Rabu, 13 Juni 2018

"Risalah Umdatul Hasanah lil Jama'ah at Thariqah al Junaidiyah



Catatan  2. : Kitab "Risalah Umdatul Hasanah lil Jama'ah at Thariqah al Junaidiyah (sebagai Benteng Pertahanan  Thariqat al Junaidiyah  II )" memuat 8 macam Pak Mata Pelajaran untuk menyempunakan Syahadat Tauhid yang dituangkan risalah tersebut

PEMBAHASAN   TENTANG 
MURAQABAH  
MUSYAHADAH
HAL MUQABALAH


BAB TENTANG MURAQABAH


BAB  V. 

MURAQABAH


A. Pengertian Muraqabah secara Harfiyah

Syaikhul Kiram ‘Alimul Allamah Muhammad Ihsan Dahlan al Jempisi al Kaderi menegaskan bahwa Muraqabah menurut Bahasa :

وَهِيَ لُغَةً دَوَامُ مُلَاحَظَةِ الْمَقْصُوْدِ اى صِلَاحُ الْقَلْبِ يَكُوْنُ بِمُلَازِمَةِ الْمُرَاقَبَةِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِى جَمِيْعِ الْحَرَكَاتِ وَالسَّكَنَاتِ وَاللحظات والْخطَرَات* سراج الطالبين

Artinya : Terus-menurus melakukan pengamatan yang dimaksudkan, yaitu Memperbaiki hati dicapai dengan melajimi muraqabah (pandangan hati) dalam semua gerak dan diam, keheningan, dan khataran hati hanya tertuju kepada Allah Swt semata.

Arti Muraqabah. Salah satu ajaran Tasawuf ialah “Muraqabah” dalam rangka pemantapan disegi hakekat/sir, dimana sir/Rahasia sebagai alat untuk memperoleh “makrifah” menurut kaum Sufi. Dalam bahasa Arab, arti muraqabah adalah awas mengawasi, berintai-intaian (Zahri 1998)

Muraqabah adalah isim masdar yang diambil dari fi’ilnya

( رَاقَبَ  -  يُرَاقَبُ  -  مُرَاقَبَةً ) مُرَاقَبَةً  هِىَ اِسْمُ النَّاكِرَةِ وَالْمُرَاقَبَةُ هِىَ اِسْمُ الْمَعْرِفَةِ.

الْمُرَاقَب Yang artinya “telah mengawasi, melihat atau menjaga” jadi Muraqabah adalah pengaawasan atau penjagaan si Hamba. si Hamba  duduk bertafakkur atau mengheningkan cipta dengan penuh kesungguhhan hati bahwa seolah-olah berhadapan dengan Allah dan melihat Tuhan dengan hatinya. 

Dari segi bahasa muraqabah berarti pengawasan dan pantauan. Sedangkan dari segi istilah, muraqabah adalah, suatu keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa AllahSwt senantiasa mengawasinya, melihatnya, mendengarnya, dan mengetahui segala apapun yang dilakukannya dalam setiap waktu, setiap saat, setiap nafas atau setiap kedipan mata sekalipun.

Dalam sebuah Artikel dikatakan bahwa “Muraqabah” artinya pengetahuan hamba secara terus-menerus dan keyakinannya bahwa Allah mengetahui zhahir dan batinnya. Muraqabah ini merupakan hasil pengetahuannya bahwa Allah mengawasinya, melihatnya, mendengar perkataannya, mengetahui amalnya di setiap waktu dan di mana pun, mengetahui setiap hembusan napas dan tak sedetik pun lolos dari perhatian-Nya

Muraqabah ini adalah menjadi salah satu bahasan pokok pada Thariqat al Junaidiyah yang diambil dari al Qur'an dan as Sunnah, yakni hadis Nabi Saw tentang IHSAN.

" أَنْ تَعْبُدَ اللهَ تَعَالَى كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَأِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ "

Maksudnya : Muraqabah adalah Hamba tahu sepenuhnya bahwasanya AllahSwt melihat atau mengawasinya. Jadi Muraqabah adalah mengintip dan memperhatikan dirinya sendiri dengan sungguh-sungguhyang hakekatnya tidak mempunyai daya dan kemempuan apa-apa, ia karam di dalam musyahadah. Muraqabah akan berhasil bila secara terus menerus dzikir, baik berdzikir terus menerus dengan dzikir yang berhuruf dan bersuara atau dengan dzikir yang tiada berhuruf dan tiada bersuara. Yang didalam dzikirnya itu keluar atau tersisih segala aghyar atau akwan hingga terputus hanya kepada Allah saja. Yang dimaksud keluar atau tersisih adalah batang tubuh, hati dan rohaniyah kita, ketiga macam itulah yang diintai terus-menerus, bila merasa Ada, merasa hadir dari ketiga macam itu berarti muraqabah kita lepas dari intaian, atau intaian kita telah lari. Tetapi bila kita merasa bahwa batang tubuh, hati dan rohaniyah kita tidak ada, tidak hadir beserta kita atau keluar atau tersisih yang dinamai PANA UL PANA dalam tasawuf, berarti intaian, pengawasan dan penjagaan kita itu adalah Muraqabah yang benar. Inilah yang dimaksud dzikir tidak berhuruf atau dzikir tidak bersuara. 

Penyusun Kitab UMDTUL HASANAH ...... mencoba membahas tentang Muraqabah yang menjadi pokok bahasan pada Thariqat kita ini, sebagian Ulama Tasawuf berkata :

Maksudnya : "Muraqabah adalah si Hamba tahu sepenuhnya bahwa Allah Swt sedang melihatnya, sedang mengawasinya pada setiap keadaan."

Jadi Muraqabah adalah si Hamba mengintif, memperhatikan dirinya sendiri dengan sungguh-sungguh, yang pada hakekatnya dirinya sendiri tidak mempunyai daya dan kemampuan apa-apa, ia karam didalam  Musyahadah.  Muraqabah akan berhasil bila dia merasa af'alnya lenyap, yang ada hanya af'al Allah semata.

Begitulah keadaannya sebagaimana apa yang diucapkan oleh sebagian para 'Arif billah :

قَالَ بَعْضُ الْعَارِفِ بِاللهِ : أَنَا أَتُوْبُ اَىِ الْإِنَابَةُ مِنْ قَوْلِ لَآ اِلَهَ اِلَّا اللهُ.

Maksudnya : "Aku kembali kepada perkataan "Laa ilaha illallah"  Syekh Abu Bakar al Mursi rahimahullahu Ta'ala pernah berkata bahwa :

وَلَوِاحْتَجَبْتُ عَنْ رَبِّىْ لَحْظَةً وَاحِدَةً

مَا عَدَدْتُ نَفْسِيْ مِنَ الْبَشَر

Artinya : Andaikata aku terlindung atau terhijab dari Tuhanku meskipun sekejap mata, tidaklah lagi lagi aku terhitung dari golongan manusia.


Syekh Ruslan rahimahullahu Ta'ala mengatakan tentang Muraqabah yaitu si Hamba itu selalu memelihara hati, memusatkan pandangan kepada AllahSwt, seakan-akan seekor Kucing yang ingin atau sedang mengintif seekor tikus, lalai sedikit tikus yang diintif akan lari. Demikian keadaan orang yang bermuraqabah terhadap Tuhannya (Haderanie.HN_Ad-durunafis)

Guruku KH. Jumberi pernah berkata, Muraqabah dimisalkan "Seorang yang sedang mengintif atau mengintai binatang buruannya yang berjarak sepuluh Tumbak, atau 10 depa, lebih dekat lagi 10 hasta, lebih dekat lagi 1 hasta, lalai sedikit saja binatang buruan itu akan lari.

Demikian keadaan orang yang bermuraqabah terhadap Tuhannya, hanyalah permainan rasa,  jauh tidaklah berjarak dan dekat tidak tersentuh. Berkata Syekh Umar al Farid rahimahullahu Ta'ala :

وَلَوْ خَطَرَتْ لِيْ فِى سِوَاكٍ إِرَادَةٌ

عَلَى خَاطَرِيْ سَهْوًا قَضَيْتُ بِرَدَّتِيْ

Artinya : "Andaikata terhantar kehendak di dalam hatiku, selain dari pada Mu ya Tuhan, Karena lalai dan lupa, kuhukumkan diriku ini terjerumus kelembah murtad" Tuhannya (Haderanie.HN_Ad-durunafis).

A. Pengertian Muraqabah Menurut Istilah.

اَلْمُرَاقَبَةُ اِصْطِلَاحًا اَىْ دَوَامُ النَّظَرِ بِالْقَلْبِ اِلَى اللهِ تَعَالَى فَيُرَاقَبُ الْإِنْسَانُ أَفْعَالَهُ وَأَحْكَامَهُ يُعَبَّرُ بِاسْتِشْعَارِهِ نَظَرَ اللهُ تَعَالَى إِلَيْهِ فَحَرَكَاتِهِ وَسَكَنَاتِهِ* سرج الطالبين

Artinya : 

Muraqabah menurut Istilah adalah melazimi memandang (mengintif) dengan hadir hatinya kepada Allah Ta'ala. Maka mengintai oleh si Salik akan semua perbuatanya dan semua keadaannya, kemudian mengambil i'tibar dari semua hal tersebut dengan dapat merasakannya memandang Allah Ta'ala bahwa dari pada –Nya lah tertibit segala gerak dan diam si hamba.


AllahSwt telah berfirman pada Surat al Ahzab ayat 52 yang berbunyi :

قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَكَانَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ رَقِيْبًا*  الاحزاب 52

Artinya : "Adalah Allah Swt atas segala sesuatu telah mengawasi-Nya". Jadi segala sesuatu apapun tidaklah luput pengawasan dari AllahSwt, inilah yang patut kita perhitungkan.

رَاقَبَ اللهَ تَعَالَى فِى عُمُوْمِ أَحْوَالِهِ فَيَعْلَمُ أَنَّهُ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى عَلَيْهِ رَقِيْبٌ وَمِنْ قَلْبِهِ قَرِيْبٌ, يَعْلَمُ أَحْوَالَهُ وَيَرَى أَفْعَالَهُ وَيَسْمَعُ أَقْوَالَهُ وَمَنْ تَغَافَلَ عَنْ هَذِهِ الْجُمْلَةِ فهو بِمَعْزُلٍ عَنْ بِدَايَةِ الْوُصْلَةِ فَكَيْفَ عَنْ حَقَائِقِ القُرْبَةِ ؟  الرسالة القرشية

Artinya : 

"AllahSwt  mengintai dari pada semua keadaan si Salik, ia merasakan (dalam hatinya) bahwa AllahSwt mengintainya. Dalam hatinya (ia rasakan) Allah dekat, mengetahui keadaannya, melihat semua perbuatannya, Dia mendengar semua permohonannya. Barang siapa lupa terhadap jumlah ini, maka dia keluar dari bidayah wasilah, maka bagaimana hakekat kurbah (dekat dengan Allah Ta'ala)." 

Berikut hadis Rasulullah Saw yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim tentang Muraqabah dan Musyahadah pada hadis Ihsan yang berbunyi sebagai berikut : 

عَنْ اَبِيْ عُمَرَبْنِ الْخَطَّابِ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ اِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ. شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ. لَايُرَى عَلَيْهِ اَثَرُ السَّفَرِ.وَلَايَعْرِفُهُ مِنَّا اَحَدٌ. حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَحِذَيْهِ وَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِى عَنِ الْإِسْلَامِ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : "اَلْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَآاِلَهَ اِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُقِيْمَ  الصَّلَاةَ وَتُؤْتِىَ الزَّكَاةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتُحُجَّ الْبَيْتَ اِنِ استطَعْتَ اِلَيْهِ سَبِيْلَا". قَالَ صَدَقْتَ.فَعَحِبْنَا لَهُ يَسْاَلُهُ وَيُصَدْقُهُ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِى عَنِ الْإِيْمَانِ ؟ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَشَرّهِ, قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الْإِحْسَانِ ؟ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَأِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ السَّاعَةِ؟ قَالَ مَا الْمَسْئُوْلُ عَنْهَا بِاَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ* رواه مسلم وغيره 

Artinya : 

Dari Abi Umar bin Khattab telah berkata “Manakala kami sedang berada di dekat Rasulullah Saw disuatu hari, ketika itu telah dating seorang laki-laki (Jibril alaihis salam dalam bentuk menyerupai seorang laki-laki) keadaan pakaiannya yang sangat putih dan rambutnya sangat hitam, tidak terlihat tanda-tanda ia seorang musafir. Tak seorangpun dari kami mengenal orang itu. Sehingga ia telah duduk dekat dengan Nabi Saw. Ia merekatkan/menyandarkan kedua lutotnya dengan kedua lutotnya Nabi Saw. Dia berkata “Ya Muhammad ! khabarkan kepadaku tentang Islam? Jawab Nabi Saw, Islam itu adalah Engkau bersaksi bahwa tiada ada Tuhan selain Allah dan Engkau bersaksi bahwasanya Muhammad itu Rasul Allah, dan Engkau tegakkan shalat lima waktu, Engkau tunaikan zakat, Engkau berpuasa bulan Ramdhan, dan Engkau berhajji ke Baitullah, jika engkau mampu kesana. Kata orang itu : "Engkau benar ya Muhammad." Kamipun ta’jub/heran kepadanya dia yang bertanya dia juga yang membenarkannya. Orang itu bertanya lagi,"Ya, Muhammad, Apakah Iman itu ? Nabi menjawab : "Engkau percaya dengan Allah, Engkau percaya kepada para Malaikat, Engkau percaya kepada kitab-kitabnya, Engkau percaya kepada Rasul-rasulnya, Engkau percaya kepada ketentuan baik dan buruk, manis dan pahitnya. Kata laki-laki itu "Kau benar, Ya Muhammad". Dia kembali bertanya " Ya, Muhammad, khabarkan kepadaku, apakah Ihsan ? Jawab Nabi Saw, Ihsan itu adalah Engkau beribadat kepada Allah seolah-olah Engkau melihat-Nya, maka jiwa Engkau tidak dapat melihat –Nya maka Engkau merasakan Dia melihatmu. Kata orang itu, "Engkau benar ya Muhammad." HR. Muslim dll.


B. Petunjuk Al Qur'an Tentang Muraqabah dengan Cara Pendekatan Diri Salik Kepada Allah Swt

Diantara ayat–ayat al Qur'an dan al Hadist Nabi Saw yang memberikan petunjuk dengan Pendekatan diri kepada Allah cara Muraqabah

1. Surat al Baqrah ayat 186 :

o وَقَوْلُهُ تَعَالَى : وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَإِنِّيْ قَرِيْبٌ أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ  البقرة 186

Artinya :"Jika hamba-Ku bertanya kepadamu (Ya Muhammad) tentang diri Ku (katakan) bahwa sesungguhnya Aku dekat, Aku mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."

2. Surat al Qaf ayat 16 :

o وَقَوْلُهُ تَعَالَى : وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ...  ق 16

Artinya :"Aku lebih dekat kepadanya dari pada pembuluh darah yang ada dilehernya."

3. Surat al Hadid ayat 4 :

o وَقَوْلُهُ تَعَالَى : وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ ...  الحديد 4

Artinya : "  Dan Dia (Allah itu) beserta kamu dimana saja kamu berada."

4. Hadis riwayat Ubadah RA :

o عَنْ عُبَادَةَ بِنِ الصَّامِتْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ إِيْمَانِ الْمَرْءِ أَنْ يَعْلَمَ إِنَّ اللهَ مَعَهُ حَيْثُ كَانَ. رواه الطبرنى

Artinya : Dari Ubadah bin Shamit  RA telah berkata : Telah bersabda oleh Rasul Saw, "Semulia-mulia Iman seseorang bahwa ia tahu bahwa Allah besertanya, dimana saja ia berada."

5. Hadis al Qudsi :

o إِذَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ الْعَبْدُ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ ذِرَاعًا وَإِذَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا وَإِذَا أَتَانِى مَشْيًا أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً* الحديث

Artinya :Apabila menghampirkan diri kepada Ku oleh seorang hamba sejengkal, maka aku hampir kepadanya sehasta. Apabila si Hamba menghampirkan diri sehasta, maka Aku hampir kepadanya sedapa. Dan bila ia datang kepada Ku berjalan niscaya aku datang berlari. 

Tegasnya kita dengan Allah hampir menghampiri yang akhirnya berhampir- berhampiran (Djalaluddin, 1956)


D. Contoh Seorang Anak yang Allah Anugrahkan Rasa Muraqabah yang Mendalam.

Di zaman Shahabat Nabi Saw, ada seorang anak Manusia yang Allah anugrahkan rasa Muraqabah yang mendalam kepada AllahSwt. Ceritra tersebut dapat kita ketahui bahwa :

وَقِيْلَ :كَانَ اِبْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فِى سَفَرٍ فَرَأَى غُلَامًا يَرْعَى غَنَمًا. فَقَالَ لَهُ هَلْ تَبِيْعُ مِنْ هَذَا الْغَنَمِ وَاحِدَةً ؟ فَقَالَ إِنَّهَا لَيْسَتْ لِيْ. فَقَالَ قُلْ لِصَاحِبِهَا إِنَّ الذَّئْبَ أَخَذَ مِنْهَا وَاحِدَةً. فَقَالَ الْعَبْدُ (اَىِ الْغُلَامُ ) فَأَيْنَ اللهُ ؟ فَكَانَ اِبْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُوْلُ بَعْدَ ذَالِكَ إِلَى مَرَّةٍ. قَالَ ذَالِكَ الْعَبْدُ فَأَيْنَ اللهُ ؟  الرسالة القشيرية

Riwayat lain menyebutkan bahwa Umar Bin Khattab Radiyallahu anhuma bertanya : “Siapa engkau ini hai anakku,” anak itu menjawab : “Saya seorang anak Gembala.”  “Berapa jumlah kambing-kambing ini, nak” kata Umar. Kata anak itu : “Saya tak tahu jumlahnya. tuan.” Kalau begitu jual saja satu ekor untukku, kata Umar. Anak itu menjawab : “Dimanakah Allah?”

مَنْ أَنْتَ ؟ قَالَ اَنَا رَعِى. كَمْ غَنَمًا هَذَا رَعَيْتَ ؟ فَقَالَ لَيْسَتْ لِيْ

Berkata Sadatina  thariqat al Junaidiyah (thariqatal qaum) Imam al Junaid al Bagdadi rahimahullah (w.297H/911M)   :

وَقَالَ الْجُنَيْدُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : مَنْ تَحَقَّقَ فِى الْمُرَاقَبَةِ فَخَافَ عَلَى فُوْتِ حَظِّهِ مِنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَاغَيْرٌ* اى (تَحَقَّقَ اى تثبت تأكد) لَاغَيْرٌ فَقَدْ يُرَاقَبُ الْعَبْدُ أَحْكَامَ رَبِّهِ لِيَسْلَمَ مِنَ الْعِقَابِ وَقَدْ يُرَاقَبُهَا الزِّيَادَةَ الثَّوَابَ وَقَدْ يُرَاقَبُهَا لِيَرْفَعَ عَنْهُ الْحِجَابَ* الرسالة القشيرية

Artinya “ Berkata Imamul Junaid al Bagdadi r.a “Barang siapa tahqiq (mantap-keyakinan yang mantap) dalam bermuraqabah, maka ia takut atas luputnya dari garis (ketentuan  hukum - intaian) terhadap Tuhannya (itulah muraqabah yang benar) Tahaqqaq adalah ketetapan hati/kekuatan hati pada keyakinan. Maka sesungguhnya telah bermuraqabah oleh seorang hamba terhadap hukum-hukum Tuhannya untuk menyelamatkan diri dari siksa neraka, misalnya ia mengintai shalatnya, puasanya dan ibadah lainnya. Itu dinamakan bermuraqabah terhadap hukum Tuhan. Terkadang bermuraqabah itu menambah nilai pahala, dan juga terkadang bermuraqabah itu untuk mengangkat hijab dari seorang hamba.”

Berkata Sadatina thariqatal qaum al Junaidiyah Syekh Ibrahim An Nashra ‘Abadzi  (w.369H/979M)  dan Ia Guru dari Abu ‘Ali Ad Daqaq rahimahullah :

وَقَالَ إِبْرَاهِيْمُ النَّصْرَآبَاذِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : اَلرَّجَاءُ يُحَرِّكُكَ إِلَى الطَّاعَاتِ وَالْخَوْفُ يُبْعِدُكَ عَنِ الْمَعَاصِى وَالْمُرَاقَبَةُ تُؤَدِّي بِكَ إِلَى طُرُقِ الْحَقَائِقِ* الرسالة القشيرية

Artinya : “Ar Raja  (اَلرَّجَاءُ)  adalah pengharapan kepada Allah, semua gerakmu, untuk ta’at kepada Allah dan rasa takutmu akan menjauhkanmu dari segala maksiat. Dan  bermuraqabah itu engkau laksanakan untuk menuju jalan yang benar.”

Maksud perkataan ini, bahwa orang tidak muraqabah dengan Allah, tidaklah mempunyai pengawal kepada kebenaran dan pengawalnya ialah Syaithan yang membawanya kepada berbuat dosa (Zahri, tahun 1998) 

Berkata seorang murid Syekh Abu ‘Ali Ad Daqaq rahimahullah yaitu bernama Imam Qusyairi (tahun 376-465H) pada kitab Risalah Qusyairiyah, ia menjadi sanad silsilah  Sadatina thariqat  al qaum al Junaidiyah telah menceriterakan kisah seorang Guru punya murid khusus (murid tersayang) dan menguji murid-muridnya tentang muraqabah :

Syekh Junaid  mempunyai seorang  murid yang dicintainya yang melebihi dari muridnya yang lain.  Murid-murid lain meresa iri, hal ini disadari oleh Syekh Junaid melalui intuisi mistiknya. “Sesungguhnya ia melebihi kalian di dalam tingkahlaku dan tingkat pemahamannya. Syekh Junaid menjelaskan kepada mereka “Begitulah menurut pendapatku, tetapi mari kta uji. Membuat sebuah percobaan agar kalian semua menyadari hal itu.” Kata Syekh Junaid.

وَكَانَ لِأَحَدِ الْمَشَايِخِ تِلْمِيْذٌ يَخُصُّهُ بِاِقْبَالِهِ عَلَيْهِ أَكْثَرُ مِمَّا يَقْبَلُ عَلَى غَيْرِهِ. فَقَالُوْا لَهُ فِى ذَالِكَ. فَقَالَ سَأَوْضَحُ الْاَمْرَ لَكُمْ فَدَفَعَ إِلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ تَلَامِيْذِهِ طَائِرًا. وَقَالَ لَهُمْ اَذْبِحُوْاهُ بِحَيْثُ لَايَرَاكَ اَحَدٌ. فَمَضَوْا ثُمَّ رَاجِعُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ وَقَدْ ذَبَحَ طَائِرَهُ. وجاء هَذًا بِالطَّائِرِ حَيًّا.فَقَالَ لَهُ شَيْخُهُ بِمَاذَا لَمْ تَذْبَحْهُ ؟ فَقَالَ أَمَرْتَنِيْ اَنْ تَذْبَحَهُ بِحَيْثُ لَايَرَاهُ اَحَدٌ وَلَمْ أَجِدْ مَوْضِعًا لَايَرَاهُ فِيْهِ اَحَدٌ. فَقَالَ الشَّيْخُ لِهَذَا أَخُصُّهُ بِاِقْبَالِى عَلَيْهِ* الرسالة القشيرية

Artinya : Pada suatu hari, ada seorang Guru sedang/ ingin menguji diantara beberapa muridnya, ia punya seorang murid khusus (murid tersayang yang menjadi buah bibir murid lainnya). Ia pun memanggil mereka, seorang murid khusus itu datang menghadapnya diikuti oleh murid-murid lainnya. Maka bertanyalah para murid itu kepada Gurunya sehubungan dengan kedatangan mereka tersebut, maka Sang Gurupun menjawab “Saya akan jelaskan duduk perkara kedatangan kalian semua.“ maka Sang Guru mengambil burung-burung yang ada dalam sangkar yang sudah disipkan) dan memberikan/menyerahkan seekor burung dan sebilah pisau kepada setiap satu muridnya untuk disembelih, tak tertinggal satupun dari mereka. Merekapun pergi melaksanakan perintah gurunya. Waktu telah berlalu sebagaimana sudah ditentukan Sang Guru. Kemudian mereka datang kembali menghadap Sang Guru, semua mereka masing-masing membawa seekor burung yang sudah disembelih. Kecuali seorang murid tersayang Guru datang dengan seekor burung yang masih hidup. Ia merasa malu hingga menundukkan kepalanya, karena tidak bisa menjalankan perintah gurunya. Maka Sang Guru bertanya kepadanya, (بِمَاذَا لَمْ تَذْبَحْهُ ؟) Apa yang membuat engkau tidak menyembelih seekor burung ini ? Murid itu menjawab 

“أَمَرْتَنِيْ اَنْ تَذْبَحَهُ بِحَيْثُ لَايَرَاهُ اَحَدٌ وَلَمْ أَجِدْ مَوْضِعًا لَايَرَاهُ فِيْهِ اَحَدٌ

Artinya : (Maafkan saya Guru) Guru menyuruh saya menyembelih seekor burung ini, di tempat yang tiada dilihat oleh siapapun, tetapi tiada tempat yang saya dapatkan, yang tiada dilihat oleh seseorang melainkan Allah selalu melihatnya.” Sang Guru berkata bahwa murid yang satu inilah yang benar-benar mengerti tentang muraqabah.

Aku baca pada sebuah “Artikel Berkeislaman dalam Kebudayaan” versi yang lain diceritakanan bahwa :  Suatu saat, Syekh Imam Al Junaid al Bagdadi menyuruh semua santrinya untuk membeli seekor ayam dan sebilah pisau di pasar untuk disembelihnya. Namun Imam Al Junaid memberi syarat bahwa mereka harus menyembelih ayam itu di tempat di mana tak ada yang dapat melihat mereka. Sebelum matahari terbenam, mereka harus dapat menyelesaikan tugas itu. 

Satu demi satu santri kembali ke hadapan Imam Al Junaid, semua membawa ayam yang telah tersembelih. Akhirnya ketika matahari tenggelam, murid muda itu baru datang, dengan ayam yang masih hidup. Santri-santri yang lain menertawakannya dan mengatakan bahwa santri itu tak dapat melaksanakan perintah Syaikh yang begitu mudah.

Imam Al Junaid lalu meminta kepada setiap santri untuk menceritakan bagaimana mereka melaksanakan tugasnya. Santri pertama berkata bahwa ia telah pergi membeli ayam, membawanya ke rumah, lalu mengunci pintu, menutup semua jendela, dan menyembelih ayam itu. Santri kedua bercerita bahwa ia membawa pulang seekor ayam, mengunci rumah, menutup jendela, membawa ayam itu ke kamar mandi yang gelap, dan menyembelihnya di sana. 

Santri ketiga berkata bahwa ia pun membawa ayam itu ke kamar gelap tapi ia juga menutup matanya sendiri. Dengan cara demikian, ia pikir, tak ada yang dapat melihat penyembelihan ayam itu. Santri yang lain pergi ke hutan yang lebat dan terpencil, lalu memotong ayamnya. Santri yang lain lagi mencari gua yang amat gelap dan membunuh ayam di sana.

Tibalah giliran santri muda yang tak berhasil memotong ayam. Ia menundukkan kepalanya, merasa malu karena tak dapat menjalankan perintah guru, dan ia bercerita “Aku membawa ayam ke rumahku. Tapi di rumahku tak ada tempat di mana Dia (AllâhSwt.) telah melihatku. Aku pergi ke hutan lebat, tapi Dia (AllâhSwt.) masih bersamaku. Bahkan di tengah gua yang teramat gelap, Dia (AllâhSwt.) masih menemaniku. Aku tak bisa pergi ke tempat dimana tak ada yang melihatku, aku merasa dimanapun dan kapanpun aku berada di situ selalu ada Dia (AllâhSwt). Demikian jawaban dari santri muda tersebut (Alif.ID)

Rasulullah Muhammad Saw bersabda dalam sebuah hadits Qudsi :

اَللهُ عَزَّ وَجَلَّ يَقُوْلُ فِى الْحَدِيْثِ الْقُدْسِيِّ : عَبْدِىْ أَجْعَلْنِىْ مَكَانَ هَمِّكَ مَا كُنْتَ بِكَ فَأَنْتَ فِى مَحَلِّ بُعْدٍ وَمَا كُنْتَ بِيْ فَأَنْتَ فِى مَحَلِّ الْقُرْبِ فَاخْتَرَ لِنَفْسِهِ.

Artinya : “Hai hamba-Ku, jadikanlah Aku tempat perhatianmu, niscaya Aku penuhi pula perhatianmu itu. Dimana Aku ada karena kemauanmu, maka engkau itu berada di tempat yang jauh dari Aku. Dimana kamu ada karena kehendak Aku, maka engkau itu berada di dekat Aku. Maka pilihlah mana yang lebih baik dari dirimu.”


E. Tingkatan-Tingkatan Muraqabah 

Dalam Kitab Aiqadzul Himam, disebutkan bahwa muraqabah itu telah dibagi kepada tiga (grade) tingkatan antara lain :

أَمْ كَيْفَ يَطْمَعُ أَنْ يَدْخُلَ حَضْرَةَ اللهِ وَهُوَ لَمْ يَتَطَهَّرْ مِنْ جَنَابَةِ غَفَلَاتِهِ الْحَضْرَةُ هِيَ حُضُوْرُ الْقَلْبِ مَعَ الرَّبِّ وَهِيَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ : حُضُوْرُ الْقَلْبِ وَحُضُوْرُ الْأَرْوَاحِ وَحُضُوْرُ الْأَسْرَارِ.

Artinya : Betapa mungkin engkau bisa masuk kekhadirat Allah, sedangkan engkau belum bersih dari janabat kelalaian, al khadirat adalah hadirnya hati beserta Tuhannya, dan ia terbagi kepada tiga macam : -Kekhadiraran hatimu kepada Allah, -Kekhadiraran rohmu kepada Allah dan -Kekhadiraran sirmu kepada Allah.

Para ahli sufi telah merinci mengenai tingkatan muraqabah ini yaitu ada tiga cara antara lain  :

1. Peringatan serta kewaspadaan hati, supaya tidak keluar kekhadirannya kepada Allah Swt dan muraqabah ini dinamakan Muraqabah Qalbi.

2. Kewaspadaan serta peringatan kepada ruh supaya selalu merasa dalam pengawasan serta pengintaian  Allah Swt. Demikian ini dinamakan Muraqabah Ruh.

3. Pengawasan dan peringatan rahasia supaya selalu untuk meningkatkan akan amal ibadahnya serta memperbaiki tingkah lakunya, dan ini yang dinamakan Muraqabah Ruh (Bilqisthi)


PENJELASAN  ULAMA SHUFI TENTANG TIGA GRADE MURAQABAH 

1. Grade Muraqabah Qalbi :  (اَلْمُرَاقَبَةُ الْقَلْبُ) 

Yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap hati agar tidak keluar dari pada kekhadiran dengan Allah Swt. Pada Muraqabah ini yaitu seorang Salik membayangkan bahwa hatinya diletakkan persis dihadapan hati Nabi Muhammad Saw dan berdo'a kepada Allah dengan penuh keimanan dan kerendahan hati "Ya Allah, biarkan anugrah pencerahan tindakan Mu Ya ilahi yang mengalir dari hati Nabi Muhammad Saw ke hati Nabi Adam, mengalir pula ke hatiku."

Kemudian menunggu anugrah Allah dengan ketenangan jiwa serta merasakan bahwa hatinya tenggelam dalam pencerahan tindakan atau af'al ilahi.

2. Grade Muraqabah Roh :  (اَلْمُرَاقَبَةُ الرُّوْحُ)

Yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap roh, agar supaya selalu merasa dalam pengawasan dan pengintaian AllahSwt. Pada Muraqabah ini yaitu seorang Salik membayangkan bahwa berada persis dihadapan roh Nabi Muhammad Saw sambil  berdo'a kepada Allah dengan penuh keimanan dan kerendahan hati "Ya Allah, biarkan anugrah sifat-sifat positif ilahi yang mengalir dari roh Nabi Muhammad Saw ke Nabi Iberahim dan Nuh, mengalir juga ke hatiku."   pencerahan anugrah secara terus menerus akan merasakan bahwa sifat-sifat dirinya hilang dan yang ada hanya sifat-sifat Allah semata.

Shalawat Sayyidul Arwah diambil dari salah satu teman, Riwayat dari Imam As-Syarani, bahwa ada Nabi Saw telah bersabda, yang maksudnya "Barangsiapa mengamalkan shalawat ini, niscaya ia akan melihat aku di dalam tidurnya. Dan barangsiapa melihat aku di dalam tidurnya, niscaya ia juga akan melihat aku di hari qiamat. Dan barang siapa melihat aku di hari qiamat, niscaya ia kuberi syafa'at dan ku beri minum dengan air telagaku pada hari qiamat." yaitu

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى رُوْحِ مُحَمَّدٍ فِى الْاَرْوَاحِ وَعَلَى جَسَدِهِ

فِى الْاَجْسَادِ وَعَلَى قَبْرِهِ فِى الْقُبُوْرِ

Dibaca 100x dimalam Jum'at insya Allah 

3. Grade Muraqabah Sirr        :( اَلْمُرَاقَبَةُ السِّرِّ) 

Yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap sirr, agar selalumeningkatkan amal ibadahnya dan memperbaiki adabnya. Pada Muraqabah ini yaitu seorang Salik membayangkan lathifah sirrnya sendiri berada dihadapan sirr Nabi Muhammad Saw dan berdo'a kepada Allah "Ya Allah, biarkan anugrah potensi-potensi dan esinsi ilahi yang mengalir dari sirr Nabi Muhammad Saw ke sirr Nabi Musa, mengalir juga ke sirrku.

Kitab Ensiklopedi Tasawuf menjelaskan bahwa selain Muraqabah yang tiga dijelaskan diatas, masih ada ayat-ayat al Qur'an yang mengacu kepada Muraqabah, seperti dijelaskan oleh Syekh Mir Valiyuddin :


1. Muraqabah Hudur al Haq  (حُضُوْرُ الْحَقّ اَلْمُرَاقَبَةُ)

Yaitu se orang Salik mengucapkan lafaz : "Allah hadir denganku, Allah melihatku, Allah bersamaku". Dengan lafaz 'Arabnya :

اَللهُ حَضِرِيْ اَللهُ نَظَرِيْ اَللهُ معيْ

Salik merenung dihatinya "Allah hadir bersamaku, Allah melihatku, Allah bersamaku" 

Muraqabah ini dinamai juga Muraqabah al Shafa.  (اَلْمُرَاقَبَةُ الصَّفَى)


2. Muraqabah Af'aliyah (اَلْمُرَاقَبَةُ الْأَفْعَالِيَّةُ)

Muraqabah ini mengacu pada firman Allah pada  surat al 'Alaq ayat 14 :

 اَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللهَ يَرَى  Artinya :"Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya melihat (semua perbuatan hambanya).


3. Muraqabah Ihathah al Wujud :  (اَلْمُرَاقَبَةُ الْإِحَاطَةُ الْوُجُوْدُ)

Muraqabah ini mengacu pada firman Allah pada  Qur'an surat al Nisa ayat 126 

o وَلِلهِ مَا فِى السَّمَوَاتِ وَمَافِى الْأَرْضِ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْئٍ مُحِيْطًا. النساء 126

Artinya : "Kepunyaan Allah lah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi, dan Allah Maha Meliputi segala sesuatu."QS. Nisa 126.

o اَلَآ إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْئٍ مُحِيْطًا. الفوصلات 59

  Artinya : " Dan ketahuilah, Dia meliputi segala sesuatu." QS. Fushilat 59.

4. Muraqabah  Tawallu al Wajah :   (اَلْمُرَاقَبَةُ التَّوَلُّ الْوَجْهُ)                                                                                                                                                                                                 Muraqabah ini mengacu pada firman Allah pada  Qur'an surat al Baqarah ayat 115 yang berbunyi :

وَلِلهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ. البقرة  115

Artinya : " "Dan milik Allah lah timur dan barat, Kemanapun kamu menghadap disana wajah Allah." QS. Al Baqarah 115.

5. Muraqabah Baqa'u Wajhiyah :  (اَلْمُرَاقَبَةُ بَقَاءُ الْوَجْهِيَّةِ)

Muraqabah ini mengacu pada firman Allah pada  Qur'an surat al Rahman ayat 26-27 yang berbunyi :

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُوالْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ. الرحمن 26-27  

Artinya : "Segala sesuatu yang ada dipermukaan bumi ini akan lenyap, kecuali wajah Tuhan Mu yang Memiliki Keagungan dan Kemuliaan". QS. al Rahman 26-27

6. Muraqabah Mulaqiah al Maut : (اَلْمُرَاقَبَةُ مُلَاقِيَّةُ الْمَوْتُ)

Muraqabah ini mengacu pada firman Allah pada  Qur'an surat al Rahman ayat 8  yang berbunyi :

قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِى تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيْكُمْ. الرحمن 8   

Artinya : "Katakan ya Muhammad, sesungguhnya kematian yang kamu hindari, pasti akan menyusulmu."QS. ar Rahman 8  

7. Muraqabah Idrak al Maut : (اَلْمُرَاقَبَةُ إِدْرَاكُ الْمَوْتِ)

Muraqabah ini mengacu pada firman Allah pada  Qur'an surat al Nisa ayat 78 yang berbunyi     : 

أَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتَ وَلَوْكُنْتُمْ فِى بُرُوْجٍ مُشَيَّدَةٍ. النساء 78

Artinya : "Dimanapun kamu berada, kematian akan mencapaimu, sekalipun kamu berada dibenteng yang kuat." QS. an Nisa 78

8. Muraqabah Kasyful Arwah :  (اَلْمُرَاقَبَةُ كَشْفُ الْأَرْوَاحِ)

Muraqabah Kasyful Arwah ini yaitu Muraqabah yang digunakan untuk berhubungan secara bathiniyah dengan roh-roh orang yang sudah meninggal dunia. Dengan cara seorang Salik mandi,  memakai pakaian bersih dan memakai wawangian, kemudian pergi ketempat yang sepi dan duduk di atas sejadah, lalu ia membaca lafaz SUBBUHUN (سُبُّوْحٌ) kemudian dipukulkan pada sisi kanannya, lalu ia membaca lafaz QUDDUSUN (قُدُّوْسٌ) kemudian dipukulkan pada sisi kirinya, Ketika menengadah kelangit, ia mengucapkan lafaz ( رَبُّ الْمَلَائِكَةِ ) RABBUL MALA'IKAH . dan akhirnya memukulkan kata WARROH (وَالرُّوْحِ) pada hatinya. Selanjudnya ia mulai merenung dan memusatkan perhatiannya pada roh orang mati yang ingin dihubunginya.                     

9. Muraqabah Mengatasi Kesulitan Hidup

Muraqabah ini dilaksanakan di sepertiga malam akhir (antara Jam 02.00-05.00 malam). Setelah melaksanakan shalat Tahajjud sebanyak mungkin, maka Salik duduk tegak dengan membaca lafaz (يَا حَيُّ) "YAA HAYYU" sambil memukul-mukul pada sisi kanan, dan membaca lafaz  (يَا وَهَّابُ) "YAA WAHHAAB"sambil memukul-mukul pada sisi selah kiri. Hal ini dibaca sebanyak 1000 kali sambil tafakkur. 

10. Muraqabah Untuk Ketenangan dan Kedamaian Pikiran

Muraqabah ini digunakan untuk menghalau kesangsaraan dalam kehidupan, dengan cara seorang Salik membaca dzikir ismu dzt (الله-الله-الله) " ALLAH, ALLAH, ALLAH," sambil memukulkan pada hatinya, kemudian menutup kedua matanya, seraya mengucapkan lafaz  (لآ)  "LAA" sambil menarik bunyi dari pusar bahu kanan, kemudian ia mengucap lafaz (إِلَهَ) "ILAHA" pada hatinya dengan kuat. Seterusnya ia ucapkan lafaz(اَلْحَيُّ) "ALHAYYU" disisi kanan.


E. PETUNJUK AL QUR'AN TENTANG MURAQABAH DAN CARA PENDEKATAN DIRI SALIK KEPADA ALLAH SUBHANAHU WATA'ALA

Menurut Ensiklopedi Tasawuf (sebuah kitab yang membahas tentang tasawuf) disebutkan bahwa Syekh Mir Valiuddin w.1975, ia mursyid thariqat Qadiriyah telah mendefinisikan muraqabah adalah kesadaran tentang Allah yang senantiasa mengawasi kita disaat kita tenggelam dalam berbagai kesibukan sehari-hari. Allah melihat segala aktivitas kita, baik lahiriyah maupun bathiniyah, termasuk segenap pikiran kita. Dengan menghambat indra lahiriyah maka seluruh indra bathiniyah akan bangkit. Kalau fungsi indra lahiriyah tidak diaktifkan, maka segenaf indra bathiniyah akan mulai berfungsi secara lebih ifisen. Itulah sebabnya muraqabah bathiniyah dipandang sebagai hasil muraqabah lahiriyah, sedangkan muraqabah bathiniyah tidak lain adalah muraqabah bil qalbi (mengawasi dengan hati). Muraqabah bathiniyah mencegah ahti dari pikiran yang tidak berguna dan sia-sia di saat duduk, berbaring, dalam keramaian atau kesendirian. Dalam penempilan lahiriyah, seseorang mungkin tampak sibuk dengan urusan dunia.


A. JENIS DAN PEMBAGIAN MURAQABAH

Syekh 'Ali Ridha radhiyallahu anhu adalah guru Syekh Dr. H. Djalaluddin ini telah menulis dalam Kitab yang bernama "Shahifatus Shafa" bahwa muraqabah itu terbagi kepada enam macam seperti yang dijelasan oleh Syekh Dr.H.Djalaluddin  sebagai berikut :

اَلشَّيْخُ عَلِيٌّ الرِّضَى فِي كِتَابِهِ صَحِيْفَةُ الصِّفَا يُنْقَسَمُ الْمُرَاقَبَةُ عَلَي سِتَّةِ أَقْسَامٍ اَيْ كَذِكْرِهِ الشَّيْخُ جَلَالُ الدِّيْنَ : هِيَ (اَلْمُرَاقَبَةُ) الْمُطْلَقِيَّةُ وَاَلْاَحَدِيَّةُ الْاَفْعَالِيَّةُ وَالْمَعِيَّةُ وَالْاَقْرَبِيَّةُ  وَأَحَدِيَّةُ الذَّاتِ وَذَاتُ الصَّرْفِ وَالْبُحْتِ:

1. MURAQABAH MUTHLAQIYYAH  (اَلْمُرَاقَبَةُ الْمُطْلَقِيَّةُ) 

Diantara dalil yang menyuruh kita mengerjakan atau melaksanakan muraqabah muthlaqiyyah ini seperti sabda Nabi Saw yang berbunyi :

عَوِّدُوْا قُلُوْبَكُمْ وَالتُّرَاقَبَ وَأَكْثِرُوا التَّفَكَّرَ وَالْاِعْبَارَ.رواه الديلمي بسند متصل حسن عن الحكيم عمير رضي الله عنه 

Artinya : "Biasakanlah olehmu akan hatimu akan muraqabah (merasa diawasi) dan banyak-banyaklah olehmu tafakur dan mengambil pelajaran" HR. Dailami.

Adapun muraqabah itu lebih besar nilai dan manfa'atnya dari pada dzikrullah, Fana fillah itu lebih besar nilai dan manfa'atnya dari pada muraqabah, dan Baqa billah itu lebih besar nilai dan manfa'atnya dari pada Fana fillah.

Cara mengerjakan muraqabah muthlaqiyyah ini seperti yang disebutkan oleh Syekh Dr.H.Jalaluddin yang dijelaskan oleh Gurunya pada kitab Shahifatus Shifa ssb :

اَلْمُرَاقَبَةُ مُطْلَقًا اِسْتِبْدَادُ الْعَبْدِ بِاطْلَاقِ الرَّبِّ عَلَيْهِ فِي جَمِيْعِ أَحْوَالٍ

Artinya : Yang dimaksud dengan Muraqabah muthlaq itu adalah berhadap hamba kepada dzat Allah dan bahwa Allah menilik berkekalan dan berkepanjangan kepadanya zahir-batin. Yaitu tidak tersembunyi sesuatu jua dari pada tilik AllahSwt. 

Cara mengerjakan muraqabah muthlaqiyyah yaitu manakala kita ingin beribadah, misalnya Shalat, suasana hening, nafas tenang, maka kita i'tikatkan bahwa Allah melihat / mengintif kepada kita berkekalan dan berkepanjangan.

Diantara dalil Muraqabah muthlaqiyyah itu adalah :

Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi :

أنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَأِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Artinya : Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka bahwasanya engkau merasa dilihat-Nya.

Kesimpulan :

Muraqabah muthlaq yaitu kita i'tikatkan bahwa Allah Swt menilik/ mengintip kepada semua gerak gerik kita zahir – batin yang mana intaian atau intipan Allah itu adalah berkekelan dan berkepanjangan kepada hamba-Nya.

Atau dengan kata lain bahwa kita intip diri kita kepada semua gerak gerik kita zahir – batin itu dirasakan bukan milik kita tetapi milik Allah semata, maka Muraqabah muthlaq itu benar, kena tetapi sebaliknya.

Kalau seseorang telah tahqiq bahwa pekerjaannya zahir – batin itu rasa dilihat oleh Allah Swt, perkataannya rasa didengar oleh AllahSwt, segala  niat dan cita-citanya rasa diketahui oleh Allah Swt, berarti orang tersebut telah melaksanakan muraqabah muthlaq. Disini muraqabah muthlaqiyyah ini harus kita latih terus menerus semampu kita.

2.MURAQABAH AL AHADIYAH AL AF'ALIYAH (اَلْمُرَاقَبَةُ اَلْاَحَدِيَّةُ الْاَفْعَالِيَّةُ) 

Syekh Dr. H. Jalaluddin menjelaskan kepada kita cara muraqabah ahadiyah af’al seperti yang disebutkan dalam Kitab Shahifatus Shafa  yaitu  :

وَاَمَّا اَلْمُرَاقَبَةُ اَلْاَحَدِيَّةُ الْاَفْعَالِيَّةُ فَالتَّوَجَّهُ مَعَ الْاِطْلَاعِ اِلَى الذَّاتِ الْمُتَّصِفَةِ بِجَمِيْعِ الصِّفَاتِ الْكَمَالِيَّةِ وَالْمُنَزَّهِيَّةِ عَنِ النَّقِيْصِ عَلَى الدَّوَامِ عَلَى كُلِّ حَالٍ بِأَحَاطَتِهِ تَعَالَى بِجَمِيْعِ الْوُجُوْدِ وَالْأَشْيَاءِ بِلَا كَيْفَ وَلَا كَمْ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ وَيَتَنَظَّرُ الْفَيْضَ مِنَ الْفِيَاضِ الْمُطْلَاقِ وَمَوْرَهُ الْفَيْضَ هُنَا الْقَلْبُ.

Maksudnya : Adapun cara muraqabah ahadiyah af’al maka berhadap serta mengintip oleh si Hamba kepada Dzat Allah yang bersifat dengan segala kesempornaan dan Mahasuci dari sifat kekurangan atas berkekalan atas tiap-tiap hal keadaan. Meliputi Allah dengan segala sesuatu dengan tidak ada tanya bagaimana adan berapa dan tidak ada seumpamanya Dzat Allah oleh sesuatu jua. Dan menanti oleh si Salik akan limpahan-limpahan karunia dari pada Tuhan yang memberi limpahan karunia  yang mutlak dan adalah tempat limpahan karunia disisi hati sanubari.

Kaifiatnya bahwa si Murid memandang segala perbuatan itu dari pada AllahSwt, yaitu kita pandangan dengan pandangan syuhud (menadang dengan mata hati) dan dilihat dengan mata kepala zahir bahwa segala perbuatan itu dari Allah semata. Membangsakan kepada yang lain akan perbuatan kita, inilah yang dinamakan “Mazazi” (اَلْمَجَازِى)  atau Zahir الظاهر juga bukan pada Haqiqi (اَلْحَقِيْقِيُّ) Sedangkan pada hakekatnya semua perbuatan dari Allah semata, sama ada perbuatan itu dari kita sendiri atau perbuatan itu dari orang lain.

cara mengamalkan muraqabah ahadiyah af’al itu yakni memelihara Jasmani dan Rohani tetep berhadap kepada AllahSwt dan berpaling dari pada yang baharu yaitu Akwan dan Agyar (اَلْأَكْوَانُ وَالْأَغْيَارُ) Disini diri kita dilatih untuk tidak putus Muraqabah ahadiyah af’al minimal ketika melakukan ibadah. Adapun dalil Muraqabah ahadiyah af’al, firman Allah surat as Shafat :

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ*   ... الصفات 96

Artinya : Allah lah yang telah menjadikan kamu, dan apa-apa saja yang akan atau sedang kamu perbuat. QS. Surat as Shafat 96.

Ayat ini mengikat kita akan maknanya yang hakiki dan firman-Nya yang tidak akan berubah. Seseorang yang mendapat inti sari muqarabah ahadiyah af’al, misalnya kalau dia shalat dalam perasaan bukanlah dia yang shalat atau yang memperbuat, tetapi hanyasanya  Allah Swt saja yang berbuat sekehendak-Nya, kita fana ul fana. Inilah maksud dari hadis Nabi Saw yang berbunyi :

لآحول ولاقوة الا بالله العلي العظيم

Artinya : Tidak ada daya dan kekuatan kecuali daya dan kekuatan Allah semata.

Berkata Ahli Sufi : “Jika aku lihat sesuatu yang bergerak dan yang berbuat dimuka bumi ini, selain dari pada perbuatan dan gerak dari Allah semata, maka aku hukumkan diriku dengan murtad.” Hal ini  senada dengan  perkataan,  Syekh Umar bin al Farid ra. Berkata dengan dua bait syairnya

وَلَوْ خَطَرَتْ لِيْ فِى سِوَاكٍ إِرَادَةٌ

عَلَى خَاطَرِيْ سَهْوًا قَضَيْتُ بِرَدَّتِيْ


Artinya :      Andaikata terlintas kilas dalam khatarku,       Getaran hati di dalam dada

atu kehendak yang lain dari pada Mu Ya Tuhan,    Disadari ataupun tidak, 

Wahai celakanya diri ini, remuk hancur dilumur murtad

Dengan pandangan, tanggapan dan anggapan yang keliru ini, menyebabkan anda tidak termasuk dalam golongan Mukmin (Haderanie.HN-Ad Durrun Nafis)

Perkataan Syekh Umar bin al Farid ra. mengindikasi bahwa Beliau benar-benar tidak mengakui adanya iradahnya atau dua iradah yaitu iradah hamba dan iradah Allah selain yang ada hanya iradah Allah Swt semata.Su


3. MURAQABAH AL MA'IYAH   (اَلْمُرَاقَبَةُ الْمَعِيَّةِ)

Aku baca dalam sebuah “Artikel Pemuda TQN Suryalaya dalam status wahyu pertama” dia menulis Yaitu, mengingat Allah Swt dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi akan besertanya Allah Swt didalam setiap bagian-bagian dalam diri kita yang bersifat maknawi (tidak bisa dilihat adanya beserta Allah Swt dalam diri kita).

Kegunaan dari muraqabah Ma’iyyah adalah adalah berharap akan memperoleh anugerah keutamaan Allah dari arah yang enam (atas, bawah, depan, belakang, kanan, dan kiri) dari sifat Jaiz Allah Swt. Dalilnya adalah Firman Allah (QS: al-Hadid [57]: 4).

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : وَهُوَمَعَكُمْ اَيْنَماَكُنْتُمْ *  الحديد 4

Artiya : “Allah secara maknawi itu bersama, dimanapun kalian berada”

(QS: al-Hadid [57]: 4

Muraqabah Ma'iyah (اَلْمُرَاقَبَةُ الْمَعِيَّةِ) disini adalah si Hamba merasakan dirinya zahir batin selalu bersama dengan Allah atau berserta Allah, kemana saja ia pergi, dimana saja ia berada. Baik pendengaran, penglihatan, keinginan atau kehendak, perkataan bahkan pemikiran dan nafsunya selalu disertai AllahSwt. 

Bila si Hamba sudah mendapatkan nur Iman, nur Islam, nur Tauhid, nur Ma'rifah dan nur Hidayah sehingga tidak terdinding pendengaran, penglihatan mata batinnya dari Timur dan Barat.

Manakala dzikir ismu dzat (اَللهُ - اَللهُ)  menurut Syekh Ahmad Shohibulwafa bahwa pada mulanya Rasulullah SAW mentalqinkan dzikir ismu dzat ini kepada shahabat Saidina Abu Bakar r.a secara rahasia (mengisikan pada perasaannya) ketika berada dalam Gua Thur dalam perjalanan Hijrah ke Madinah dan inilah zikir yang boleh meresap teguh sampai ke dalam hati. Baginda Rasulullah SAW memuji Saidina Abu Bakar r.a. bukan kerana banyak puasa dan shalat tetapi kerana sesuatu yang terhunjam dalam hatinya.

Syekh Dr.H.Jalaluddin berkata bahwa : "Hendaklah kita talqinkan muraqabah ma'iyah ini seperti yang tersebut dalam kitab Shahifatus Shifa' yaitu : 

اَلْمُرَاقَبَةُ الْمَعِيَّةِ وَهِيَ التَّوَجُّهُ إِلَى الذَّاتِ بِاَنْ يَطْلُعَ مَعْنَى الْحَقِيْقِيِّ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ  بِحَقِيْقَةِ  الْحَالِ وَيَتَنَظَّرُ الْفَيْضُ الْمُطْلَقُ.

Maksudnya : Muraqabah ma'iyah itu berhadap oleh seorang Hamba kepada dzat AllahSwt, bahwa Allah menilik atau mengintip si Hamba akan ma'na hakikinya (menyertainya). Seperti firman Allah ta'ala   “ Dan Dia (Allah) beserta kamu dimanapun kau berada.” Dengan hakikat keadaan selalu memandang kepada Hamba secara muthlaq.

Seperti Firman Allah Swt :وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ ...  “Dia lah Dzat Allah, serta kamu dimana saja kamu berada”  (dengan hakikat gerak dan diam si Hamba) dan menanti akan limpahan karunia dari pada Tuhannya yang sangat memberi limpahan yang mutlak.

Di antara dalil-dalil ayat Al Qur’an dan Hadis Nabi Saw yang menunjukkan mengerjakan muraqabah maiyah antara lain :

a. Firman Allah pada Surat  Al Hajj ayat 76 :

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : وَاعْتَصِمُوْا بِاللهِ*  ....  سورة الحج 76

Artinya : “Berpeganglah kalian semua, berserta Allah, ...”

b. Firman Allah pada Surat  An Nisa ayat 176 :

وَقَوْلُهُ تَعَالَى :  فَأَمَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا بِاللهِ وَاعْتَصِمُوْا بِهِ* .... النساء 176

Artinya : “Adapun orang-orang yang beriman dengan Allah, mereka berpegang teguh beserta-Nya.” QS An Nisa 176.

c. Sabda Nabi Muhammad Saw yang berbunyi :

قال رسول الله (ص) أعوذ بالله من الشيطان الرجيم

Artinya : Rasulullah Saw telah bersabda “Aku berlindung kepada Allah dari pada kejahatan Syaithan yang amat terkutuk.”

d. Firman Allah pada Surat  Al Hadid  ayat 4 yang berbunyi :

وَقَوْلُهُ تَعَالَى :  وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ ... الحديد 4

Artinya : “Dia (Allah) itu beserta kamu dimana saja kamu berada, dan Allah itu mengetahui dengan apa saja yang kamu kerjakan (amat melihat).

e. Firman Allah pada Surat  At Taubah ayat  yang berbunyi :

.... وَلَاتَحْزَنْ إِنَّ اللهَ مَعَنَا  ... التوبة

Artinya : “Janganlah Engkau merasa takut, karena sesungguhnya Allah beserta kita.”

4. MURAQABAH AQRABIYAH  (اَلْمُرَاقَبَةُ الْاَقْرَبِيَّةُ)

Adapun muqarabah aqrabiyah ini seperti yang dikatakan oleh Syekh Dr.H.Jalaluddin yang disebutkan dalam kitab Shahifatus Shafa yaitu :

أَمَّاالْمُرَاقَبَةُالْاَقْرَبِيَّةُ بِمَعْنَى الْحَقِيْقِى اَلْبَاطِنُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ. وَهِيَ التَّوَجُّهُ إِلَى الذَّاتِ بِاطْلَاعِ اَقْرَبِيَّتِهَا إِلَى السَّالِكِ مِنَ الذَّاتِهِ الْمَوْهُوْبِ وَمِنْ رُوْحِهِ الْمَرْغُوْبِ وَ يَنْتَظِرُ الْفَيْضَ وَمِنَ الْفَيْضِ الْمُطْلَقِ وَموْرِدِ الْمُفِيْضِ نَفْسِ الرَّاضِيَّةِ فِى إِسْمِ الْبَاطِنِ

Adapun yang dimaksud muqarabah aqrabiyah dengan makna Hakiki yang batin, seperti Firman AllahSwt “Dan Kami lebih dekat kepadanya (Manusia) dari pada urat lehernya”. Sangat hampir Dzat Allah, sangat dekat dzat Allah kepada si Hamba dari pada dzat yang mauhub (dzatnya yang diberikan (ذّاتُهُ الْمَوْهُوْبُ) dan rohnya yang Margub  (رُوْحِهِ الْمَرْغُوْبِ) yaitu Roh yang dikasihani. Dan menanti oleh si murid akan limpahan dari pada Allah beberapa limpahan mutlak. Dan tempat datangnya limpahan disini pada Nafsu Radhiyah  (نَفْسُ الرَّاضِيَّةِ)  pada nama batin.

Allah Swt berfiman Al Baqarah ayat 186 bahwa Dia sangat dekat dengan Hambanya.  Ada ungkapan bahwa “ Jauh tidaklah berjarak dan dekat tidak tersentuh,” inilah tentang kedekatan Allah dengan dengan Hambanya.

o وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَإِنِّيْ قَرِيْبٌ أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ  البقرة 186

Artinya :"Jika hamba-Ku bertanya kepadamu (Ya Muhammad) tentang diri Ku (katakan) bahwa sesungguhnya Aku dekat, Aku mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."

Perlu kita ingatkan bahwa kalau berhajat hendaklah kita berhampir diri kepada AllahSwt, maka Allah pun hampir pula kepada kita, seperti hadis qudsi yang berbunyi :

o إِذَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ الْعَبْدُ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ ذِرَاعًا وَإِذَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا وَإِذَا أَتَانِى مَشْيًا أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً.

Maksudnya : “Apabila telah hampir kepada Aku oleh seorang hamba sejengkal, maka aku hampir kepadanya sehasta. Apabila seorang hamba hampir kepada Aku sehasta, maka Aku hamper kepdanya sedepa. Dan apabila ia datang kepada Aku berjalan, niscaya Aku datang kepadanya berlari.

Tegasnya kita dengan Allah hampir menghampiri yang akhirnya berhampiran.

Syeikh Ahmad Khatib Syambas ibnu Abdul Ghaffar dalam kitab Fathul 'Arifin menyatakan Muraqabah Aqrabiyyah yaitu, mengawasi/mengintai-intai sesungguhnya AllahSwt itu lebih dekat kepada kita dibandingkan pendengaran kuping kita, penglihatan mata kita, penciuman hidung kita, perasa lidah kita, dan pikiran hati kita. Dalam arti Allah itu lebih dekat dibandingkan dengan seluruh anggota tubuh kita yang bersifat maknawi. Kita memikirkan semua makhluk yang diciptakan oleh AllahSwt, seperti manusia dan hewan yang berada diatas bumi, yang terbang di awang-awang, semua makhluk yang berada didalam laut. Mengingat alam yang berada di atas, seperti langit lapis tujuh beserta isi-isinya (bulan, matahari,bintang, mega, dll), alam yang berada di bawah, seperti bumi yang lapis tujuh beserta isi-isinya (lautan, gunung, pepohonan, daun-daunan, tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam, dll). Dalilnya firman Allah Swt yang berbunyi  :

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : وَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ* ق 16

Artinya :“Aku (Allah) itu lebih dekat terhadap hamba-hamba-Ku dibandingkan dengan urat leher manusia”. (QS: Qaaf [50]:16)

Kegunaan dari muraqabah Aqrabiyyah adalah mengharapkan anugerah Allah kepada halus-halusnya otak yang berhubungan dengan lathaif yang lima yang berada di dalam dada yang dinamakan ‘Alam al-Amri. ‘Alam al-Amri adalah lokasi ijazahnya guru kepada murid. Adapun lafadz ijazahnya adalah:

اَلْبَسْتُكَ خِـرْقَةَالْفَقِـيْرِيَّةِ الصُّوْفِـيَّةِوَاَجَزْتُكَ اِجاَزَةًمُطْلَـقَةًلِلْاِرْشَادِوالْاِجَازَةِوَجَعَلْتُكَ خَلِيْفَةً

Artinya “Aku pakaikan pakaian yang hina yang murni, dan aku ijazahkan kepadamu secara mutlak untuk dijadikan petunjuk dan ijazah dan kau kujadikan khalifah (pengganti)”


Kemudian si murid menjawab: (قَبِلْتُ وَرَضِيْتُ عَلَى ذلِكَ.)


“Saya menerima, ridho atas ijazahnya guru kepadaku”


Maka murid sudah menjadi khalifah kecil. Inilah akhir dari wilayah shughra (wilayah kecil) dan permulaan wilayah kubra (wilayah besar).


5. MURAQABAH AHADIYAH AL DZAT  (اَلْمُرَاقَبَةُ أَحَدِيَّةُ الذَّاتِ)

Adapun muqarabah aqrabiyah ini seperti yang dikatakan oleh Syekh Dr.H.Jalaluddin yang disebutkan pada kitab Shahifatus Shafa كتاب صحيفة الصفا  yaitu :

اَلْمُرَاقَبَةُ أَحَدِيَّةُ الذَّاتِ  وَهِىَ التَّوَجُّهُ إِلَى الذَّاتِ الْأَحَدِ الصَّمَدِ الْقَيُّوْمِ وَالْإِنْتِظَار لِلْفَيْضِ مِنَ الْفَيَاضِ الْمُطْلَقِ وَموْرِدُ الْفَيْضِ النَّفْسُ الرَّاضِيَّةُ العَنَاصِرُ الثَّلَاثُ غَيْرُ التُّرَابِ

Maksudnya : Adapun yang dimaksud muraqabah ahadiyah dzat adalah berhadap atau bertawajjuh oleh murid kepada dzat yang maha esa, dzat yang maha kaya, dzat yang maha bekuasa atau dzat yang berdiri dengan sendirinya. Menanti si murid akan limpahan dari pada limpahan yang mutlak. Bermula tempat datangnya limpahan disini adalah pada nafsu mardiyah (nafsu yang dirida’i Allah) dan kejadian yang tiga (Air. Api dan Angin) bukan anasir pada tanah.

Adapun dalil tentang itu yaitu berdasarkan firman AllahSwt pada surat al Ikhlash :

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ  ... سورة الإخلاص 1

Artinya : “Katakanlah olehmu ya Muhammad Saw, bahwa Dzat Allah itu Esa.

Jadi sangat jelas sejelas-jelasnya, sangat terang seterang-terangnya, artinya terang semata-mata, sangat hitam artinya hitam semata-mata. Muraqabah Ahadiyah Dzat disini bahwa mengintip atau mengintai oleh si murid ....... bersangatan Esa Dzat Allah, wujud Allah yaitu tidak ada yang ADA pada hakiki hanya satu Dzat AllahSwt semata.

Syeikh Ahmad Khatib Syambas ibnu Abdul Ghaffar dalam kitab Fathul 'Arifin menyatakan Muraqabah Ahadiyah yaitu, mengingat AllahSwt dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi dalam Zat, Sifat, dan Af’al-Nya, dan mengingat sifat kamal, Muhal dan Naqis-Nya Allah Swt; mengingat Sifat 20 yang wajib bagi Allah beserta sifat Muhal bagi Allah Swt. Kegunaan dari muraqabah ini adalah berharap akan memperoleh anugerah keutamaan Allah dari arah yang enam (atas, bawah, depan, belakang, kanan, dan kiri) dari sifat Jaiz Allah Swt.

Penyusun Umdatul Hasanah ..... hanya berdo’a semoga Jama’ah kita thariqat al Qaum al Junaidiyah selalu mendapatkan petunjuk-petunjuk dari AllahSwt dan juga semoga mendapatkan bimbingan dari Muhammad Rasulullah Saw, hingga kita dapat memahami dan merasakan apa saja yang dikehendaki dengan Muraqabah Ahadiyah Dzat pada Bab ini, aamiin-aamiin yaa Rabbal aalamiin.  


6. MURAQABAH  DZAT AL SHARFI WAL BUHTI  (اَلْمُرَاقَبَةُ ذَاتُ الصَّرْفِ وَالْبُحْتِ)

Adapun muqarabah dzat al sharfi wal bukhti  ini seperti yang dikatakan oleh Syekh Dr.H.Jalaluddin yang disebutkan pada kitab Shahifatus Shafa  yaitu :

 اَلمَقْصُوْدُ : مُرَاقَبَةُ ذَاتِ الصَّرْفِ وَالْبُحْتِ فِى كِتَابِ صَحيْفَةِ الصَّفَا مُرَاقَبَةُ الذَاتِ الصَّرْفِ وَالْبُحْتِ هِيَ التَّوَجُّهُ إِلَيْهِ مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ مَنْشِأٌ كَمَالَاتُ النُّبُوَّةِ وَالرِّسَالَةِ وَاُولِى الْعَزْمِ وَمُبْتَدَأُ الْحَيِّ الْقَيُّوْمِ بِذَاتِهِ وَالْفَيْضُ مِنَ الْفِيَاضِ الْمُطْلَقِ وَمَوْرِدُ الْفَيْضِ هُنَا نَفْسُ الْعُبُوْدِيَّةِ وَعَنْصَرُ التُّرَابِ وَفِيْهَا مَقَامَاتٌ اُولِى الْعَزْمِ وَ مِنْهَا مَقَامُ الْخُلَّةِ وَالْإِنْسِ وَهُوَ خَقِيْقَةُ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ.

Maksudnya :Yang dikatakan muqarabah dzat al sharfi wal bukhti adalahhendaklah si Murid berhadap/bertawajjuh kepada Dzat AllahSwt yang amat suci, yakni Dzat Allah semata-mata. Bahwasanya muraqabah itu bertawajjuh kepada Dzat Allah semata-mata. Yaitu akan menimbulkan kesempurnaan pengikat kenabian adan pengikat kerasulan dan juga pengikat ‘ulul ajmi ( Nabi Nuh, Nabi Ibrahim. Nani Musa, Nabi Isa dan Nabi besar Muhammad Saw) dan muraqabah ini pengikat permulaan yang hidup berdiri dengan sendirinya (الحي القيوم) dengan dzat Allah semata-mata. Oleh karenanya pengikat kesempurnaan itu ialah mendapat limpahan mutlak dari beberapa limpahan mutlak. Dan tempat datangnya limpahan disini yaitu pada nafsu ubudiyah dan anasir tanah. Padanya ada beberapa makam ulul ajmi, setengah dari padanya yaitu makam bersahabat dengan AllahSwt dan makam berjinak-jinak dengan AllahSwt. Makam bersahabat dan berjinak-jinak dengan Allah ini adalah Nabi Ibrahim dan Nabi kita Muhammad Saw.

Adapun muqarabah dzat al sharfi wal bukhti  ini adalah sebenar-benar DIRI atau hakekat Diri atau Nurani manusia yang masih tergantung di dalam ganggaman Dzat AllahSwt, yaitu Nurani sebelum terjadi atau sebelum terpancar dari aslinya. Muraqabah disini seorang murid bertawajjuh-berhadap kepaada Dzat AllahSwt semata-mata,  dengan meng’itikatkan bahwa Dzat Allah itu telah meliputi segala sesuatu. Dengan bahasalain bahwa Dzat AllahSwt itu telah mesra ia terhadap segala sesuatu.

Muraqabah yang keenam ini adalah inti sari (mutiara) dari segala muraqabah yang lima macam di atas. Hendaklah si murid menanti limpahan dari Dzat AllahSwt yang mutlak. Kemudian kita pandang dengan insaf (secara sadar) dan i’tibar yang jazam bahwa segala wujud sesuatu atau alam, baik alam sugra dan alam kubra adalah terbit dari pada dzat AllahSwt, sifat AllahSwt, fi’il AllahSwt dan asma AllahSwt, semata-mata tiada ada wujud yang hakekatnya selain dari pada Dzat-Nya.

Pengamal thariqat al Junaidiyah (thariqat al Qaum) yang dirahmati oleh AllahSwt, perlu Anda ketahui bahwa ke enam tingkat dari tingkatan muraqabah yang telah dijelaskan di atas, telah tersimpul dalil-dalilnya atau unsur-unsurnya pada Firman AllahSwt surat al Hadid ayat ke 3 yaitu berbunyi

هُوَ الْأَوَّلُ وَالْأَخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْئٍ عَلِيْمٌ ... الحديد 3

Artinya : “Dia lah yang awwal dan Dia pula yang akhir, Dia lah Dzat yang zahir dan yang batin, dan Dia Dzat yang maha mengetahui dengan segala sesuatu.”

 Maksud yang Awwal disini adalah Dia yang telah ada sebelum segala sesuatu ada. Maksud yang Akhir adalah Dia yang tetap ada, setelah segala sesuatu musnah. Yang Zahir dengan segala dalil, dan yang Bathin adalah Dia yang didapati oleh Nur hati dan yang tersembunyi dicari dengan khawas (pancaindra) atau 5 indra Batin. Maka Huwal Awwalu (هُوَ الْأَوَّلُ) itu adalah ibarat martabat Dzat AllahSwt yang qadim  (ذات الله القديم), wal Akhiru  (وَالْأَخِرُ) itu adalah ibarat martabat Sifat AllahSwt (صفات الله) dan waz Zhahiru itu adalah ibarat martabat Af’alullah (أفعال الله). Dan 



CARA BERMURAQABAH MURID THARIQAT AL JUNAIDIYAH (THARIQATUL QAUM)

Muraqabah dari ke enam macam yang disebutkan terdahulu, telah terkandung didalamnya Tawajjuh Muthlaq itu sendiri adalah pengembalian atau penyerahan diri dari tiga macam unsur. Unsur yang pertama pengembalian Batang Tubuh Murid, disini batang tubuh murid telah pana-sirna dalam artian hakekat. Yang kedua pengembalian hati, disini hati adalah terminal yang mampu menembus dua alam, yakni alam material dan alam non material, alam nyata dan alam ghaib, alam sugra dan alam kubra. Yang ketiga pengemblian Rohaniyah kepada AllahSwt. Yang dimaksud Rohaniyah disini melipti 7 sifat yang dititip Allah kepada manusia yaitu (قَدِيْرٌ) sifat Qaadirun, (مُرِيْدٌ) sifat Muriidun, (عَالِمٌ) sifat Alimun, (حَيٌّ) sifat Hayyun, (سَمِيْعٌ) sifat Sami’un, (بَصِيْرٌ) sifat Bashirun dan (مُتَكَلِّمٌ) sifat Mutakallimun.  Ke tujuh sifat itu disebut sifat ma’anawiyah  (صفة الْمَعانَوِيَّةِ), tujuh sifat ini dinamakan juga Rohani Insani (الرُّوْحَانِى الإِنْسَانِى), ia selalu berhubungan dan terikat dengan Tuhannya dan ia mengikuti titah Tuhan. Sabda Nabi Muhammad Saw berbunyi :

قَالَ النَّبِيُّ (ص) اَلرُّوْحَانِى تَعَلَّقَ إِلَى الرُّوْحِ الْإِضَافِى ... الحديث

 Artinya : “Rohani Insani  itu selalu berhubungan, terkait dengan Roh Idhafi.”

اَلرُّوْحُ الْإِضَافِى مَعَ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَهُوَ نَفْسُ مُحَمَّدٍ

Artinya : “Roh Idhafi itu bersama Allah ajja wajalla dan dia adalah nyawanya Muhammad”.

Barangkali inilah pengembalian dan penyerahan yang dimaksudkan dari Firman Allah yang berbunyi :

Artinya : “Sesungguhnya kami ini kepunyaan Allah, milik Allah semata. Dan sesungguhnya kami benar-benar menyerahkan diri, kembali kepada-Nya.”

Di ayat ini Insan yang beriman benar-benar mengakui, bahwa mereka adalah Mazaji, namun hakekat yang sebenarnya adalah Allah yang tahu. Maksud manusia itu Mazaji, diambil contoh misalnya dalam Pewayangan, manusia itu wayangnya (ia kulit kambing kering yang diberi bentuk wayang misalnya “Arjuna”). Ia bisa bergerak, bisa diam dan berkata-kata, berkeluarga dll, namun dalam kenyataannya semua itu terbit dari Kidalang. Kesimpulan setelah diserahkan, dikembalikan ke-3 unsur dimaksud secara hakekat, maka Salik dalam keadaan mati hissi atau Fana ul fana. Manakala ia melontarkan kalimah “Allah” kearah tubuhnya, maka ia benar-benar masuk dalam makam (بقاء بالله)Baqa u billah. 

Adapun cara Muraqabah bagi Murid thariqat al Qaum atau thariqat al Junaidiyah yang disebutkan Penyusun Umdatul Hasah sebagaimana yang dijelaskan dalam ktiab Sirajut Thalibin juz ke-1 antara lain :

وَفِى هَذِهِ الْمُرَاقَبَةِ يحصل له مقام الفناء فى الفناء وينتفى الحالات وتثبت المقامات. وَاَمَّا كَيْفِيَةُ الْمُرَاقَبَةِ فَاَنْ يَكُوْنَ السَّالِكُ طَاهِرَ  الظَّاهِرِ واَلْبَاطِنِ وَالْمَكَانِ حَاضِرَ الْقَلْبِ مَعَ اللهِ مَرْفُوْعًا عَنِ الْوَسَاوِسِ وَالْخَيَالَاتِ مَحْفُوْظًا عَنْ سَائِرِ الْمَشُوْشَاتِ يَجْلِسُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ (جلوس التقديم على الجنيدية) غَامِضِ الْعَيْنَيْنِ مُتَبَرِئًا عَنْ حَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ نَاسِيًا جَمِيْعَ عِلْمِهِ ومعرفته معطلا حواس ظاهره وقوى باطنه ثم يتوجه بالقلب المطلق مع الجذبة الإلهية إلى جانب ذات الحق على طريقة الإستهلاك فيه حتى يزول عنه تزاحم الخواطر الكلية وتغلب روحانية على جسمانية ولا ينفك عن هذه الحالة. فإذا استقرت وكانت له كالصفة الأزمة امكان له الإستقامة والتقرب بسائر الأعمال* سراج الطالبين

Pada muraqabah ini (pengamatan ini) hasillah baginya (mendapatkan) makam fana ul fana, dan pada makam itu menafikan semua hal keadaan dan tetep berada pada mukamat (makam) itu. Adapun cara mengamati (muraqabah), Hal keadaan Salik  suci-bersih lahiriah, batiniah dan tempat itu, hal keadaan hadir hatinya bersama AllahSwt, terangkat dari bisikan-bisikan dan bersih dari khayalan-khayalan, terjaga dari godaan-godaan. Ia duduk di atas lutut, menghadap arah kiblat, (duduk taqdim ala Junaidiyah) dan kedua matanya tertutup, bebas dari gangguan disekelilingnya dan kekuatan dirinya, melupakan semua ilmu dan pengetahuannya, kosong fikran zahirnya dan kekuatan batinnya.  Kemudian ia bertawajjuh (berhadap) dengan hati secara mutlak disertai tarikan ketuhanan kearah Dzat yang Haqq atas jalan peleburan (الإستهلاك) pada Dzat itu. Sehingga hilang dan menyempitlah dari padanya rasa khawatir yang biasanya bersarang pada rohaniah atas jasmaniah dan tiada menafikan atas hal keadaan ini. 


NAMA-NAMA LAIN DARI HATI ATAU KALBU

Mari kita lihat nama-nama hati yang disebutkan oleh Syekh Dr. Jalaluddin dalam bukunya Sinar Keemasan, memang dalam Al Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad Saw nama Hati sangatlah banyak. Diantaranya yang telah dikatakan Ahli Thariqat Sufiyah nama-nama Hati itu antara lain :

1. Sebenar-benar Hati adalah Rohani

2. Sebenar-benar Hati adalah  Sanubari

3. Sebenar-benar Hati adalah  Nyawa

1. Sebenar-benar Hati adalah  Akal

2. Sebenar-benar Hati adalah  Diri yang Bathin

3. Sebenar-benar Hati adalah  Sukma

4. Sebenar-benar Hati adalah  Nafsu

5. Sebenar-benar Hati adalah  Rahasia

6. Sebenar-benar Hati adalah  Jufi (Rongga)

7. Sebenar-benar Hati adalah  Shudur (Dada)

8. Sebenar-benar Hati adalah  Qalbi

9. Sebenar-benar Hati adalah  Fuad

10. Sebenar-benar Hati adalah  Syagafa

11. Sebenar-benar Hati adalah  Insan

12. Sebenar-benar Hati adalah  Sirr

13. Sebenar-benar Hati adalah  Nurullah

14. Sebenar-benar Hati adalah  Nur Muhammad (Nur Baginda Rasulullah)

15. Sebenar-benar Hati adalah  Alam Muluk (Alam Malaikat)

16. Sebenar-benar Hati adalah Alam Malakut

17. Sebenar-benar Hati adalah  Alam Nasut

18. Sebenar-benar Hati adalah  Alam Jabarut

19. Sebenar-benar Hati adalah  Alam Lahut

20. Sebenar-benar Hati adalah  Luhmahfudz (Papan Tertulis yang terpelihara)

21. Sebenar-benar Hati adalah  ‘Arasy (Kursiy)

22. Sebenar-benar Hati adalah  Alamul ‘Amar

23. Sebenar-benar Hati adalah  Alamul Khaliq

24. Sebenar-benar Hati adalah  Lathifaturrabbaniyah

25. Sebenar-benar Hati adalah Tempat Tertulis Kalimah Allah, Allah

26. Sebenar-benar Hati adalah Tempat Tertulis Kalimah Laa-ilaaha-illallah

27. Sebenar-benar Hati adalah Cermin Tajalli Asma Allah (Mati Ma’nawi)

28. Sebenar-benar Hati adalah Cermin Tajalli Kalimah Laa-ilaaha-illallah

29. Sebenar-benar Hati adalah Cermin Tajalli Af’alullah (Mati Thabi’i)

30. Sebenar-benar Hati adalah Cermin Tajalli Sifatullah (Mati Suri)

31. Sebenar-benar Hati adalah Cermin TajalliDzatullah /Mati Hissi (Jalaluddin.1960)


20 MACAM JENIS MURAQABAH DALAM KITAB FATHUL ‘ARIFIN

Menurut Artikel Pemuda TQN Suryalaya dalam status wahyu pertama” dia pernah menulis dan menjelaskan bahwa  Syeikh Ahmad Khatib Syambas bin Abdul Ghaffar Rahimahullah  Beliau telah yang menggabungkan beberapa jenis thariqat sufi ke dalam thariqatnya, salah satu dari thariqat yang digabungkan dimaksud adalah thariqat al-Junaidiyah, dengan nama  Thariqat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah, terutama pembagian muraqabah. Hal ini dituangkan dalam kitab Fathul 'Arifin dikatakan bahwa ada 20 macam jenis muraqabah :


1. Muraqabah Ahadiyah (اَلْمُرَاقَبَةُ الْاَحَدِيَّةُ)

Muraqabah Ahadiyah adalah mengingat Allah Swt dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi dalam Zat, Sifat, dan Af’al-Nya, dan mengingat sifat kamal, Muhal dan Naqis-Nya Allah Swt; mengingat Sifat 20 yang wajib bagi Allah beserta sifat Muhal bagi Allah  Swt.

Kegunaan dari muraqabah ini adalah berharap akan memperoleh anugerah keutamaan Allah dari arah yang enam (atas, bawah, depan, belakang, kanan, dan kiri) dari sifat Jaiz Allah Swt. Dalil dari muraqabah Ahadiyah adalah berdasarkan Firman Allah Taala :

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : قُلْ هُوَاللهُ اَحَدٌ* الاخلاص 1

Artinya “Katakanlah sesungguhnya Allah itu adalah Zat yang Maha Esa”.

(QS. Al Ikhlas[112]: 1)


2. Muraqabah Ma’iyyah (اَلْمُرَاقَبَةُ الْمَعِيَّةُ)

Muraqabah Ma’iyyah yaitu mengingat Allah Swt dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi akan besertanya Allah Swt didalam setiap bagian-bagian dalam diri kita yang bersifat maknawi (tidak bisa dilihat adanya beserta Allah Swt dalam diri kita).

Kegunaan dari muraqabah Ma’iyyah adalah adalah berharap akan memperoleh anugerah keutamaan Allah dari arah yang enam (atas, bawah, depan, belakang, kanan, dan kiri) dari sifat Jaiz AllahSwt. Dalilnya Firman Allah Swt adalah,

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : وَهُوَمَعَكُمْ اَيْنَماَكُنْتُمْ* الحديد 4


Artinya : “Allah secara maknawi itu bersama, dimanapun kalian berada”

(QS: al-Hadid [57]: 4)


3. Muraqabah Aqrabiyyah (اَلْمُرَاقَبَةُ الْاَقْرَبِيَّةُ)

Muraqabah Aqrabiyyah adalah  mengawasi/mengintai-intai sesungguhnya Allah Swt itu lebih dekat kepada kita dibandingkan pendengaran kuping kita, penglihatan mata kita, penciuman hidung kita, perasa lidah kita, dan pikiran hati kita. Dalam arti Allah itu lebih dekat dibandingkan dengan seluruh anggota tubuh kita yang bersifat maknawi. Kita memikirkan semua makhluk yang diciptakan oleh Allah Swt, seperti manusia dan hewan yang berada diatas bumi, yang terbang di awang-awang, semua makhluk yang berada didalam laut. Mengingat alam yang berada di atas, seperti langit lapis tujuh beserta isi-isinya (bulan, matahari,bintang, mega, dll), alam yang berada di bawah, seperti bumi yang lapis tujuh beserta isi-isinya (lautan, gunung, pepohonan, daun-daunan, tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam, dll). Dalilnya Firman Allah Swt berbunyi :

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : وَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ* ق 16

Artinya : “Aku (Allah) itu lebih dekat terhadap hamba-hamba-Ku dibandingkan dengan urat leher manusia”. (QS: Qaaf [50]:16) 


Mempaat dan kegunaan dari muraqabah Aqrabiyyah adalah mengharapkan anugerah Allah kepada halus-halusnya otak yang berhubungan dengan lathaif yang lima yang berada di dalam dada yang dinamakan ‘Alam al-Amri. ‘Alam al-Amri adalah lokasi ijazahnya guru kepada murid. Adapun lafadz ijazahnya adalah:

اَلْبَسْتُكَ خِـرْقَةَالْفَقِـيْرِيَّةِ الصُّوْفِـيَّةِوَاَجَزْتُكَ اِجاَزَةًمُطْلَـقَةًلِلْاِرْشَادِوالْاِجَازَةِوَجَعَلْتُكَ خَلِيْفَةً.*

Artinya : “Aku pakaikan pakaian yang hina yang murni, dan aku ijazahkan kepadamu secara  

                 mutlak untuk dijadikan petunjuk dan ijazah dan kau kujadikan khalifah  

                 (pengganti)”

Kemudian si murid menjawab :

قَبِلْتُ وَرَضِيْتُ عَلَى ذلِكَ.

Artinya : “Saya menerima, ridha atas ijazahnya guru kepadaku”


Maka murid sudah menjadi khalifah kecil. Inilah akhir dari wilayah shughra (wilayah kecil) dan permulaan wilayah kubra (wilayah besar).



4. Muraqabah al-Mahabbah fi al-Daerah al-Ula ()

Muraqabah al-Mahabbah fi al-Daerah al-Ula ini adalah mengingat Allah Swt dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi akan kecintaan Allah Swt kepada kita makhluk-Nya yang beriman dengan menganugerahkan ridha dan pahala kepadanya, dan kecintaan kita makhluk-Nya yang beriman kepada Allah dengan bersungguh-sungguh dalam beribadah mendekatkan diri kepada-Nya didalam maqam yang pertama, serta mengingat asmaul husna yang berjumlah 99, mengingat kepada keabadian Allah yang tidak berujung atau berpangkal.

Kegunaan muraqabah al-Mahabbah fi al-Daerah al-Ula adalah berharap akan anugerah Allah kepada lathaif nafs (halusnya otak yang terletak ditengah-tengahnya kedua belah mata dan kedua belah alis).


5. Muraqabah al-Mahabbah fi al-Daerah al-Tsaniyyah ()

Muraqabah al-Mahabbah fi al-Daerah al-Tsaniyyah disini maksudnya mengingat Allah Swt dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi akan kecintaan AllahSwt kepada kita makhluk-Nya yang beriman dengan menganugerahkan ridha dan pahala kepadanya, dan kecintaan kita makhluk-Nya yang beriman kepada Allah dengan bersungguh-sungguh dalam beribadah mendekatkan diri kepada-Nya didalam maqam yang kedua, serta mengingat-ingat Sifat Allah yang ma’ani dan ma’nawiyyah.

Manfaat muraqabah al-Mahabbah fi al-Daerah al-Tsaniyyah adalah berharap akan anugerah Allah kepada lathaif nafs.


6. Muraqabah al-Mahabbah fi al-Daerah al-Qausi

Muraqabah al-Mahabbah fi al-Daerah al-Qausi adalah mengingat Allah Swt dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi akan kecintaan AllahSwt kepada kita makhluk-Nya yang beriman dengan menganugerahkan ridha dan pahala kepadanya, dan kecintaan kita makhluk-Nya yang beriman kepada Allah dengan bersungguh-sungguh dalam beribadah mendekatkan diri kepada-Nya didalam maqam yang lebih dekat yang dipribahasakan dengan kadar se-bendera (isyarat kepada hal yang dekat sekali). 

Kegunaan muraqabah al-Mahabbah fi al-Daerah al-Tsaniyyah adalah berharap akan anugerah Allah kepada lathaif nafs). Dalilnya ketiga muraqabah diatas, Firman Allah adalah:

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : يُحِبُّنَهُمْ وَيُحِبُّوْ نَهُ* المائدة 54

Artinya : “Allah mencintai orang-orang yang beriman kepada-Nya, dan mereka juga mencinta AllahSwt”. (QS. Al Maidah [5]:54)

7. Muraqabah Wilayah al-‘Ulya

Muraqabah Wilayah al-‘Ulya adalah mengingat Allah Swt dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang menjadikan wilayah Malaikat alaihis Salam. Dalilnya Fiman Allah Swt berbunyi  :

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : هُوَالْأَوَّلُ وَالْأَخِـرُوَالظَّـاهِرُوَالْبَاطِنُ* الحديد 3

Artinya “Allah itu Zat Yang terdahulu tanpa awal, Zat Yang Akhir tanpa ada ujungnya, Zat Yang zahir pekerjaannya, dan Zat yang bersifat maknawi”. (QS. Al Hadid [52]:3)

Dalilnya yang lain Fiman Allah Swt berbunyi  :


وَقَوْلُهُ تَعَالَى : اِنَّ الَّذِيْنَ عِنْدَرَبِّكَ لاَيَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيُسَبِّحُوْنَهُ وَلَهُ يَسْجُدُوْنَ* الاعراف 206

Artinya:“Sesungguhnya Semua Malaikat yang ada disamping Tuhanmu itu tidak mau menyombongkan diri dari beribadah kepada Tuhanmu, membaca tasbih dan sujud kepada Allah. Oleh sebab itu hendaklah kalian meniru sifat-sifat Malaikat (didalam memakai pakaian taqwa/sifat Malakaniya, sifat mahmudah munjiyat, dan meninggalkan sifat syaithaniyah/nafsiyyah/ bahimah-hayawaniyyah/sifat mazmumat muhlikat) ”. (QS. Al A’raf [7]:206 )

Manfaat muraqabah wilayah al-ulya adalah unsur tiga yang ada pada manusia yaitu air, api, dan angin.


8. Muraqabah Kamalat al-Nubbuwwah

Muraqabah Kamalat al-Nubbuwwah adalah mengingat AllahSwt dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi Yang menjadikan kesempurnaan sifat kenabian. Dalilnya Fiman Allah Swt berbunyi  :

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : وَلَقَدْفَضَّلْنَابَعْضَ النَّبِيِّيْنَ عَلَى بَعْضٍ* الاسراء55

Artinya:“Sungguh Aku (Allah) lebih mengutamakan para Nabi mengalahkan kepada sebagian yang lainnya ”. (QS. Al Isra’ [17]:55.

Manfaat dan kegunaan Muraqabah Kamalat al-Nubbuwwah adalah unsur tanah pada manusia.


9. Muraqabah Kamalat al-Risalah

Muraqabah Kamalat al-Risalah yaitu mengingat AllahSwt dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang menjadikan kesempurnaan sifat para Rasul.

Dalilnya Fiman Allah Swt berbunyi  :

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : وَمَااَرْسَلْناكَ اِلاَّرَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ* الانبياء 107

Artinya:

“Aku (Allah) tidak mengutus kepada Mu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta ”. (QS. Al Anbiya’ [12]: 107)

Dan lagi firman Allah Swt yang berbunyi  :

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَابَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ* البقرة 253

Artinya:

“Aku (Allah) mengutamakan Para Rasul mengalahkan keutamaan yang lainnya”. (QS. Al Baqarah [2]:253)

Manfaat Muraqabah Kamalat al-Risalah adalah sifat Wahdaniyyah (lathaif 10 buah)11


10. Muraqabah Uli al-‘Azmi

Muraqabah Uli al-‘Azmi yaitu, mengingat AllahSwt dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang telah menjadikan Rasul dengan title ulil azmi, yaitu Nabi Muhammad SAW, Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS, Nabi isa, nabi Nuh AS. Dalilnya Firman Allah Swt yang berbunyi :

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : وَاصْبِرْ كَمـَاصَبَرَاُوْلُوْالْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ* الاحقاف 35

Artinya:

“Sabarlah kalian semua seperti para Rasul yang mempunyai pangkat ulil azmi”. (QS. Al Ahqaaf [46]:35)

Manfaat dari Muraqabah Uli al-‘Azmi adalah sifat Wahdaniyyah (lathaif 10 buah)


11. Muraqabah al-Mahabbah fi-Daerah al-Khullah wahiya Haqiqat Ibrahim ‘alaihi al-Salam

Muraqabah al-Mahabbah fi-Daerah al-Khullah wahiya Haqiqat Ibrahim ‘alaihi al-Salam yaitu mengingat AllahSwt dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang telah menjadikan Nabi Ibrahim yang mempunyai pangkat kholilullah (kekasih Allah). Dalilnya,

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : وَاتَّخَذَاللهُ اِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً* النساء 125

Artinya:

“Allah telah menjadikan hakikatnya Nabi Ibrahim AS sebagai kekasih”.

(QS. An Nisa’ [4]:125)

Kegunaan dari Muraqabah al-Mahabbah fi-Daerah al-Khullah wahiya Haqiqat Ibrahim ‘alaihi al-Salam adalah sifat Wahdaniyyah ¬(lathaif 10 buah)


12. Muraqabah Daerah al-Mahabbah al-Shirfah wahiya haiqaqat Syaidina Musa ‘Alaihi al-Salam

Muraqabah Daerah al-Mahabbah al-Shirfah wahiya haiqaqat Nabiyullah Musa ‘Alaihi al-Salam yaitu, mengingat AllahSwt dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang mulus, yang memberikan kasih sayang kepada Nabi Musa AS yang mempunyai gelar Kalimillah. Dalilnya.

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : وَاَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّي.* طه 39

Artinya:

“Aku Telah melimpahkan kepadamu (Musa) kasih sayang yang datang dari- Ku”. (QS. Thaaha [20]:39)

Kegunaan dari Muraqabah Daerah al-Mahabbah al-Shirfah wahiya haiqaqat Syaidina Musa ‘Alaihi al-Salam adalah Wahdaniyyah ¬(lathaif 10 buah).


13. Muraqabah al-Dzatiyyah al-Mumtazijah bi al-Mahabbah wahiya haqiqat al-Muhammadiyyah

Muraqabah al-Dzatiyyah al-Mumtazijah bi al-Mahabbah wahiya haqiqat al-Muhammadiyyah yakni mengingat Allah Swt dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang menjadikan hakikatnya Nabi Muhammad SAW menjadi kekasih yang utama serta sifat belas asih. 

Dalilnya Firman Allah Swt yang berbunyi   :

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : وَمَامُحَمَّدٌ اِلاَّرَسُوْلٌ* ال عمران 144

Artnya:

“Tidaklah nabi Muhammad itu kecuali sebagai Utusan Allah”. (QS. Ali Imran [3]:144)

Kegunaan muraqabah al-Dzatiyyah bi al-Murabbah wahiya haqiqat al- Muhammadiyyah adalah Wahdaniyyah (lathaif 10 buah).


Muraqabah al-Mahbubiyyah al-Shirfah wahiya haqiqat al-Ahmadiyyah

Ia muraqabah adalah mengingat Allah Swt dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang menjadikan hakikatnya Nabi Ahmad yang mempunyai sifat yang belas asih dan lembut. Dalilnya Firman Allah Swt berbunyi :

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : وَمُبَشِّرًابِرَسُوْلٍ يَأْتِى مِنْ بَعْدِىْ اِسْمُهُ اَحْمَدُ* الصفات 6

Artinya:

“Bergemberilah wahai Nabi Isa AS dengan  Rasul  yang akan  diutus  didalam  akhir zaman yang bernama Nabi Ahmad SAW”. (QS. Ashshaaf [61]:6)

Kegunaan Muraqabah  al-Mahbubiyyah  al-Shirfah wahiya   haqiqat   al-Ahmadiyyah adalah Wahdaniyyah (lathaif 10 buah).


14. Muraqabah al-Hubbi al-Shirfi

Muraqabah al-Hubbi al-Shirfi yaitu mengingat Allah Swt dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang mulus mengasihi orang-orang mukmin yang mencintai Allah, para Malaikat, para Rasul, Nabi, Ulama, dan semua saudara-saudara yang beragama satu (Islam). Dalilnya Firman Allah Swt berbunyi :

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : وَالَّذِيْ أمَنُوْااَشَدَّحُبًّالِلَّهِ* البقرة 165

Artinya:

“Sesungguhnya orang yang beriman itu lebih besar kecintaan kepada AllahSwt”. (QS. AL Baqarah [2]:165).

Kegunaan Muraqabah al-Hubbi al-Shirfi adalah Sifat Wahdaniyyah (lathaif 10 buah).

15. Muraqabah Laa Ta’yin

Muraqabah Laa Ta’yin yaitu mengingat AllahSwt dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang tidak bisa dinyatakan dengan Zat-Nya dan tidak ada makhluk baik itu Malaikat muqarrabin, Para Nabi dan Rasul yang dapat menemukan Zat-Nya. Dalilnya Firman Allah Swt yang berbunyi :

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ وَهُوَالسَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ* الشوراء 11

Artinya:

“Tidak ada sesuatu yang menyamai Allah. Dia adalah Zat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Asy-Syuraa [42]:11)

Kegunaan Muraqabah Laa ta’yin adalah Wahdaniyyah (lathaif 10 buah).


16. Muraqabah Haqiqat al-Ka’bah

Muraqabah Haqiqat al-Ka’bah yaitu mengingat AllahSwt dengan i’tikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang telah menjadikan Ka’bah menjadi tempat sujud para mumkinaat kepada AllahSwt. Firman Allah Swt yang berbunyi :

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : فَوَلِّ وَجْـهَكَ شَطْرَالْمَسْجِدِالْحَرَامِ* البقرة 144

Artinya:

“Hadapakanlah dadamu kea rah Ka’bah yang berada di Masjidil Haram”

(QS. Al Baqarah [2]:144)

Kegunaan Muraqabah Haqiqat al-Ka’bah adalah Wahdaniyyah (lathaif 10 buah).


17. Muraqabah Haqiqat al-Qur’an

Muraqabah Haqiqat al-Qur’an yaitu mengingat AllahSwt dengan iktikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang menjadikan hakikatnya Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dinilai ibadah membacanya, menjadi dakwah dengan ayat yang paling pendek sekalipun. Dalilinya Firman Allah Swt yang berbunyi :

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : وَاِنْ كُنْتُمْ فِى رَيْبٍ مِمَّانَزَّلْنَا عَلَى عبْدِنَافَأتُوْابِصُوْرَةٍمِنْ مِثْلِهِ* البقرة 23

Artinya:

“Jika kalian semua ragu terhadap Al-Qur’an yang telah kami turunkan kepada hambaKu Nabi Muhammad SAW, maka jika kalian mampu buatlah satu surat yang menyamai seperti surat ini”. (QS. Al Baqarah [2]:23)



Kegunaan dari muraqabah Haqiqat al-Qur’an adalah Wahdaniyyah (lathaif 10 buah).

18. Muraqabah Haqiqat al-Shalat 

Muraqabah Haqiqat al-Shalat Yaitu, mengingat AllahSwt dengan i’tikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/mengawasi yang telah mewajibkan kepada hamba-hambaNya untuk mengerjakan shalat wajib lima waktu, yang mengandung beberapa ucapan dan gerakan, dimulai dari takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam dengan beberapa syarat, rukun, tata caranya, menjauhi beberapa hal yang bias membatalkan shalat, menjaga waktunya, disertai dengan khudu’ dan khusu’. Dalilnya

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : اِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتاَباًمَوْقُوْتًا* النساء 103

Artinya:

“Sesungguhnya shalat itu wajib dilaksanakan oleh setiap orang mukmin pada waktu yang telah ditentukan”. (QS. An Nisa’ [4]:103)

Kegunaan muraqabah Haqiqat al-Shalat adalah Wahdaniyyah (lathaif 10 buah).


19. Muraqabah Daerah al-Ma’budiyyah al-Shirfah

Yang dimaksud Muraqabah Daerah al-Ma’budiyyah al-Shirfah yaitu mengingat AllahSwt dengan i’tikad yang kuat, merasakan kehadiran-Nya bahwa Allah mengintai-intai/ mengawasi yang berhak untuk disembah oleh makhluk-Nya dengan tulus ikhlas karena Zat-Nya. Dalilnya Firman Allah Swt yang berbunyi   :

وَقَوْلُهُ تَعَالَى : وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ والْاِنْسَانَ اِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ* الطور 56

Artinya:

“tidak Aku (Allah) jadikan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah tulus ikhlas kepada AllahSwt”. (QS. At-Thuur [52]:56.



Daftar Pustaka dan Keterangan :

                                                    (1).Buku Kunci Memahami Ilmu Tasawuf yang ditulis oleh Dr. Mustafa Zahri penerbit PT. Bina Ilmu Surabya Tahun 1998 Halaman 216

                                                    (2).Buku Ilmu Ketuhanan Permata Yang Indah (Ad-darunnafis) beserta Tanya Jawab, Syekh Muhammad Nafis bin Idris Al Banjari Tahun 1200H, Penerbit Nur Ilmu Surabaya halaman 205

                                                    (3).Ibit halaman 205

                                                    (4).Kitab “Sirâjut Thâlibîn” Juz 1 Syekh Ihsân ibn Dahlân al-Jamfasî al-Kadîrî al-Jâwî seorang ulama besar Nusantara asal Jampes, Kediri (Jawa Timur), (dikenal dengan nama Syekh Ihsan Jampes, w. 1952 M), yang merupakan komentar dan penjelasan (syarh) atas kitab tasawuf “Minhâjul ‘Âbidîn” karangan Hujjah al-Islâm al-Imâm al-Ghazzâlî (w. 1111 M) –ttg tingkatan Muraqabah halaman 394

                                                    (5).Al Qur’an dan Terjemahannya Juz 1- Juz 30 Departemen Agama, Penerbit Mekar Surabaya tahun   2002M

                                                    (6).Buku Mu’min & Muslim dalam tahapan “Ma;rifah, Musyahadah, Mujahadah, Mukasyafah dan Muqarabah oleh Aqis Bilqisthi, Penerbit Bintang Usaha Jaya Surabaya, tanpa tahun halaman 186.

                                                    (7).Rahasia Mutiara Thariqat an Naqsyabandiyah oleh Syekh Dr.H. Djaluddin, perbit Pustaka Kebudayaan Aur Tadjungkang 41a Bukit Tinggi Sumatera, tgl. 1-1-1956 jilid 2, halaman  41

                                                    (8).Buku Kunci Memahami Ilmu Tasawuf yang ditulis oleh Dr. Mustafa Zahri penerbit PT. Bina Ilmu Surabya Tahun 1998 Halaman 218

                                                     (9).Kitab Ar-Risalah al Qusyairiyah oleh Imam Abu Qasim Abdul Karim halaman 189

                                                     (10).Kitab Hadis Sahih Imam Muslim tentang Bab Iman

                                                     (11).Kitab Iqadzul Himam fi Syarhil Hikam kitab-syarah-al-Hikam Pengarang Syaikh Ibn Ataillah Al-Iskandari (Mesir)

                                                     (12).Buku Sinar Keemasan Jilid 5 oleh Syekh Dr. Jalaluddin  PT.Great Qeeanlines Shipping Lid jalan Kopi Jakarta Kota tahun 1960 halaman 1 ttg Nama-ama lain dari hati /Qalbu.

                                                     (13).Kitab Ar-Risalah al Qusyairiyah oleh Imam Abu Qasim Abdul Karim halaman 190 ttg seorang anak

                                                     (14).Ibid halaman 191 tentang seorang murid yang mengerti muraqabah

(15).Kitab Shahih Muslim Juz Pertama oleh Imam Abi Husain Muslim bin al Hajjaj penerbit Maktabatu Dahla halaman 37

                                                    (16).Rahasia Mutiara Thariqat an Naqsyabandiyah oleh Syekh Dr.H. Djaluddin, perbit Pustaka Kebudayaan Aur Tadjungkang 41a Bukit Tinggi Sumatera, tahun 1956 jilid 2, halaman  26-32

                                          (17). Ensiklopedi Tasawuf oleh Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah  Penerbit Angkasa Bandung tahun 2008 (sebuah kitab yang membahas tentang tasawuf) disebutkan bahwa Syekh Mir Valiuddin w.1975

                                                     (18).Rahasia Mutiara Thariqat Naqsyabandiyah mengutif Kitab Shahifatus Shafa  oleh Syekh Dr. Jalaluddin, ditulis Arab Melayu tahun 1956M

                                                     (19).Kitab “Sirâjut Thâlibîn” Juz 1 Syekh Ihsân ibn Dahlân al-Jamfasî al-Kadîrî al-Jâwî seorang ulama besar Nusantara asal Jampes, Kediri (Jawa Timur), (dikenal dengan nama Syekh Ihsan Jampes, w. 1952 M), ttg cara Muraqabah bagi Murid thariqat al Qaum

                                                      (20.).Artikel Pemuda TQN Suryalaya dalam status wahyu pertama, Mahabbah » TQN » 20 Muraqabah dalam Kitab Fathul Arifin, 4 Agustus 2012 https://dokumenpemudatqn.blogspot.com/2012/08/20-muraqabah-dalam-kitab-fathul-arifin.html

                                                      (21), Artikel- Artikel lainnya yang berhubungan dengan pokok pembahasan masalah Muraqabah


BAB TENTANG MUSYAHADAH

Kitab Ar Risalah Umdatul  Hasanah lil jama’ah att thariqah al Junaidiyah …… Benteng Pertahanan thariqah al Junaidiyah di susun oleh Al Habib  H.Hasan Baseri, S.Ag Bin H. Muhammad Barsih bin Ahmad Baderi Assegaf



BAB   VI. 

MUSYAHADAH


A. Pengertian Musyahadah

Sebelum kita membahas tentang musyahadah mari kita lihat makna kata شَاهَدَهُ atau kata الشَّاهِدُ Imam al Qusyairi dalam kitabnya Ar Risalah Qusyairiyah menulis tentang :

ويريدون بلفظ الشاهد مايكون حاضر قلب الانسان , وهو ماكان الغالب عليه ذكره حتى كاَنَّهُ يراه ويبصره وان كان غائبا عنه, فكل ما يستولي ذكره على قلب صاحبه فهو يشاهده, فان كان الغالب عليه العلم فهو يشاهد العلم وان كان الغالب عليه الوجد فهو يشاهد الوجد* رسالة القشيرية.

Mereka menginginkan, dengan lafadz (الشاهد) itu adalah apa yang ada (yang hadir) dalam hati manusia, yang paling mungkin disebutkan, bahkan jika dia melihatnya dan melihatnya, dan jika dia tidak ada darinya, jadi apa pun yang dia ingat di hati pemiliknya, dia memperhatikannya, dan jika orang yang diliputi oleh pengetahuan sedang menyaksikan pengetahuan, dan jika orang yang mengatasinya menyaksikan jiwa.

وَمَعْنَى : اَلشَّاهِدُ الْحَاضِرُ, فَكُلُّ مَا هُوَ حَاضِرٌ قَلْبُكَ فَهُوَ شَّاهِدُكَ.

Adapun  makna kata Syaahidu (اَلشَّاهِدُ) yaitu Hadir (berada ditempat), setiap seuatu yang disaksikan yaitu  hadir  berada dihatimu maka hadir itulahkesaksianmu.

سئل الشبلي عن المشاهدة, فقال : من اين لنا  مشاهدة الحقّ ؟ الحقُّ لَنَا شَاهِدٌ, اَشَارَ بِشَاهِدِ الْحَقِّ اِلَى المستولي عَلَى قَلْبِهِ, وَالْغَالِبُ عَلَيْهِ مِنْ ذِكْرِ الْحَقِّ, وَالْحَاضِرُ فِى قَلْبِهِ دَائِمًا مِنْ ذِكْرِ الْحَقِّ, وَمَنْ حَصَلَ لَهُ مَعَ مَخْلُوْقٍ تَعَلَّقَ بِالْقَلْبِ. فَيُقَالُ : اِنَّهُ شَاهِدُهُ يَعْنِى اَنَّ قَلْبَهُ حَاضِرٌ, فَاِنَّ الْمَحَبَّ تُوْجَبُ دَوَامَ ذِكْرِالْمَحْبُوْبِ واستيلائه عَلَيْهِ, وبعضهم تكلَّف فَى مُرَاعَاةٍ هذَا الْاشتقاق, فَقَالَ : اِنَّ مَا سمي الشِّاهدُ مِنَ الشَّهَادَةِ. فَكَاَنَّهُ اِذَا طَالَعَ شَخْصًا بِوصْفِ الْجَمَالِز فَاِنْ كَانَتْ بَشَرِيَّتُهُ سَاقِطَةً عَنْهُ. وَلَمْ يشغله شهود ذلك الشخص عما هو به من الحال ولا اثرت فيه صحبته بوجه فهو شاهد له على فناء نفسه,

ومن اثر فيه ذلك فهو شاهد عليه فى بقاء نفسه وقيامه باحكام بشريته, اما شاهد له شاهد له او شاهد عليه,  وَعَلَى هذَا حمل قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم : رَاَيتُ رَبِّيْ لَيْلَةَ الْمِعْرَاجِ فِى اَحْسَنِ صُوْرةٍ. اي اَحْسَنِ صُوْرةٍ رَاَيْتُهَا تلكَ اللَّيْلَةَ, لَمِ تَشْغِلُنِيْ عَنْ رَاَيْتُهُ تَعالَى, بَلْ رَاَيْتُ الْمُصَوِّرَ فِى الصُّوْرَةِ والمنشئ فى الاشياء. ويزيد به رؤية العلم لا ادراك البصر* رسالة القشيرية. 

Musyahadah adalah kata kerja Arabnya yaitu : (شَاهَدَهُ – يُشَاهِدُ – فَهُوَ مُشَاهَدَةً)

Artinya : “melihat, memandangnya”(1

Jadi Musyahadah menurut istilah adalah isim masdar yang maknanya yakni Penyaksian seorang hamba terhadap wujudnya Allah Swt. Penyaksian kepada wujudnya Allah Swt  oleh seorang hamba disini, yakni si hamba melihat kepada adanya  dua alam yaitu alam Kubra dan alam Sugra. Adapun Alam Sugra yang dimasud yaitu wujud manusia itu sendiri, Alam yang kedua yaitu Alam Kubra, alam Kubra disini adalah Alam Jagat raya ini.Melalui kedua alam inilah  si Hamba Pengamal Thariqat al Junaidiyah (PTJ) menyaksikan wujud Allah Swt dan kekhadirannya pada diri si Hamba tsb.

اَلْمُشَاهَدَةُ هِيَ حَضُوْرُ الْحَقِّ مِنْ غَيْرِ بَقَاءِ تَهِمَّةٍ(2

Maksudnya  : “Musyahadah adalah hadirnya Al Haq (Allah Swt) dengan tiada persangkaan atau hilangnya rasa sangka-sangka”.

Dari segi bahasa musyahadah itu berasal dari rumpun kata (شَهِدَ - شَاهَدَ)Syahida-Shaahada yang mempunyai arti bersaksi, menyaksikan.oleh karna itu seseorang belum dapat untuk dikatakan sebagai seorang islam jika orang tsb belum menyatakan akan dua kalimat shahadat. Didalam bermusyahadah ini juga sangatlah di butuhkan sebab segala peristiwa atau kejadian itu yang pertama di tanyakan adalah adanya penyaksian atau saksi. Untuk penyaksian ini lebih tinggi tingkatanya dari yang kedua tadi, maksudnya saksi. 

Musyahadah berarti penyaksian, kenyataan pandang atau kesaksian. Maksud dari Musyahadah ialah penyaksian batin yang jelas tanpa ragu mengenai apa yang disaksikan setelah mulai penelitian yang sungguh teliti (muraqabah) da tersingkapnya rahasia (mukasyafah). Thariqat Sufi mengambil latihan ini untuk dipakai sebagai sarana latihan supaya memperoleh penyaksian murni bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad itu Rasul utusan-Nya. Musyahadah dalam kegiatannya, menggunakan sarana hati (bashirah) dan kepekaan rasa yang halus/ lathifah (Syukeri 1998M) 

Imam al-Junaid mengutip surah al-A’raf ayat 172, ayat yang terkenal dengan mitsaq (perjanjian primordial). Perjanjian primordial secara sederhana diakatakan sebagai perjanjian yang bersifat privat antara sang makhluk dan khaliqnya, antara manusia dengan Tuhannya. Tidak ada pihak lain yang mengintervensi perjanjian itu bahwa  Allah berfirman  yang berbunyi  :

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ. الاعراف 172

Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan). QS. al-A’raf ayat 172,

Dengan menggunakan ayat mitsaq tersebut, al-Junaid juga menjelaskan konsep awal ruh sebelum diciptakannya tubuh / jasad. Atau dengan kata lain tentang keadaan ruh di alam lain. Ia berkata bahwa Allah mempunyai hamba pilihan yang menjadi kekasihnya. Menjadikan jasad mereka duniawi dan ruhnya nur. Pemahamannya bersifat arasyi, akalnya menjadi hijab, tidak mempunyai tempat berlindung kecuali kepada Allah, tidak punya tempat kecuali di sisi Allah. Mereka adalah yang diwujudkan dan didudukkan di sisi Allah sejak zaman azali. Ketika Allah memanggil mereka sebagai tanda penghormatan, mereka segera datang. Mereka paham panggilan itu dan Allah mengenalkan diri kepada mereka di saat belum ada. Allah memindahkan mereka dengan kehendakNya. Mereka dijadikan seperti atom (sangat kecil sekali). Diwujudkan menjadi makhluk. Kemudian dimasukkan dalam tulang rusuk Adam. Lalu Allah berfirman: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. Allah mengabarkan bahwa dia berbicara dengan mereka. Padahal mereka belum ada kecuali diwujudkan olehNya. Mereka wujud karena Allah, bukan karena dirinya. Maka disanalah al-Haq bertemu dengan al-Haq, betul-betul wujud yang tidak mampu dimengerti kecuali oleh Allah sendiri.

Firman Allah Swt surat Ali Imran ayat 18 yang berbunyi   :

 شَهِدَ اللهُ اَنَّهُ لَااِلهُ اِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَاُوْلُوْا الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَااِلهُ اِلَّا هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ* ال عمران 18

Artinya : Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia para Malaikat dan para Ilmuwan yang tegak berdiri dengan keadilannya (juga menyaksikan pernyataan itu) tidaka ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana.”

Akan tetapi kata musyahadah disini berarti penyaksian, yang berartikan bahwa suatu pandangan batin setelah adanya mukasyafah atau terbukanya penutup maka terjadi sebagai suatu penyaksian yang tidak diragukan lagi Untuk mencapai pada tingkatan musyahadah ini seseorang harus terlebih dahulu bersungguh-sungguh dengan  sepenuh hati demi untuk mengamalkan akan ajaran-ajaran tasawuf itu sendiri untuk naik meningkatkan maqam berikutnya. Didalam pengertian musyahadah seseorang yang terjun di dunia sufi rasanya sulit untuk mencapai pada tingkatan musyahadah ini tanpa adanya usaha atau upaya niat sungguh-sungguh. 

Imam al Qusyairi dalam kitabnya Ar Risalah Qusyairiyah halaman 75 menulis tentang :

المحاضرة والمكأشفة والمشاهدة, المحاضرة حضور القلب, ثم بعدها المكأشفة وهي حضوره بعنت البيان, ثم المشاهدة وهي حضورالحقِّ من غير بقاء تهمة, فاذا صحت سماء السرّ عن غيوم الستر فشمس الشهود مشرقة عن برج الشرف.

وحق المشاهدة ماقاله الجنيد رحمه الله : وجود الحق مع فُقْدَانِكَ, فصاحب المحاضرة مربوط باَيته, وصاحب المكأشفة مبسوط  بصفاته, وصاحب المشاهدة ملقى بذاته, وصاحب المحاضرة يهديه عقله, وصاحب المكأشفة يدنيه اى يقرَّبه علمه, وصاحب المشاهدة تمحوه معرفته.

ولم يزد فى بيان تحقيق المشاهدة احد على ماقاله عمرو بن عثمان المكي رحمه الله, معنى ماقاله أنه تتوالى انوار التجلي على قلبه من غير ان يتخللها ستر وانقطاع كما لو قدّراتصال البروق فكما أن اليلة الظلماء بتوالي البروق فيه* رسالة القشيرية.

Dr. Fakhruddin Faiz menyatakan bahwa Musyahadah menurut Imam Junaid al Bagdadi    :

Musyahadah berarti menyaksikan Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat-Nya dengan mata kepala.

Musyahadah menurut al Junaid adalah jenis  pengetahuan tentang  yang ghaib dengan media mata bathin (al-asrar).musyahadah merupakan penjangkauan alam ghaib dengan medium kebeningan cahaya yang masuk kedalam hati sebagai buah kebersihan hati dari segala sesuatu selain Allah dan konsentrasi  himmah kepada Allah.

Sebelum Penyusun menjelaskan tentang hal musyahadah, maka terlebih dahulu kami bahas tentang Mukasyafah (الْمُكَاشَفَة), sebab lentaran Mukasyafah maka terjadilah musyahadah.  Mukasyafah disini ada dua macam bentuk yaitu : 

1. Mukasyafah Rububiyah  (اَلْمُكَاشَفَةُ الْرُّبُوْبِيَّةُ)

2. Mukasyafah Ghaibiyah  (الْمُكَاشَفَةُ الْغَيْبِيَّةُ) 


B. Mukasyafah Rububiyah  (اَلْمُكَاشَفَةُ الْرُّبُوْبِيَّةُ)

Musyahadah dalam istilah sufiah adalah keadaan hati (bathin) hamba itu merasakan berhadapan dengan Allah Taala. Ia merasakan Allah Taala itu ibarat berada dihadapannya. Tetapi bukanlah hakikatnya demikian karena mustahil dan tidak akan terjadi Allah Taala berada di hadapannya karena Allah Taala bukan massa yang mengambil ruang. Artinya hanya ia merasakan hampirnya ke Allah Taala, ingat dia dengan kebijakan Syuhud dzauq, maka merasailah seolah-olah Allah Taala itu berhadap-hadapan dengannya. Musyahadah itu adalah nampaknya Allah Swt pada hambanya dimana seorang hamba itu tidak melihat apapun didalam beribadah itu adalah dalam pengertian umum,melainkan dia hanyalah berkeyakinan bahwa dirinya telah berhadapan langsung dengan Allah Swt. Oleh karena dia tidak lagi memperhatikan apa-apa di dlam beribadah,karena saking asiknya dia berkeyakinan bahwa Allah Swt telah berada di sampingnya,maka dirinya sendiri tidak di hiraukan lagl. 

Berpijak dari uraian tersebut di atas bahwa sesungguhnya musyahadah itu merupakan tindak lanjut dari ajaran ihsan yang telah mengajarkan mengenai konsep ibadah yang sesungguhnya dengan satu ukuran,'' seakan-akan seorang hamba itu benar-benar melihat Allah Swt atau Allah Swt telah melihat dirinya. Karena adanya Mukasyafah Rububiyah.

Yang dimaksud Mukasyafah Rububiyah  yaitu terbukanya tirai ma’rifat ketuhanan atau mukasyafah tersingkafnya tirai ketuhanan atau terbukan dinding penutup ketuhanan. Mukasyafah Rububiyah  adalah semata-mata pemberian Allah Swt  yang dilimpahkan kepada Hamba-Nya, ini terjadi karena karunia dan rahmat kasih saying-Nya Allah Swt. Tentu saja Hamba itu banyak ibadahnya, banyak dzikirnya dan banyak shalawatnya dan menjaga hubungan baik dengan Allah Swt, menjaga hubungan baik dengan sesame manusia dan dengan makluk  lainnya.

Semoga Allah selalu melimpahkan Kementapan Batin PTJ  Iman, Islam dan Ihsan dan juga Istiqamah, tekun menjalankan sifat-sifat kehambaan dengan melaksanakan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya, selalu tenggalam dalam lautan  keesaan-Nya,  selalu dan selalu dalam pelukan cinta  kasih dan rahmat-Nya yang Agung.

Dengan terbukanya tirai, atau hijab yang menutupi mata hati atau  mata hati atau  menghalangi syuhud pandangan seseorang PTJ, sehingga PTJ dapat  melihat, dapat menangkap segala rahasia Al Haq dapat diketahui. Dan yang lebih jauh lagi si PTJ merasa melihat Tuhan pada kedua Ala mini yakni Alam Sugra dan  Alam Kubra. Hal ini terjadi karena ketajaman mata batin yang dianugrahkan Allah Swt kepadanya PTJ yakni Pengamal Thariqat Junaidiyah. 

Dalam tafsir Al Qur’an al Qurtuby dikatakan baha :

فَيُكْشِفُ الْحِجَابُ فَيَنْظُرُوْا اِلَيْهِ فَوَ اللهِ مَااَعْطَاهُمُ اللهُ شَيْئًا اَحَبَّ اِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ وَلَا أَقُرُّ لِاَعْيُنِهِمْ  (تفسير الفرطبى)

Artinya : Maka terbukalah hijab atau dibukakan penutup, lalu mereka melihat kepada-Nya, maka demi Allah, tidaklah pernah Allah memberikan atau menganugrahkan kepada mereka sesuatu yang amat menyenangkan mereka kecuali Penglihatan itu /Mukasyafah.

Secara logis semua itu akan menimbulkan suatu bukti-bukti tertentu yang dapat dilihat  dengan nyata dan jelas. Ini terjadi apabila Mukasyafah Rububiyah ini telah menancap dengan benar pada hati sanubari seorang Hamba, khususnya bagi PTJ (Pengamal Thariqat Junaidiyah) yang begitu dekat dengan Tuhannya yaknia Allah Swt. Seorang Hamba yang begitu dekat dengan Tuhannya  dan juga selalu bersifat kehambaan yang selalu mengerjakan Sunnah Rasul Saw atau mengutamakan thariqat wajib atau melaksanakan rukun Islam yang lima yaitu shalat lima waktu, puasa Ramadhan, Zakat dan Hajji. Allah telah berjanji dan Dia tidak pernah menyalahi janji-Nya.

Sebagaimana Firman Allah surat an Nuur pada ayat 55 yang berbunyi  :

وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوْا الصَّلِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى الْاَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ فَبْلِهِمْ وَلِيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمْ الَّذِيْنَ ارْتَضَ لَهُمْ وَلَا يُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعدِ خَوْفِهِمْ اَمْنًا. النور 55

Artinya : Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh untuk mengangkat derajat mereka sebagai khalifah-Nya dimuka bumi, sebagaimana Allah mengangkat orang-orang sebelum mereka. Dan Allah akan menetapkan rasa beragama yang sangat diidlai-Nya untuk mereka. Dan juga Allah akan menggantikan rasa takut dengan rasa aman buat mereka. QS An Nur,55.



C. Arti Mukasyafah Menurut Ulama sufi

Ulama sufi berkata, "Mukasyafah artinya jalinan secara rahasia antara dua batin." Maksudnya, mukasyafah adalah salah satu dari dua orang yang saling mencintai, yang mengetahui batin urusan dan rahasia yang satunya lagi. Jalinan ini terjadi secara lembut dan penuh kasih sayang. Jika seorang hamba sampai ke kedudukan ma'rifat, maka seakan-akan dia dapat melihat sifat-sifat kesempurnaan Allah dan keagungan-Nya,   sehingga ruhnya merasakan kedekatan yang khusus, berbeda dengan kedekatan yang bersifat inderawi, sehingga seakan-akan dia bisa menyaksikan disingkapkannya hijab antara ruh dan hatinya dengan Rabb-nya (Mitrasantri 2011)

Yang dimaksud kasyf  menurut Al Ghazali adalah metode pengetahuan melalui sarana kalbu yang bening, atau pemahaman intuitif langsung. kasyf (iluminasi) adalah apa yang tadinya tertutup bagi manusia, atau tersingkap  bagi seseorang seakan ia melihat dengan matanya. Dengan demikian  pengetahuan itu diperoleh dari sumbernya secara langsung, bukan melalui  fikiran atau belajar. 

Mukasyafah adalah tersingkapnya tabir yang menjadi kesenjangan antara sufi dengan Allah. Kesenjangan tersebut adalah jarak antara mahluk dengan khaliknya. Sementara itu Kasyf menurut Qaysari adalah penyingkapan hijab. Secara terminologis, kasyf adalah mengetahui makna yang tersembunyi dan realitas dibalik hijab secara wujud,  Penyingkapan-penyingkapan itu sebenarnya merupakan Tajali Nama yang mengurusinya. Dan semuanya berada di bawah Nama Al-Alim. Adapun yang berkaitan dengan duniawi, seperti dalam praktek memberitakan  kejadian-kejadian duniawi yang akan terjadi, termasuk dalam kasf Al Suri,  kasyf ini disebut kasy Ruhbaniyyah, karena mereka mengetahui hal-hal gaib melalui riyadah dan mujahidah mereka. Tetapi para ahli suluk beranggapan bahwa hal itu sebagai al istidraj, yaitu kemunduran derajat, bahkan mereka tidak menanggapinya, karena tujuan mereka  adalah fana' fi l-Lah dan Baqa bil-Lah (Mitrasantri 2011)

Menurut Ulama Sufi bahwa sumber mukasyafah adalah al qalb al insani dan intelek amalinya yang bercahaya yang menggunakan indera ruhaniyah. Karena qalbu manusia memiliki penglihatan, pendengaran dan sebagainya. Sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firmannya : "Maka sesungguhnya tidak buta matanya, tetapi yang buta adalah hatinya yang  ada di dalam dada". Dan "Allah telah menutup keatas hati mereka dan  pendengarannya dan penglihatan mereka dengan tirai." 

Dan indra ruhaniyyah ini adalah bathin indera jasmani. Ketika tersingkap hijab dimensi ruhani dan dimensi kongkrit maka akan menyatu indera  ruhaniyah dan indera jasmaniyahnya. Dan dia akan mempersepsikan dengan indera ruhanniyahnya. Ruh akan menyaksikan semuanya secara esensial, karena  hakikat yang ada akan menyatu dengan ruh dalam martabatnya dengan  keberadaan yang lengkap dan seluruh hakikat terpadu di dalamnya. Hijab tersebut adalah nafsunya, yang disingkap Allah dengan kekuatan-Nya. Dengan begitu dia akan menyembah-Nya seakan-akan dapat melihat-Nya.  Ada tiga derajat mukasyafah, yaitu:

- Mukasyafah yang menunjukkan penerapan yang benar, yang harus berjalan secara terus-menerus. Hal ini terjadi pada sekali waktu tanpa waktu yang lain, tanpa diselingi suatu pemisahan. Hijab yang tipis bisa terbentang pada kedudukannya, hanya saja hijab itu tidak membuatnya memalingkannya dan meniadakan bagiannya. Ini merupakan derajat orang yang menuju suatu tujuan. Jika berlangsung terus, maka menjadi derajat kedua.

- Mukasyafah yang benar merupakan ilmu yang disusupkan Allah ke dalam hati hamba dan menampakkan kepadanya perkara-perkara yang tidak diketahui orang lain. Namun Allah juga bisa memalingkan dan menahannya karena kelalaian dan membuat tutupan di dalam hatinya. Tapi tutupan ini amat tipis, yang disebut al-ghain. Yang lebih tebal lagi disebut al-ghaim, dan yang paling tebal adalah ar-ran. Yang pertama berlaku bagi para nabi, seperti yang disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya ada tutupan dalam hatiku, dan sesungguhnya aku memohon ampun kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali (dalam sehari)." Yang kedua berlaku bagi orang-orang Mukmin, dan yang ketiga bagi orang-orang yang menderita, seperti firman Allah, "Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka." (Al-Muthaffifin: 14).

Ada sepuluh macam Isolasi atau Hijab atau Dinding hati manusia sehingga musyahadah melihat keagungan Af’al, Asma dan Sifat-sifat Allah Swt terhalang :

1. Hijab peniadaan dan penafian hakikat asma' serta sifat. Ini merupakan hijab yang paling tebal. Orang yang memiliki hijab ini tidak mempunyai kesiapan untuk mengetahui Allah dan sama sekali tidak sampai kepada Allah, sebagaimana batu yang tidak bisa naik ke atas.

2. Hijab syirik, yaitu membuat hati menyembah kepada selain Allah.

3. Hijab bid'ah yang bersifat perkataan, seperti hijab orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan berbagai macam perkataan yang batil lagi rusak.

4. Hijab bid'ah yang bersifap ilmiah, seperti hijab para ahli thariqah yang melakukan bid'ah dalam perjalanannya kepada Allah.

5. Hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara batinnya, seperti hijab orang-orang yang takabur, ujub, riya', dengki, membanggakan diri dan lain sebagainya.

6. Hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara zhahir. Hijab mereka lebih tipis daripada hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara batin, sekalipun mereka lebih banyak ibadahnya dan lebih zuhud. Dosa besar secara zhahir lebih dekat kepada taubat daripada dosa besar secara batin. Orang yang melakukan dosa besar secara zhahir lebih bisa diselamatkan dan hatinya lebih baik daripada orang yang melakukan dosa besar secara batin.



7. Hijab orang-orang yang melakukan dosa-dosa kecil.
8. Hijab orang-orang yang berlebih-lebihan dalam hal-hal yang mubah.
9. Hijab orang-orang yang lalai melakukan tujuan penciptaannya dan yang dikehendaki dari dirinya, tidak senantiasa berdzikir, bersyukur dan beribadah kepada Allah.
10. Hijab orang-orang yang berijtihad namun menyimpang dari tujuan. 
Inilah sepuluh macam hijab atau isolasi yang mendinding antara hati dengan Allah, menjadi penghalang di antara keduanya. Hijab-hijab ini muncul dari empat unsur: Jiwa, syetan, dunia dan nafsu. Hijab tidak bisa disingkirkan jika unsur-unsur penyebabnya masih ada. Empat unsur inilah yang merusak perkataan, perbuatan, tujuan dan jalan, tergantung dari banyak dan sedikitnya, memotong jalan perkataan, perbuatan dan tujuan untuk sampai ke hati. Sementara apa yang dipotong agar tidak sampai ke hati, juga dipotong agar tidak sampai kepada Allah. Antara perkataan dan perbuatan dengan hati terbentang jarak perjalanan. Seorang hamba menempuh jarak perjalanan itu agar sampai ke hatinya, agar dia bisa melihat berbagai macam keajaiban di sana. Dalam perjalanan ini terdapat banyak perampok jalanan seperti yang sudah disebutkan di atas. Jika dia bisa memerangi para perampok jalanan itu dan amalnya bisa sampai ke hati, maka ia akan menetap di dalam hati, lalu dari hati ini dia akan mendapatkan jendela agar dapat melihat Allah.
Sekalipun perjalanan itu sudah sampai ke hati, namun hamba tidak mendapatkan jendela untuk melihat Allah, bahkan di dalamnya bersemayam nafsu dan pasukannya, sekalipun dia orang yang zuhud dan paling banyak beribadah, maka dia adalah orang yang paling jauh dari Allah. Bahkan orang-orang yang melakukan dosa besar, hatinya bisa lebih dekat dengan Allah daripada mereka. Lihatlah seorang ahli ibadah dan zuhud,yang di keningnya terdapat bekas sujud, tapi justru mengingkari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam karena amalnya yang kelewat batas, sehingga dia pun mencemooh orang Muslim lainnya dan menumpahkan darah para shahabat. Di sisi lain lihat seorang peminum berat,(Orang pertama adalah Dzul-Khuwaishirah At-Tamimy Al-Khariji, dan orang kedua adalah Iyadh bin Himar). yang sering mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan dia pun siap dijatuhi hukuman karena kebiasaannya itu. Karena iman, keyakinan dan kecintaannya kepada Allah serta Rasul-Nya, dia rela menerimanya, sampaisampai beliau melarang orang lain yang memakinya. Dari sini dapat diketahui bahwa orang yang melakukan kedurhakaan lebih baik kesudahannya daripada orang yang melanggar ketaatan.
Perkataan Syech (al-Mursyid), "Mukasyafah yang menunjukkan penerapan yang benar", setiap orang mengaku memiliki kesesuaian yang benar. Tidak ada penerapan yang benar kecuali yang sesuai dengan perintah. Penerapan dalam ilmu ialah pengungkapan yang sesuai dengan apa yang dikabarkan para rasul. Penerapan yang benar dalam kehendak ialah yang sesuai dengan kehendak Allah.
Mukasyafah yang sebenarnya ialah mengetahui kebenaran yang disampaikan Allah kepada para rasul-Nya dan yang diturunkan ke dalam kitab-kitab-Nya, yang dilihat dengan hatinya. Ini pula yang disebut penerapan yang benar. Sedangkan kebalikannya adalah suatu keburukan. Ini merupakan derajat pertama, yaitu derajatnya orang yang menuju ke suatu tujuan. Jika berjalan terus dan teguh hati, maka akan mencapai derajat kedua.
Syaikh berkata, "Sedangkan derajat ketiga adalah mukasyafah mata dan bukan mukasyafah ilmu, yaitu mukasyafah yang tidak membiarkan adanya pertanda yang menimbulkan kelezatan, atau yang menghentikan perjalanan atau yang singgah di satu penghalang. Tujuan dari mukasyafah ini adalah kesaksian."
Derajat ini disebut pengungkapan mata, karena banyaknya cahaya pengungkapan apa yang ada di dalam hati, lalu menggantikan kedudukan ilmu yang tidak mungkin diingkari dan didustakan. Sebagaimana melihat dengan pandangan mata yang tidak bisa dilakukan kecuali adanya kekuatan penglihatan, tidak ada pembatas, tidak gelap dan tidak jauh jaraknya, maka pengungkapan dengan mata hati mengharuskan adanya hati yang sehat dan tidak adanya perintang untuk mengungkap segala rahasianya.
Dalam Kitab Manaqib Nurul Burhan, terdapat 70 wali Allah yang sudah mukasyafah tapi berhasil disesatkan oleh Iblis (seperti pengakuan Iblis kepada Sultan al-awliya Syaikh Abdul Wadir al-jailani). Kedua, mukasyafah adalah bagian dari sebuah proses, bukan tujuan puncak dalam suluk ruhani. Selama mengalami proses mukasyafah, sufi (terutama yang masih di tengah jalan) masih harus menghadapi banyak cobaan dan godaan. Apa yang  elati dari mukasyafah boleh jadi adalah, meminjam bahasa Qur’an, makr (tipu daya Allah). Ia  ela jadi kasyaf syathani, atau khatir syathani. Betul bahwa hati yang suci  ela mendapatkan mukasyafah, tetapi hati yang suci bukan terminal akhir, dan karenanya mukasyafah juga bukan puncak ilmu. Dalam makna wirid- wirid besar tarekat mu’tabarah tersirat bahwa bahkan mukasyafah pun masih  ela disusupi iblis, dan karenanya selalu dibaca istiadzah (sebagian menggunakan wirid shalat istadzah setiap pagi). Kasyaf rabbani memang boleh jadi menjadi isyarat kesucian,tetapi tidak selalu ia bersifat paripurna. Ketiga, seorang yang telah mendapatkan mukasyafah boleh jadi belum mencapai kondisi fana, fana-al-fana, dan baqa. Karenanya, mukasyafah boleh jadi merupakan “hal” atau keadaan spiritual, yang tidak permanen (yang berbeda dengan “maqam” yang  elative permanen). Demikian sedikit tambahan
Dalam konteks hubungan dengan Musyahadah  "Menyaksikan Allah" dan "Seakan-akan menyaksikan Allah", maka ada sejumlah ayat, misalnya ketika Nabi Musa as, berhasrat ingin menyaksikan dan melihat Allah. "Musa as berkata: Ya Tuhan, tampakkan diri Mu padaKu, aku ingin memandangMu." Allah menjawab, "Kamu tidak bisa melihatKu." al-A'raf 143
وَلَمَّا جَاءَ مُوْسَى لِمِيْقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ اَرِنِيْ اُنْظُرْ اِلَيْكَقل قَالَ لَنْ تَرانِيْ* الاعراف 143 
Artinya : “Dan ketika Musa dating untuk (munajat) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya ”Musa berkata : Ya Tuhanku perlihatkanlah (diri-Mu) kepadaku, agar aku dapat melihat-Mu. Allah berfirma “Engkau tidak akan (sangguf) melihat Ku” (QS. Al-A’raf : 143).
Dan dia berfirman yang berbunyi :
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ  فَاَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِط اِنَّ اللهَ وَاسِعُ عَلِيْمٌ* البقرة 115
Artinya : “Dan kepunyaan Allah lah apa saja di Timur hingga Barat, oleh karenanya kemana saja kamu memalingkan mukamu, maka disanalah Wujud Allah, sesunguhnya Allah amat luas karunia-Nya dan ilmu-Nya”. QS. Al Baqarah 115.
اِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْاَرضَ حَنِيْفًا وَمَا اَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ* الانعام 79
Artinya : "Sesungguh aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) Agama yang benar dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik." (QS.Al-An'aam ayat 79).
Dimaksud dengan "Mata Ilahi" adalah Mata Hati kita, mata batin kita yang diberi hidayah dan 'inayah oleh Allah SWT untuk terbuka da melihat, dan senantiasa di sana hanya Wajah Allah wujud Allah yang tampak, sebagaimana dalam Al-Qur'an. "Alam Kubra atau Alam semesta ini dan juga alam Sugra atau Diri manusia itu sendiri adalah gelap, dan sebenarnya menjadi terang karena dicahayai Allah di dalamnya. Karena itu siapa yang melihat semesta atau Diri manusia itu sendiri, namun dia tidak menyaksikan Allah di dalamnya, atau di sisinya, atau sebelum dan atau tidak memandang Allah sesudahnya, benar-benar ia telah dikaburkan dari wujud Cahaya, dan tertutup dari matahari ma'rifat oleh mendung-mendung duniawi semesta.dan Nafsu itu sendiri"
Dan  hal demikian Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib pernah berkata “ :

قَالَ عَلِيٌّ اِبْنُ اَبِيْ طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ  : مَا رَاَيْتُ شَيْئًا اِلَّا رَاَيْتُ اللهَ فِيْه

Artinya  : “Tiadala  aku  melihat akan sesuatu itu, melainkan  aku lihat  akan Allah Swt padanya.”

Karena itu soal "Menyaksikan Allah" hubungannya erat dengan tersingkapnya tirai hijab (mukasyafah), yang menghalangi atau osolasi diri hamba dengan Allah, adalah diri hamba itu sendiri, walaupun Allah sesungguhnya tidak bisa dihijab oleh apa pun. 
Dan Sayyidina Usman bin Affan berkata “
قَالَ عُثْمًانُ اِبْنُ عَفَّانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ  : مَا رَاَيْتُ شَيْئًا اِلَّا رَاَيْتُ اللهَ مَعَهُ

Artinya  : “Tiadala  aku  melihat akan sesuatu itu, melainkan  aku lihat  akan Allah Swt besertanya.”
Oleh sebab itu, dalam menggambarkan Musyahadah (penyaksian Ilahi) ini, Rasulullah menggunakan kata, "Seakan-akan", karena mata kepala kita dan mata nafsu kita, keakuan kita pasti tak mampu. Kata-kata "Seakan-akan" lebih dekat sebagai bentuk kata untuk sebuah kesadaran jiwa dan kedekatan hati.Tetapi ketika Rasulullah bersabda,
قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الْإِحْسَانِ ؟ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَأِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ * رواه مسلم وغيره 
Artinya : Dia kembali bertanya " Ya, Muhammad, khabarkan kepadaku, apakah Ihsan ? Jawab Nabi Saw, Ihsan itu adalah Engkau beribadat kepada Allah seolah-olah Engkau melihat-Nya, maka jiwa Engkau tidak dapat melihat –Nya maka Engkau merasakan/yakin bahwa Dia melihatmu. Kata orang itu, "Engkau benar ya Muhammad." HR. Muslim dll.

Hal ini menunjukkan bahwa sebuah kedekatan atau taqarrub sampai-sampai seakan-akan melihatNya, adalah akibat dari kesadaran kuat bahwa "Dialah yang melihat kita." Kesadaran jiwa bahwa Allah SWT melihat kita terus menerus, menimbulkan pantulan pada diri kita, yang membukakan matahati kita dan sirr kita untuk memandangNya.
Kesadaran menyaksikan dan Memandang Allah, kemudian mengekspresikan sebuah pengalaman demi pengalaman yang berbeda-beda antar para Sufi, sesuai dengan tingkat haliyah ruhaniyah (kondisi ruhani) masing-masing. Ada yang menyadari dalam pandangan tingkat Asma Allah, ada pula sampai ke Sifat Allah, bahkan ada yang sampai ke Dzat Allah. Lalu kemudian turun kembali melihat Sifat-sifatNya, kemudian Asma'-asmaNya, lalu melihat semesta makhlukNya. Lalu kita perlu mengoreksi diri sendiri lewat perkataan Abu Yazid al-Bisthamy, "Apa pun yang engkau bayangkan tentang Allah, Dia bertempat, berwarna, berpenjuru, bertempat, bergerak, diam, itu semua pasti bukan Allah SWT. Karena sifat-sifat tersebut adalah sifat makhluk." Kontemplasi demi kontemplasi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid yang Kamil Mukammil hanya akan menggapai kebuntuan jalan dalam praktek Muroqobah, Musyahadah maupun Ma'rifah.
Bagi mereka yang dicahayai oleh Allah maka digambarkan oleh Ibnu Athaillah dalam al-Hikam yang maksudnya :
"Telah terpancar cahayanya dan jelaslah kegembiraanya, lalu ia pejamkan matanya dari dunia dan berpaling darinya, sama sekali dunia bukan tempat tinggal dan bukan tempat ketentraman. Namun ia jiwanya bangkit di dalam dunia itu, semata menuju Allah Ta'ala, berjalan di dalamnya sembari memohon pertolongan dari Allah untuk datang kepada Allah. Hamparan tekadnya tak pernah terhenti, dan selamanya berjalan, sampai lunglai di hadapan Hadratul Quds dan hamparan kemeseraan denganNya, sebagai tempat Mufatahah, Muwajahah, Mujalasah, Muhadatsah, Musyahadah, dan Muthala'ah." Ibnu Athaillah menyebutkan enam hal dalam soal hubungan hamba dengan Allah di hadapan Allah, yang harus dimaknai dengan rasa terdalam, untuk memahami dan membedakan satu dengan yang lain. Bukan dengan fikiran:
Mufatahah (المٌفَاتَحَةْ): artinya, permulaan hamba menghadapNya di hamparan remuk redam dirinya dan munajat, lalu Allah membukakan tirai hakikat Asma, Sifat dan keagungan DzatNya, agar hamba luruh di sana dan lupa dari segala yang ada bersamaNya.
Muwajahah (الْمٌوَاجَهَة), artinya saling berhadapan, adalah sikap menghadapnya hamba pada Tuhannya tanpa sedikit dan sejenak pun berpaling dariNya, tanpa alpa dari mengingatNya. Allah menemui dengan CahayaNya dan hamba menghadapnya dengan Sirrnya, hingga sama sekali tidak ada peluang untuk 
melihat selainNya, dan tidak menyaksikan kecuali hanya Dia.
Mujalasah (الْمُجَالَسَة), artinya menetap dalam majlisNya dengan tetap teguh terus berdzikir tanpa alpa, patuh tunduk tanpa lalai, beradab penuh tanpa tergoda, dan hamba memuliakanNya seperti penghormatan cinta dan kemesraan agung, lalu disanalah Allah 
swt berfirman dalam hadits Qudsi, "Akulah berada dalam majlis yang berdzikir padaKu."
Muhadatsah (الْمُحَادَثَةْ), maknanya dialog, yaitu menempatkan sirr (rahasia batin) dengan mengingatNya dan menghadapNya dengan hal-hal yang ditampakkan Allah pada sirr itu, hingga cahayaNya meluas dan rahasia-rahasiaNya bertumpuan. Inilah yang 
disabdakan Nabi saw, "Pada ummat-ummat terdahulu ada kalangan disebut sebagai kalangan yang berdialog dengan Allah, dan pada ummatku pun ada, maka Umar diantaranya."
Musyahadah (الْمُشَاهَدَة), adalah ketersingkapan nyata, yang tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, tak ada imajinasi maupun keraguan. Dikatakan, "Syuhud itu dari penyaksian yang disaksikan dan tersingkapnya Wujud."
Muthala'ah (الْمُطَالَعَة), adalah keselarasan dengan Tauhid dalam setiap kepatuhan, ketaatan dan batin, semuanya kembali pada hakikat tanpa adanya kontemplasi atau analisa, dan setiap yang tampak senantiasa muncul rahasiaNya karena keparipurnaanNya. 
Syaikh berkata, "Musyahadah artinya runtuhnya secara pasti." Musyahadah inilah yang meruntuhkan hijab dan bukan merupakan wujud dari keruntuhan hijab itu. Runtuhnya hijab diikuti dengan musyahadah.
Ada tiga derajat musyahadah, yaitu:
1. Musyahadah ma'rifat, yang berlalu di atas batasan ilmu, dalam cahaya wujud dan berada dalam kefanaan kebersamaan.
Ini merupakan landasan golongan ini, bahwa ma'rifat di atas ilmu. Ilmu menurut mereka adalah pengetahuan tentang data, sedangkan ma'rifat merupakan penguasaan tentang sesuatu dan batasannya. Dengan begitu ma'rifat lebih tinggi daripada ilmu. Ada pula yang mengatakan bahwa amal orang-orang yang berbuat baik berdasarkan ilmu, sedangkan amal orang-orang yang taqarrub berdasarkan ma'rifat. Di satu sisi pendapat ini bisa dibenarkan, tapi di sisi lain dianggap salah. Orang-orang yang berbuat baik dan orang-orang yang taqarrub beramal berdasarkan ilmu memperhatikan hukum-hukumnya. Sekalipun ma'rifatnya orang-orang yang taqarrub lebih sempurna daripada orang-orang yang berbuat baik, toh keduanya sama-sama ahli ma'rifat dan ilmu. Orangorang yang berbuat kebaikan tidak akan menyingkirkan ma'rifat dan orang-orang yang taqarrub tetap mem-butuhkan ilmu. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menasihati Mu'adz bin Jabal, "Engkau akan menemui suatu kaum dari Ahli Kitab. Maka hendaklah seruanmu yang pertama kepada mereka adalah sya-hadat la ilaha Wallah. Jika mereka sudah mengetahui Allah, kabarkan-lah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan shalat lima waktu sehari semalam." Mu'adz bin Jabal harus membuat mereka tahu tentang Allah sebelum menyuruh mereka mendirikan shalat dan mem-bayar zakat. Tidak dapat diragukan bahwa ma'rifat seperti ini tidak seperti ma'rifatnya orang-orang Muhajirin dan Anshar. Manusia ber-beda-beda dalam tingkat ma'rifatnya.
2. Musyahadah dengan mata kepala, yang memotong tali kesaksian,mengenakan sifat kesucian dan mengelukan lidah isyarat.
Derajat ini lebih tinggi daripada derajat pertama. Sebab derajat perta ma merupakan kesaksian kilat yang berasal dari ilmu mengenai tauhid,sehingga orangnya dapat melihat semua sebab. Sedangkan orang yang ada dalam derajat ini tidak memiliki tali kesaksian, bebas dari sifat-sifat jiwa, dan sebagai gantinya dia mengenakan sifat kesucian serta lidahnya tidak membicarakan isyarat kepada apa yang disaksikannya. Ini merupakan kesaksian wu jud itu sendiri, tanpa disertai kilat dan cahaya, yang berarti derajatnya lebih tinggi.
3. Musyahadah kebersamaan, yang menarik kepada kebersamaan, yang mencakup kebenaran perjalanannya dan menumpang perahu wujud. Menurut Syaikh, orang yang ada dalam derajat ini lebih mantap dalam kedudukan musyahadah, kebersamaan dan wujud serta lebih mampu membawa beban perjalanannya, yang berupa berbagai macam pengungkapan dan ma'rifat.
Sesungguhnya musyahadah yang sempurna dihasilkan apabila telah sempurna suluknya, sempurna mencapai maqam fana Af'al, fana Sifat, fana Asma 'dan fana Zat. Yakni dasarnya adalah, apabila telah sempurna kesucian nafsu yang yang menghalang dari ingatan kepada Allah Taala. Musyahadah adalah terbuka hijab alam bathin dengan Nur Makrifah dan ketika itu tajallilah Zat Allah Taala di alam gaib dan Allah melihat dia di lingkungan dzahir. Dan ketika itu ia melihat rahasia ketuhanan dan ALlah Taala melihat penghambaannya meliputi dzahir dan bathin
Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah tersebut melahirkan tasawuf. Tasawuf pada awal pembentukkannya adalah akhlak atau keagamaan yang diatur dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Banyak tokoh-tokoh yang ada dalam ilmu tasawuf, sehingga banyak pula perbedaan aliran. Tujuan tasawuf  adalah memperoleh hubungan langsung dengan Allah SWT. Tercapainya tujuan bisa kita raih dengan usaha yang panjang dan penuh rintangan. Hal itu bisa di mulai secara bertahap. Di dalam perjalanan menuju Allah tersebut, kaum sufi harus menempuh berbagai tahapan, yang dikenal dengan maqamat dah ahwal. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan. Maqamat dan ahwal adalah dua hal yang biasa dialami oleh orang yang menjalani tasawuf sebelum sampai pada tujuan.
Menurut Artikel Rifqisubuh  : Pokoknya orang yang ingin mencapai musyahadah kepada Allah hanya akan bisa dicapai dengan mujahadah dan senantiasa taqarrub dengan Allah dan melanggengkan dzikrullah, disertai kebersihan hatinya. Pada hakikatnya musyahadah itu adalah merasakan berhadapan dengan Allah dan bersama Allah atau yang dinamakan “hudlurul qalbi”. Mengingat Allah dengan sepenuh hati, artinya dengan hati yang khusyu’ saat melakukan dzikrullah dan bertaqarrub kepada Allah.
Setelah mencapai musyahadah ini, kemudian menanjak lagi ke tingkat al-Mukasyafah atau terbukanya segala rahasia artinya tiada tertutup lagi sifat-sifat ghoib. Maksudnya terbukalah  rahasia alam ghoib yaitu tiada tertutup dari sifat-sifat ghoib. Setelah itu barulah seseorang dapat mencapai tingkat al-musyahadah. Menurut al Junaidi al Baghdadi “Al Musyahadah adalah nampaknya Al-Haqqu Ta’ala dimana alam perasaan sudah tiada.
Tingkatan Musyahadah
Menurut Al Sarraj, musyahadah adalah hal yang tinggi, ia merupakan gambaran-gambaran yang menambah hakikat keyakiinan. Tingginya hal Musyahadah ini ditunjukkan oleh firman Allah, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”. (QS. Qaf :37). Menyaksikan dalam ayat ini berarti menghadirkan hati atau kesaksian hati bukan dengan mata.
Macam-macam Ahwal Musyahadah. Dalam perspektif tasawuf, musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat-Nya dengan mata kepala. Hal ini berarti bahwa dalam tasawuf, seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Sehingga boleh jadi, hanya bagi mereka, Tuhan itu dapat dilihat. Hal ini misalnya tertera dalam permohonan Nabi Musa as untuk melihat Tuhan, 
وَلَمَّا جَاءَ مُوْسَى لِمِيْقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ اَرِنِيْ اُنْظُرْ اِلَيْكَقل الاعراف 143 
Artinya : “Dan ketika Musa dating untuk (munajat) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya ”Musa berkata : Ya Tuhanku perlihatkanlah (diri-Mu) kepadaku, agar aku dapat melihat-Mu.” (QS. Al-A’raf : 143). Para Sufi juga meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW dapat melihat Tuhan ketika melakukan Mi’raj.
Menurut Al Sarraj, musyahadah adalah hal yang tinggi, ia merupakan gambaran-gambaran yang menambah hakikat keyakinan. Tingginya hal Musyahadah ini ditunjukkan oleh firman Allah,
اِنَّ فِى ذلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ اَوْ اَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيْدٌ* ق  37
Artinya : “Sesungguhnya pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”. (QS. Qaf :37). Menyaksikan dalam ayat ini berarti menghadirkan hati atau kesaksian mata hati bukan dengan mata zahir.
Hal Musyahadah ini dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan seorang hamba dengan Allah.  Menurut Al Sarraj ahli Musyahadah terbagi atas tiga tingkatan.
1. Tingkat pertama, adalah kelompok Al Ashagir (pemula), yakni mereka yang berkehendak.
2. Tingkat kedua, kelompok pertengahan (Al-Awsath). Dalam pandangan kelompok ini Musyahadah berarti bahwa ciptaannya pada genggaman Yang Haq dan pada kerajaan-Nya.
3. Tingkat ketiga seperti yang diterangkan Al Makki, hati kaum arifin ketika menyaksikan Allah sesungguhnya menyaksikan dengan kesaksian yang kokoh (wordpress.com/2011)
Hal Musyahadah ini dapat dikatakan merupakan tujuan dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan seorang hamba dengan Allah.  Menurut Al sarraj ahli Musyahadah terbagi atas tiga tingkatan :
1. Tingkat pertama, adalah kelompok Al Ashagir (pemula), yakni mereka yang berkehendak.
2. Tingkat kedua, kelompok pertengahan (Al-Awsath). Dalam pandangan kelompok ini Musyahadah berarti bahwa ciptaan ada pada genggaman Yang Haq dan pada kerajaan-Nya.
3. Tingkat ketiga seperti yang diterangkan Al Makki, hati kaum arifin ketika menyaksikan Allah sesungguhnya menyaksikan dengan kesaksian yang kokoh
Musyahadah adalah nampaknya Allah pada hambanya dimana seorang hamba tidak melihat sesuatu apapun dalam beribadah, kecuali hanyalah menyaksikan dan meyakini dalam hatinya, bahwa ia hanyalah berhadapan dan dilihat oleh Allah SWT. Dalam beribadah ia tidakmenghiraukan lagi terhadap sesuatu yang disekelilingnya, termasuk dirinya sendiri karena asyiknya berhubungan dengan Allah seakan-akan Allah benar-benar nampak dihadapannya (Wordpress.com/2011)
Menurut Artikel Rifqisubuh  : Seorang akan dapat mencapai musyahadh billah, jikalau ia melakukan mujahadah fil amal dan sebelumnya telah mencapai maqam fana’ atau memunafikkan tujuan lain selain daripada Allah. Ibadahnya hanya semata-mata ditujukan dan dihadapkan kepada Allah dan sama sekali bebas dari unsur riya’.
Tahap-tahap dalam Musyahadah. Adapun terjadinya musyahadah adalah dengan adanya nur musyahadah yang terpancar dalam hati seseorang. Dan terjadinya musyahadah ini melalui tiga tahap yaitu :
1. Nur musyahadah pertama, adalah yang membukakan jalan dekat kepada Allah. Tanda-tandanya ialah seorang merasa muraqabah/ berintaian dengan Allah.
2. Nur musyahadah kedua, adalah tampaknya keadaan “adamiah”  yakni hilangnya segala maujud, lebur kedalam wujud Allah dan baginyalah wujud yang hakiki.
3. Nur musyahadah ketiga yakni tampaknya Dzatullah yang maha suci. Dalm hal ini bila seorang telah fana’ sempurna, yaitu diantaranya telah lebur dan yang baqa’ hanyalah wujud Allah.
Musyahadah ini masuk pada hati seorang hamba Allah yang telah melakukan mujahadah fil ibadah dengan cara memfana’kan diri terlebih dahulu, mengikhlaskan dirinya dalam beribadah dan menghilangkan sifat-sifat yang menjadi penghalangnya musyahadatur rabbaniyah. Karena itu ada pula yang mengatakan bahwa musyahadah bisa dicapai melewati pintu mati.jalan yang ditempuh untuk sampai pada musyahadah dengan Allah melalui pintu mati (dalam pengertian matinya nafsu untuk hidupnya hati)dapat ditempuh pada 4 tingkat yaitu :
1. Mati tabi’i
Menurut sebagian ahli thariqat, bahwa mati thabi’i terjadi dengan karunia Allah pada saat dzikir qalbi didalam dzikir lathaif. Dan mati tabi’i ini merupakan pintu musyahadah pertama dengan Allah.
2. Mati ma’nawi
Menurut sebagian ahli thariqat bahwa mati ma’nawi ini terjadi dengan karunia Allah pada seseorang salik saat melakukan dzikir Lathifatur Ruh, dalam dzikir lathaif. Dalam dzikir lathifatur Ruh itu sebagai ilham yang tiba-tiba nur Ilahi terbit dalam hati. Ketika itu penglihatan secara lahir menjadi hilang lenyap dan mata batin menguasai penglihatan (Rifqisubuh 2017M)
Dalam tingkat ini, seseorang salaik telah memasuki fana kedua yang dinamakan fana fis sifat. Sifat kebaharuan dan kekurangan serta Alam perasaan lenyaf/fana dan yang tinggal adalah sifat Tuhan yang semporna dan Azali. قَوْلُهُ : لَا حَيَّ الَّا اللهُ  Tiada hidup selain Allah (Zahri tahun 1998M)
3. Mati suri
Mati suri ini terjadi dengan karunia Allah pada saat seseorang salik melakukan dzikir lathifatus sirri dalam dzikir lathaif. Pada tingkat ketiga ini, seorang salik telah memasuki pintu musyahadah dengan Allah. Ketika itu segala keinsanan lenyap/fana’ alam wujud yang gelap telah ditelan oleh alam ghaib/alam malakut yang penuh dengan nur cahaya. Dalm pada ini yang baqa’ adalah nurullah, nur shifatullah, nur asmaullah, nur dzatullah dan nurun ala nurin. Untuk mencapai keadaan musyahadah seperti tersebut diatas adalah dengan mujahadah, niscaya Allah akan memperbaiki sirnya/hatinya dengan musyahadah. Apabila seseorang telah mendapatkan karunia Allah dengan musyahadah, maka dengan sendirinya akan lenyaplah segala hijab dari sifat-sifat basyariah, nampaknya Allah atau tajalli (Rifqisubuh 2017M)
Dr. Mustafa Zahri dalam bukunya Kunci Memahami Ilmu Tasawuf bahwa pada tingkat ketiga ini (mati suri) seseorang/salaik telah memasuki pintu Musyahadah dengan Allah. Ketika itu segala keinsanan leyap/fana, alam wujud yang gelap (ظُلْمَةٌ) telah ditelan oleh alam Ghaib (عَالَمُ الَمَلَكُوْتِ) yang penuh dengan Nur-Cahaya. Dalam pada ini yang baqa adalah Nurullah semata-mata. Nur Af’al Allah dan Nur Sifat Allah, Nur Asma Allah dan Nur Dzat Allah- Nurun ala nurin Firman Allah :
نُوْرٌ عَلَى نُوءرٍ يَهْدِى اللهُ لِنُوءرِهِ مَنْ يَشَاء*
Artinya “Cahaya atas cahaya Allah mengkurniakan degan NurNya siapa-siapa yang Ia kehendaki”.
لَا مَحْمُوءدَ اِلَّا اللهُ
Artinya “Tidak ada yang dipuji melainkan Allah”
4. Mati Hissi
Seterusnya ialah mati hissi. Mati Hissi ini terjadi dengan karunia Allah pada saat seseorang/salik melakukan dzikir lathifatul Khafi dalm dzikir lathaif. Pada tingkat keempat ini seseorang/salik telah sampai ketingkat yang lebih tinggi untuk mencapai makrifah sebagai maqam tertinggi (Zahri tahun 1998M)
Syaikhul Kiram ‘Alimul Allamah Muhammad Ihsan Dahlan al Jempisi al Kaderi dalam kitabnya Sirajut Thalibin :
فَقَالَ : اِعْلَمْ اَنَّهُمْ قَالُوْا اِنَّ الْمُرَاقَبَةَ نَسَبَةٌ زَكِيَّةٌ وَعُبُوْدِيَّةٌ خَفِيَةٌ* فَمَنْ تَحَقَّقَ بِهَا نَوَّرَ اللهُ قَلْبَهُ بِنُوْرِ الْمَعْرِفَةِ وَشَرَحَ صَدْرَهُ بِكَشْفِ الْحَقِيْقَةِ*
Maksudnya : Dia berkata: ketahui olehmu bahwanya mereka (Ahli thariqah) telah berkata bahwanya Muraqabah adalah turunan yang suci dan penghambaan yang amat tersembunyi. Maka barangsiapa tahqiq/benar dengan Muraqabahnya maka Allah telah menyinari hatinya dengan cahaya ma’rifah (ilmu ketuhanan) dan melapangkan dadanya dengan tersingkapnya haqiqat ketuhanan*
وَهِيَ (اى اعظم العبادات) مِنَ الطُّرُقِ الْمَوْصِلَةِ اِلَى الْمُشَاهَدَاتِ* وَهِيَ عَلَى ثَلَاثَةِ اَنْوَاعٍ : الْاَوَّلُ اِسْتِدَامَةُ الْعِلْمِ بِاطْلَاع الْحَقِّ عَلَيْهِ فِى جَمِيْعِ الْاحْوَال مَعَ مُرَاعَاةِ الْاتباع بِجَمِيْعِ الْاَحْكَامِ* الثَّانِى مُطَالَعَةُ اَثْمَارِ الْاَسْمَاء وَالصِّفَات والْمُسَارَعَة اِلَى اللهِ بِالْوُصُوْلِ بِجَمِيْعِ الْعِبَادَاتِ* الثَّالِثُ 
Dan dia (yaitu seagung-agung ibadah) dari jalan menuju ke musyahadah * Dan dia ada pada tiga jenis jalan : pertama keberlanjutan menuntut ilmu untuk menginformasikan kepadanya hak dalam semua kasus, dengan mempertimbangkan pengikut semua putusan * Kedua membaca nama Ithmar dan sifat-sifat Allah dan untuk mempercepat akses ke semua ibadah * Ketiga




Syaikhul Kiram ‘Alimul Allamah Muhammad Ihsan Dahlan al Jempisi al Kaderi menegaskan bahwa hal itu (al mukasyafah) bersumber dari hadis Rasulullah Saw. 
وَهذَا هُوَ الْعِلْمُ الْخَفِيُ الَّذِىْ اَرَادَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِقَوْلِهِ : اِنَّ مِنَ الْعلْمِ كَهَيْئَةِ الْمَكْنُوْنِ لَا يَعْرِفُهُ اِلَّا اَهْلَ الْمَعْرِفَةِ بِاللهِ فَاِذَا نَطَقُوْا بِهِ لَمْ يُجْهِلْهُ اِلَّا اَهْلَ الْاِغْتِرَارِ* سراج الطالبين
Dalam hal ini dia adalah ilmu yang amat halus/tersembunyi yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw dengan sabdanya : “Sesungguhnya ilmu itu adalah laksana barang berharga yang tersimpan. Tak ada yang dapat memahaminya kecuali golongan ‘Arif Billah. Bila mereka bicara tentang ilmu itu, tidak ada orang yang menyepelikanknya kecuali berhati lalai (Haderanie,HN)
عِلْمُ الْمُكَاشَفَةِ وَهُوَ نُوْرٌ يَظْهَرُ فِى الْقَلْبِ عِنْدَ تَزْكِيَّةٍ فَتَظْهَرُ بِهِ الْمَعَانِى الْمُجْعَلَةُ فَتَحْصُلُ لَهُ الْمَعْرِفَةُ  بِاللهِ تَعَالَى وَاَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَتَنْكَشِفُ لَهُ الْاَسْتَارُ عَنْ مُخْبِئَاتِ الْاَسْرَارِ* وَفِى الْاِحْيَاءِ مَعَ شَرْحِهِ وَهذه هِيَ الْعُلُوْمُ الَّتِى اُمِرُ بِكِتْمَانِهَا وَاِنَّهَا لَا تَسْطُرُ  فِى الْكُتُبِ لِاَنَّهَا عُلُوْمٌ ذَوْقِيَّةٌ كَشْفِيَّةٌ تُدْرَكُ عَنْ مُشَاهَدَةٍ لَا عَنْ دَلِيْلٍ وَبُرْهَانٍ* سرج الطالبين الجزء الاول  رقم 70
Ilmu Mukasyafah adalah Nur yang nyata dalam hati ketika pembersihannya, maka tampaklah hati itu. Pengertian-pengertian yang menyeluruh merupakan hasil ma’rifatullah ta’ala. Ma’rifat kepada AsmaNya, Sifat-sifatNya, Kitab-kitabNya dan Ma’rifat kepada Rasul-rasulNya dan terbukalah segala tutupan dari segala rahasia-rahasia yang tersembunyi…. Didalam Kitab Ihya beserta penjelasannya mengemukakan “rahasia-rahasia yang terbuka inilah yang diperintahkan menyembunyikannya karena tidak ada tertulis di dalam kitab-kitab. Sesungguhnya hal itu adalah rangkuman segala ilmu dzauky (perasaan) yang terbuka cerah didapat dari Musyahadah tanpa dalil dan keterangan (Haderanie,HN)
فَمَنْ تَوَجَّهَ اِلَى رُوْحِهِ مِنْ قَلْبِهِ فَقَدْ يَنْكَشِفُ لَهُ مَا فِى حَضْرَةِ الرُّبُوْبِيَّةِ مِنَ الْاَسْرَارِ فَيَصِلُ بِذلِكَ اِلَى مَعْرِفَةِ رَبِّهِ بِالْمَعْرِفَةِ الشُّهُوْدِيَّةِ لِاَنَّ حَقِيْقَةَ الرُّوْحِ الْاِنْسَاانِيِ كَالْمِرْاَةِ لِتِلْكَ الْحَاضِرَةِ لِمَا فِيْهِ مِنَ الْقُوَّةِ الْعَقْلِيَّةِ الَّتِى هِيَ جَوْهَرٌ اِلهِيٌّ فَمَنْ كَشَفَ ذلِكَ الْجَوْهَر رَاَى فِيْهِ جَمِيْعَ صِفَاتِ اللهِ وَاَسْمَائِهِ وَذَاتِ تَعَالَى بِالْاِنْطِبَاخِ الظِّلِّيِّ وَرَاَى فِيْهِ اَيْضًا جَمِيْعَ الْوُجُوْدَاتِ الْعَقْلِيَّةِ وَالْحِسِّيَةِ* سرج الطالبين رقم 396
Barang siapa tawajjuh (menghadapkan) dari hatinya kepada ruhnya sendiri, maka niscaya terbuka untuknya apa yang ada pada khadarat Ketuhanan dari segala rahasia. Maka ia akan sampai kepada ma’rifat Tuhannya dengan ma’rifat syuhudi (penyaksian). Sebab hakikat ruh kemanusian itu adalah seperti cermin untuk khadarat Ketuhanan itu yang padanya terdapat kekuatan pikiran aqal yang murni yang merupakan seperti mutiara. Siapa yang terbuka baginya Mutiara itu, dia dapat melihat semua rahasia sifat-sifat Allah, rahasia nama-namaNya dan rahasia DzatNya. Dengan tersisihnya bayangan dan dia melihat pula semua keadaan pikiran dan pengindraan. 
وَاَمَّا كَيْفِيَّةُ الْمُرَاقَبَةُ فَاَنْ يَكُوْنَ السَّالِكُ طَاهِرَ الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ والْمَكَانِ حَاضَرَ الْقَلْبَ مَعَ اللهِ مَرْفُوْعًا عَنِ الْوُسَاوِسِ والْخَيَالَات. مَحْفُوْظًا عَنْ سَائِرِ الْمَشُوْشَاتِ يَجْلِسُ (اي جلوس الخدمة اَوْ جلوس الدرجة  اَوْ جلوس التقديم اَوْ عَلَى رُكْبَتَيْهِ) مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ غَامِضِ الْعَيْنَيْنِ مُتَبَرِّئًا عَنْ حَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ نَاسِيًا جَمِيْعَ عِلْمِهِ وَمَعْرِفَتِهِ ......
كَيْفِيَّةُ الْاِشْتِغَالِ بِالْوُقُوْفِ الْقَلْبِيِّ اَنْ يُجَرِّدَ السَّالِكُ لَوْلَا عَقْلَهُ مِنْ جَمِيْع الْاِدْرَاكَاتِ ثُمَّ يَعْطَلُ جَمِيْعَ قُوَّاهُ وَحَوَّاسِهِ عَنِ الْاَحْكَامِ ثُمَّ يَسْلُخُ نَفْسُهُ عَنِ الْهَيْكَلِ الْجِسْمَنِى وَبَعْدَ ذَالِكَ يَوَجُّهُ بِالْبَصِيْرَةِ اِلَى حَقِيْقَةِ الْقَلْبِ عَلَى طَرِيْقِ الْاِسْتِغْرَاقِ وَالْاِسْتِهْلَاكِ وَيُدَاوَمُ عَلَى ذَالِكَ فَكُلَّمَا يَزْدَادُ تَوَجُّهُهُ اِلَى حَقِيْقَةِ الْقَلْبِ تَزْدَادُ مَعْرِفَتُهُ لِرَبِّهِ* سرج الطالبين
Cara melaksanakan wuquf qalby seorang Salik harus mengkosongkan dahulu semua pemikiran-pemikirannya, kemudian melemaskan seluruh kekuatannya/tenaganya dan penginderaannya dari semua sifat penginderaan. Lalu melepaskan nafsunya untuk mengerakkan organ tubuhnya. Setelah itu pandangan mata hatinya berhadap kepada hakekat hati menurut ajaran “istigrak dan istihlak” secara terus menerus. Maka  bila tawajjuhnya meningkat kepada hakekat hati itu, maka bertambah pulalah ma’rifatnya kepada Tuhannya Yang Maha Suci.
وَصُوْرَةُ اُخْرَى مِنَ الْوُقُوْفِ الْقَلْبِيِّ وَاَنْ تَوَجَّهَ السَّالِكُ اِلَى قَلْبِهِ ثُمَّ يَتَصَوَّرُ رُوْحَهُ فِى قَلْبِهِ نُوْرًا مَحْضًا لَا نِهَايَةَ يَتَصَوَّرُ فِى حَقِّ رُوْحِهِ النُّوْرَ اِلَى صُوْرَةِ بَدَنِهِ وَصُوَرَ الْعَالَمِ كالطَّيْرِ فِى الْهَوَاءِ وَيَتَصَوَّرُ رُوْحَهُ مُحِيْطًا بِتِلْكَ الصُّوَرِ مُحَاطَةً

وَصُوْرَةُ اُخْرَى مِنَ الْوُقُوْفِ الْقَلْبِيِّ وَاَنْ تَوَجَّهَ السَّالِكُ اِلَى دَائِرَةِ الْقَلْبِ بَعْدَتَجْرِيْدٍ عَنِ الْشَوَاغِلِ ثُمَّ يًلَاحَظُ بَدَنَهُ فِى وَسَطِ تِلْكَ الْدَائِرَةِ كَالْكُرَّةِ وَيُخِيْلُ رُوْحَهُ
Cara yang lain tentang wuquful qalby ialah bahwa seorang salik bertawajjuh mengarahkan pandangan mata hatinya kedaerah hati. Setelah ia (salik) mengosongkan segala macam kesibukan atau keruwitan  lalu memandang mengamati tubuhnya pada titik tengah daerah hati itu seperti bola dan selanjutnya dia khayalkan rohnya menembus lapisan-lapisan langit dan bumi.
DAFTAR PUSTAKA 
                                                        (1). Syaikhul Kiram ‘Alimul Allamah Imam al Qusyairi dalam kitabnya Ar Risalah Qusyairiyah fi ilmi Tasawuf  halaman 76 menulis tentang Musyahadah
                                                        (2).Ibid halaman 78
                                      (3).Makalah Risalah ‘Uqdatul Jama’ah Thariqat Junaidiyah Bingkisan Ikatan Hati Dalam Perjalanan Thariqat Junaidiyah, tanpa Penerbit, tahun 1998M halaman 43.
                                                        (4).Kamus Arab Indonesia oleh Prof.DR.Mahmud Yunus, Penerbit PT. Hidakarya Agung Jakarta Halaman 206.
                                                        (5).Risalah Qusyairiyah fi limit Tasawuf oelh Abdul Karin bin Hawazin al Qusyairi an Naisyaburi halaman 75
                                                          (6).Artikel “Belajar Ilmu Tasauf  Maqam Musyahadah” Mitrasantri diterbitkan 18 Oktober 2011
                                                        (7).Kitab “Sirâjut Thâlibîn” Juz 1 Syekh Ihsân ibn Dahlân al-Jamfasî al-Kadîrî al-Jâwî seorang ulama besar Nusantara asal Jampes, Kediri (Jawa Timur), (dikenal dengan nama Syekh Ihsan Jampes, w. 1952 M), yang merupakan komentar dan penjelasan (syarh) atas kitab tasawuf “Minhâjul ‘Âbidîn” karangan Hujjah al-Islâm al-Imâm al-Ghazzâlî (w. 1111 M) –ttg tingkatan Muraqabah halaman 394 dan 396
                                                           (8).Al Qur’an dan Terjemahannya Juz 1- Juz 30 Departemen Agama, Penerbit Mekar Surabaya tahun   2002M
                                                           (9).Kitab Shahih Muslim Juz Pertama oleh Imam Abi Husain Muslim bin al Hajjaj penerbit Maktabatu Dahla halaman 37
                                                           (10).Artikel Macam – Macam Ahwal (5) Musyahadah. Dalam perspektif tasawuf
https://peradaban14islam.wordpress.com › 2011/04/16
16 Apr 2011 — Macam – Macam Ahwal (5) Musyahadah. Dalam perspektif tasawuf, musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, ... pada taggal 10/12/21
                                                            (11).Artikel Rifqisubuh wordpress ttg “Musyahadah”,  diakses dari
https://rifqisubuh.wordpress.com/2017/06/07/musyahadah/ tanggal7 Juni 2017 16 pukul 18.32 WIB
                                                          (12).Buku Kunci Memahami Ilmu Tasawuf yang ditulis oleh Dr. Mustafa Zahri penerbit PT. Bina Ilmu Surabya Tahun 1998 Halaman 235
                                                            (13).Buku Ilmu Ketuhanan Ma’rifah, Musyahadah, Mukasyafah, Mahabbah 4(M) oleh KH. Haderani HN, penerbit CV. Amin Surabaya tahu 1998M
                                                            (14).Artikel “Belajar Ilmu Tasauf  Maqam Mukasyafah” Mitrasantri diterbitkan 18 Oktober 2011





BAB TENTANG MUQABALAH


Kitab Ar Risalah Umdatul  Hasanah lil jama’ah att thariqah al Junaidiyah …… Benteng Pertahanan thariqah al Junaidiyah di susun oleh Al Habib  H.Hasan Baseri, S.Ag Bin H. Muhammad Barsih bin Ahmad Baderi Assegaf


BAB.  VII

HAL MUQABALAH 


A.Pengertian Muqabalah

Secara etimologi, muqabalah berasal dari kata قبال - يقبل - قبل atas wazan -يفعل – فعل  فعال
  merupakan bentuk dari tsulasi mujarrad yang berarti menerima atau mengambil.  Adapun kata مقابلة merupakan bentuk masdar dari kata  قَابَلَ يُقَابِلُ- فَهُوَ مُقَابَلةً dengan tambahan alif atas wazan يفاعل- فاعل  yang   arti   dasarnya   adalah  القى    yang berarti menjumpai / pertemuan, atau   bermakna berhadapan. Sedangkan  مقابلة  secara isim masdar bermakna  المالقاة yang berarti sesuatu yang  berhadapan  dan  المعارضة  yang berarti perbandingan.
Adapun secara terminologi menurut Imil Badi’ Ya’qub dan Misyal ‘Asyi dalam kitab al-Mu’jam al-Mufassal fi al-Lughah wa al-Adab memberikan definisi bahwa muqabalah merupakan bagian dalam Ilmu Badi’ yaitu mendatangkan dua makna yang  bersesuaian kemudian didatangkan kata yang berlawanan dengannya sesuai dengan urutan.” Seperti dalam syair:

مَا أَحْسَنَ الدِّيْنَ وَالدُّنْيَا إِذَا اجْتَمَعَا وَ أَقْبَحَ الْكُفْرَ وَإلْفَالِسَ فِي الرَّجُلِ

“Indahnya agama dan dunia bila keduanya terpadu. Alangkah buruknya kekufuran dan kemiskinan bila ada pada diri seseorang.”

Pada syā’ir di atas, dapat dilihat bahwa kata أقبح berlawanan dengan kata أحسن ,kata الكفر berlawanan dengan kata الدين ,sedangkan kata اإلفالس berlawanan dengan kata الدنيا.
Muqabalah merupakan salah satu bentuk keindahan al-Qur’an dari segi makna. Muqabalah tidak sama dengan antonim. Akan tetapi, muqabalah menyejajarkan dua kata terlebih dahulu kemudian mendatangkan makna yang berlawanan. 
Sebagai contoh:

اُولئِكَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ يَبْتَغُوْنَ اِلَي رَبِّهِمْ الْوَسِيْلَةَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ وَيَرْجُوْنَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُوْن عَذَابَهُقلي اِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُوْرًا* الاسراء 57

 Artinya : “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS. al-Isra’/17: 57)

Kata yarjuna (mengharap) dan kata rahmatuhu (rahmat) adalah dua kata yang  memiliki makna berdekatan, kemudian disejajarkan dengan dua kata yang berlawanan,  yaitu kata yakhafuna (takut) dan kata ʻadzabahu (siksa) yang juga memiliki kata  berdekatan. Penggunaan ayat al-Qur’an yang menggunakan uslub muqabalah banyak  dijumpai pada surah-surah pendek. Hal ini dikarenakan surah-surah tersebut umumnya  menceritakan tentang bagaimana Allah mengistimewakan orang-orang yang beriman dan  menghinakan orang-orang yang durhaka kepada-Nya.


B.Kaum Sufi Selalu merasa  bersama Allah Swt

Muqabalah berarti perjumpaan atau pertemuan seorang Hamba dengan Tuhannya pada setiap waktu, tempat dan keadaan, baik berjumpa dengan af’al-Nya, Sifat-Nya. Asma-Nya ataupun dengan Dzat-Nya. Menurut ajaran thariqat Junaidiyah al Bagdadiyah salah satu hak dari Allah Swt terhadap hambanya adalah Hal Muqabalah  (حَالُ الْمُقَابَلَةِ). Disini seorang Salik merasakan selalu bertemu dengan Af’al Allah Swt, selalu berjumpa dengan Asma Allah Swt, selalu berjumpa dengan Sifat-sifat Allah Swt dan merasa selalu berhadap-hadapan dan mesra dengan Dzat Wajibal Wujud Swt. Oleh karenanya salah satu yang harus dilalui bahkan dilazimi setiap saat oleh Salik dalam menjalani Thariqat Junaidiyah, ia selalu mesra dan berjumpa dengan Tuhannya.
Pertemuan dan perjumpaan dengan Tuhannya di dua Alam ini, alam Sugra dan alam Kubra telah/ sedang & akan terjadi, Apabila Salik PTJ  dalam keadaan Tawajjuh Muthlaq setiap saat. Sedangkan Allah Swt telah bertajalli pada Hayatnya.  Bila Tawajjuhnya sudah mantap, Tawajjuhnya sudah tahqiq maka Salik PTJ  selalu meresa berjumpa dengan Tuhannya, baik yang ia jumpai  itu Af’al-Nya, atau yang ia jumpai  itu Asma-Nya, atau juga yang ia jumpai  itu Sifat-sifatnya Allah Swt bahkan merasa bertemu dengan DZAT-Nya.
Firman Allah Swt pada surat al Baqarah ayat 115 yang berbunyi :

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ  فَاَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِط اِنَّ اللهَ وَاسِعُ عَلِيْمٌ* البقرة 115

Artinya : “Dan kepunyaan Allah lah apa saja di Timur hingga Barat, oleh karenanya kemana saja kamu memalingkan mukamu, maka disanalah Wujud Allah, sesunguhnya Allah amat luas karunia-Nya dan ilmu-Nya”. QS. Al Baqarah 115.
Dalam bahasa lain bahwa hal Muqabalah ini dapat dirasakan tatkala Salik PTJ mempanakan dirinya, melenyapkan Batang Tubuhnya, mempanakan Hatinya,  dan Rohnya yakni sifat  : Qadirun, Muriidun, A’limun, Samii’un, Bashiirun, Hayyun dan Mutakallimun. Dalam  ilmu Tauhid bahwa 7 sifat ini disebut sifat Ma’anawiyah (اَلصِّفَاتُ الْمَعَانَوِيَّةُ). Dikala itu Salik  PTJ benar-benar rasa bersama Allah, baik Af’al, Asma atau Sifat-sifat-Nya.

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كُنْ مَعَ اللهِ .... الحديث

Artinya : Nabi kita Muhammad Saw telah bersabda : “Hendaklah kamu (selalu) bersama Allah ……Al Hadis

Hadis diatas memerintahkan kepada kita agar supaya Salik selalu bersama dengan Allah Swt, baik bersama dengan Af’al-Nya, atau rasa bersama dengan Asma-Nya, atau bersama deng an Sifat-sifat-Nya. 
Kitab Ar Risalah Umdatul  Hasanah lil jama’ah att thariqah al Junaidiyah …… Benteng Pertahanan thariqah al Junaidiyah di susun oleh Al Habib  H.Hasan Baseri, S.Ag Bin H. Muhammad Barsih bin Ahmad Baderi Assegaf


C.Ayat-ayat  yang  Mengacu  kepada  Muqabalah

a.Firman  Allah Swt  QS Al Baqarah ayat  186 berbunyi  :

o ,وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِلا فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ* البقرة 186

Artinya  : ….”Dan apabila Hamba-hamba Ku, bertanya kepadamu (Muhammad)     tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aka kabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila dia berdo’a kepada Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (Perintah) Ku dan beriman kepda Ku agar mereka memperoleh kebenaran.” QS Al Baqarah 186

b.Firman  Allah Swt  QS Qaf ayat  16  berbunyi :

وَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ ... ق 16

Artinya  : ….” Dan Kami lebih dekat kepadanya (Manusia) dari pada pembuluh darah yang ada di lehernya”  QS Qaf 16

c.Firman  Allah Swt  QS Al Hadid ayat  4 berbunyi :

وَهُوَ مَعَكُمْ اَيْنَمَا كُنْتُمْ .... الحديد 4

Artinya  : ….”Dan Dia (Allah) bersamamu dimana saja kamu berada”. QS Al Hadid 4

d.Firman  Allah Swt  QS Al Ankabut ayat  5-6  berbunyi :

o مَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاءَ اللهِ فَاِنَّ اَجَلَ اللهِ لَأتٍ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ*وَمَنْ جَاهَدَ فَاِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِقلي اِنَّ اللهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِيْنَ*  الانكبوت  5-6

Artinya  : ….”Barang siapa mengharap pertemuan dengan Allah,  maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah pasti datang. Dan Dia Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” Dan barang siapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya sendiri. Sungguh Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam. QS Al Ankabut ayat  5-6 


D.Para Kaum Sufi selalu Rasa berjumpa dengan Allah Swt

 Dzikir adalah makanan utamanya Roh Sanubari Manusia. Oleh karenanya stiap gerak dan diamnya Salik semestinya tidak lepas dari Dzikrullah. Ia mengata dalam hatinya, ia menyebut dalam hatinya kalimat “laa ilaa ha illallah”, atau mengata kaliamt “illallah-illallah” atau menyebut kaliamt  “Allah-Allah”. Salik PTJ  pasti berharap dan akan berjumpa Tuhannya, baik berjumpa di alam Sugra ataupun berjumpa di alam Kubra. Pertemuan itu pasti terjadi dan mereka rasakan, mungkin juga rasa berjumpa dengan Af’al Tuhannya, atau rasa bertemu dengan Asma Tuhannya, atau juga rasa berhadap-hadapan dengan sifat-sifat-Nya di kdua alam tersebut.
Firman Allah Swt pada surat Al Kahfi ayat 110 yang berbunyi
:
o فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادِةِ رَبِّهِ اَحَدًا* الكهف 110

Artinya : “Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan Amal yang Saleh dan janganlah ia mempersekutukan-Nya dalam beribadat kepada  Tuhannya akan seseorang.” QS al Kahfi 110
:
Untuk mencapai “pertemuan dengan Allah Swt”  secara harfiah menurut ayat diatas, ada beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan antara  lain :
a.Istiqamah dan sabar dalam menjalankan ibadah shalat lima waktu, dan ….
b.Mengerjakan amal saleh sebagai wujud sifat kehambaan
c.Menafikan 7 sifat yang ada dalam Dirinya (Sifat Ma’nawi) yaitu : Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’a, Bashar dan Kalam, termasuk batang tubuhnya sehingga yang ada dirasakan Af’al, Asma. Sifat dari Allah Swt semata. Inilah yang dikehendaki Rasa berjumpa dengan Tuhannya atau Muqabalah.

Firman Allah pada Surat Ar Ra’du ayat 2 yang berbunyi :

يُدَبِّرُ الْاَمْرَ يُفَصِّلُ الْأَيَاتِ لَعَلَّكُمْ بِلِقَاءِ رَبِّكُمْ تُوْقِنُوْنَ*  الرعد  2

Artinya :… Allah Swt mengatur akan perkara-perkara, hal keadaannya juga menjelaskan tanda-tanda kekuasaanNya. Modah-modahan kamu pasti menjumpaiNya dengan yakin.” QS. Ar Ra’du 2

Salik yang selalu berjumpa dan bertemu dengan Allah Swt, baik perjumpaan dengan Af’al Allah, atau pertemuan dengan Asma Allah Swt, atau pertemuan dengan Sifat-sifat-Nya. atau rasa berhadap-hadapan dengan Wajibal Wujud setiap saat. Allah Swt sangat suka menjumpai Hamba-hambaNya, tetapi siapa yang benci menemui Allah maka Allah pun sangat benci menemuinya.
Dalam Kitab Hadis As Sunan At Tirmidzi pada Jilid IV halaman 139 ada dikatakan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda yang berbunyi :

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ اَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ اَحَبَّ اللهُ لِقَاءَهِ وَ مَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللهِ كَرِهَ اللهُ لِقَاءَهُ* رواه الترمذي

Artinya : Rasulullah Saw telah bersabda bahwa “Barangsiapa menginginkan (sangat menyukai) berjumpa dengan Allah, maka Allah lebih suka menjumpainya. “Barangsiapa benci bertemu dengan Allah, maka Allahpun benci menemuinya.” HR. At Tirmidzi.
Salik akan dapat mencapai Ma’rifat dengan Allah Swt, ia akan bertemu dengan Allah,  atau ia akan merasa berhadap-hadapan dengan Tuhannya (muqabalah) bila tawajjuhnya mantap dan benar dan juga tahqiq.
Ma’rifat dengan Allah Swt akan dialami oleh Salik bila ia pana terlebih dahulu dengan Gurunya atau pada (Syekhnya), Pana dengan Gurunya  adalah awal pana dengan Tuhannya. Salik lebih dahulu lebur- sirna perasaannya pada Gurunya, disini ia benar-benar merasakan Dirinya Ghaibah yang digantikan oleh Gurunya yang hadir waktu itu, maka ia rasa Syekhnyalah yang beramal…….
Jadi yang dirasakan Salik yang ada adalah Diri Gurunya… Begutulah Pana fi syekh,  fana ini terjadi dari pada Guru/ Syekh ke Guru/ Syekh hingga Fana pada Rasulullah Saw …
Kaidah menyebutkan bahwa :

قَوْلُهُ لَا فَاعِلَ اِلَّا الشَّيْخُ اَوْ لَا فَاعِلَ اى عَلَى الْاِطْلَاقِ اِلَّا نُوْرُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Artinya : Perkataannya “Tiada ada jenis perbuatan yang berbuat kecuali perbuatan Syekh. Atau “Tiada ada jenis yang berbuat melainkan Nur Muhammad Saw.”

Disini Salik benar-benar pana-lenyap pada Af’al Gurunya hingga nanti Salik benar-benar pana-lenyap pada Af’alnya Nur Muhammad Saw hingga ia nantinya ia juga pana dengan Allah Swt.
Kaidah menyatakan bahwa tentang Pana pada Af’alnya Allah Swt :
o لَا فَاعِلَ اِلَّا اللهُ تَعَالَى
Maksudnya : “Tiada yang berbuat secara muthlaq kecuali perbuatan Allah semata.”
Barangkali inilah yang dikehendaki oleh Penyusun Umdatul Jama’ah biqalami Firdaus pada haalaman ke 13 dari maksud perkataan Imam al Junaid al Bagdadi Rahimahullah yang berbunyi :
اَوْ لَيْسَ لِيْ فِعْلٌ مَعَ اللهِ لِاَنَّ ظَاهِرَ كُلَّهُ نَفَى غَيْرَ اللهِ وَهَدَمَ التَّكْلِيْفَ كُلَّهُ(1) 
Maksudnya : “Tidak ada satu perbuatan pun Saya miliki beserta Allah, karena sesungguhnya semua perbuatan yang zahir telah lenyap-hilang selain perbuatan Allah semata. Maka disini gugurlah-binasalah pembebanan semuanya.”
(1). كتاب الرسالة عمدة الجمعة بقلم فردوس 130
Hal keadaan demikian Salik dikatakan telah ber muqabalah dengan Tuhannya, telah berjumpa dengan Af’al Allah, telah bertemu dengan Asma Allah, bahkan ia telah berhadapan dengan Sifat-sifat Allah. Salik benar-benar tidak dapat menghadirkan wujud Dirinya, ia benar-benar ghaibah, ia merasa gerak diamnya minnah Allah semata.


E.Salik yang Mencari dan Mendapatkan Rasa Muqabalah dengan Tuhannya
.
Kalau boleh kita contohkan orang yang mendapatkan rasa muqabalah dengan Tuhannya, kalau boleh kita amsalkan terhadap orang yang memperoleh rasa pertemuan dengan Khaliknya setiap saat, Salik dapat mempanakan dirinya, Salik bisa meleburkan dirinya, Salik bisa melenyapkan wujud dirinya. Dengan jalan bertawajjuh Muthlaq yang benar dan mantap. Manakala wujud diri Salik pana, tatkala Batang Tubuh dan Hatinya diserahkan, batang tubuh dan hatinya digantikan Allah Swt. Maka panalah Salik, lenyap dan leburlah ia pada wujud Allah Swt. Ia merasa bingung, siapakah sebenarnya yang ada, apa sebenarnya yang dicari ? Semoga jawabannya didapatkan melalui contoh berikut ini  :
Saat itu Salik pana, ia bagaikan seekor Ikan Gabus yang sedang mencari air. Sang Ikan ini berenang kesana kemari dengan susah payah mencari Air. Namun air yang dicari rasanya belum ia dapatkan. Namun ia merasakan kepayahan yang luar biasa. Pada akhirnya ia bertemu dengan si Tunggul Air (Kayu kecil yang tertanam di dasar Sungai yakni tempat ikan-ikan bersembunyi). Kata si Tunggul Air : “Hai sang Ikan, apa yang kau cari ? Kau kelihatannya lelah sekali.” Jawab Sang Ikan Gabus : “Aku selama ini telah berenang kesana kemari dengan susah payah, untuk mencari Air, namun air yang aku cari rasanya belum kutemukan.” Mendengar pengakuan Sang Ikan itu, si Tunggul Air tertawa terbahak-bahak. Katanya “kau ini lucu sekali”. Kata si Tunggul Air : “Coba kau tenangkan dirimu (coba kau panakan dirimu, coba kau lenyapkan wujud dirimu) Ka
u pasti akan menemukan Air yang Kau Impikan selama ini “ !!!!!
Barulah Sang Ikan Gabus sadar, bahwa air yang ia cari sedemikian dekatnya, barada padanya dan meliputi seluruh Dirinya. Kemana saja ia berhadap ber (muqabalah) namun selalu ada. Bahkan tiada tempat namun Air selalu menempatinya.”
Allah Swt telah berfirman QS. Ali Imran ayat 120 yang berbunyi :

اِنَّ اللهَ بِمَا يَعْمَلُوْنَ مُحِيْطٌ* ال عمران 120

Artinya : “Sesungguhnya Allah dengan sesuatu yang mereka kerjakan itu (amat mengetahui) meliputi.”
Allah Swt telah berfirman QS. An Nisa  ayat 126 yang berbunyi :

وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْئٍ مُحِيْطًا*  النساء 126

Artinya : ….“Adalah Allah Swt dengan sesuatu itu amat meliputi” QS. An Nisa 126

Kitab Ar Risalah Umdatul  Hasanah lil jama’ah att thariqah al Junaidiyah …… Benteng Pertahanan thariqah al Junaidiyah di susun oleh Al Habib  H.Hasan Baseri, S.Ag Bin H. Muhammad Barsih bin Ahmad Baderi Assegaf


F.Salaik  Menjumpai Tuhannya Melalui Diri Sesamanya

Firman Allah Swt Qur’an Surat. Al Baqarah 115 ini telah mengacu pertemuan Salik dengan Tuhannya, yakni Allah ajja wajalla.

o فَاَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ* البقرة 115

Artinya : “Kemana saja Engkau meghadapkan (memalingkan) wajahmu, maka disanalah Wujud Allah”. QS. Al Baqarah 115.

Salaik PTJ mesti merasakan menjumpai Tuhannya melalui Diri sesama lainnya. Ayat tersebut menjelaskan kepada kita bahwa “Kemana saja Salik menghadapkan wajahnya, maka ia merasa selalu berhadap-hadapan dengan Tuhannya”. Menurut pengertian hakekat ia pasti menjumpai Af’al Tuhannya, Asma Tuhannya atau menjumpai dengan Sifat-sifat Tuhannya. Perjumpaan ini di alaminya di alam Sugra ataupun di alam Kubra.

Nabi Musa berhasrat/berkeinginan melihat wajah Tuhannya, Allah berkata kepada Nabi Musa  “ لَنْ تَرَانِيْ“ Engkau (Hai Musa) tidak bisa melihat Aku, selama Engkau mengklaim atau menganggap wujud dirimu ada (hadir). Firman Allah :

 “وَهُوَ مَعَكُمْ اَيْنَمَا كُنْتُمْ” 

Artinya : ”Dan Dia (Allah) bersamamu dimana saja kamu berada”. Firman Allah juga pada surat Al Isra ayat 60 yang berbunyi :  “اِنَّ رَبَّكَ اَحَاطَ بِالنَّاسِ“Artinya : “Sesungguhnya Tuhanmu, Allah meliputi semua Manusia.”  
Dalam Hadis tentang Muqabalah yakni “perjumpaan dengan Tuhannya” Salik PTJ di alam Kubra (di luar dirinya) menjumpai Af’al, Asma dan Sifat-sifat Allah Swt secara hakekat. Rasulullah Saw bersabda : Allah Swt telah berfirman dalam hadis Qudsi :

o يَا عَبْدِيْ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِيْ فَيَقَوْلُ : يَا رَبِّ كَيْفَ اَعُوْذُكَ وَاَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ ؟ فَيَقَوْلُ اللهُ : اَمَا اِنَّهُ مَرِضَ عَبْدِيْ فُلَانٌ فَلَمْ تَعُدْهُ فَلَوْ عُدْتُهُ لَوَجَدْتَنِيْ عِنْدَهُ ثُمَّ يَقُوْلُ يَا عَبْدِيْ اِسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمَنِيْ ثُمَّ يَقُوْلُ : اِسْتَسْقِيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِيْ* الحديث القدسي

Artinya : “Hai Hambaku, Aku telah jatuh sakit, Engkau tidak mengunjungi Ku, Hamba berkata “Bagaimana Hamba mengunjungi Mu sedang Engkau Tuhan pemelihara sekalian alam. Tuhan berfirman : “ Hamba Ku (yang bernama) Fulan sedang sakit, kamu tidak mengunjunginya, jika kamu kunjungi dia, kamu temui dia Aku (Alllah) disisihnya. Begitu juga Aku minta  makan, kamu tidak memberi makan, Aku juga minta minum, kamu tidak memberi minum.” Al Hadis Qudsi. 

Hadis diatas menjelaskan bahwa Manusia di muka Bumi ini adalah khayali atau adanya Hamba adalah wahmi (sangka-sangka) sahaja. Dia bagaikan Fata Morgana dari kejauhan terlihat dengan jelas wujudnya, tetapi manakala didekati tidak ada wujudnya.
Keberadaan Salik atau keberadaan Hamba di dunia ini laksana bayang-bayang, bahkan hukumnya sama dengan bayang-bayang, maka yang ada secara hakekat hanya Allah Swt semata. Berkata Ulama Sufi Syekh Syasytari dalam syair berbunyi
:
*اَلْخَلْقُ خَلْقُكُمْ وَالْاَمْرُ اَمْرُكُمْ* فَاَيُّ شَيْئٍ اَنَا لَكُنْتُ مِنْ ظِلَلٍ*
*مَا لِلْحِجَابِ مَكَانٌ فِي وُجُوْدِكُمْ* اِلَّا بِسِرِّيِّ حُرُوْفِي اُنْظُرْ اِلَى الْجَبَلِ*

Artinya : “Segala mahluk adalah hikmatMu, dan segala Roh adalah rahasiaMU, Bagaimana saja keadaanku (Hamba) tetap hukumnya bayang-bayang.” “Tidak ada hijab yang dapat melindungi Engkau, kecuali hijab qahriyah yang terdapat pengertiannya di dalam rahasia perkataanMu, lihatlah Gunung itu.”
*اَنْتُمْ دَلَلْتُمْ عَلَيْكُمْ مِنْكُمْ وَلَكُمْ* دَيْمُوْمَةٌ عَبَّرَتْ عَنْ غَامِضِ الْاَزَلِ*
*عَرَفْتُ بِكُمْ هَاذَا الْخَبِيْرَ بِكُمْ* اَنْتُمْ هُمْ يَا حَيَاةَ الْقَلْبِ يَا اَمَلِي*

Artinya : “Engkau menunjukkan atas dirimu, petunjuk datang dari pada Mu, bagiMu perbendaharaan, isyarat yang mengungkapkan berita azali. Kumiliki pengetahuan untuk mengenal Engkau dengan petunjukMu, Engkaulah hakekat mereka, ya Tuhanku idaman hati.”

Segala Kainat, atau segala Akwan selalu dekat dengan Allah Swt, yang dimaksud dekat disini bukanlah dekat musafah (perantaraan), tetapi dekat didalam syuhud. Si Salik merasa berhadap-hadapan dengan Tuhannya, baik dengan Af’al Allah atau dengan Asma Allah atau juga dengan ta’aluq Sifat Ma’ani yang senantiasa berlaku kepada semua kainat (اَلْكَائِنَاتُ) tanpa ada yang melindungi..
Semoga semua keterangan diatas dapat membantu Salik PTJ  untuk lebih memahami tentang Hakekat Muqabalah terhadap Allah swt, hingga timbul rasa selalu bertemu Allah Swt, selalu rasa berjumpa dengan Tuhannya setiap saat benar-benar dirasakan. Aamiin Allahumma Aamiin !

Kitab Ar Risalah Umdatul  Hasanah lil jama’ah att thariqah al Junaidiyah …… Benteng Pertahanan thariqah al Junaidiyah di susun oleh Al Habib  H.Hasan Baseri, S.Ag Bin H. Muhammad Barsih bin Ahmad Baderi Assegaf






 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A.Historis dan Nasab Dzuriat Datu Habib Lumpangi

  Oleh H.Hasan Basri,S.Ag bin H.M.Barsih Assegaf NASAB AHLU ALBAIT NABI BESAR MUHAMMAD SAW IBN ABDULLAH IBN ABDUL MUTHALIB DARI KELUARGA A...