bahasa daerah
setempat, Kwangkey mempunyai makna buang bangkai. Maknay yang ingin disampaikan
adalah melepaskan diri dari kedukaan dan mengakhiri masa berkabung
Tiwah adalah upacara pemakaman
masyarakat Dayak Ngaju yang melibatkan pembakaran tulang belulang kerabat yang
telah meninggal.
Tradisi ini dilakukan sesuai dengan
kepercayaan Kaharingan dan dipercaya membantu arwah orang yang meninggal untuk
menuju dunia akhirat atau disebut juga dengan nama Lewu Tatau.
Selama pelaksanaan Tiwah, keluarga
yang ditinggalkan akan menari dan bernyanyi sambil mengelilingi jenazah.
Proses pembakaran tulang belulang
jenazah dilakukan secara simbolis, sehingga tidak semua tulang jenazah ikut
dibakar dalam upacara Tiwah.
Tradisi suku Dayak ke-4 ialah Tiwah yang upacara pemakaman yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Ngaju. Dalam upacara ini, mereka akan membakar tulang belulang dari kerabat yang telah meninggal dunia. Menurut kepercayaan Kaharingan, tradisi Dayah Tiwah, dipercaya mampu mengantarkan arwah dari orang yang telah meninggal agar mudah menuju dunia akhirat atau disebut pula dengan nama Lewu Tatau. Ketika melaksanakan tradisi Tiwah, biasanya keluarga yang ditinggalkan akan menari dan bernyanyi sambil mengelilingi jenazah. Proses pembakaran tulang belulang jenazah hanya dilakukan secara simbolis sehingga tidak semua tulang jenazah akan ikut dibakar dalam upacara Tiwah.
Tradisi Penguburan
Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan:
- penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat
- penguburan di dalam peti batu (dolme
- penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni:
- dikubur dalam tanah
- diletakkan di pohon besar
- dikremasi dalam upacara tiwah
Prosesi penguburan sekunder
1Tiwah
adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol
pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun
atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
- 2jambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
- 3Marabia
- 4Mambatur (Dayak Maanyan)
5. Tradisi Ngayau
Tradisi berburu kepala ini, yang
pernah ada tetapi sekarang sudah dihentikan, melibatkan pemburuan kepala musuh
oleh beberapa rumpun Dayak, seperti Ngaju, Iban, dan Kenyah.
Tradisi ini penuh dendam
turun-temurun sebab anak akan memburu keluarga pembunuh ayah mereka dan membawa
kepala musuh ke rumah. Ngayau juga menjadi syarat agar pemuda Dayak bisa
menikahi gadis yang mereka pilih.
Pemuda Dayak diwajibkan untuk
berpartisipasi dalam tradisi berburu kepala sebagai cara untuk membuktikan
kemampuannya dalam memuliakan keluarganya dan meraih gelar Bujang Berani.
Larangan terhadap tradisi ini
dihasilkan dari musyawarah Tumbang Anoi pada tahun 1874, yang bertujuan
menghindari perselisihan di antara suku Dayak.
Ke-5 tradisi tersebut sudah
ditinggalkan oleh Dayak Maratus dan dibatalkan dimasa keberadaan Habib Abu
Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf dan anak cucunya kecuaali tradisi Tarian Gantar
6. Manajah antang
Tradisi dari suku Dayak selanjutnya ialah
manjah antang, tradisi ini merupakan suatu ritual untuk mencari di mana musuh
berada ketika berperang. Menurut cerita masyarakat Dayak, ritual manajah antang
merupakan ritual pemanggilan roh leluhur dengan burung Antang, di mana burung
tersebut dipercaya mampu memberitahukan lokasi musuh. Selain dipakai ketika
berperang, tradisi manajah antang pun dipakai untuk mencari petunjuk-petunjuk
lainnya.
7. Mantat Tu’Mate
Seperti halnya Tiwah, tradisi mantat tu’mate
merupakan tradisi untuk mengantarkan orang yang baru saja meninggal dunia.
Namun mantat tu’mate berbeda dengan Tiwah. Sebab, mantat tu’mate dilakukan
selama tujuh hari dengan konten acara iring-iringan musik serta tari
tradisional. Setelah upacara selama tujuh hari selesai, barulah jenazah
kemudian akan dimakamkan
Ket. Referinsi No. 6-7 Artikel Tradisi Suku
Dayak & Asal-Usul Suku Dayak
8. Tari Gantar
Tari Gantar adalah salah satu
tarian khas Suku Dyak. Tarian ini adalah tari pergaulan muda-mudi Suku Dayak
Benuaq dan Dayak Tunjung di Kabupaten Kutai Barat.
Tarian Gantar mengekspresika
kegembiraan serta keramahan dalam menyambut tamu, baik wisatawan atau tamu
kehormatan. Tari ini juga berfungis untuk menyambut pahlawan dari medan perang.
Ada tiga jenis tarian Gantar, yakni Gantar Rayat, Gantar Busai, dan Gantar
Senak dan Kusa
9. Balai Ulin pernah Simpan Biji Padi Sebesar Kelapa pipikat Keramat
Diceritakan
bahwa dahulu kala Balai Adat Balai Ulin sewaktu dipimpin
oleh seorang Kepala Suku Dayak atau Kepala Balai atau Penghulu Adat yang bernama Langara,
mereka pernah
memiliki dan menyimpan peninggalan benda prasejarah, berupa tiga buah biji banih seukuran kelapa
yang dinamakan “Banih
kelapa atau Banih Nyiur”.yang diletakan
ditengah-tengah Kindai Banih dirungan tengah Balai.yang dijadikan sebagai “Ajimat
pipikat sakti”.menurut kepercayaan orang Dayak bahwa Banih Nyiur itulah yang memanggil ruh-ruh kawannya /membawai
nyawa kawannya sehingga Kindai Banih tidak pernah kosong atau habis. Dengan ikhtiar
Pemiliknya bahuma yang luas dan hasilnya selalu melimpah. Konon masa itu benda-benda
banyak yang berukuran jumbo.
Orang-orang
dahulu kalau ingin memasak nasi dari banih kelapa itu, maka banih itu dipipiki satu persatu dari
tangkainya dan ditaruh dalam lasung kayu baru ditumbuk dengan Halu hingga lanik
dan ditampi dengan nyiru dahulu baru beras itu dimasak.
Dan dari ketiga buah biji padi tersebut atas permintaan
Dayak Ulang kepada kakaknya Langara, bahwa ia dan keluarganya saja yang
memeliharanya, maka buah biji Banih itu masing-masing dibawa Dayak Pang Ulang
satu biji padi ke desa Ulang, dan dibawa Dayak Bumbuyanin (Pang Yanin) ke kampong Pantai
Dusin Hulu Banyu satu
biji padi dan
juga satu biji padi dibawa Dayak Bayumbung (Pang Yumbung) ke kampong Harantan Hilir
Banyu saat Balai
Adat bubar. Namun masyarakat sekarang tetap percaya bahwa
beras yang kecil saat ini, dahulunya adalah beras besar tersebut. Walaupun
sudah tidak ada lagi bukti – fakta sejarah tersebut sampai saat ini, namun
masih banyak masyarakat yang mempercayainya Walaupun benda yang tinggal tiga
biji tersebut sudah musnah, akibat musibah banjir dan kebakaran balai
Adat.
10. Adanya upaya Mengkaburkan /Menghilangan Fakta Sejarah
Adanya upaya Mengkaburkan /Menghilangan Fakta Sejarah Balai Adat "Balai Ulin Lumpangi" Kecamatan Loksado yang dilakukan oleh orang yang berkepentingan dan sebagian anggota Rabitah Alawiyah Kab. Hulu Sungai Selatan. antara lain :
- Penguasaan makam dipegang oleh orang yang bukan ahli warisnya
- Menghalang-halangi ahli warisnya yang sah untuk membina makam datu neneknya tanpa ada dasarnya
- Mengajak masyarakat untuk membenci atau tidak mengakui makam datu nenek mereka yang dibina ahli warisnya.
- Misalnya bunyi Artikel yang saya kutip beritikut :
Habib Abu Bakar bin Habib Hasan bin Hasyim bin Muhammad Assegaf atau yang lebih di kenal dengan nama Habib Lumpangi adalah salah satu ulama berpengaruh dalam penyebaran agama Islam di Hulu Sungai Selatan. Nama Habib Lumpangi diperoleh karena beliau mensyi’arkan, menyebarkan, dan mengajarkan agama Islam atau berdakwah di Lumpangi, tepatnya di KM.21 kampung Pantai Ulin (dulu Balai Ulin), desa Lumpangi, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Mursyid 2017).
Artikel ini ditulis adanya
upaya mengkaburkan /Menghilangan Fakta
Sejarah nama lokasi Balai Adat "Balai Ulin Lumpangi" Kecamatan
Loksado sehingga anak-anak muda sekarng mereka
tidak mengenal sejarah Balai Adat Dayak "Balai Ulin” yang pernah berdiri
di desa Lumpangi
Sekitar bulan September 2021 Penulis diberitahu lewat grof WA tentang sebuah artikel Biografi Sayyid Abu Bakar bin Sayyid Hasan Assegaf yang ditulis tahun 2017 oleh Saadil Mursyid. Sebuah Artikel yang sangat berharga dan bagus dan belum ada ditemukan orang yang menulis sebelumnya. Terima kasih sang Penulis namun Kami Keluarga Besar Datu Tanqir salah satu Ahli Waris Makam Habaib sangat kecewa tentang penulisan Pantai Ulin (dulu Balai Ulin) dan tahun wafatnya Syekh. Tulisan kampung Pantai Ulin ini akan menghilangkan fakta sejarah Makam itu sendiri.
Saya menulis bebarapa Artikel tujuannya untuk menjelaskan kepada sebagian masyarakat tentang peristiwa yang dialami Datu dan Datung kami dimasa lalu atau bahari di Desa Lumpangi Loksado. Salah satu Artikel dimaksud mengungkap tentang "Sebahagian tradisi keberadaan suku Dayak Langara pancaran suku Dayak Maanyan dengan nama Balai Adatnya "BALAI ULIN" di desa Lumpangi tempu dulu pertengahan abad ke-17 Balai itu berdiri. Mereka menemukan hidayah Islam tiga abad yang silam melalui perdagangan dan perkawinan Syekh Habib Abu Bakar Assegaf.
Orang-orang sesudah masa kita, tentu akan beranggapan bahwa lokasi pantai pemakaman Habaib datu kita ini dan tanah sekitarnya dulunya banyak tumbuh kayu Ulin. Argumen itu tidaklah benar. Faktanya sekitar lokasi pantai pemakaman Habaib datu kami ini dan tanah sekitarnya belum ditemukan kayu Ulin atau anak kayu Ulin yang hidup tahun 1970 an hingga tahun 1980 an. Sekarangpun belum ada masyarakat yang menemukan punggur-punggur Ulin atau batang Ulin yang terpendam dalam tanah untuk dijadikan tungkat atau kursen. Oleh karenanya rasanya belum tepat kalau lokasi pantai pemakaman Habaib datu kami ini dan tanah sekitarnya dinamakan kampung Pantai Ulin. Nama tersebut akan menghilangkan fakta sejarah kampung Balai Ulin Desa Lompangi itu sendiri.
7.Keadaan fisik Datu Habib Lumpangi adalah berperawakan tinggi besar,
Pedagang-pedagang Arab pada abad 16 hingga 17 M sejak kesultanan Banjar dipimpin oleh seorang muslim, berdatanganlah para pendatang ke wilayah ini disamping untuk berdagang mencari rempah-rempah misi penting lain juga tidak terlewatkan untuk berdakwah (Gafur 2009).
Keluarga Assegaf yang ada di Taniran dan Habaib yang ada di Lumpangi ini mayoritasnya berasal dari satu rumpun marga Assegaf ash-Shufy (ash-Shafy). Yang pertama kali menyandang marga ini adalah waliyullah Habib Umar ash-Shafy yakni turunan nasab Nabi Saw yang ke-26.
Disebutkan orang bahwa keadaan fisik ayahnya Datu Habib Lumpangi masa mudanya yakni Habib Abu Bakar bin Hasan adalah seorang saudagar muda berperawakan tinggi besar, dada bidang, berkulit putih kemerahan,yang merupakan sebaik-baiknya warna kulit, sebagaimana perkataan Imam Ali ra. bahwa "warna kulit Rasulullah adalah putih kemerah-merahan". Menurut ceritera Datu-neni bahari bahwa ayahnya Habib Datu Lumpangi adalah Habib Abu Bakar, Beliau pandai merayu hingga pembelinya terutama para wanita tidak malu-malu, merasa senang-gambira. Ia juga "sedikit homoris, berwajah arab, ceria, tampan (gentang) punya jabis dan kumis tipis dan juga berjanggut tipis, berbau wangi kala beliau datang berdagang ke Balai Ulin Lumpangi."
Kedatangan Sayyid Abu Bakar di Desa Lumpangi pada tahun 1705 Masihi. Ketika Beliau datang
ke Desa Lumpangi, menurut salah satu sumber informasi bahwa usia Beliau sekitar
43-45 tahunan kala itu, tetapi pisik dan muka Beliau kelihatan muda seperti
usia 25-30 tahun.
Sang puteri Milah terpesona melihat sang peria ganteng idaman hatinya benar-benar hadir didepan matanya kala itu, sehingga ia, tak bosan-bosan memandangnya. Syair lagu menyebutkan : Pesonamu wahai sang kumbang menyilaukan mata hatiku, Pesonamu menggambirakan hati Pesonamu menyejukkan hati bagi setiap orang yang memandangnya, hanrum wangi baumu, membangkitkan gairah hidupku, tak bosan mataku, tak bosan sungguh, mataku tak akan bosan, untuk memandangmu wahai peria idamanku, rasanya mataku ini enggan sekali berkedip disaat sedang memandangmu, ingin rasanya aku menyuntingmu hidup berdua denganmu, hidup berdua denganmu, akan kujadikan dirimu raja dalam istanaku,tak bosan mataku, tak bosan sungguh, mataku tak akan bosan
Menurut beberapa informasi yang saya dapat bahwa salah seorang turunan ke-3/buyut Habib Abu Bakar bin Hasan yang bernama Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf Assegaf, ia berwajah mirip sekali dengan Datuknya Sayyid Abu Bakar.bin Hasan Assegaf. Baik Postur bentuk tubuhnya maupun tingkah lakunya persis seperti Datuknya. Maka oleh karenanya orang-orang sekellingnya memanggil namanya yakni "Abu Bakar as-Tsani".
8 .Perjalanan Habib Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Aly Assegaf.ke Bandarmasih
Awal masa pemerintahan sultan Suriansyah, Menurut sumber bahwa “Habib asal Hadramaut yang datang pertama kali berkunjung ke Bandarmasih tujuannya berdagang dan mencari rempah-rempah diperkirakan awal abad ke-16 yakni tahun 1536 Masihi adalah orangtua Umar Ash-Shufy yakni Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Aly Assegaf. Beliau tidak lama menetap di kota ini kemudian balik lagi. Beliau berasal dari Seiyun (juga ditransliterasikan sebagai Saywun, Sayoun atau Say'un;
Beliau Datuknya dari (Datu Habib Lumpangi) adalah salah satu dzuriat keturunan Syekh dan Imam Sayyid Abdurrahman bin Habib Muhammad Maula Dawilah berasal dari Hadramaut Yaman, ia singgah menetap atau berdomisili yang lama di Kesultanan Demak Jawa Tengah sehingga beliau bersikaf dengan adat Jawa, lembut dan sopan dan juga sangat pasih berbahasa Malayu Indonesia. Fam/marga beliau As-Saqqaf, akan tetapi orang-orang Arab menyubutkan kata as-Saqqaf sulit/tidak bisa, maka disebutkan dengan lisan Arab adalah as-Seggaf. Orang Indonesia menulinya "Assegaf".
9. Syarif atau Habib ber- FAM
/ Marga Assaqqaf
Aal-ALSAQQAF آل السقاف (dibaca Assegaf/al Seggaf). Yang pertama kali digelari al-saqqaf ialah waliyullah al-Muqaddam al-Tsani al-Imam Abdurahman bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Gelar yang disandang karena beliau sebagai pengayom para wali pada zamannya agar terhindar dari perkara bid’ah. Para ulama ahli hakikat dan para wali yang bijaksana menamakan beliau ‘al-Saqqaf’, karena beliau menutup hal keadaannya dari penduduk di zamannya. Beliau sangat benci dengan kesohoran. Ketinggian derajat beliau dari para wali di zamannya bagaikan kedudukan atap bagi rumah. Beliau dilahirkan di kota Tarim, dikarunia 13 anak lelaki, dan 7 orang meneruskan keturunannya: Abu Bakar As-Sakran, Alwi, Ali, Aqil, Abdullah, Husein dan Ibrahim. Waliyullah Abdurahman Al-saqqaf wafat di Tarim tahun 819 H (Afandi 2008).
Beliau hidup dari tahun 1338-1416M / 739-819 H. Dari ke 13 anak lelaki ini dzuriat Rasulullah Saw yang bermarga As Segaf telah menyebar ke pelusuk negeri , salah satunya ke negara Asia Tenggara yakni Indonesia, diantaranya ke pulau Jawa pada masa Kesultanan Demak untuk mengembangkan Syari’at Islam dari Datu Moyang mereka. Masa Kesultanan Banjar mengalami keemasan maka Gantung siwur dan Cicip moning yakni genarasi/ keturunan ke-7 dan ke-8 Sayyidina Syekh Al-Imam Al-Qutb Abdurahman Al-saqqaf adalah Habib Hasan bin Hasyim beserta adik kandungnya Habib Idrus Assegaf dan anaknya Habib Abu Bakar bin Habib Hasan bin Hasyim bin Muhammad bin Umar as-Shufi Asseggaf. Habaib inilah menurunkan Habaib yang ber MARGA atau FAM (Family-Keluarga) Assegaf masuk ke Kesultanan Banjar Kalimantan Selatan dan menatap beberapa tahun. Dikota ini Habib Idrus dan Habib Abu Bakar menikahi wanita shalihah dari suku Banjar. Diperkirakan Habaib ini telah menyeberang dan masuk kedaerah Bandarmasih pada akhir abad ke-17M
Terlebih dahulu kita kembali kesejarah asal muasal agama Islam tersebut muncul di kota Banjarmasin yang dulunya bernama kota Bandarmasih yang erat sekali kaitannya dengan Pangeran Raden Samudera bin Raden Manteri Jaya bin Raden Bagawan di Kerajaan Hindu Nagara Daha.
Maharaja Sukarama, Raja Negara Daha telah berwasiat agar penggantinya adalah cucunya Pangeran Samudera, anak dari putrinya Puteri Galuh Intan Sari. Ayah dari Raden Samudera adalah Raden Manteri Jaya, putra dari Raden Begawan, saudara kandung Maharaja Sukarama. Wasiat tersebut menyebabkan Raden Samudera terancam keselamatannya karena para putra Maharaja Sukarama juga berambisi sebagai raja yaitu Pangeran Bagalung, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. Dibantu oleh Arya Taranggana, Pangeran Samudra melarikan diri dengan sampan ke hilir sungai Barito. Sepeninggal Sukarama, Pangeran Mangkubumi menjadi Raja Negara Daha, selanjutnya digantikan Pangeran Tumenggung yang juga putra Sukarama. Pangeran Samudra yang menyamar menjadi nelayan di daerah Balandean dan Kuin, ditampung oleh Patih Masih di rumahnya. Oleh Patih Masih bersama Patih Muhur, Patih Balitung, ia diangkat menjadi raja yang berkedudukan di Bandarmasih. Pangeran Tumenggung melakukan penyerangan ke Bandarmasih. Pangeran Samudra dibantu Kerajaan Demak dengan kekuatan 40.000 prajurit dengan armada sebanyak 1.000 perahu yang masing-masing memuat 400 prajurit mampu menahan serangan tersebut. Akhirnya Pangeran Tumenggung bersedia menyerahkan kekuasaan Kerajaan Negara Daha kepada Pangeran Samudra. Kerajaan Negara Daha kemudian dilebur menjadi Kesultanan Banjar yang beristana di Bandarmasih. Sedangkan Pangeran Tumenggung diberi wilayah di Batang Alai. Pangeran Samudra menjadi raja pertama Kerajaan banjar dengan gelar Sultan Suriansyah. Ia pun menjadi raja pertama yang masuk islam dibimbing oleh Khatib Dayan (Alamnirvana 2011)
Beberapa catatan tahun Sejarah Kesultanan
Banjar yang ada bahwa :
a. 1520,
penobatan Raden Samudera oleh Patih Masih sebagai raja di Muara Kuin dengan
gelar Pangeran Samudera.
b. 6
September 1526, pertempuran antara Kerajaan Banjar dipimpin Pangeran Samudera
dengan Kerajaan Negara Daha dipimpin Pangeran Tumenggung di Jingah Besar,
Pangeran Samudra dibantu Kesultanan Demak.
c. 24
September 1526, kemenangan Pangeran Samudra dan pembentukan Kesultanan Banjar,
dengan memasukkan Kerajaan Nagara Daha, selanjutnya Pangeran Tumenggung menetap
ke hulu pada Batang Alai dengan 1000 penduduk
(Sejarah Kalimantan Selatan).
Ada yang mengatakan bahwa Islam mulai masuk ke Kalimantan Selatan abad ke 15M sampai abad ke 17M. Pada Abad ke-17M sampai ke-18M adalah masa puncaknya perkembangan agama Islam di Kalimantan Selatan dan masa keemasan Kerajaan Banjar. Adapun puncak keemasan Kerajaan Banjar dan perkembangan Islam ditandai datangnya syekh-syekh / Habaib ke Banjar bersamaan muculnya ulama ulama Banjar salah satu yang terkenal dengan hasil karya tulis Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yaitu Kitab Sabilal Muhtadin. Kitab ini dijadikan sebagai bahan bacaan dan rujukan negara-negara di Asia Tenggara.
Kemudian ulama atau Habib asal Tarim Hadramaut tersebut, bahwa keluarganya yang dulunya sudah lama tinggal di Kesultanan Demak (Jawa Tengah) telah menyeberang menuju ke Kesultanan Banjar yang membawa misi dakkwah. Yakni Habib Abu Bakar dan ayahnya Habib Hasan beserta adiknya Habib Idrus. Disusul oleh yang lain : Habib Abdullah dengan isterinya Siti Aminah (orang tua Datu Kelampyan) datang dari India. Di kota Bandarmasih ini mereka berbeda tempat tujuan lokasi yang dituju. Habib Abdullah bin Abu Bakar al-Hindi bin (Abdurrasyid Mindanau bin ) Ahmad Ash-Shalabiyah bin Husain bin Abdullah bin Syekh bin Abdullah al Aydarus Al-Akbar bin Abu Bakar as-Sakran bin Sayyid Abdurraman Assegaf al Aydrus, mereka naik perahu menuju ke desa Lok Gabang Martapura.
Sedangkan Habib Abu Bakar dan ayahnya Habib Hasan beserta adiknya Habib Idrus Assegaf menetap di Bandarmasih konon tepatnya di kampung Sungai Mesa.. Habib Idrus sempat mengawini wanita salihah dari suku Banjar dan ia punya anak an. Habib Ali Assegaf. Tetapi tidaklah menutup kemunginan juga bahwa Habib Abu Bakar assegaf sebelum berpetualang ke negeri asia, ia telah mengawini perempuan salihah dari daerahnya tarim hadramaut dan punya keturunan an.Habib Shaleh Assegaf.
Orang Arab dikenal sebagai orang yang suka berpetualang menjelajahi sepanjang lautan sebelum dan sesudah berkembangnya Islam. Salah satunya Perjalanan ayahandanya Umar Ash-Shufy yakni Habib Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Aly Assegaf.ke Bandarmasih
Menurut Artikel “Menelusuri
Silsilah Suci Bani Alawi Sadah Aal Ba Alawy Aal Muhammad” ditulis oleh Al Habib Aidarus Almashoor bahwa Habib Aly
bin Sayyid Abdurrahman Assegaf wafat 840H/1437M di Tarim Hadramaut. Beliau
mempunyai 3 orang anak laki-laki an.
- Abdurrahman (keturunannya terputus)
- Ahmad
- Muhammad
Kemudian Muhammad mempunyai
2 orang anak/ keturunan an.
- Abdullah dan keturunannya di Mukalla Yaman
- Abdurrahman
Kemudian Abdurrahman mempunyai keturunan atau anak
laki-laki atas nama :
- Aly dan Beliau ini kakeknya Keluarga As- Saqraan di Tarim dan Zili
- Umar ash-Shafy atau Umar ash-Shufy
Menurut
silsilah nasabnya bahwa "Muhammad bin Umar as-shufy" tersebut punya anak an.
Hasyim. Dari Hasyim punya anak an. Hasan dan Idrus. Hasan punya anak Abu Bakar
(Ayahnya Habib Lumpangi) dan Abu Bakar punya anak an..Shaleh (ibunya dari Seiyun
Tarim) dan Muhammad Djamaluddin (Habib Lumpangi) dan (ibunya dari suku Dayak Langara Lumpangi
Loksado), yang dipanggil sehari “Muhammad” atau "Djamiluddin" kemudian Muhammad Djamiluddin punya
anak an.Ahmad Suhuf yang dipanggil sehari ”Ahmad”. Kemdian Ahmad punya anak an.
Abu Bakar yang dipanggil sehari “Abubakar as-Tsani’ sedangkan Thaha punya anak
an. Umar, dari Umar punya anak an. Thaha al Qadhi dan Thaha al Qadhi punya anak
an. Umar. dari Umar punya anak an. Muhammad al Qadhi
Konon Sungai Mesa merupakan sebuah kampung tua di Kota Banjarmasin (Bandarmasih nama dulunya). Kampung ini dibangun oleh seorang tokoh yang dikenal dengan nama Kiai Mesa Jaladri. Tidak diketahui persis, kapan Kiai Mesa membangun wilayah ini, yang jelas sejak itu Kampung Sungai Mesa menjadi wilayah tempat tinggal yang strategis. Letaknya yang persis di tepi sungai Martapura, membuat daerah ini menjadi semacam pelabuhan kecil tempat menaik-turunkan barang dagangan dari perahu. Di seberang Sungai Mesa adalah Jalan Pasar Lama Laut yang sekarang menjadi pusat perkantoran pemerintah Provinsi Kalsel (Artikel Kajian al Kahfi)
Menurt Artikel Sejarah Ahlul
Bait (Keturunan) Sayyidina Muhammad Saw di Indonesia menyebutkan bahwa “Seorang
dari keluarga Assegaf bernama Alwi (w.1842M) bin Abdillah bin Shaleh bin Abubakar dilaporkan melalui perjalanan panjang dari Hadramaut-Turki-Palembang-Gresik
sebelum menyinggahi Banjarmasin dan sempat bermukim di Kampung Sungai Mesa.
Alwi kemudian menetap di Martapura (Kampung Melayu) dan mendapat hadiah tanah
dari Sultan Adam di daerah Karang Putih. Kelak ia dan anak cucunya bermakam di
tanah pemberian sultan tersebut (makam Karang Putih Jl Menteri Empat Martapura)
”(Fakhrul 04-2012M)
Pemukim dari golongan sayyid yang terhitung orang lama (tua) di Sungai Mesa adalah Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf. Ahmad diperkirakan lahir di paruh kedua pertengahan tahun 1800-an. Ahmad memiliki saudara bernama Umar, Muhdor dan Muhammad. “Pekerjaan Habib Ahmad berdagang kayu ulin, juga membawa tajau, belanga berdagang dengan urang Dayak,” cerita Syarifah Nikmah.(Artikel Kajian al Kahfi)
Maksud paruh kedua pertengahan tahun 1800-an.adalah Habib Ahmad lahir kampung Sungai Mesa Bandarmasih tahun 1852 Masihi
13. Habib Abu Bakar beserta
ayahnya hijerah ke Hulu Sungai
Setelah beberapa lama tinggal di kota tersebut. Kemudian Habib pindah dari Bandarmasih menuju Banua Anam yaitu kota Kandangan. Mereka mudik menyisir sungai Barito dengan kendaraan perahu jukung yang sedarhana, membawa dagangan berupa sarung dan perhiasan wanita untuk menghidupi keluarganya. Mereka berhari-hari mengayuh jukung bahkan berminggu-minggu, mereka meliwati Nagara,
Ada kemungkinan juga di Nagara tepatnya Desa Sungai Pinang ini, Habaib cukup lama singgah berniaga dan sempat menikahi perempuan shalihah kampung tersebut hingga ada dzuriat nasab Habib yang ber-Fam Assegaf, yakni Alhabib Seggaf bin Abdul Hamid Assegaf (Kramat Assegaf Sungai Pinang) Alamat; Samping Kantor Desa Sungai Pinang-Nagara, KM.37. Kecamatan Daha Selatan.Kab.HSS Kalsel.
Bangkau, Garis, Sungai Kupang menyisir sungai menuju ke Hulu Sungai, hingga tiba tepatnya Desa Taniran. Kala itu arus tranportasi yang digunakan masyarakat melalui jalan laut dan sungai. Setelah beberapa tahun berdomisili di kota ini terjadi pembagian tugas dan lokasi misi dakwah. Karena sudah sepuh/ tua sering sakit-sakitan maka Habib Hasan bin Hasyim bin Muhammad bin Umar as-Shufi Assegaf berdakwah di Kandangan khusus diwilayah Kecamatan Angkinang.
14. Kedatangan Habib Hasan bin Hasyim Assegaf di Taniran awal abad ke-18M dan Syekh H. Sa'duddin bin H. As'ad (Datu Taniran) di abad ke-19
Keberadaan atau kedatangan Habib Hasan bin Hasyim Assegaf di Taniran lebih awal (awal abad ke-18M tahun 1700-1720 Masihi) dari pada Syekh H. Sa'duddin bin H. As'ad (Datu Taniran) awal abad ke-19M, ia pulang menuntut ilmu dari Mekkah sekitar tahun 1812M dan merehap Masjid Darul Lathif bersama masyarakat Taniran yang bahan dasarnya semua dari kayu Ulin beratap sirap.
Adapun sebagai dasar penulis mengatakan bahwa Habib Hasan bin Hasyim Assegaf lebih awal berada di Desa Taniran dari pada H.Sa'duddin (Datu Taniran) ada empat alasan yang kuat :
Alasan yang Pertama (1). Adanya silsilah (kelahiran) Habib Tanqirr Ghawa di pertengahan abad ke-19M yakni tercatat tahun 1862M/1279H di Desa Lumpangi, usia Beliau 126 tahun Hijeriah. Beliau adalah keturunan ke Tujuh dari Habib Hasan bin Hasyim Assegaf. Jadi ada 7 generasi silsilah baru sampai ke Habib Hasan Assegaf. Kalau dirunut dari :
- Habib Tanqirr Ghawa
- bin Abu Thair Muhammad
- bin Abu Tha'am Ibrahim
- bin Abu Bakar as-Tsani
- bin Ahmad Suhuf
- bin Muhammad Djamiluddin (Habib Lumpangi)
- bin Abu Bakar
- bin Habib Hasan Assegaf.
Alasan kedua (2) Artkel Datu Taniran dan Sejarah Penyebaran Islam di Banua Anam, menyatakan bahwa ia mengutif dari berbagai sumber, sebelum Datu Taniran, masyarakat kampung Taniran sudah dididik oleh Sayyid Hasan bin Hasyim Assegaf, yaitu ayahnya Sayyid Abu Bakar yang dikenal sebagai Habib Lumpangi di Kecamatan Loksado, HSS.
Alasan ketiga (3) Makam Habib Hasan bin Hasyim Assegaf sempat hilang, makam tersebut baru ditemukan di abad ke-20 Masihi. Karena sangat lamanya Beliau wafat hingga Keluarganya dan masyarakat sekitarnya sudah banyak yang melupakannya.
Alasan keempat (4) hasil
pengamatan kami tahun 1970-1980 terhadap Makam anak-cucu Beliau di Lumpangi Loksado sebagai berikut :
a). Makam
dan sekitarnya sudah lama ditinggalkan orang, keadaan Nisan-nisan pada Pusara
Datu Habaib Lumpangi sudah raif, usia makam sudah sangat tua, makam tidak
terpelihara dengan baik, keadaan tanaman atau pohon kayu, rumput yang hidup di
sekitarnya tumbuh sangat subur.
b).Ppepohonan Langsat, Ramania, Manggis yang hidup disekitar itu lebih besar dari ember
plastic isi 16 liter bahkan ada yang lebih besar lagi. dan pohon-pohon Kelapa
sanagt tinggi sekali dan tidak berbuah lagi, pohon Durian ada yang sangat besar
sekali, sebesar kindai padi (kalau diragaf lebih dari dua depa orang tua)
c). Waktu
itu Nisan-nisan ditengah pusara sudah raif dan sebagian berupa batu sungai,
belum ada catatan atau tulisan yang kami temukan dan dapatkan kala itu.
d). Semua dinding-dinding Ulin Baturnya sudah tanggal ke tanah, Batur-batur ulinnya tidak ada seni ukirannya atau seni pahatannya, tidak seperti Batur-baturnya anak cucu Datu Kelampayan di kota Marabahan sudah ada seni ukirannya atau seni pahatannya.
15. Habib Hasan) wafat pada awal abad ke-18 tahun 1720 Masihi.
Akhirnya Beliau (Habib Hasan) wafat diperkirakan pada awal abad ke-18, masa Raja Banjar ke-10 Sultan Tamidullah I tahun 1700-1717 Masihi. Saya beberapa kali datang kesana dan bertanya kepada orang-orang yang tua penduduk asli Desa Taniran Kubah RT.002/RW.001 yang dekat dengan makam Habib Hasan bin Hasyim bin Muhammad bin Umar as-Shufi Assegaf, diperkirakan mereka mengetahui tentang beliau datang dan wafat namun mereka berkata menurut tradisi lisan tetuha bahari bahwa diperkirakan usia Beliau saat datang di Taniran sekitar 70 tahunan dan ia menikahi wanita janda tua yang beranak warga desa Taniran.
Menurut sumber data yang saya terima bahwa Habib Hasan sudah sepuh tetapi kuat dan sehat, saat datang pertama di Taniran, ia berstatus duda. Beliau wafat pada hari Selasa, 19 Sya'ban 1132H/1720 Masihi. Ketika Belanda mulai menduduki Kota Banjarmasin sekitar tahun 1747 Masihi. Beliau barmakam atau berpusara di Desa Taniran Kubah RT.002/RW.001, sekitar 600 meter dari jalan besar atau jalan induk. Atau 500 meter dari makam Syaikh Datu Taniran. Berseberangan dengan langgar Darul Miftahul Jannah. Kubah beliau dikunjungi orang.
16. Tradisi Aruh Bawanang dan
Aruh Baharin.Balai Adat Balai Ulin Lumpngi
Misalnya Tradisi Aruh
Bawanang atau disebut juga aruh
mahanyari banih adalah salah satu ritual adat yang dilaksanakn oleh suku dayak
meratus setiap tahunnya pada saat pasca panen padi yang merupakan salah acara
ucapan rasa syukur kepada Sang Pencipta Alam Semesta.
Misalnya lagi Tradisi Aruh
Baharin. Pada saat ini, pelaksanaan Aruh Baharin tidak lagi setiap tahun atau
sehabis musim panen padi ladang, tapi tiga tahun sekali atau lima tahun sekali.
Hal ini disebabkan biaya untuk pelaksanaannya terbilang mahal. Tujuannya adalah
memanggil arwah raja-raja dari Kesultanan Banjar pada masa lampau karena harus
memotong/menyembelih beberapa ekor kerbau, kambing, dan ayam. Aruh Baharin
adalah Ritual ini bertujuan memanggil para arwah yang pemah berkuasa di daerah
tersebut, termasuk arwah raja-raja dari Pulau Jawa. Kedua, ritual Sampan Dulang
atau ritual Kelong. Ketiga, ritual Hyang Lembang. Ritual ini bertujuan
memanggil arwah Balian Jaya atau Nini Uri, yang dipercayai sebagai leluhur
orang Dayak. Ketiga, ritual Hyang Lembang. Tujuannya adalah memanggil arwah
raja-raja dari Kesultanan Banjar pada masa lampau. Pelaksanaan upacara adat
Aruh Baharin yang digelar selama tujuh hari tujuh malam ini memiliki tiga
tahapan : Pertama, tahapan persiapan.Tahapan
kedua adalah pemanggilan arwah leluhur. Tahapan ketiga adalah puncak upacara
adat aruh baharin. Puncak upacara ditandai dengan penyembelihan beberapa ekor
kerbau, kambing, dan ayam yang dipimpin oleh para balian (ensiklopedia bebas)
Keberadaan pakaian mereka
yang mereka pakai berupa dedaunan dan kulipak pohon kayu yang menutupi tubuh dan kemaluan mereka. Kemudian setelah
Habib yang bermarga Assegaf datang membawa syari’at Islam, melalui jalur
perdagangan dan perkawinan (jualan kain dan perhiasan wanita) secara barter,
lalu Habib membaur dengan masyarakat suku
Dayak Langara, di Balai Adat Balai Ulin pada waktu itu, mengawini salah
satu puteri yang anggun dan cantik parasnya anak Tetuha Adat Dayak Langara
an.Milah. Nama Putri Tetuha Adat dimaksud yang dzuriat sesudahnya menyebutnya
aluh/galuh Jamilah atau Siti Jamilah.
Perkawinan inilah yang
sangat merekatkan hubungan suku Dayak
Langara dengan Habib. Adanya ikatan perkawinan tersebut Islam berkembang dengan
cepat. Akhirnya mereka karena merasa berkelurga dengan Habib, merasa badangsanak
dengan Habib, mereka tertarik dengan Islam dan menerima Islam dengan sukacita
dan juga hasil perkawinan itu membuahkan keturunan dan dzuriatnya yang
bersambung dan nasabnya tercatat dengan baik sampai saat ini.
17. Habib Abu Bakar saudagar Kain Sarung dan Perhiasan Wanita berdagang ke Pedalaman Hulu Sungai
Kemudian untuk tugas dan lokasi pelusuk pedalaman dan hulu sungai diserahkan pada anak muda yakni Abu Bakar bin Hasan Assegaf. Hingga akhirnya Sayyid Abu Bakar setelah beberapa tahun berdakwah menyebarkan Islam di desa Taniran dan sekitarnya membatu ayahnya. Sayyid Abu Bakar Assegaf berniaga membawa dagangannya sampai ke pelusuk pedalaman suku Dayak Langara Desa Lumpangi yang belum pernah tersentuh Islam pada awal abad ke-18 tahun 1705M.
Barter adalah merupakan
sistem perdagangan yang di dalamnya terdapat kegiatan tukar-menukar barang
tanpa melibatkan uang sebagai alat transaksi. saat itu orang dayak belum punya
uang keping atau uang kertas.
Habib Abu Bakar saudagar Kain Sarung dan Perhiasan Wanita (perhiasan imitasi)
berdagang ke Pedalaman Hulu Sungai. Selanjutnya diceritrakan oleh Datuk-nenek
kami bahari bahwa pada awal mulanya Habib datang membawa dagangannya kepadalaman Hulu Sungai
di Balai Ulin Lumpangi, dagangan Habib diserbu oleh Para wanita tua-muda suku
Dayak. Mereka sangat tertarik dan tergoda dengan gaya dan bahasa yang santun, dan
raut muka habib yang ceria, homoris dan murah senyum, pandai merayu para
pembelinya sehingga membuat mereka tanpa rasa malu, bergerumbul mengelilingi
jualan Habib yang bertempat di tengah-tengah ruangan Balai kala itu, mereka
melihat dan mereka mencoba mengenakan cincin dijari tangan, mencoba mengenakan aguk/kalung
yang tergantung disela-sela dada mereka atau tergantung didahi mereka, mereka mencoba mengenakan
gelang dipegelangan tangan mereka dan bunil dan juga mereka mencoba menggunakan
sisir/ surui gafit ke kepala, wanita tua tertarik dengan sarung/tapih. . Dikala
itulah puteri Milah mulai berkenalan pada pertemuan pertama dengan Habib hingga
cahaya Matahari condung ke Barat waktu sore tiba dan Habib tak mungkin
balik-pulang ke Taniran di waktu sore hari karena akan menemui malam dan
iapun nginap ditempat itu. Gadis itu
sangat senang menjumpai Habib diruangan Balai Adat saat itu/
Salah satu tradisi unik /adat Dayak
Pegunungan Meratus ketika itu, bagi Tamu Nginap untuk kaum laki-laki lajang
tidak diperbolehkan tidur sendiri kecuali ia tidur satu kamar/ satu kelambu
bersama dengan puteri dari Tetuha Adat. Bila tidak punya anak gadis maka
isterinya yang menemani tidur tamunya. sebagai bentuk penghormatan terhadap
tamu atau sahabat, tak terkecuali dengan Habib, beliau tidur ditemani oleh
puteri Milah, saat Habib datang jualan pertama kali dan nginap (bamalam) di
Balai Adat Balai Ulin. Adat Dayak adalah sangat meghormati dan memulikan tamu,
Puteri Milah adalah seorang gadis berwajah ayu rupawan, remaja yang anggun, cantik parasnya, berwajah keibuan, rambut ikal berderai hingga punggungnya. Ia berdada bidang, tinggi-sedang, ia lemah lembut, ia seorang gadis berkulit putih bersih, ia ramah dan homoris dan sulit untuk dilupakan. tetapi berpakaian setengah telanjang. Pakaiannya terbuat dari anyaman dadaunan, anyaman kulipak kayu dan kulit-kulit binatang yang disamak, pantas saja pakaiannya hanya menutupi dada dan kemaluannya sesuai keadaan waktu itu.
Disinilah Habib mulai kenal
dngan suku Dayak Langara. Begitu pula dengan salah satu puteri remaja suku
dayak langara yang cantik jelita memikat hati bagi orang yang memandangnya. Hingga sekarangpun hampir
dipastikan bahwa setiap Balai Adat yang Ganal selalu ada muncul satu wanita
muda tercantik di suku itu yang setiap Pemuda selalu terpikat olehnya. Salah
satu tradisi Adat budaya Dayak mengawinkan anak usia muda antara usianya 9
tahun sd. 17 tahun.
Kedatangannya kali yang
kedua Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf membawa dagangannya kepedalaman Hulu
Sungai. entah kenapa ia melakukannya seperti bulan yang lalu, ia sampai berada diempiran Balai. Disambut
oleh Aluh Milah, padahal saat itu acara sacral atau acara inti Aruh Ganal atau
Aruh Bawanang masih berlangsung, yang diperbolehkan berhadir khusus untuk pemuka
adat, penghulu adat dan orang-orang yang mendiami Balai dimaksud, dan pada
acara sacral tersebut tidak
diperkenankan ikut hadir masyarakat umum atau orang-orang dagang.
Dikatakan orang bahwa ada orang memperkirakan usia Sayyid Abu Bakar saat datang di lumpangi sekitar 45 tahunan, oleh karena itulah Beliau mampu meredam imosi ketika menghadapi masalah ttg penjatuhan hukuman Adat kepadanya. Begitu pula ia mempu memelihara kesucian dirinya dan Aluh Milah saat tidur di dekatnya selama menjalani hukuman adat.
Melalui Sayyid Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim bin Muhammad Assegaf yang mengislamkan suku Dayak Langara dengan nama Rumah Adatnya “Balai Ulin”. Menurut mitologi bahwa suku dayak Langara adalah bagian/ pencaran dari dari suku dayak Maanyan suku dayak tertua di Kalimantan Selatan.
18. Habib Abu Bakar bin Hasan
Assegaf Kena hukuman Adat
Allah Swt berkehendak lain
dengan Hamba-Nya beriman. Kedatangannya
bersamaan dengan Masa Pamali atau Masa Tenang. Masa Pamali berlaku
selama 3 hari dan 3 malam pada acara
inti aruh ganal ini tamu tidak diperkenankan datang ke Balai Adat. Dan Habib
belum tahu hukum adat istiadat yang berlaku saat itu. Dan ia belum mendapat
undangan maka kehadiran Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf dikenakan hukuman
Adat. Hukumannya adalah tidak dibolehkan ia keluar dari Balai itu selama 9 hari dan 9 malam. Jenis hukuman itu dan juga dikenakan membayar
denda. Pendapat yang kuat Aruh Ganal adalah hukuman itu 10 hari 10 malam dan
dikenakan membayar denda.
Maka hukuman itu diterima
dan dijalani dengan senang hati, tetapi ia minta bebas menjalankan apa yang
diperintahkan Tuhannya. Disinilah gerak gerik Habib Abu Bakar mulai wudlu
hingga melaksanakan shalat lima waktu selalu diintai diintip oleh penghuni
Balai saat itu dan maka mulai saat itu pula penghuni Balai Ulin diperkenalkan
gerakan-gerakan shalat.
Menurut versi lain
diceriterakan saat berakhir masa tahanan 10 hari dan 10 malam Habib tidak bisa
membayar denda yang dianggaf susah dan sulit saat itu untuk mendapatkanya
berupa parang bungkul puting sebanyak dua bilah. Maka sebagai jalan terakhir,
ia disuruh memilih dari dua pilihan hukuman : Bayar Denda atau mengawini Puteri Aluh Milah. Habib dianggap bersalah merusak jiwa
Puteri Milah yakni Puteri jatuh hati yang dalam kepada Habib. Ia memilih mengawini Puteri Tetuha Adat sebagai ganti
Hukuman Denda karena Habib tidak mampu membayar Denda saat berakhir masa
tahanan. Perkawinan itu pun terjadi dengan punya syarat-syarat tersendiri yang
harus dipenuhi oleh Habib masa kini dan akan datang.
Sebenarnya mereka tertarik,
ingin tau dan menyimpan berbagai macam pertanyaan ttg gerakan-gerakan shalat
Habib. Dikala itu pula ia mulai berkenalan pada pertemuan kedua dengan aluh
Milah. Seorang gadis remaja yang anggun, cantik parasnya, berwajah keibuan,
berambut ikal mayang panjang hingga punggungnya tetapi berpakaian setengah telanjang.
Pakaiannya terbuat dari dadaunan dan kulipak kayu, pantas saja pakaiannya hanya menutupi dada
dan kemaluannya sesuai keadaan waktu itu. Gadis itu sangat senang menjumpai
Habib dan suka sekali melayaninya dengan
baik seperti mengambil air ke sungai dengan tempaian untuk wudlu, memberi Habib
makan dan minum hingga Habib dibebaskan dari hukuman adat.
19. Putri Milah sakit keras secara
tiba-tiba seisi Balai Pusing
Selama dalam tahanan Adat
ia ditemani, dibantu dan dilayani oleh Puteri Milah siang dan malam dengan
senang hati dan riang gambira.bercumbu tanpa malu dengan Habib. Milah adalah
seorang Puteri yang pandai menari (batandik) walaupun ia sedikit tidur dan belum merasakan
lelah pada dirinya dalam melayani tamu istemiwanya. Semua penghuni Balai Adat
tahu bahwa puteri Milah anak Tetuha Adat
mereka, telah jatuh hati yang dalam, ia sangat menyukai pamuda yang ganteng dan
tampan ini..
Diceriterakan orang bahwa
saat berakhir masa tahanan Habib Abu Bakar selama 10 hari dan 10 malam,karena merasa
lelah dan kurang tidur, Puteri Milah jatuh sakit secara tiba-tiba, ia tak
sadarkan diri/pingsan dalam waktu cukup lama, Puteri belum bisa sadar walaupun
Tetuha Adat (Penghulu Adat) berusaha keras melakukan BALIAN untuk menyembuhkan
Puterinya, walaupun ia adalah seorang tokoh adat yang mempunyai kemampuan
mempuni mengobati orang yang sakit, namun dikala itu tidak membawa hasil
apa-apa dan membuatnya putus asa.
Melihat keadaan yang sangat
memperahantinkan, tak terkecuali Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf, seorang
tahanan mereka, yang baru datang beberapa hari kewilayah itu. Ia mencoba
menawarkan diri kepada mereka untuk mengobatinya sang Puteri. Akhirnya dengan
perasaan was-was terlihat pada wajah mereka, namun mereka dengan berat hati
mempersilahkannya hingga Puteri sadar dari pingsannya dan sembuh dari sakitnya.
.
Kemudian pada saat hukuman Adat akan berakhir, Beliau melihat dan merasakan ada
kesedihan yang mendalam yang menimpa dan dialami oleh Puteri Milah. Habib sadar
bahwa puteri Milah sangat mencintainya. Inilah yang membuatnya khawatir
frustasi/ stres kalau, kalau Habib
pulang tidak kembali lagi. Sesegeranya Habib melamar gadis yang pernah
melayaninya sewaktu menjalani hukuman adat. Habib memberi tahu bahwa pernikahan
dalam Islam ada seorang wali dan 2 orang saksi yang beragama Islam.
Ringkasnya pada saat pelaksanaan akad nikah terjadi
permasalahan siapa yang menjadi wali dan saksinya maka Habib setelah selesai
berbuka puasa sunnat Senin - Khamis, ia adzan dan shalat magrib. setelah itu ia
mohon penghuni Balai untuk duduk mengelilinginya. Kemudian ia menjelaskan
kepada para hadirin maksud kedatangannya dan apa itu Islam dan keuntungan beragama
Islam? Dan juga ia menjelaskan apa syarat dan rukun nikah menurut Islam?
Kemudian ia mengislamkan Puteri (calon isterinya), wali (calon mertuanya) dan
dua orang saksi akad nikahnya untuk keabsahan pernikahannya.
Berkata sebagian orang tua bahari dari Dayak Lumpangi bahwa “Habib dianggap bersalah sebab merusak jiwa (meracuni pikiran) Puteri Milah hingga Puteri jatuh hati yang dalam kepadanya dan jatuh sakit, oleh karenanya Habib harus mengawini Puteri anak Tetuha Balai. sebagai bentuk rasa tanggungjawabnya.”.”
Berkata sebagian orang tua Ds. Taniran Kubah bahwa “Habib Abu Bakar tapabini (kawin-menikah) dengan perempuan Dayak Lumpangi dan baanak (berketurunan) saat Beliau berdagang dan berdakhwah di sana.
20. Mediasi dan Basa basi penyerahan Aluh Milah anak Tetuha Adat
Terjadlah mediasi proses perundingan tawar menawar antara Habiib Abu Bakar dengan Langara sebagai Tetuha Adat. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan.
Ujar Penghulu Adat,
Nah..... sekarang Aluh Milah ini, sudah sembuh kembali dari sakitnya, inya aku
serahkan lawan ikam (kepadamu), inya cinta banar lawan ikam, inya sayang banar
lawan ikam nakkay. kawini inya dan bawa ke rumah ikam agar abah dan mama ikam
tahu dan jangan ikam kecewakan inya. Inya ini menjadi milik ikam. Agar abah
disini merasa nyaman melihat ikam badua, dan abah marasa tanang dan nyaman
mendengar ikam badua.
Ujar abu bakar Kada kaya
itu caranya bahay, dikira orang ulun ini nanti membawa lari anak sampian secara
sembunyi-sembunyi, bila ulun kawin di Taniran diwadah abah ulun. ulun kada
handak nang kaya itu.
Ulun ini handak menikah
secara agama islam, maka ada lamaran ulun dengan Milah, inya menerima garang
atau kada menerima lamaran ulun, namaun inya menerima lamaran ulun maka ada
wali nikahnya harus beragama Islam, jadi sampianlah wali nikah aluh Milah ini
dan nikah itu dihadiri dan disaksikan 2
orang saksi yang muslim maka Talib dan Anjah sebagai saksinya, ada mahar dan
ada ijab dan qabul dari rangkaian peristiwa itu terjadilah perkawinan ulun
dengan Milah. Akhirnya tanpa pikir panjang terjadilah kesepakatan bersama,
mereka menerima hidayah islam
Catin wanita : “Karena
begitu dalam cintanya dengan Habib Abu Bakar, padahal baru saja Sembilan hari
sembilan malam ia mengenalnya, tetapi terasa sudah lama mencintainya. Ia
bersedia tanpa ragu melepaskan agama yang dianaut nenek moyangnya.
Wali Catin wanita an. Datu
Langara “Karena begitu sayang dengan Siti Jamilah anaknya, ia menerima Islam
dengan suka rela untuk membahagiakan anak yang sangat dicintainya.”
Saksi-saksi nikah : “Begitu
pula dengan kedua saudara laki-lakinya an.Abu Thalib dan Hamzah, sayang dan
kasih dengan adik perempuannya. Keduanya rela melepaskan agama yang sedang
dianutnya. Berkorban untuk kebahagian adiknya yang kedua bertindak sebagai
saksi pernikahan adiknya saat itu.”
Mahar perkawinan :
“Sebingkai cincin emas yang telah dipakaikan/dikenakan pada jari manis catin
wanita kala itu.”
Ijab nikah : “Dilakukan oleh
walinya sendiri dan diterimakan oleh Habib Abu Bakar As-Segaf, yang sebelumnya
didahului pembacaan khotbah nikah oleh Habib saat itu.”Resmilah Siti Jamilah
dengan Habib Abu Bakar sebagai suami isteri dimalam Jum’at itu, seisi Balai
bergembira, diiringi canda dan tawa menyambut kehadiran keluarga baru dan
menyambut kehadiran dangsanak baru. Setelah
Tetuha Adat Suku Dayak dan kedua anak laki-lakinya menjadi seorang
muslim maka secara pelan-pelan namun pasti diikuti oleh keluarganya yang lain
hingga akhirnya seisi Balai Ulin dan
sekitarnya menjadi muslim.
21. Kesaktian Orang Dayak yang
mereka miliki turun temurun.
Namun kala itu ada sebagian
kecil keluarga Tetuha Adat Dayak Langara di Balai Ulin yang belum menerima
Islam karena mereka takut kehilangan
kesaktian-kesaktian yang mereka miliki turun temurun. Diantara kesaktian yang
mereka miliki adalah “Dapat mengobati orang sakit, Parang Maya, Balah Saribu,
Pulasit dan cara Mengobatinya, Pambaci pada Seseorang atau Pambaci Dagangan,
Panglaris Dagangan, Panglit, Minyak
Kuyang, Minyak Buluh Parindu, Minyak Karuang Bulik, Minyak Jalawat Cancang,
Minyak Bankui Gila, baisian Rantai Babi, Minyak Landuk-landuk dan Minyak
Paluncur Baranak.
Mereka sudah mempelajari
Islam dengan Habib, tetapi Mereka beranggapan bahwa apabila masuk Islam maka
kesaktian-kesaktian itu hilang dan
dibuang. Inilah salah satu alasan sehingga mereka enggan menerima Islam, mereka
menjauhi keluarga Habib Abu Bakar dan mengasingkan diri dengan keluarganya menuju ke Pegunungan Meratus. Lama kelamaan keturunan
keluarga yang belum menerima Islam ini menjadi banyak. Terus membesar
berkelumpok-kelumpok dan mereka tinggal menempati kaki-kaki Pegunungan Meratus dan mereka masing-masing
kelumpok itu membangun sebuah Balai Adat yang banyak menjamur di kaki-kaki Pegunungan Meratus. Masing-masing Balai Adat
dengan nama suku Dayak Meratus. Balai Adat - Balai Adat ini masih berdiri kukoh
hingga pada sekarang ditahun 2021M.
22. Habib berdakwah 7-14 tahun di ruang Balai Adat kemudian ia mendirikan tempat
ibadah (Langgar) dibelakang Balai Adat
Seperti pada malam-malam ketika menjalani hukuman adat, Habib menjalankan misi Dakwahnya di Balai Adat Balai Ulin, beliau membaur dengan masyarakat setempat dan setiap ada kesempatan beliau mulai Bakisah (berceritera) dalam Bahasa Banjar, ada syairnya /ada kata-kata mutiaranya dan pantunnya yang dibumbui sedikit homor dalam dakwahnya menyempaikan ttg Kehidupan Rasulullah Saw sebagai suri tauladan yang harus diikuti dan Peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di Timur Tengah. misalnya Bakisah ttg Cinta Rabi'atul Adawiah dengan Hasan al Basri, dan lain-lainnya. Orang-orang penghuni Balai mulai datang, mendekat, duduk menghadap Habib dan mereka mulai senang, tertawa dan terhibur mendengarkan dengan kisah-kisah dan sedikit homoris dari Habib hingga waktu larut malam.
Berdakwah semacam ini dlakukan ketika ia tinggal bersama isterinya dalam Balai Adat “Balaii Ulin” saat itu dengan materi khusus ttg “Penanaman Aqidah Islam/tauhid” kepada Penghuni Balai. Dakwah tersebut ia lakuni hingga usia anak pertamanya berumur 7 tahun, namun versi lain menyebutkan bahwa usia anak pertamanya berumur 14 tahun kemudian ia dan isterinya memisahkan diri atau pindah dari Balai Adat yakni membuat rumah sendiri dan Mushalla “Baiturrahman” yang tak jauh dari Balai Adat.
Selanjutnya menurut folklor
tutuha kami sebelumnya bahwa keberadaan Balai Adat Dayak, mereka.yang
belum mendapat hidayah Islam, yang
berada dikaki-kaki Pegunungan Meratus itu, adalah sebahagian turunan dan
dzuriat dari Balai Adat Dayak Balai Ulin, dengan nama sukunya “Dayak Langgara”yang mendiami di tepi sungai
Kali Amandit desa Lumpangi.
Adapun agama/aliran
kepercayaan yang mereka /orang-orang Dayak anut adalah Kaharingan. Kepercayaan
terhadap roh-roh nenek moyang mereka dan kepercayaan mereka tersebut disebut dengan
sebutan "BALIAN atau BABALIAN".
Kita lihat dan kita amati
bahwa sampai sekarang pun keberadaan Balai Adat yang ada dikaki kaki Pegunungan
Meratus itu dikenal dengan nama sukunya “Dayak Maratus”, bahwa 1 buah Balai
Adat dibangun terdiri dari beberapa kamar, 1 buah kamar dihuni oleh 1 keluarga
dan ditengah-tengahnya dijadikan tempat untuk berunding, musyawarah, acara
perkawinan, aruh ganal (batandik)
dilaksanakan 9 hari, 9 malam, aruh Baharin dan menyambut acara kelahiran anak,
mamulai manugal banih dan aruh Bawanang (panen raya), begitu juga keadaan suku
Dayak Langara di Balai Ulin Lumpangi tempu
dahulu dan sekitarnya sebelum datangnya Islam.
Kemudian Habib mendirikan
tempat ibadah (Langgar) dibelakang Balai Adat, tempat untuk belajar dan
mengajar tentang Islam. Setelah beberapa lama bersama Habib menantunya tinggal
di Balai Ulin, kemudian Datu Muhammad Langara ayah mertuanya sudah punya cucu
pertama laki-laki yang sehat dan ganteng an. Muhammad Djamiluddin.
Kelahirannya sangat dinanti dan ditubggu oleh keluarga muslim dan keluarga Dayak. Ketika ia hadir (ia lahir) sanak keluarganya tertawa sangat bersukaria dengan menghadirkan jamuan hidangan dari seekor payau /menjangan. Ketiika ia berumur 7-14 tahun ayah dan ibunya memisahkan diri atau pindah dari Balai Adat. Membuat rumah sendiri dan Mushalla “Baiturrahman” yang tak jauh dari Balai Adat. Ketika ia berumur 14-15 tahun Balai Adat mulai bubar
23. Balai Adat Balai Ulin di pindah ke Pantai Dusin Hulu
Bayu
Diceriterakan orang bahwa di awal pertengahan abad ke-18
Masihi Bumbuyanin bin Ulang memindah rumah Balai Adat Balai Ulin ke
pemukiman baru di Pantai Dusin Desa Hulu
Banyu Kecamatan Loksado. Setelah mereka pindah lokasi pemukiman dari Tamiang Malah Muara Hatip menuju lokasi
baru yakni Pantai Dusin.
Setelah Balai Adat Balai Ulin bubar awal abad ke-18 tahun 1722M karena banyak penghuni Balai Ulin yang memeluk Islam, maka Balai Ulin Desa Lumpangi mulai ditinggalkan oleh Suku Dayak yang belum menerima hidayah Islam, walaupun mereka sudah mengenal Islam dengan baik hingga bertahun-tahun.
Menurut sumber data bahwa sesudah Balai Adat Balai Ulin bubar maka beberapa tahun kemudian datanglah Dayak Ulang dan Bumbuyanin ke Lumpangi membawa ketiga anaknya agar diajari tentang Islam kepada Habib dan menemui kakaknya Muhammad Langara dan mohon agar Balai Adat Balai Ulin yang tidak berfungsi itu bisa dipindahkan ke Pantai Dusin Hulu Banyu.
Kemudian atas musyawarah dan kesepakatan bersama Balai Adat Balai Ulin Lumpangi dipindah ke Pantai Dusin Hulu Banyu, tetapi kakaknya minta agar 1 batang tiang dari bagian muka Balai Adat itu ditinggal atau dibiarkan tetap berdiri atau tidak dialih atau dipindah. Katanya "Tiang itu fungsinya dijadikan sebagai Simbol bahwa di Lumpangi pernah berdiri sebuah Balai Adat Dayak".
Menurut Ahmad atau Amat yang saya wawancarai, ia asal dayak Bayumbung yang sudah muslim ceritera dari datuk-neneknya bahwa " Bekas tiang-tiang ulin Balai Adat Balai Ulin itu telah diangkut atau dibawa ke Pantai Dusin Hulu Banyu".
Mereka (warga Dayak) mengangkut tiang-tiang ulin bolat sebatangan Balai Adat Balai Ulin tersebut lewat sungai dengan rakit bambu, mereka Tarik satu persatu hingga sampai di Pantai Dusin Hulu Banyu
Sungai Kali Amandit kala itu masih banyak teluknya (airnya dalam dan tidak deras) jadi mudah membawa tiang-tiang ulin bolat sebatangan tersebut dengan rakit bambu. Tidak seperti sekarang batu-batu sungi sudah banyak diambil untuk membuat jalan raya hingga akibatnya air sungai dangkal dan deras
Karomah Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf.
Salah satu Karomah terbesar Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf adalah ia dapat menyembuhkan Puteri Milah yang sakit
keras dengan seketika dan berislamnya satu keluarga kepala suku Dayak Lumpangi
setelah peristiwa penyembuhan Puteri Milah
Diceriterakan bahwa saat berakhir masa tahanan Habib Abu
Bakar selama 10 hari dan 10 malam, Puteri Milah (Siti Jamilah) jatuh sakit,
mungkin ia kurang tidur dan sangat lelah menemani dan melayani tamu
istimewanya. Diang Milah jatuh sakit secara tiba-tiba, ia tak sadarkan diri, ia
pingsan dalam waktu cukup lama, Diang belum bisa sadar walaupun Tetuha Adat
(Penghulu Adat) ayahnya sendiri berusaha keras mengobatinya dengan melakukan Balian Basambui untuk menyembuhkan
Puteri kesayangannya. Balian Basambui maksudnya Puteri diobati secara kebatinan
orang Dayak, walaupun ia seorang tokoh adat yang mempunyai kemampuan mempuni dalam hal mengobati orang
yang sakit, namun dikala itu pengobatannya tidak membawa hasil apa-apa dan
bahkan membuatnya dan penghuni Balai prostasi dan putus asa.
Menurut Folklor ceritra Datu-datu dan nenek kami bahwa
“Melihat keadaan tersebut Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf, ia seorang tahanan
mereka, yang baru saja datang beberapa hari kewilayah itu. Ia mencoba
menawarkan diri kepada mereka untuk mengobatinya sang Puteri. Akhirnya dengan
perasaan was-was terlihat pada wajah mereka, namun mereka dengan berat hati
akhirnya mempersilahkannya. Habib meminta Secawan air putih, kemudian pada air itu ia
bacakan do’a hidzip
dan shalawat dan
juga ada yang ia bisikkan pada telinga sang puteri, kemudian air tersebut Habib
semburkan melalui mulutnya kearah kepala & tubuh pasennya hingga seketika
itu Puteri sadar dari pingsannya dan sembuh dari sakitnya.”
Peristiwa pengobatan Puteri tersebut tertuang dalam Artikel "Habib Abu Bakr Assegaf -
Cerita para wali dan datu' yang diposting Jum'at, 01 Maret 2013M yang
saya kutip menyatakan bahwa "Di kampung Lumpangi kala itu masih berupa
kehidupan Balai, yaitu "Balai Ulin; dan di sana terdapat tokoh yang
disebut penghulu Balai yang terkenal dengan kemampuannya mengobati orang sakit.
Ternyata, kemampuan medis habib yang baru datang ke wilayah itu lebih tinggi
darinya, sehingga warga Balai sangat terkesima dan akhirnya mau menerima Islam.
Bahkan, disebutkan bahwa di antara tokoh habib itu ada yang menikahi puteri
penghulu Balai Ulin.
Beliau (Habib) melihat dengan kacamata kesufiannya dan merasakan ada kesedihan yang dalam yang dirasakan dan menimpa pada Puteri Milah. Puteri sangat kuatir tidak berjumpa lagi dengan Sang pujaan hatinya. Inilah yang membuat hatinya khawatir dan membawanya frustasi dan juga stres. memikirkan kalau, kalau Habib Sang Pujaan hatinya pulang tidak kembali lagi kepadanya. Mengetahui hal ini, setelah sembuh dari sakitnya.” segeranya Habib melamar gadis yang pernah melayaninya dan menemaninya siang dan malam, sewaktu menjalani hukuman adat. Habib menjelaskan lamaran dan perkawinan bisa terjadi dengannya bila Puteri Milah, Langara (wali nikah), dan Talib dan Anjah (2 orang saksinya) merima hidayah Islam. Akhirnya dengan adanya sedikit perjanjian dengan Habib, mereka menerima Islam dengan suka cita
Berkata Muhammad Bahrudin
bin Marsal ( Beliau keturunan Syarifah asal Amawang) bahwa "Habib Djamaluddin adalah orang yang paling berprngaruh, ia orang
yang paling alim dan ia orang yang paling berpengetahuan agama
diantara semua penghuni makam di Kampung Balai Ulin ini, Ia memperoleh
pengajaran langsung dari ayahnya, kakeknya dan pamannya. hal ini kalau bisa
disembunyikan."
Menurut
folklor ceritera datu dan nenek kami bahwa berkata sebahagian orang Lumpangi
masa itu bahwa “Tiada ada Orang yang memilki keilmuan yang paling dalam dan luas
tentang Islam kecuali
dimiliki oleh Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar Assegaf".Ia memperoleh
pengajaran dan bimbingan (suluk, riiyadhah) ilmu Islam langsung dari ayahnya,
kakeknya dan pamannya.
24. Perkawinan Habib Muhammad
Djamiluddin bin Abu Bakar Assegaf dengan Siti Sarah
Akhirnya Abu Thalib beserta
isterinya dan Datu Muhammad Langara ayahnya membuat rumah baru dan pindah rumah
ke kampung Batu Tangah. Kemudian Abu Thalib dikampung itu dikeruniai anak
perempuan an. Siti Sarah. Nantinya untuk menambah kuatnya tali/hubungan darah/
kekeluargaan atau tali persaudaraan Habib Abu Bakar Assegaf mengawinkan Habib
Muhammad Djamiluddin (Habib Lumpangi) anaknya setelah remaja dengan Siti Sarah
binti Abu Thalib bin Datu Muhammad Langara, ia seorang perempuan dari kampung
Batu Tangah.
Perkawinan sepupu tersebut membuahkan keturunan /nasab anak laki-laki salah satunya adalah an. Habib Ahmad Suhuf yang panggilan sehari-harinya Habib Ahmad.
Adapun
adik kandung Muhammad Djamiluddin antara lain
: Sy. Ummi Badar, Sy. Amas (Mastora) dan yang paling bungsu bernama Ahmad Djalaluddin, ia dilahirkan
10 Sya’ban 1149H/1736M di Desa Lumpangi bersamaan tahun dengan kelahiran Ahmad
Suhuf bin Muhammad Djamiluddin yakni Ahad,10
Jumadil Awal 1149H/1736M dan kedua anak ini (Mamarina dan Kemanakan) tumbuh dan
dibesarkan dilingkungan orang-orang
muslim yang taat Agama islam di Desa Lumpangi, silsilah nasabnya
tercatat dengan baik.
Setelah remaja - hingga dewasa ia (Ahmad Suhuf) dikawinkan dengan Diang Galuh Aminah sepupunya asal desa Muara Lumpangi cucu Hamzah.Perkawinan Habib Ahmad tersebut punya anak, yang salah satunya an. Abu Bakar as-Tsani.
Balai Adat Bumbuyanin dulu/pertama diperkirakan berdiri ditepi Sungai disekitar Kampung Datar Laga dan Datar Mangkung tepatnya kampung Pantai Dusin. Adapun orang-orang yang tiada mau menerima Islam, mereka pindah atau menjauh dari Kaum Mulimin. Dengan adanya sebab akibat dan bergesirnya waktu tempu dulu maka Balai Adat Bumbuyanin pindah lokasi / tempat, sekarang Balat Adat tersebut beralamat di desa Kemawakan Kec. Loksado.
Habib Abu Bakar lahir Hadramaut, Yaman Yordania diperkirakan Kamis, tnggal 11 Dzul Hijjah 1068H. Habib Lumpangi Assegaf tinggal bersama isterinya Siti Jamilah dan anak-anaknya antara lain an. Muhammad Djamaluddin, Syarifah Umi Badar, Syarifah Amas.Ahmad Djalaluddin, beserta cucu-cucunya antara lain Ahmad, Husein, Alwy, dan juga sebahagian keluarga isterinya yang lain di rumah kampung Balai Ulin. Habib Lumpangi adalah salah seorang yang diberi Allah Swt umur panjang, ia berumur lebih dari 86 tahun Masihi. Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf akhirnya wafat dipangkuan isterinya Jum'at, 17 Dzul Hijjah 1172H.
25. Anak-anak Datu Habib Lumpangi
Abu Bakar bin Hasan Assegaf
Anak-anak Datu Habib Lumpangi
antara lain :
- Shalih (ibunya dari Seiyun Hadramaut)
- Muhammad Djamiluddin
- Sy. Ummi Badar,
- Sy. Amas (Mastora) dan
- Ahmad Djalaluddin, anak yang paling bungsu
Adapun anak laki-laki Habib
Datu Lumpangi Abu Bakar bin Hasan Assegaf yang terkomvirmsi saat ini akhir tahun
2023 abad ke-21 Masihi dan silsilah nasabnya tercatat dengan baik antara lain ”
- 1.
Shalih
- 2. Muhammad Djamiluddin
- 3. Ahmad Djalaluddin
Pernah aku dengar dari ceritra sebahagian Habaib bahwa Habib Datu Lumpangi beristeri antara 4-5 orang dan punya anak berjumlah 9 orang dan isteri terakhir Beliau seorang perempuan dari suku Dayak.
Jadi sesudah isteri pertama wafat, ia ikut serta rombongan kakeknya Hasyim bin Muhammad bin Umar ash-Shafi berhijrah - berdagang permadani, kain dan jenis perhiasan ke Asia Tenggara sambil mencari rempah-rempah dengan membawa misi dakwah dari kakek moyang mereka yakni Rasulullah Saw, dimasa Kesultanan Demak di Jawa Tengah, mereka menetap di Kelurahan Randusari Kec. Semarang Selatan. Nah dari sini hingga menetap di Desa Taniran ada 4 sd. 6 orang anak Habib Datu Lumpangi keturunan dari isterinya yang ke-2, ke-3 dan ke-4 yang belum terkonvirmasi hingga saat ini
26. Saudara kandung Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar Assegaf
Adapun
adik kandung Muhammad Djamiluddin antara lain
: Sy. Ummi Badar, Sy. Amas (Mastora) dan yang paling bungsu bernama Ahmad Djalaluddin, ia
dilahirkan bersamaan tahun dengan kelahiran Ahmad Suhuf bin Muhammad
Djamiluddin yakni 10 Sya’ban 1149H/1736M di Desa Lumpangi, dan kedua anak ini
tumbuh dan dibesarkan dilingkungan orang-orang
muslim yang taat Agama islam di Desa Lumpangi, silsilah nasabnya
tercatat dengan baik.
Menurut
catatan Habib Ahmad Ilham bin Janggi Ali Assegaf bahwa “Ahmad Djalaluddin salah
satu anak laki-laki Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf.” Hal ini
dapat dilihat catatan silsilah nasabnya yakni Ahmad Ilham bin Janggi Ali bin
Jambran bin Jama’in bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Husain bin Ahmad
Djalaluddin bin Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim bin Muhammad Assegaf……..
الْحَبِيْب عَبْدُ القَدِيْر الْجَيْلَانِيِّ بِنْ عَلْوِىْ بِن زَيْنْ بِنْ عَلِيٍّ بِنْ عَلْوِىْ بِنْ عَبْدِاللهِ بِنْ صَالِح بِنْ اَبًوْ بَكْرٍ بِنْ حَسَنٍ بِنْ هَاشِمٍ بِنْ مًحَمَّد بِنْ عًمَرَ الصُّوْفِيِّ [عُمَرُ الصَّافِيّ] بِنْ عَبْدُ الرَّحْمن بِنْ مُحَمَّد بِنْ عَلِيٍّ بِنْ اَلْاِمَامً عَبْدُ الرَّحْمن اى وَلِيُّ الله الْفَقِّيْه الْمًقّدَّم الثانيّ السَّقَّافُ
الْحَبِيْب حَسَنْ بصْرِىْ بِنْ مًحَمَّدْ بَرْسِيْه بِنْ اَحْمَدْ بَدْريْ بِنْ تَنْقِرُ الْغَوَى بِنْ اَبًوْ طَيْرٍ مُحَمَّدْ بِنْ اَبًوْ طَعَامٍ اِبْرَاهِيْمَ بِنْ اَبُوْ بَكْرٍ الثَّاني بِنْ اَحْمَدْ صُحُف بِنْ مًحَمَّدْ جَميْلً الدِّي بِنْ اَبًوْ بَكْرٍ بِنْ حَسَنٍ بِنْ هَاشِمٍ بِنْ مًحَمَّد بِنْ عًمَرَ الصُّوْفِيِّ [عُمَرُ الصَّافِيّ] بِنْ عَبْدُ الرَّحْمن بِنْ مُحَمَّد بِنْ عَلِيٍّ بِنْ اَلْاِمَامً عَبْدُ الرَّحْمن اى وَلِيُّ الله الْفَقِّيْه الْمًقّدَّم الثانيّ السَّقَّافُ
الْحَبِيْب اَحْمَدْ اِلْحَامْ بِنْ جنغِيْ عَلِيٍّ بِنْ جَمْبارَان بِنْ جَمَاعِيْن بِنْ اَحْمَدْ بِنْ عَلِيٍّ بِنْ عَبْدُاللهِ بِنْ حُسَيْنُ بِنْ اَحْمَدْ جَلَالُ الدِّيْن بِنْ اَبًوْ بَكْرٍ بِنْ حَسَنٍ بِنْ هَاشِمٍ بِنْ مًحَمَّد بِنْ عًمَرَ الصُّوْفِيِّ [عُمَرُ الصَّافِيّ] بِنْ عَبْدُ الرَّحْمن بِنْ مُحَمَّد بِنْ عَلِيٍّ بِنْ اَلْاِمَامً عَبْدُ الرَّحْمن اى وَلِيُّ الله الْفَقِّيْه الْمًقّدَّم الثانيّ السَّقَّافُ
27. Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf wafat tahun 1759M/ 1172H
Sayyid Abu Bakar ayahnya Habib Lumpangi adalah orang yang sangat setia dan menepati janjinya, ia benar-benar melaksanakan Adat Dayak. ia tidak pernah meninggalkan isterinya. Dan Beliau tinggal bersama isterinya Siti Jamilah dan anak-anaknya beserta cucu-cucunya dan keluarga isterinya di rumah Balai Ulin hingga akhir hayatnya.
Menurut tradisi adat Dayak bahwa "Bila seseorang laki-laki lajang (perantau atau pendatang) menikahi perempuan suku Dayak maka ia harus ikut tinggal di tanah kelahiran isterinya, sebagai bentuk kesetian adat Dayak". Tetapi bila kangen dengan ayah-ibu atau sanak keluarga ia boleh menenguk mereka sendirian atau bersama isterinya, setelah selesai hajatnya ia harus kembali lagi kerumah isterinya. Suaminya hanya memiliki satu isteri maksudya tidak dimadu. Beliau benar-benar setia menjalani hukum adat Dayak yang ia sepakati, saat ia ingin mengislamkan Tetuha Adat, Puteri dan kedua saudara puteri yakni tidak akan meninggalkan mereka hingga ajal menjemputnya.
Beliau wafat di kampung Balai Ulin Lumpangi hari Jum'at, tanggal 17 Dzul Hijjah 1172H, dipertengahan akhir abad ke-18 Masih. Bertepatan dengan 10 Agustus tahun 1759 Masihi. Dan makam Beliau berdampingan dengan makam isterinya Siti Jamilah binti Muhammad Langara dan Haulan Beliau terebut dilaksanakan oleh Ahlul Bait setiap tanggal 17 Dulhijjah. Dan i Beliau dimakamkan di kampung Balai Ulin Lumpangi.
Adapun Buyut Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf yang terkonvermasi antara lain :
28. Perkawinan Habib Abu
Bakar as-Tsani Assegaf dengan Umi
Salamah (Dayak Diang Gunung)
Menurut ceritera Habib
Muhammad Jamberi dan yang dikuatkan ceritera Habib Muhammad Burhanuddin bin
Ahmad Baderi Assegaf yang saya temui dan saya wawancarai di kediamannya Desa
Tabihi tentang asal sebahagian orang-orang Hulu Banyu menerima hidayah Islam.
Dan beliau berceritera ceritera dari sepupunya Habib Muhammad Djamberi bin
Ahmad Darani Assegaf bahwa Habib Abu Bakar as-Tsani adalah buyut Habib Abu
Bakar bin Hasan Assegaf kawin dengan Umi Salamah (nama asal dayak : Diang
Gunung) binti Bumbuyanin bin Ulang dari Hulu Banyu kampung Pantai Dusin yang
telah menerima Islam (puteri ini adalah sepupu Habib). Hasil perkawinan ini menurunkan
nasab, tiga anak laki-laki an. :
- Ibrahim (gelar Abu Tha'am),
- Abdul Lathif (gelar Abu Aly)
- Abdullah" (gelar Abu Tayau).
Adapun Abu Tha'am ibrahim menikah dengan Diang Tangang (Siti Rahmah) ia seorang wanita janda muda yang sudah punya anak ditinggal mati suaminya. ia cantik memikat hati Habib, ia bersal desa Tangang Bamban Kec. Angkinang, dari pernikahan tersebut Habib punya anak tunggal an. Muhammad (gelarnya Abuthair atau Ambutheir). setelah dewasa Abuthair Muhammad menikah dengan Siti Siadah atau Tiadah asal desa Amuntai dan Habib punya anak tunggal an. Tanqir Ghawa. Kemudian dari Abdul Lathif menurunkan anak an. Habib Aliadam adalah Datunya Habib Muhammad Djamberi Assegaf.
Kemudian untuk menambah kuatnya hubungan darah dan tali kekeluargaan, juga dilakukan oleh Habib Muhammad Djamiluddin Assegaf (Habib Lumpangi) diperkirakan w.1781 Masihi mengawinkan cucunya an. Habib Abu Bakar as-Tsani dengan anak sepupunya Tetuha Adat Dayak Bumbuyanin kampung Pantai Dusin, maka setelah dewasa Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf Assegaf dinikahkan dengan Umi Salamah (nama asal : Diang Gunung) binti Bumbuyanin bin Ulang.
29. Dayak Bambang Basiwara dan adik kandungnya Diang Gunung menerima hidayah Islam
Malalui perkawinan Habib Abu
Bakar as-Tsani bin Ahmad dengan Umi Salamah dengan Wali nikahnya kakaknya
sendiri yakni Bambang Basiwara. Perkawinan ini terjadi Selasa,tanggal 14
Sya'ban 1202 H / 1788 Masihi diakhir pertengaan abad ke-18 Masihi dahulunya maka
dengan Islamnya kedua kakak beradik tersebut telah diikuti oleh orang-orang
suku dayak daerah Hulu Banyu Loksado, sebahagian mereka juga mendapat hidayah
Islam. , .
Dengan berislamnya kedua kakak beradik an. Bambang Basiwara dan Diang Gunung (Umi Salamah) diikuti keluarga Dayak lainnya dan maka malalui perkawinan ini orang-orang suku dayak kampung Pantai Dusin Hulu Banyu di Kecamatan Loksado dulu, seperti
- kampung Tar Mangkung,
- kampung Tar Laga.
- kampung Lambuk
- kampung Tar Belimbing dan
- kampung sebahagian Kemawakan menjadi Muslim. Dan juga diseberang Sungainya seperti
- kampung Majulung,
- kampung Ni'ih
- dan kampung Tanuhi
- kampung Hutap
- kampung Tariban menjadi Muslim.
Ulang sudah
mengenal Islam dengan baik, dia adalah adik kandung Muhammad Langara yang belum
muslim. Kemudian namanya diabadikan oleh masyarakat setempat / dzuriat anak cucunya
menjadi nama kampung atau nama desa, maka bernamalah lokasi tempat kediamannya
menjadi desa Ulang. Dia adalah seorang Dayak yang melahirkan suku Dayak Ulang
didesa Ulang. Dan sebagian desa-desa sekitarnya menjadi muslim seperti kampung
Tariban dan kampung Hutap, tetapi untuk desa Olang sendiri tahun 1970 an sudah
dimasuki Agama Kristen.
Dan suku Dayak Bumbuyanin
dan Bayumbung juga keturunan Ulang. Untuk mengenang Datunya maka dzuriat anak
cucunya nama “Bumbuyanin” menjadi nama pada Balai Adat Dayak. Dinamakanlah
Balai Adat dimaksud dengan nama “Bumbuyanin”.
Balai Adat tersebut sekarang yang beralamat /berlokasi di desa Kemawakan.
Begitu juga nama Balai Adat Bayumbung yang berlokasi di Desa Halunuk.
Bumbuyanin adalah nama
Tetuha Adat Dayak yang mempunyai 3 anak, dua laki-laki dan satu perempuan.
Dimasa kecilnya mereka bertiga pernah diutus atau dikirim orang tuanya ke Desa
Lumpangi untuk menuntut Ilmu Islam kepada Habib Djamiluddin bin Abu Bakar Assegaf oleh karenanya mereka sangat
mengenal Islam dengan baik. Dimasa pendidikan inilah Habib Abu Bakar as-Tsani
bin Ahmad Suhuf mulai mengenal dan menyukai Umi Salamah sepupunya.
Adapun anak Bumbuyanin yang
pertama bernama Ayuh atau Datu Ayuh atau Dayuhan atau Sang Dayuhan, digambarkan
orang bahwa dia seorang lelaki yang berfisik kuat, gemar berkelahi atau
berperang tetapi kurang cerdas, mudah/gampang marah, sulit menerima hal-hal
yang positif dan dia menurunkan suku dayak Gunung Meratus.
Sedangkan anak yang ke-2.
Bambang Swara atau Bambang Basiwara. digambarkan orang bahwa dia berfisik agak
lemah tetapi sangat homoris, punya otak berlian dan cerdas dan menerima hal-hal
yang positif. Ketiga anak sudah mengenal Islam dengan baik tetapi Datu Ayuh
belum berani berislam. Sebab takut kehilangan kesaktian-kesaktin yang dia
miliki turun-temurun.
Dan yang ke-3 adalah
perempuan bernama Umi Salamah (Diang Gunung), dia seorang puteri yang sangat
cantik yang dinikahi oleh Habib Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf bin Muhammad
Djamaluddin bin Habib Abu Bakar Assegaf pada pertengahan abad ke-18 Masihi.
Melalui perkawinan ini Bambang Basiwara sebagai wali dari adik perempuannya.
Bambang Basiwara ini ia menjadi seorang
muslim dan dia menurunkan suku Banjar.
Versi lain ada yang punya
berpendapat bahwa ceritera ketiga anak ini dikenal oleh sebagian masyarakat
Dayak Maratus yang pertama bernama Ayuh atau Datu Ayuh atau Sang Dayuhan, dia
seorang lelaki yang berfisik kuat, gemar berkelahi atau berperang tetapi kurang
cerdas, sulit menerima hal-hal yang positif, sosok ini di sebut Dayuhan. Yang ke-2. Bambang Swara atau
Bambang Basiwara. dia berfisik agak lemah tetapi punya otak berlian dan cerdas
dan menerima hal-hal yang positif dan sangat homoris, sosok ini dikenal dengan
nama "Paluy" sedangkan yang ke-3 adalah perempuan bernama Diang
Gunung, dia seorang puteri yang sangat cantik rupawan, sosok ini disebut
"Intingan".
30. Perkawinan Habib Abu Bakar as-Tsani dengan Wanita lain asal kampung Batu Tangah
Menurut sumber bahwa isteri
Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf yang bernama Umi Salamah binti Bumbuyanin
ketika berusia 44 tahunan ia sudah sering sakit-sakitan hingga membawa maut dan
ia punya 4 orang cucu an. Muhammad bin Ibrahim dan Aliadam, Abdul Karim dan
Abdullah bin Abdullatif.
Namun disisi lain Habib Abu
Bakar as-Tsani bahwa setelah isterinya (Umi Salamah binti Bumbuyanin) wafat
diperkirakan usianya 45 tahun maka ada kemungkinan dan diduga kuat Habib Abu
Bakar bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamaluddin Assegaf ini, Beliau menikah lagi
dengan wanita muda lain disisa usianya
yang panjang sehingga pernikahan itu punya anak atau keturunan yang baru,
selain keturunan yang telah kami sebutkan diatas yang belum kami gali dan belum
kami ketahui kejelasannya dan juga nasab silsilahnya. Akan tetapi apabila
ditelusuri artikel yang ditulis Saadilah Mursyid maka diduga kuat bahwa anak
dari isteri barunya asal kampung Batu
Tangah dimaksud itu bernama Habib Husin dan Habib Ahmad dan menurut artikel
dimaksud dzuriatnya masih ada dan tersebar hingga sa'at ini.
Kami belum mendengar tetapi
yang lain ada yang tahu ceritera (keterangan) ini bahwa setelah isterinya (Umi
Salamah binti Bumbuyanin) wafat diperkirakan usianya 45 tahun maka Habib Abu
Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf ini, Beliau menikah lagi dengan wanita lain
sehingga pernikahan itu punya anak atau keturunan yang lain (yang baru), selain
tiga keturunan yang telah kami sebutkan yakni Ibrahim, Abdullatif dan "Aly
dan keterangan tersebut belum kami gali dan belum kami ketahui kejelasannya.
Akan tetapi kami hanya menelusuri artikel yang ditulis Saadilah Mursyid maka
diduga kuat bahwa anak tersebut bernama Habib Husin dan Habib Ahmad dan menurut
artikel dimaksud dzuriatnya masih ada dan tersebar hingga sa'at ini.
31. Tragedy runtuhnya Balai
Adat Hulu Banyu pecehan Balai Ulin
Selanjutnya di
ceriterakan orang bahwa pada
zaman dahulu, setelah pecah dan bubarnya
Balai Adat di Balai Ulin Lumpangi, kemudian berdiri Balai Adat yang
kedua di kampung Pantai
Dusin Hulu Banyu, balai Adat tersebut
dibangun di tepi sungai, berdekatan
dengan kampung Datar Laga dan kampung
Datar Mangkung. Tetuha Adat pertama bernama
Bumbuyanin, dia adalah anak sulung Tetuha Adat
Ulang. Pada masa cucunya, Balai Adat
ini mengalami tragedy mencekam.
Ketika itu Balai beserta penghuninya
hanyut (larut) di bawa air bah (ba'ah) besar, mungkin 6-7 kepala keluarga
penghuninya tidak dapat menyelamat diri.
Sebagian orang ada yang
berkata bahwa Tragedy Balai Adat Hulu Banyu pecehan Balai Ulin Lumpangi Loksado
terjadinya 7 Rajab 1247H/1831 Masihi.
Dengan adanya sebab akibat dan bergesirnya waktu tempu dulu maka penghuni Balai Adat
Bumbuyanin pecah terbagi dua kelompok. ada penghuninya yang bertahan dan memindah
Balai Adat tidak jauh lokasi Pantai Dusin yakni (Balai Adat Tanginau) dan kelompok
kedua memindah jauh dari lokasi awal, sekarang Balai Adat tersebut beralamat di
desa Kemawakan Kec. Loksado.
32. Letak Geografis Balai
Adat Bumbuyanin
Menurut ceritera Habib
Basrani Noor bin H.Muhammad Barsih Assegaf (Usia 57 tahun) yang saya wawancarai
bahwa Balai Adat Pertama sesudah Balai
Ulin Lumpangi di Hulu Banyu Loksado adalah Balai Adat Bumbuyanin yang terletak
di Pantai Dusin. Pantai ini terletak dihulu kampung Uling setelah kampung Majulung, ia berseberangan dan
dekat kampung Tar Laga dan kampung Tar Mangkung. Di kampung Pantai Dusin inilah Bumbuyanin sebagai Tetuha Adat
membangun Balai Adat yang terletak ditepi udik tiga muara sungai Amandit.
Menurut Ahmad atau Amat
yang saya wawancarai, ia asal dayak Bayumbung yang sudah muslim bahwa
"Letak Balai Adat Pantai Dusin itu, kalau kita berada dari kampung Lambuk
menuju hulu sungai ke Tar Mangkung terus ke kampung ar Laga terus ke
kampung Uling terus kehulu lagi hingga Pantai Dusin, dan dihulu Pantai Dusin
itu sekarang Balai Adat Tanginau".
33. Kisah Keadaan Balai Adat sebelum terjadinya
Banjir besar.
Konon di ceriterakan bahwa ada seorang istri Tetuha Balai muda Pantai Dusin dan menentunya sedang hamil muda (ngidam) secara bersamaan.keduanya sering pusing-pusing dan tidak mau makan bahkan berhari-hari, membuat suaminya pusing kepala. Kedua istri yang ngidam ini pingin sekali memakan iwak hidup yang (dipalan) dimasak dalam seruas batang buluh.
Akhirnya untuk memenuhi hasrat isteri dan menentunya yang
hamil muda, maka suami an.Dusin (Pang Dusin) dan anak lelakinya an.Uling (Pang Uling).
Dipagi hari yang cerah mereka pergi ke sungai dengan membawa sebuah jala (lunta)
mencari iwak hidup. Kepergian keduanya diikuti oleh seekor anjing setianya
bernama si “Balang”
Konon bahwa Penghuni Balai Adat ini memakan anak orang (dalam bentuk seekor iwak sili-sili sebesar buah Bunglay berkepala seperti anak Naga atau ikan berkepala yang aneh). Yang mereka peroleh dengan menjala (melonta) di sungai. Di ceriterakan bahwa Penjala ikan “Tidak seperti biasanya, setelah berkali-kali ia melepas jaring jalanya ke sungai dan menariknya pelan-pelan, tetapi ia tidak merasakan dan menemukan adanya ikan yang tersangkut dijaring jalanya, kecuali seekor ikan tilan/ sili-sili sebesar buah bunglay yang berbentuk aneh (berkepala seperti anak Naga). Ikan itu dilepas kembali ke sungai, mereka semakin jauh berjalan menuju hulu sungai. Sehingga menghabiskan waktu berjam-jam, menjala ikan, tapi tak seekorpun ikan yang dicari didapat.hingga perut mereka merasakan lapar.
Bahasa orang Banjar “Ujar anaknya, parut ulun sudah lapar, amun kaya ini bahay, kita kada kulihan iwak.saikung-ikung baik kita bulikan haja kerumah, bahay. Ujar nang abah, hadangi dahulu nakay, aku masih panasaran, sakali laginah aku menimbai lonta. Lalu Lonta itu ditimbai ketengah sungai dan ditarik pelan-pelan, ternyata ikan Aneh itu lagi yang terjaring. Ujar nang abah jangan dibawa! nakkai iwak itu” tetapi ujar nang anak, "Napa kita lauk makan, bini ulun kada mau makan saharian".
Kita bawa haja ke rumah, Ulun berkeyakinan bahay bahwa
jenis iwak nang kaya ini banyak terdapat di sungai ini sebab lain-lain warnanya
iwak nang kena di jaring kita walaupun iwak itu sama ganalnya, yang pertama
iwak nang kena jaring kita warna kehitam-hitaman, kemudian iwak itu kita lapas,
yang kedua iwak nang kena jaring kita warnanya hitam campur putih, yang ketiga yang kena jaring kita warnanya
hitam campur ungu, dan warna lainnya. Sedangkan terakir nang kena jaring kita warnanya
keemasan, ulun lihat lebih dari 5 warna nang kena jaring kita seperti lagenda warna
naga dalam warna pelangi, jadi rasanya kada mungkin bahay iwak jalmaan.
Kemudian .iwak hidup itu dibawa pulang oleh ayahnya, sedangkan Uling singgah dipahumaan dan sesampainya ke Balai, Dusin disambut istrinya riang gembira. Iwak hidup disiangi, dipotong-potong dan (dipalan) dimasak dalam seruas batang buluh muda, tak lama setelah itu tercium dengan bau aromanya yang lezat dan siap dimakan bersama-sama hingga habis, dan lupa menyisakan untuk Uling anaknya
Sejurus kemudian datanglah seorang laki-laki tua bungkuk
berpakaian serba putih dan bertongkat, dari arah hilir sungai, ia berjalan tergopuh-gopuh dengan
tongkatnya sedang mencari anaknya yang hilang, dan ia bertanya-tanya kepada
orang-orang yang ditemuinya tetapi jawaban orang selalu tidak kenal dan tidak
pernah melihatnya. Kemudian ia masuk ke teras balai dan bertanya kepada Penghuni Balai Adat Bumbuyanin kala itu yang
berlokasi di pantai dusin. Kakek tua itu menjelaskan kepada mereka bahwa “ia orang tarlaga (tar-laga = tar artinya rumah/liang/lobng, laga artinya naga) dan ciri-ciri anaknya an.Mangkung "Berkepala Naga dan berbadan ikan
sili-sili sebesar buah Bunglay, akibat dari kena kutukannya.
Ia pernah berkata
kepada anaknya" Hai Mangkung anakku, kamu akan selamanya jadi
iwak sili-sili berkepala naga terkecuali jika kau besar nanti ditemukan orang
dan kau dimakan oleh dua perempuan sedang hamil muda (ngidam) baru kau dapat beringkarnasi
/menetis/menjelma hidup normal kembali lewat kedua Rahim perempuan hingga kamu
dilahirkan dari perempuan tersebut. Baru kutukan terhadapmu akan berakhir.
Karena merasa malu dan bersalah dengan orang tua itu mereka
menyembunyiannya terhadap apa mereka perbuat, Kata Penghuni Balai “kami tiada
melihat anak sampian”, kata orang tua itu "Kau bohong, Kalian semua berdusta
"
Disini terjadi perdabatan sengit, yang akhirnya kata orang tua itu "Iwak yang kalian makan itu adalah anakku, tetapi adakah lagi sisanya atau tulang-tulangnya ? "Aku mohon aku pinta kembalikan kepadaku" kata orang tua itu. Kata Penghuni Balai “habis tiada tertinggal sedikitpun”, padahal tulang-tulangnya masih ada. kata orang tua itu, ‘Sebagai gantinya anakmu dan cucumu” yang masih dalam kandungan itu akan aku bawa, nanti keduanya akan aku jadikan Pengiran dan Ratu dikerajaanku " tetapi Kalian masih berbohong" tetapi jika benar bahwa kalian tidak berbohong, maka Tongkatku ini tidak akan bisa mengeluarkan air.
Pak Tua itupun turun dari Balai menuju halaman, ia memajamkan
matanya lalu bibirnya kumat-kamit membaca mantera dan mengangkat tongkatnya
tinggi-tinggi disambut sembaran kilat dan patir menggalagar, lalu orang tua itu
menghunjamkan tongkatnya ke tanah, maka keluarlah mata air yang melimpah disertai
angin dan hujan dengan derasnya selama 3 hari dan tiga malam tidak
henti-hentinya dan orang tua itu merubah bentuk menjadi seekor Naga sebesar
pohon Ena, dan panjang sepanjang pohon kelapa tua, lalu ia merobohkan bangunan Balai
dengan mengikat tiang-tiangnya dengan ekornnya dan menghilang ditelan air. Kemudian
terjadilah air ba’ah yang besar, sunami yang besar secara tiba-tiba,
hingga Balai Adat kampung Pantai Dusin dan
Penghuninya hanyut ditelan air ba'ah
yang dahsyat.
Selamat dan beruntunglah Uling dari musibah air ba’ah yang besar, tapi ia bersedih kehilangan anak dan isteri dan juga keluarganya. Ketika itu tanaman padi sudah setinggi dada (banih sudah rangkumkupak) ia pulang dari melonta bersama Dusin ayahnya, hari menjelang senja Uling dan seekor anjing setianya si “Balang”singgah menjenguk pahumaannya, dan ketika sesampainya disana, ia menghidupkan parapian (balaman api) sambil membakar ubikayu untuk mengganjal perutnya hingga ia tertidur pulas hingga pagi dipondok humanya. Di hari itu turun hujan sangatlah deras selama 3 hari dan tiga malam tidak henti-hentinya dan disertai angin kencang, ia lihat air sungai pun yang melimpah dan membuatnya tidak bisa pulang ke Balai beberapa hari
Selanjutnya menurut Baliau
bahwa diperkirakan keberadaan Balai Adat kampung Pantai Dusin yang di bangun
oleh Bumbuyanin dan diturunkan kepada anak tertuanya Datu Ayuh atau nama
lainnya sang Dayuhan, tidak sampai dari satu abad, Balai Adat dan penghuninya
ini kena musibah, semuanya telah hanyut diterjang banjir besar, kecuali
orang-orang yang selamat adalah orang-orang yang masih tinggal ( badim
dipahumaan).
34. Tanah Bekas lokasi bangunan
Balai Ulin menjadi badan sungai
Adanya peristiwa air ba’ah
yang besar menghayutkan Balai Adat dan Penghuninya tersebut, air bah itu telah melewati desa Lumpangi, kemudian arus air
sungai membelah dua, yakni : Tanah bekas lokasi bangunan Balai Ulin dulu
berubah menjadi badan sungai baru pada bagian kiri dan lebih deras airnya dari
badan sungai lama pada bagian kanan, hingga timbul murung (pulau)
ditengah-tengah belahan sungai tersebut. Sekarang ini, kalau kita menyebaragi
kali Amandit lewat jembatan gantung menuju Kubah Datu Lumpangi, dan kalau kita
berdiri di tengah-tengah jembatan itu memandang kehilir sungai. Maka kita akan
melihat sungai itu membalah dua dan dihilir murung (pulau), air sungai itu menyatu kembali
Sebagian ada yang berkata
menurut Datu-Nenek kami bahari bahwa "Warna air ba'ah itu putih seperti
susu kehitam-hitaman dan sangat kalat
rasanya, seperti bercampur belirang atau bau batu bara sehingga mata
iwak-iwak atau ikan -ikan kabur, maka banyak ikan-ikan yang naik ke tepi sungai
untuk menyelamatkan diri dan akhirnya mati terkapar, akibat matanya tidak dapat
melihat lagi dalam air karena pengaruh kalatnya air ba'ah itu. Hal ini sangat
menggembirakan dan menguntungkan masyarakat Lumpangi mereka panen ikan sa'at
itu".
Akibat terjadinya Erosi. Fostur
tanah tempat berdirinya Balai Adat "Balai Ulin Lumpangi" dan
sekelilingnya menjadi rendah atau talabuh atau tanahnya terkikis sebagai akibat
air ba’ah itu.
Sebagian erosi dilakukan oleh air, angin,
dalam bentuk gletser adalah sebuah bongkahan atau endapan tanah yang besar dan
tebal yang terbentuk di atas permukaan tanah. Selain itu, erosi juga
dipengaruhi oleh letak astronomis.
Maka menjadi keuntungan bagi masyarakat Desa lumpangi. Sebab disaat itu desa Lumpangi ini sudah lama berdiri sebuah Mesjid tua bernama Jannatul Anwar. Dulu masjid ini dibangun ditepi sungai Amandit, kemudian akibat air ba’ah yang besar (ba’ah/banjir), maka sungai kali Amandit pindah mendekati bukit batu Langara, dan arus sungai dekat pasar dan sebagai akibat erosi tanah, arus sungai di bawah-halaman Masjid menjadi pantai. Yaitu sebuah bongkahan atau endapan tanah yang besar dan tebal yang terbentuk di atas permukaan tanah. Sehingga arus sungai sekarang ini jauh dari Masjid. Sedangkan bukti sungai itu pindah sendiri bahwa bukti masih ada. Dan terlihat jurang tanah bekas dinding sungai dibelakang/samping WC Masjid tersebut. Ini adalah salah satu karamah masjid yang dibangun mula-mula oleh Datu Habib Lumpangi dan anak cucunya ,bersama masyarakat di sekitarnya
35. Merihab Masjid Jannatul Anwar Desa Lumpangi
Di desa Lumpangi ini dulu berdiri sebuah Mesjid Tua bernama Jannatul Anwar. Dulu masjid ini dibangun oleh Datu Lumpangi dan anak cucunya ,bersama masyarakat di sekitarnya. Ada kemungkinan bahwa masjid perdana ini dibangun sangatlah sedarhana, dengan tiang-tiangnya ulin, turus tawingnya kayu sungkai, pertama atap rangkup, terus diganti dengan atap daun Rumbia, berdindingkan (tawing) palupuh paring, berlantai tanah. Sebagai buktinya atap dan dinding (tawing) masjid terbuat dari Bambu bahwa masih banyak ditemukan rumpun-rumpun Bambu disekitar Masjid. Dalam ruangan masjid memuat tidak kurang dari 4 shap, bahkan samapai 5 shap. setiap 1 shap bisa diisi antara 10 dan 11 orang. Mazhab Imam Syafi’i bahwa shalat Jum’at baru dapat dilaksanakan kalau jama’ah laki-lakinya tidak boleh kurang dari 40 orang mukallaf. .
Sekitar tahun 1970-1975 an masjid ini sudah
mengalami perumbakan atau rehab, pembuatan kolam semen dikiri masjid (sekarang
menjadi halaman masjid), lantai dan teras masjid yang asalnya lantai dan
terasnya ulin diganti dengan semen tetapi tanpa keramik. Masyarakat waktu itu
suka rela bergotong royong mengambil pasir dan batu ditepi sungai.Perumbakan
atau rehab ini, tidak merubah struktur kontruksi bangunan dan bentuk masjid sehingga nilai-nilai
sejarahnya masjid ini masih ada dan tetap terjaga. Siapa saja masyarakat yang
ikut shalat jum’at dimasjid Jannatul Anwar Lumpangi ? Tentu saja masyarakat
yang mengikuti shalat jum’at dimasjid Jannatul Anwar itu dari lingkungan Masjid
itu sendiri, dan masyarakat yang ada di kampung Muara Lumpangi, masyarakat yang
ada di kampung Batu Tanggah, masyarakat
yang ada di kampung datar Tandui, masyarakat yang ada di kampung muara Ahan,
masyarakat yang ada di kampung Muara Kitar, masyarakat yang ada kampung Lok
Bungur dan masyarakat yang ada di kampung Mintatayi. Sesudah tahun yang
disebutkan penulis diatas, penulis tidak
mengetahui lagi tentang lanjutan rehab Masjid ini.
Sebelum terjadinya banjir besar Masjid Jannatul Anwar
Desa Lumpangi sudah beberapa kali diperbaiki oleh Masyarakat sekitarnya. Tetapi
beberapa tahun setelah terjadinya air ba'ah besar itu maka Masjid Jannatul
Anwar Desa Lumpangi dipugar kembali atau di Rehap total dan dibangun kembali oleh
Habib Abu Thair dan Masyarakat sekitarnya dengan Arsitik yang bagus.
Menurut ceritera penuturan Habib
Bahriansyah Assegaf.yang saya temui dirumahnya bahwa “Aksisoris petaka kubah
atau manara kubah Masjid Jannatul Anwar
Lumpangi dari terbuat almanium hitam berbentuk buah-buah teruntai dan lantainya
dari tihal yang didatangkan atau dibeli oleh Habib Tanqir Ghawa dari Surabaya.”
Adapun tiang-tiang Masjid, atap dan dinding menggunakan
kayu ulin yang sudah modern, ada seni pahatan dan ukirannya khususnya pada
lis-lis dinding atap juga atap kubah sirap yang diberi petaka dan aksesoris
diatas kubahnya dan lis-lis kubah, jendela kaca dan aksesoris didalamnya (bawah
kubah) berupa lampu-lampu lilin digantung dengan rantai besi. Proses renovasi
itu dengan mendatangkan Tukang-tukang seni pahat dari kota Kandangan dan masjid
tersebut selesai direnovasi bangunannya diawal abad ke-20 Masihi sekitar tahun
1902 Masihi.
Menurut sumber data bahwa ada beberapa tokoh orang
Lumpangi yang berperan aktif ikut andil membangun merihab total Masjid Jannatul
Anwar Lumpangi kala itu antara lain : Habib Abu Thair sebagai ketua rehap
pembangunan masjid, H.Ahmad sebagai sekretaris, dan H.Mastur sebagai bendahara,
Habib Tanqir Ghawa, anggota, H. Bustani (menjabat Penghulu dan pengembangan
dakwah) merangkap anggota, Kayi Sarman anggota
dan tokoh masyarakat lainnya sebagai anggota
Menurut sumber
data yang kami dapatkan bahwa ".Sebagai akibat banjir besar
tersebut sisa satu batang tiang bekas Balai Adat itu untuk simbol bahwa di Lumpangi pernah
berdiri sebuah Balai Adat Dayak, tiang itu condong dan bergesir hingga rebah ke dasar sungai, dari belahan
sungai yang baru terbentuk akibat kuatnya terjangan banjir "..
Berkata Habib H.Hasan Basri Assegaf “Andaikata Muhammad
Langara (mantan Tetuha Adat Dayak) ia lupa berniat/ ia tidak berkeinginan menjadikan tiang Masjid Lumpangi dari sisa satu batang
tiang bekas Balai Adat tersebut sebagai
simbol, maka dapat dipastikan bahwa “satu batang tiang itu pastilah hanyut
ditelan air ba’ah yang ganas itu.”
Kemudian dimasa Habib Abu Bakar as-Tsani masih hidup,
dan cucunya Abu Thair dan Tanqir Ghawa buyutnya bahwa "1 batang tiang
Balai Adat yang terandam didasar sungai itu diangkat dan dijadikan tiang utama
atau tiang suku Guru masjid dan diletakkan ditengah-tengah sebagai Simbol atau
penyangga atau pananggak kubah saat renovasi pembangunan masjid"Jannatul
Anwar" Desa Lumpangi.
36 Historis Keadaan Pusara/Makam Habaib Lumpangi dan perkiraan Usia Makam pengamatan tahun 1970-1980M'
Langara” adalah nama seorang Kepala Suku Dayak atau Tetuha Adat Dayak pertama yang mendiami ditengah-tengah antara ditepi sungai kali Amandit dan kaki Bukit Batu desa Lumpangi. Dengan nama Rumah Adatnya “BALAI ULIN”. Kemudian masyarakat setempat mengabadikan nama Kepala Suku atau Tetuha Adat Dayak tersebut pada bukit batu, maka disebutlah oleh masyarakat sesudahnya dengan nama “BUKIT BATU LANGARA”
Berdasarkan hasil pengamatan kami tahun 1970-1980 keadaan makam sudah sangat tua, dan keadaan tanaman atau pohon kayu, rumput yang hidup di sekitarnya. Buktinya banyak ditemukan pepohonan langsat, Ramania, Manggis yang hidup disekitar itu banyak dan lebih besar dari ember plastic isi 16 liter bahkan ada yang lebih besar lagi. Dan juga rumpun-rumpun paring tali dan pohon-pohon Kelapa, Durian tetapi kami tidak menemukan sama sekali pohon kayu Ulin atau anak kayu Ulin dan juga kami belum menemukan punggur-punggur/tungul-tunggul Ulin diareal makam dan sekitarnya. Langara dalam bahasa Dayak berarti “benteng kuat atau tinggi, juga berarti Tegar dan kukoh. masyarakat setempat menamakan Langara dengan nama “Bukit Batu atau Gunung Batu”.
Berdasarkan hasil pengamatan atau observasi kami 50 tahun yang lalu Balai Ulin berada dikaki bukit batu Langara. bahwa makam dan sekitarnya sudah lama ditinggalkan orang, sudah lama tidak dihuni penduduk (tidak ditemukan rumah penduduk disekitar areal makam) antara lain ada beberapa bukti yang kami dapatkan
1. Buktinya kala itu banyak ditemukan
pepohonan langsat, Ramania, Manggis yang hidup disekitar itu banyak dan lebih
besar dari ember plastic isi 16 liter bahkan ada yang lebih besar lagi. Dan
juga rumpun-rumpun paring tali dan pohon-pohon Kelapa, Durian tetapi kami
tidak menemukan sama sekali pohon kayu Ulin atau anak kayu Ulin dan juga kami
belum menemukan punggur-punggur/tungul-tunggul Ulin diareal makam dan
sekitarnya.
Makam Habib M. Djamiluddin & Datung Siti Sarah isterinya
37. Bukti kedua kepemilikan lahan tanah makam dan sekitarnya waktu itu tidak dimiliki masyarakat umum.
3. Bukti ketiga bahwa kepemilikan lahan tanah makam dan sekitarnya hanya dikuasai oleh cucu-cicit-canggah dan wareng keturunan Habib Abu Bakar Assegaf atas nama Habib Abu Tha’am Ibrahim bin Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad (Habib Ahmad Suhuf) bin Muhammad Djamaluddin (Habib Lumpangi) bin Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf.
4. Orang-orang dari Hulu Banyu balarut banyu (balabuh) dengan rakit bambunya singgah/istirahat di warung Kampung Balai Ulin, tetapi kalau pulang dari kota Kandangan, mereka tidak melewati lagi kampung Balai Ulin, sejak ditemukannya jalan baru lewat diantara dua batu sempit di ujung kampung Muarakitar, mereka berjalan terus menuju tepi sungai ke Hulu Sungai Ahan hingga sampai ke Desa Datar Balimbing.
Pada
masa Habib Abu Tha’am Ibrahim dan Habib
Ali Adam anak kemenakannya, ia ikut bersamanya
di desa Lumpangi, kemudian kampung Balai Ulin tanahnya dibagi menjadi 4 bagian.
Masing-masing mereka diberikan 1 bagian tanah dari ke-3 anaknya dan anak
kemenakannya satu bagian dari kebun bambu pada bagian lering bukit arah batu.
DENAH LOKASI PASAR & MAKAM HABAIB DESA LUMPANGI
TAHUN 1970 - 1980 MASIHI
Kami temukan juga bahwa ”Batur-batur pada pusara - makam Habaib di Balai Ulin kala itu, tak kurang dari empat buah, panjang dan lebarnya lebih kurang 6x4 meter perbuahnya dan tiada punya atap. Batur Ulin dengan tebel antara 3 - 4 cm dan salah satunya ada pohon kembang kenanga sebesar drum kurang-lebih. ketika kami masa kanak-kanak sering kesana, mengambil kembang yang jatuh dari pohon itu, dan juga mancari humbut risi diareal makam dan sekitarnya untuk dijadikan sayuran. Posisi letak rumah kami (penduduk asli) tidak jauh dari areal makam, hanya dihalat sungai kali Amandit. Waktu itu Tahun 1970 -1978 Nisan-nisan pusara sudah raif dan sebagian berupa batu sungai, belum ada catatan atau tulisan yang kami temukan dan dapatkan kala itu.
Pada tahun 1975 bahwa pusara atau makam para Habib belum terawat dengan baik.Pernah diadakan gotong royong tahun itu untuk membersihkan makam para Habaib tersebut. Sa’at itu diareal pusara/ makam dan sekitarnya banyak tumbuh rumpun Paring Tali (Bambu).Batang Paring Tali itu ada banyak yang sebesar botol Aqua Tanggung dan batur-batur ulinnya pun sudah dimakan usia, kering dimakan rayaf, hanya yang tinggal /berdiri tiang-tiang batur. Itupun sudah condong dan pecah-pecah dan dinding-dindingnya jatuh ke tanah dan ada yang tiada terlihat/ hilang.. Inilah yang menunjukkan bahwa usia makam Habaib itu sangat tua.diperkirakan berumur 200 tahun lebih. Sebagaimana kami ketahui bahwa 1 buah batur dengan ukuran panjang dan lebar kurang lebih 6x4 meter persegi panjang. Pusara itu dihuni/diisi oleh satu keluarga (beberapa orang) bukan dihuni oleh satu orang pada 1 buah Batur tetapi diisi oleh beberapa orang. Kalau dibandingkan Batur-batur yang ada di Balai Ulin dengan Batur batur yang ada pada pusara anak-anak Datu Bakumpai, di kota Marabahan keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Batur batur pusara anak Datu Bakumpai sudah ada seni ukiran (pengamatan tahun 2016 & 2020M). Usia batur-batur makam Datu Lumpangi di Balai Ulin dengan usia batur-batur makam anak-anak Datu Bakumpai.
Maka usia batur Ulin pusara Habaib Lumpangi lebih tua, belum ada seni ukiran-ukiran pahat-pahatan tetapi sangat disayangkan Batur-batur itu sebagai bukti peninggalan sejarah semuanya raif ditelan masa, nilai-nilai sejarahnya hilang sehingga generasi-generasi selanjutnya sulit mengadakan penelitian ilmiah untuk menentukan keberadaan masa hidup penghuni pusara Habaib dimaksud.Jadi semua keterangan yang saya kemukan diatas, kalau Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf dimaksud ditulis diawal abad ke-20 Masihi maka catatan atau tulisan itu tidaklah palid atau tulisan itu belum tepat.
Abad ke-20 dihitung mulai dari tahun 1901 Masihi sampai dengan tahun 2000 Masihi. Tahun 1970-an hingga tahun 1980-an itu tiang-tiang batur ulin sudah bayak yang hilang dan sisanya dimakan usia, pecah-pecah dan kering dimakan rayaf. Nisan-nisan tidak terlihat/ raif. Salama pengamatan kami tidak menemukan atau tulisan kala itu, hanya yang masih berdiri sedikit sekali dari tiang-tiang batur sahaja, dinding-dindingnya pun sudah hilang, dan jatuh dari tiangnya. Inilah yang menunjukkan usia makam Habaib sangat tua.
Menurut ceritra Datu-datu kami bahwa Habib Abu
Bakar bin Hasan Assegaf sudah datang,
berada di Lumpangi jauh sebelum Belanda datang ke Kesultanan
Banjar. Tetapi sebagian orang berkata bahwa usia Habib Abu Bakar sekitar 40 tahunan saat ia melakukan dakwah di kampung Balai Ulin mulai tahun 1705-1759 M pada masa pemerintahan Raja Banjar ke-10 Tahmidullah I tahun 1700-1717 Masihi hingga Sultan Tamjidillah I sekitarnya awal abad ke 18 hingga pertengan abad 18. Tahun 1734-1759M, masa pemerintahan Sultan Tamjidillah I di Martapura. Belanda belum menjajah
Kesultanan Banjar.
Menurut catatan Sejaarah Tahun 1747, Belanda menduduki Banjarmasin. 1761–1801, masa pemerintahan Sultan Tahmidullah II/Sunan Nata Alam. 1762, Saudara Sultan Nata yang bernama Pangeran Prabujaya dilantik sebagai mangkubumi oleh Dewan Mahkota Kesultanan Banjar (Kesultanan Banjar).
“Diantara
nama-nama keturunan beliau yang sampai sekarang masih hidup adalah Habib Aziz
(Muara Banta), Habib Yahya (Telaga Bidadari), Habib Yadi (Muara Hatip)”
(Mursyid 2017)
Adapun kedua Syarifah puteri Habib Abu Bakar bin Habib Hasan Assegaf diperisteri oleh orang biasa orang kampung. Syarifah Pertama ini menurunkan anak. Adapun dzuriat ke-6, ada tiga bersaudara an. H.Bustani, Sarman dan mama Masni, Sarman punya anak an. Suli dan julak Tunjul, Tunjul kawin dengan Nadal punya anak an. Ambi dan Kurniah. mereka ini punya tanah dekat dengan kampung Balai Ulin. Demikian juga Syarifah Galuh dan Aluh kacil menurunkan dzuriat ke-6 an.H.Ahmad bin Utuh Merah dan ia punya atau dzuriat an. Utuh Ramli, Jamal dan Bini Pangulu Irus, dan mereka ini juga punya tanah dekat dengan kampung Balai Ulin. Begitu juga H. Mastur Abdullah juga dzuriat Habib Abu Bakar bin Hasan, ia kawin degan syarifah Khadijah melahirkan Ismail (Ahmad I'ing) dan Hambali (pa U'ut).
Beliau bermakam di Alkah Balai Ulin Desa Lumpangi Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan (masuk gang samping masjid Jannatul Anwar sekitar 300m)..... Haul Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim Assegaf biasa dilaksanakan oleh ahlul bait beliau pada tanggal 17 Dzulhijjah di kubah beliau (Murysid 2017)
Beliau adalah sepupu sekali dengan Habib Ali bin
Idrus Assegaf dan Habib Ali jauh lebih muda dari Habib Abu Bakar, oleh sebab
itu saat pembagian tugas atau misi dakwah di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dulu,
Beliau tidak diikutsertakan. Habib Ali bin Idrus bin Hasyim Assegaf telah
menikah dengan wanita sholehah, berasal dari Suku Banjar kelahiran Nagara dan
punya anak an. Habib Husein. Jadi Habib Husein Assegaf yang pertama lahir di
Kota Kandangan adalah putra sulung dari Habib Ali. Beliiau meninggal
diperkirakan tahun 1793M pada diusia remaja/muda dan belum menikah. Makam Habib Husein bin Ali bin Idrus bin Hasyim bin
Muhammad Assegaf berada dalam Kantin Los Batu Pasar Kandangan. Haul Beliau
dilaksanakan setiap tanggal : 12 Rabiul Awal bersamaan dengan acara mauled Nabi
Muhammad Saw..Kami saat ini belum mengetahui anak dan cucu dan juga cicit Habib
Ali selanjutnya.tetapi Habib Ali bin
Idrus Assegaf barmakam dipemakaman
Ashhab Turbah Alawiyyin Anak Mas Jln.M.Rusli (Jln. Mardeka Kandangan)
Kelurahan Kandangan Kota, Kecamatan Kandangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Saadillah Mursyid ini sewaktu mengadakan penelitiannya. Beliau belum menemukan atau belum menyebutkan silsilah keturunan Lumpangi ini secara utuh atau secara lengkap. Tetapi Kami punya catatan pendahulu kami tentang silsilah nasab (keturunan) Habib Abu Bakar bin Hasan yaitu keturunan Beliau yang bernama. Habib Muhammad Djamiluddin (Habib Lumpangi) dengan perempun yang dinikahinya dari puteri Tetuha Adat Dayak Langara Lumpangi yang belum terungkap atau belum ada disebutkan dalam Artikel dimaksud, catatan silsilah nasab dimaksud adalah ::
- Habib H.Muhammad Barsih
- bin Ahmad Baderi
- bin Tanqir Ghawa
- bin Abu Thair Muhammad
- bin Abu Tha'am Ibrahim
- bin Abu Bakar as-Tsani
- bin Ahmad Suhuf
- bin Muhammad Djamiluddin
- bin Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf.
1.Kontroversi Keturunan atau anak isteri pertama
Menurut keterangan Habib Bahriansyah (Utuh undul,72
thn) bin Bahur Assegaf yang saya wawancarai saat aqiqah buyut pertamanya dikediamannya,
bahwa ia dari keterangan ayahnya bahwa Kayi Tanqir Ghawa dimasa mudanya dijodohkan orang tuanya sebelum ia mengembara ke Pulau Laut, (sekarang Kab Kotabaru) ia
telah menikahi seorang
perempuan dan punya
anak. Kayi Karji adalah
anak kandung Kayi Tanqir Ghawa
dengan isteri pertamanya orang Amawang, dan isterinya tersebut
bekeluarga dekat dengan
Siti Nurah (adik kandung Atha’illah)
isteri Ahmad Darani bin Abdul Hamid bin Aliadam Assegaf
Menurut keterangan Habib Muhammad Ibnu Mubarak bin Hasan Basri Assegaf
bahwa ia dari keterangan
Drs.Habib Tajuddinnor,MM
bin Ahmad Baderi Assegaf paman ayahnya yang ia wawancarai
dikediamannya di Barabai bahwa Kayi Karji adalah anak
kandung Kayi Tanqir Ghawa dari isteri
pertamanya.
Menurut keterangan Habib Burhannor, ia dari ucapan Ahmad Baderi
ayahnya bahwa Kayi Karji dan Karjah bukan saudara kandung kami
(.Bahar,Badariah,Maswati dan Salmiati) tetapi ia saudara seketirian kami (bukan sdr kandung). Menurut keterangan
Habib Burhannor, ia dari ucapan Ahmad Baderi ayahnya bahwa selama 12 tahun
lebih Kayi Tanqir hidup berumah tangga dengan mamanya Kayi Karji tetapi belum
punya keturunan kemudian disebutkan bahwa sekitar tahun 1900-1909 ia menikah
lagi dengan perempuan janda an.Aisyah yang ditinggal mati suaminya hingga
lahirlah anak pertama yang diberinama “Ahmad Baderi”. Beda usia Karji deengan
Baderi sebanyak 13 tahun.
Menurut ibu saya Hj. Masitah binti Salamat (umur 83 thn), yang saya wawancarai dirumah Beliau di
jalan Alfalah Kandangan mengatakan, ia
dari ucapan Umbuy Uja isteri terakhir Kayi Karji bahwa Kayi Tanqir ayah tiri
Karji
Menurut Habib Muhammad Burhannor bin Ahmad Baderi Assegaf yang saya wawancarai dikediamannya, bahwa mereka anak-anak Kayi Karji antara lain (Husni) dan cucu-cucunya mengakui dan meyakini bahwa ayah mereka adalah keturunan/ anak Kayi Tanqir Ghawa bin Muhammad bin Ibrahim bin Abu Bakar as-Tsani bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar Asseaf
Adapun Karji adalah anak pertama dari Tanqir Ghawa bin Muhammad bin Ibrahim bin Abu Bakar bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar Asseaf, setelah dewasa ia menikah Maimunah punya anak
- Husni (Utuh Gunung)
- Ahmad
- Unan
- Misran (Imis) bin Maisyarah isteri kedua setelah isteri pertama wafat.
Kontroversi adalah sebuah keadaan perdebatan atau pertentangan
pendapat yang umum dan sering kali berlangsung lama. Kontroversi biasanya
melibatkan perbedaan sudut pandang atau opini yang saling bertentangan
2. Keturunan atau anak isteri Kedua
Sayyid Tanqir Ghawa menikahi Siti Khadijah seorang janda muda. Versi lain juga menyebutkan bahwa sekitar tahun 1909 ia menikah dengan perempuan janda yang ditinggal mati suaminya janda itu bernama Siti Khadijah asal orang Kandangan Hulu yang berdomisili di Lumpangi keluarga ini karena takut dengan kesewenangan Penjajah Belanda mereka berhijrah ke hulu banyu..”Maka dipihak keluarga memutuskan bahwa Tanqir Ghawa harus segera dikawinkan.. Akhirnya ia menikah dengan Siti Khadijah seorang janda beranak satu an. Ahmad Karjah. Dan dari hasil perkawinannya dengan janda itu kemudian ia punya keturunan 6 anak an.
- Ahmad Baderi,
- Bahar,
- Badariah,
- Bahur,
- Maswati /Taluh dan
- Salmiati
Hal senada sebagaimana yang diebutkan oleh Habib Muhammad Burhan Rabbani Assegaf dan Beliau ceritera dari ayahnya bahwa "Siti Khadijah adalah seorang janda kembang, muda dan cantik, beranak satu yang ditinggalkan mati oleh suaminya kemudian ia dikawinkan dengan Sayyid Tanqir Ghawa, kemudian dari Perkawinan itu mempunyai anak 6 orang. Salah satu dari yang 6 tersebut bernama Habib Ahmad Baderi.
- Basuni (wafat saat kecil)
- Basrani Noor
- H.Hasan Basri, S.Ag
- H.Muhammad Nurdin Effendi w.2014M
- Taniah (Nia Kurnia) w.2022
- Maimunah (wafat saat kecil)
- Dzulkipli Lubis
- Hj. Nursinah, S.Pd w.2018M
- Arya Nurhadi S.Pd (Muhammad Ariatim)
- Sy Farida Hayati
- Habib Syahril Majid,
- Habib Ali Marzuki, dan
- Sy Eva.
- Muhammad Ibnu Mubarak. S.Pd
- Ibnu Salam, M.Pd
- Muhammad Ibni Athaillah, ST
- Muhammad Burhan Noor13 Juli 1955
- Rumaynur
- Drs.H.Tajuddin Noor, MM
- Syahruddin Noor
- Nurlianti (Nunur)
- Nurjatunnisa (Jatun)
- Nurijati Rahmi, S.Pd.I (Untung)
- Sy Hendri Yusliani Noor,
- Habib Ismatullah Halim,
- Habib Muhammad Subhan dan
- Habib Muhammad Ainurahman.
- Sy Hikmatu Diniah,
- Habib M.Firdaus Fansuri dan
- Sy Hafijatun Nadia.
- Habib Muhammad Taufik Abdillah
- Habib Faqih Maulana
Keturunan Habib Abu Bakar Assegaf anaknya yang bernama Habib Muhammad Djamiluddin (Habib Lumpangi)
Dari Habib ini punya keturunan (anak) yang bernama Habib Ahmad
(Ahmad Suhuf) dan ia menikah dengan Diang Galuh Aminah binti Abdullah bin Hamzah bin Datu Muhammad Langara, dan ia punya anak Habib Abu Bakar as-Tsani dan ia punya 3 anak yang
bernama Habib Ibrahim (Abu Tha’am), Abdul Lathif (Abu Aly) dan 'Aly versi lain namanya Abdullah (Abu Tayau).
Dzuriat Habib Abdul Lathif
bin Abu Bakar As-Tsani bin Ahmad Suhuf bin Muhammad Djamiluddin bin Abu Bakar
Assegaf
Habib Abdul Lathif (gelar Abu Aly) sebelum merantau ke Pulau Emas, ia sudah menikah dengan Diang Putih (Muthma'innah) dan ia punya anak salah satunya yang bernama Habib Aliadam.
Menurut Habib Husni bin Mansyur Assegaf bahwa "Datunya Aliadammempunyai saudara kandung yang bernama "Abdullah dan Abdul Karim". Dahulu Abdul Karim tersebut pernah tinggal di Sungai Malang Amuntai".
Datu Habib Aliadam wafat dan bamakam di Cantung Kec. Kelumpang Hulu Kotabaru. Dan Aliadam menikah dengan Nurhasanah (Nelantih), keduanya punya 5 anak orang antara Lain :
- Haib Hasan
- Habib Umpat
- Habib Abdul Hamid
- Habib Abdullah dan
- Sy Masrah
Adapun anak Datu Habib
Aliadam yang pertama adalah bernama Habib Hasan. Menurut Habib Husni bin Mansur
bahwa Habib Hasan punya 3 orang anak :
- Sy Basriah
- Habib Mansyur
- Sy Masniah
Sedangkan Habib Mansyur bin
Hasan bin Aliadam bin Abdullatif bin Abu Bakar As-Tsani Assegaf punya anak 5
orang anak antara lain :
- Habib Husni
- Habib Jailani
- Habib Mugni
- Sy Isnawati
- Habib Muhaimin
Menurut Habib Husni bin
Mansyur Assegaf bahwa Habib Hasan bin
Aliadam Assegaf dan Habib Mansyur bin Hasan bin Aliadam bermakan dekat
langgar Darul Muttaqin di Tibung Raya Kec. Kandangan.
Adapun Habib Husni tercatat
di KTP Beliau lahir di Hulu Sungai Selatan tanggal 27 Februari 1959 pekerjaan
Polisi Kehutanan Beliau menikah dengan
Rasuna dan mereka punya 4 orang anak
antara lain :
- Sy. Elly Maranti
- Sy. Erliyantisti
- Sy. Erini
- Habib Anhari Anshar (lhr 2003)
Habib Jailani menikah punya
anak 1 orang yang bernama "Amin" sedangkan Habib Mugni menikah dengan
Masniah punya 3 orang anak yaitu :
- Sy. Linda (kelahiran 2002//20 th)
- Sy. Fina (kelahiran 2013/9 th)
- Habib Azka (kelahiran 2015/7 th)
Habib Abdul Hamid menikah dengan Diang Kacil (Mardiah) dan ia punya anak tunggal an. Habib Ahmad Darani. Habib Ahmad Darani kawin dengan Siti Nurah dan ia punya 7 anak :
- Habib Ismail Jumberi
- Habib Muhammad Djamberi
- Sy Salabah
- Sy Asyah
- Habib Fakhrurrazi
- Sy Armaniah
- Sy Tarmiah
Habib Muhammad Djamberi bin Ahmad Darani Assegaf menikah dengan Sit Aisyah isteri pertamanya dan ia punya 2 anak :
- Wardah
- Budi
Kemudan Habib Muhammad Djamberi bin Ahmad Darani Assegaf menikah lagi dengan Rusdiana isteri keduanya dan ia punya 1 anak an. Habib Muhammad Mahyudi Assegaf.
Dan Habib Abu Tha’am Ibrahim menikah dengan Siti Rahmah (Diang Tangang). Ia seorang janda sudah beranak dan pernikahan ini punya anak an. Muhammad. ketika isterinya wafat Habib menikah lagi dengan Diang Bulan, Habib Ibrahim juga diberi gelar "Ambatha'an atau Ambutha'an maksudnya "Bapa yang lambat beranak atau bapa yang menanti seorang anak". walaupun usianya hampir setengah abad, akhirnya dengan usaha dan ikhtiarnya ia punya 2 anak. Anak yang pertamanya bernama an. Khadijah: Habib punya 3 anak :
- Muhammad (gelar Abu Thair lahir 19 Ramadhan 1244H)
- Khadijah dan
- Daud (Datu Pandai atau Datu Titik),
Habib Muhammad Abu Thair tahun 1860M menikah dengan seorang Puteri Siti Siadah atau Tiadah berprofisi asal Pamayungan Permaisuri Raja Kuripan Amuntai. Ia berhenti bekerja membantu Permaisuri Raja karena disunting dan dikawini Sayyid Muhammad, dan Ia punya 1 anak tunggal yang lahir 19 Rabi'ul Awal 1279H an. Habib Tanqir Gawa. kemudian Sayyid Muhammad cerai dengan Siti Siadah atau Tiadah.
Siti Siadah menikah lagi dengan lelaki lain, perkawinan ini tidak punya anak. Kemudian Siti Siadah menikah lagi dengan laki-laki lebih muda darinya dan dari perkawinannya tersebut, ia punya anak dua orang an. Juhri dan Fatmah. Jadi Habib Tanqir punya adik seibu an. Juhri dan Fatmah. Kemudian setelah Siadah wafat.
Kemudian ayahnya Fatmah, ia menikah lagi dengan perempuan muda dan punya anak an. (Ubuy Ani atau bini Kayi Ibas Palantingan). Setelah dewasa Fatmah ini (Ning Aib Palantingan) menikah dengan Habib Muhammad Mohdar bin Abdullah Assegaf asal Desa Kapuh Taminung, melalui pernikahan ini menurunkan an. Aib Salim dan Habib-habib yang ada di Pelantingan.
Adik perempuan Habib Muhammad Abu Thair yang bernama H.Mastur Abdullah menikah dengan Syarifah Khadijah beranak 2 orang :
- Ismail (Ahmad I'ing)
- Hambali (Bapa U'ut)
- Datu Pandai makannya di depan paimaman Masjid Lumpngi mamarina Tanqir
- Muhammd bin Datu Pandai sepupu Tanqir
- Pa Jala Muara Lumpangi sepupu Tanqir
- Pa Usuf sepupu Tanqir
Mamanya Ahmad Iing dan Hambali/Pa.Uut yang memelihara dan menjaga makam terakhir, dia bertempat tinggal dekat makam di Balai Ulin tempu dulu..Sedangkan Habib Tanqirr Gawai ini ia punya 6 orang anak
3. Nasab Dzuriat Habib Abu Bakar bin Hasan bin Hasyim bin Muhammad bin Umar as-Shufy Assegaf.
Ada tiga bukti kuat hubungan nasab dengan Habib Lumpangi yaitu :
- Adanya perkawinan Datung Milah dengan Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf
- Adanya silsilah Nasab Dzuriat Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf
- Historis penguasaan tanah makam dan sekitarnya sebelum tahun 1970 an:
Kalau dirunut dari dzuriat Nasab Habib Muhammad Djamaluddin (Habib Lumpangi) bin Abu Bakar bin Hasan Assegaf yang paling muda kelahiran tahun 2020M Marga Assegaf adalah sebagai berikut ;r”
- abib Ahmad Fadhil Mubarak Assegaf
- bin Muhammad Ibnu Mubarak, S.Pd
- bin H.Hasan Basri, S.Ag
- bin H.Muhammad Barsih (1937-1978M)
- bin Ahmad Baderi (1918-1993M)
- bin Tanqirr Ghawa w.1862-1985M/1279-1405H=(123 tahun M)
- bin Abu Thair Muhammad, 1252-1361H/1942M “Abu Thair/Ambuthair” Pada nama awalnya adalah nama gelar kehormatannya.
- bin Abu Tha'am Ibrahim.(1213-1252H) “Abu Tha’am/Ambutha'am”pada nama awalnya adalah nama gelar kehormatannya.
- bin Abu Bakar as-Tsani, (1191-1319H/1778-1902M). Nama as-Tsani adalah nama yang diberikan untuk membedakan dengan Datuknya.
- bin Ahmad Suhuf (Tahun1736-1796M)
- bin Muhammad Djamiluddin (Habib Lumpangi) 1118-1195H
- bin Habib Abu Bakar (Datu Habib Lumpangi) 1068-1172H//1658-1759M
- bin Hasan. w.1720M
- bin Hasyim
- bin Muhammad
- bin Umar as-Shufy
- bin Abdurrahman
- bin Muhammad
- bin Aly w.840H di Tarim
- bin Sayyidina Syekh al Imam al-Quthb Abdurrahman Assaqqaf /Assegaf (739-819H atau1338-1416M) Beliau diberi gelai "Al Faqi al-Muqaddam Tsani Assaqaf."
- bin Syekh Muhammad (Maula ad-Dawilah) w.765H.
- bin Syekh 'Aly (Shahibut Dark) w. Rabu 17 Rajab 709H /1289M
- bin Sayyidina al Imam Alwi al-Guyur w.669H
- bin Sayyidina al-Imam al-Faqih al-Muqaddam Muhammad (574-653H/1232M)
- bin Sayyidina 'Aly Walidul Faqih w.593H
- bin al Imam Muhammad Shahib Mirbath w.556H/1161M
- bin Sayyidina 'Aly (Al Iman Khaly al Qasam) w.527H/1133M
- bin Sayyidina Alwi Ba' Alawi w.512H/1118M
- bin Sayyidina al-Imam Muhammad ( Maula Shahib as-Shaouma'ah) w.446H/1054M
- bin Sayyidina al-Imam Alwi al Mubtakir (Shahib Saml) Alawiyyin w.400H
- bin Sayyidina al-Imam Abdullah (Ubaidillah Shahibul Aradh 295-383H/993M
- bin Sayyidina al-Imam Al-Muhajir Ahmad al-Abah 820-924M/345H
- bin Sayyidina al-Imam 'Isa ar-Rumi w.270H/883M
- bin Sayyidina al-Imam Muhammad An-Naqaib w.250H
- bin Sayyidina al-Imam 'Aly al-Uraidhi 765-818M/210H
- bin Sayyidina al-Imam Ja'far as-Shadiq (702-765M/148H)
- bin Sayyidina al-Imam Muhammad Al-Baqir (676-732M/114H)
- bin Sayyidina al-Imam 'Aly Zainal Abidin (658-713M/97H)
- bin Al-Imam as-Syahid Syahab Ahlil Jannah Sayyidina Husain (625-680M)
- bin Sayyidah Fatimah Az-Zahra (11H/632)
- binti Muhammad ibnu Abdullah Rasulullah Saw (570-632M)
4. Historis penguasaan tanah makam dan sekitarnya sebelum tahun 1970 an.
Kalau kita telusuri historis penguasaan tanah makam Habaib dan sekitarnya yang ada Desa Lumpangi, ternyata semuanya milik keluarga Habib Abu Tha'am Iberahim yang diturunkan kepada ke-3 anaknya yang bernama :
- Muhammad (Abu Thair,)
- Siti Khadijah, dan
- Daud
- Aliadam (anak kemanakan Ibrahim) untuk pembagian tanah lihat Denah diatas.
6. Historis Desa Lumpangi.
Ada sebagian Keluarga Habib yang dulunya masih bertempat tinggal dekat areal makam di kampung Balai Ulin. Keluarga itu adalah keturunan Habib Iberahim (Abu Tha’am) yaitu adik perempuan kandungnya Habib Muhammad Abu Thair yakni ibunya kuitan ismail atau Ahmad I’ing dan Hambali. Ia dulunya bertempat tinggal dekat makam, dan karena merasa susah PP ke Lumpangi, harus menyeberangi sungai Kali Amandit, arus sungainya yang deras sedalam lebih dari 1 meter, menyeberangi dengan jalan kaki, atau menyeberangi dengan rakit bambu untuk samapai ke masjid dan ke pasar dan juga di pasar ini untuk mencari keperluan hidup lainnya seperti uyah, asam, acan dan timbaku. Maka setelah dibuatnya jembatan gantung penghubung antara desa Lumpangi dengan kampung muara Ahan. Maka kedua saudara ini Julak Ahmad I’ing dan Hambali pindah rumah dari kampung Balai Ulin ke kampung Muara Ahan. Maka kampung Balai Ulin kosong dari perumahan penduduk. Kekosongan itu terjadi sebelum Indonesi merdeka. Kemudian Julak Ahmad I’ing dan Hambali (pa. Uut) mendirikan sebuah rumah di tepi sungai Ahan. Rumah itu juga berada di tepi jalan Kandangan ke Loksado. Dulu orang-orang yang dari Kandangan, apabila sampai dihulu kampung Datar Tandui, mereka menyeberang sungai Kali Amandit yang dangkal dekat muara ahan, mereka berjalan meliwati halaman rumah Ahmad I’ing dan Hambali, tetapi bila air sungai dalam dan arusnya deras mereka menyeberang lewat jembatan penghubung antara Lumpangi dengan muara Ahan. Dan mereka juga meliwati halaman rumah Julak I’ing dan Hambali ini.
Sejak kedua kakak beradik inilah pindah rumah, maka kampung Balai Ulin menjadi mati tak dihuni lagi oleh penduduk setempat, dan pusara / makam Habaib mulai tidak terawat lagi dengan baik. Dikampung Muara Ahan tahun 1974an sudah ada tempat pendidikan masyarakat yang dikenal “SR” yaitu Sekolah Rakyat. Bangunan SR dibangun dengan swadaya masyarakat dan honor Gurunya atas swadaya masyarakat.
Pasar lumpangi dulu berada dihulu masjid, sebagian para Pedagang berjualan dihalaman rumah kami, konon keberadaan pasar ini cukup lama seiring keberadaan dibangunnya masjid. Kemudian ada bantuan Pemerintah tahun 1974 untuk membangun pasar, untuk pembuatan tempat khusus jualan maka pasar pindah ke pantai dihalaman rumah Uus(Pa.Mawan) dan.dekat dengan Jembatan gantung. Jembatan gantung sedarhana dengan tali kawat baja yang diikatkan pada kaki batu langara, dan diseberangnya di beri dua tiang ulin dan ujun kawat baja diikatkan pada kayu ulin yang dibenam di dasar tanah pantai. Ujung tali itu ditutupi batu kali sebesar kepala setinggi 1 meter lebih. Lantai paring batangan, banyaknya antara 5-7 batang yang diikat dengan tali haduk,paikat tali atau tali sumawi tempo dulu.
Dahulu sebelum terjadi pemekaran desa dan kecamatan bahwa Desa Lumpangi menjadi wilayah Kecamatan Padang Batung Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Untuk sampai ke desa Lumpangi seseorang harus jalan kaki dari Taxian mobil Pagat Batu (Batu Bini). Waktu itu jenis mobi taxi yang sampai ke Batu Bini ini adalah mobil jenis Jep dan mobil Puar. Kedua jenis mobil inilah yang taxi pulang-pergi (PP) Kandangan – Pagat. Batu. Nah dari Pagat Batu inilah jalan kaki menuju desa Lumpangi kurang lebih 6 jam memakan waktu lama kalau berjalan normal melewati tepi sungai Kali Amandit. Ada beberapa desa yang dilewati (sebagai terminal pejalan kaki untuk istirahat minum dan makan di warung pada desa-desa tersebut) antara lain desa-desa yang dilalui desa Bulanang, desa Muara Hariang (Periangan), desa Halunuk, desa Basawar, desa Muara Bayumbung, desa Harantan (Panggungan) desa Marikit dan kampung Datar Tandui terus sampai Desa Lumpangi. Tetapi sekitar tahun 1991-1995 jalan tembus Kandangan ke Batulicin baru dibuat, dengan adanya akses jalan tersebut maka sepeda motor dan mobil bisa masuk dengan mudah ke desa Lumpangi.. Jalan tembus ini sangat berpengaruh banyak terhadap perekonomian masyarakat desa Lumpangi khususnya. Kemudian terjalilah pemekaran desa dan kecamatan, maka Desa Lumpangi menjadi Kecamatan Loksado.
DAFTAR PUSTAKA
Artikel Biografi Habib Abu Bakar Assegaf yang
ditulis pada tahun 2017 oleh Saadillah Mursyid
Kitab Biografi Ulama-ulama Terkemuka
Dunia dan Nasional” yang ditulis oleh “Syekh Samsul Afandi The
source: hadhramaut.info/indo – 01/5/2008
Artikel tentang “Suku Dayak”yang di tulis oleh Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Suku Dayak - Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas (diakses pada 19 Oktober 2021).
Artikel tentang “Sejarah Kalimantan Selatan” dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kalimantan_Selatan diakses 20-10-2021 :07.45 wita
Artikel tentang “Kesultanan Banjar “ yang diterbitkan oleh Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas 2011-03-27 13:26 Alamnirvana.
Artikel Sejarah dan Perkembangan
Kerajaan Islam di Kalimantan" yang ditulis oleh Tim, CNN Indonesia |
Rabu, 30/06/2021 13:03
Artikel tentang Islam di Kesultanan
Banjar pada abad ke 19M dan Peran Muhammad Arsyad Al Banjari ditulis oleh:
Abd. Gafur tahun 2009
Tahun1761–1801, masa pemerintahan Sultan
Tahmidullah Kesultanan
Banjar, https://www.google.com/search?q=kapan+belanda+menjajah+kalimantan+selatan&sxsrf=AOaemvKZjxAG7Lq7Y7jOA1IDVSAUmB7O2Q%3A1634772915876&ei=s6dwYeD6NISbmge2zIvICw&oq=kapan+belanda+menjajah+kalimantan+selatan&gs_lcp=Cgdnd3Mtd2l6EAEYATIHCCEQChCgATIHCCEQChCgAToHCAAQRxCwAzoHCAAQsAMQQzoECCMQJzoFCAAQgAQ6BggAEBYQHjoFCCEQoAFKBAhBGABQudYHWKGYCGCDrwhoAXACeACAAYcBiAGdBJIBAzIuM5gBAKABAcgBCsABAQ&sclient=gws-wiz
diakses 20-10-2021, 09.41
Folklor adalah Ceritera/kisah yang
penyebaran dan pewarisannya cenderung dilakukan secara lisan, yaitu disebarkan
melalui tutur kata dari mulut ke mulut.
konstruksi adalah sebuah susunan atau model
dari sebuah sarana dan prasarana yang dibuat sebelum melakukan pembangunan
Artikel Biografi Habib Abu Bakar As-Segaf yang
ditulis pada tahun 2017 oleh Saadillah Mursyid
Menurut Mitologi Kisah-kesah Tetuha bahari
Keterangan bahwa Nama Islamnya Putri Tetuha
Adat Dayak Balai Ulin yang dzuriat sesudahnya menyebutnya aluh/galuh Jamilah
atau Siti Jamilah. Abu Thalib dan Hamzah adalah kakak kandung Siti Jamilah.
Daftar makam Ulama Aulia Habaib HSS, Dakwah
sepanjang hayat Teladan sepanjang jaman, Sabtu, 17 November 2018, di tulis oleh
Abu Salim (Bin Alkaff HSS) Dikutip bersumber dari Manaqib Alhabib Ali bin
Idroes Assegaf Turbah Alawiyyin Anak Mas Kandangan.
Abad ke-18 adalah dihitung mulai dari tahun 1701M sampai dengan tahun 1800M. Sedang pertengan abad ke-18 berarti dihitung mulai dari tahun 1751M.aan tanah makam dan sekitarnya sebelum tahun 1970 an.
Aruh Baharin /Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas : https://id.wikipedia.org/wiki/Aruh_Baharin
Artikel Sejarah Ahlul
Bait (Keturunan) Sayyidina Muhammad Saw di Indonesia, http://fakhrur94.blogspot.com/2012/04/sejarah-ahlul-baitketurunan-sayyidina.html
Suku Dayak Berasal dari Kalimantan, Berikut Asal-usul dan Tradisinya
Fida Afra – detikSulsel, Rabu, 27 Sep 2023 19:30 WIB
https://www.detik.com/sulsel/budaya/d-6953919/suku-dayak-berasal-dari-kalimantan-berikut-asal-usul-
Artikel Suku Dayak” Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak
dan-tradisinya#:~:text=Suku%20Dayak%20adalah%20kelompok%2
Artikel Datu Banua Lima, Panglima yang Ditakuti Prajurit
Majapahit (Bagian-1)
https://daerah.sindonews.com/berita/1019516/29/datu-banua-lima-panglima-yang-ditakuti-prajurit-majapahit-bagian-1